Anda di halaman 1dari 50

8

BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Persalinan Preterm
a. Pengertian
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara
kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir. (WHO,
2005)
Persalinan preterm yaitu persalinan yang terjadi pada
kehamilan 37 minggu atau kurang, istilah yang digunakan untuk
menyebut bayi yang dilahirkan terlalu dini. (Cunningham, 2006)
Persalinan prematur adalah persalinan yang dimulai
setiap saat setelah awal minggu gestasi ke- 20 sampai akhir
minggu gestasi ke- 37. (Varney , 2007)
Partus Prematurus adalah persalinan (pengeluaran) hasil
konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup
tetapi prematur, berat janin antara 1000-2500 gram. (Mochtar,
2012)
b. Etiologi dan faktor resiko
Menurut Sarwono Prawirohardjo (2005), etiologi
persalinan prematur sering kali tidak diketahui. Ada beberapa
9

kondisi medik yang mendorong untuk dilakukannya tindakan
sehingga terjadi persalinan premature, beberapa faktor dari ibu
dan faktor dari janin.
1) Faktor Iatrogenik / indikasi medis pada ibu atau janin
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan
etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang
mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as Patient). Maka
apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan
janin, janin akan dipindahkan ke dalam lingkungan luar yang
dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat
kelangsungan hidupnya.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan persalinan premature
buatan / iatrogenic yang disebut Elective preterm. Hal ini
dilakukan dengan alasan ibu atau janin dalam keadaan
seperti diabetes maternal, hipertensi dalm kehamilan, dan
terjadi gangguan pertumbuhan intrauterine. (Oxorn, 2003)
2) Faktor maternal
a) Umur ibu
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun beresiko lebih
tinggi mengalami penyulit obstetric serta morbiditas dan
mortalitas perinatal. Wanita yang berusia lebih dari 35
tahun memperlihatkan peningkatan dalam masalah
10

hipertensi, diabetes, solusio plasenta, persalinan
premature, lahir mati dan plasenta previa. (Cunningham,
2006)
b) Trauma
Terjatuh, setelah berhubungan seksual, terpukul pada
perut atau mempunyai luka bekas operasi atau
pembedahan seperti bekas luka SC merupakan trauma
fisik pada ibu yang dapat mempengaruhi kehamilan.
Sedangkan trauma psikis yang dapat mempengaruhi
kehamilan ibu adalah stress atau terlalu banyak pikiran
Sehingga kehamilan ibu terganggu. ( Varney, 2007)
c) Riwayat Prematur sebelumnya
Setiap wanita yang telah mengalami kelahiran premature
pada kehamilan terdahulu memiliki resiko 20-40 % untuk
terulang kembali. Resiko meningkat atau menurun setiap
kelahiran premature atau cukup bulan selanjutnya,
secara berturut-turut. Kadang kala sulit untuk
membedakan, dari riwayat derat badan lahir dan
perkiraan bulan gestasi, apakah bayi sebelumnya
premature atau mengalamiretardasi pertumbuhan. Oleh
karena itu, harus diusahakan memperoleh catatan medis
setiap wanita yang berat badan bayi sebelumnya kurang
11

dari 2500 gram atau yang lahir sebelum minggu ke 36
gestasi. (varney, 2007)
d) Plasenta previa
Sering kali berhubungan dengan persalinan prematur
akibat harus dilakukan tindakan pada perdarahan yang
banyak. Bila terjadi perdarahan banyak maka
kemungkinan kondisi janin kurang baik karena hipoksia. (
Winkjosastro, 2008)
e) Solusio Plasenta
Terlepasnya plasenta akan merangsang untuk terjadi
persalinan prematur. Meskipun sebagian besar terjadi
pada matur. Pada pasien dengan riwayat solusio
plasenta maka kemungkinan terulang menjadi lebih
besar.
f) Ketuban Pecah Dini
Mungkin mengawali terjadinya kontraksi atau sebaliknya.
Ada beberapa kondisi yang mungkin menyertai seperti
serviks inkompeten, hidramnion, kehamilan ganda,
infeksi vagina dan serviks dan lain-lain. Infeksi asenden
merupakan teori yang cukup kuat dalam mendukung
terjadinya amnionitis dan kemungkinan ketuban pecah.

12

g) Malnutrisi
Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk
terhadap janin seperti prematuritas, gangguan
pertumbuhan janin, kelahiran mati, maupun kematian
neonatal atau bayi. Penentuan status gizi yang baik yaitu
dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan
kenaikan berat badan selama hamil (Varney, 2007)
h) Preeklampsia
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak
lama pertumbuhan janin terganggu, pada hipertensi yang
lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai
kematiannya karena kekurangan oksigenasi. Kenaikan
tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering didapatkan pada preeclampsia dan eklampsia,
sehingga mudah terjadi partus prematurus.(Wiknjosastro,
2007)
3) Faktor Janin
a) Gemeli
Sepuluh persen dari semua kelahiran premature
disebabkan oleh kehamilan kembar (Varney, 2007).
13

Proses persalinan pada kehamilan ganda bukan
multiplikasi proses kelahiran bayi, melainkan multiplikasi
dari resiko kehamilan dan persalinan (Saifuddin, 2010)
b) Kematian Janin Dalam Rahim
Kematian janin dalam rahim (IUFD) adalah kematian
janin dalam uterus yang beratnya 500 gram atau lebih
dari usia kehamilan 20 minggu atau lebih (Saifuddin,
2010)
c) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital atau cacat bawaan merupakan
kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul
sejak kehidupan hasil konsepsi . bayi yang dilahirkan
dengan kelainan congenital, umumnya akan dilahirkan
sebagai BBLR atau bayi kecil. BBLR dengan kelainan
congenital diperkirakan 20 % meninggal dalam minggu
pertama kehidupannya. (Saifuddin, 2010)
4) Faktor Prilaku
Prilaku seperti merokok, gizi buruk dan penambahan berat
badan yang kurang baik selama kehamilan, serta
penggunaan obat seperti kokain dan alcohol telah
dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian dan
hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah. Beberapa efek ini
14

tidak diragukan lagi disebabkan oleh pertumbuhan janin
terhambat dan persalinan preterm (Cunningham, 2006)
c. Tanda dan gejala
Menurut Varney (2007), tanda dan gejala persalinan
prematur adalah sebagai berikut:
1) Kram hebat seperti pada saat menstruasi.
2) Nyeri atau tekanan supra pubis.
3) Nyeri tumpul pada punggung bawah berbeda dari nyeri
punggung bawah yang biasa dialami oleh wanita hamil.
4) Sensasi adanya tekanan atau berat pada pelvis.
5) Perubahan karakter atau jumlah rabas vagin (lebih kental,
lebih encer, berair, berdarah, berwarna cokelat, tidak
berwarna).
6) Diare.
7) Kontraksi uterus tidak dapat dipalpasi (nyeri hebat atau tidak
nyeri) yang dirasakan lebih sering dari setiap 10 menit
selama 1 jam atau lebih dan tidak mereda dengan tidur
berbaring.
8) Ketuban pecah dini.



15

d. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis
ancaman persalinan preterm. Diferensiasi dini antara persalinan
sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum
adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat membingungkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks.
Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur,
tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali,
namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita
yang melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus
yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang
mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis
ancaman persalinan preterm, yaitu:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140
dan 259 hari
2) Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang
sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu
10 menit
16

3) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai
kaku menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada
punggung bawah (low back pain)
4) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah
5) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah
mendatar 50-80%,atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2
cm
6) Selaput amnion seringkali telah pecah
7) Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
e. Prognosis
Prematuritas merupakan faktor kematian yang terkait
mortalitas dan morbiditas janin. Prognosis persalinan preterm
bergantung pada usia kehamilan dan berat lahir bayi. Sebagian
bayi yang meninggal pada 28 hari pertama kehidupannya
mempunyai berat badan kurang dari 2500 gram saat lahir.
Gangguan respirasi menyebabkan 44% bayi meninggal
pada usia kurang dari 28 hari, perdarahan intrakranial lima kali
lebih sering dijumpai pada bayi yang lahir premature karena
rentan terhadap kompresi kepala akibat lunaknya tulang
tengkorak dan immaturitas jaringan otak. Prognosis untuk
kesehatan fisik dan intelektual bayi belum diketahui dengan
17

pasti namun tampaknya insiden kerusakan otak lebih tinggi
pada bayi yang lahir premature.(Cunningham, 2006)
f. Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan prematur, infeksi
endometrium lebih sering terjadi mengakibatkan sepsis dan
lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi prematur
memiliki resiko infeksi neonatal lebih tinggi resiko distress
pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan
perdarahan intraventrikuler . (Joseph, 2010).
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Pemeriksaan kultur urine
b) Pemeriksaan gas dan pH darah janin
c) Pemeriksaan darah tepi ibu:
(1) Jumlah lekosit
(2) C-reactive protein
2) Amniosentesis
a) Hitung lekosit
b) Pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis
c) Kultur
d) Kadar IL-1, IL-6
e) Kadar glukosa cairan amnion
18

3) Pemeriksaan ultrasonografi
a) Oligohidramnion : Goulk dkk. (1985) mendapati
hubungan antara oligohidramnion dengan korioamnionitis
klinis antepartum. Vintzileos dkk. (1986) mendapati
hubungan antara oligohidramnion dengan koloni bakteri
pada amnion.
b) Penipisan serviks : Iams dkk. (1994) mendapati bila
ketebalan seviks < 3 cm (USG), dapat dipastikan akan
terjadi persalinan preterm. Sonografi serviks
transperineal lebih disukai karena dapat menghindari
manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD
dan plasenta previa.
c) Kardiotokografi : kesejahteraan janin, frekuensi dan
kekuatan kontraksi
h. Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami penipisan dan dilatasi serviks
tampaknya akan mengalami persalinan preterm. Bayi-bayi
dengan usia kehamilan > 35 minggu prognosis kelangsungan
hidupnya adalah cukup baik, maka tidak diperlukan
pematangan paru dan dibiarkan lahir. (PONEK, 2008)
19

Pada kasus kehamilan < 35 minggu , pembukaan < 3
cm, selaput ketuban utuh, tidak ada tanda infeksi maka
sebaiknya dilakukan upaya untuk pematangan paru janin.
Syarat pematangan paru :
1) Kehamilan < 35 minggu
2) Tidak ada tanda infeksi
3) Tak ada kelainan janin
4) Tidak ada hipertensi atau insufisiensi plasenta.
Pemberian kortikosteroid (dexamethason) untuk pematangan
paru adalah 2 x 12 mg i.m / hari diberikan dalam 2 hari. Jadi
total pemberian adalah 24 mg . (PONEK, 2008)
Pemberian tokolitik pada prinsipnya diperlukan untuk
memberi kesempatan pematangan paru janin. Akan tetapi
tokolitik diberikan dengan berbagai pertimbangan (SMF Obgyn
RSUP NTB, 2008) :
1) Tokolitik tidak diberikan pada keadaan-keadaan :
a) Infeksi intrauterine
b) Solusio plasenta
c) Kelainan congenital berat
d) Kematian janin dalam rahim
e) Gawat janin
f) Pembukaan serviks >= 4 cm
20

Keputusan pemberian tokolitik pada kasus-kasus tertentu
(diabetes mellitus, hipertensi dalam kehamilan, insufisiensi
plasenta dan dugaan adanya pertumbuhan janin terhambat)
harus dilakukan penilaian kesejahteraan janin terlebih
dahulu.
Pemberian tokolitik
Nifedipin 10 mg diberikan 1-2 kali dalam 1 jam . kemudian
diberikan 4 x 10 mg sampai his hilang dalam hari pertama.
Bila kontraksi mereda atau hilang maka obat-obatan dapat
dihentikan. Bila nifedipin tidak efektif, dapat dicoba terbutalin
sulfat dengan dosis 0,25 mg yang diberikan secara
subkutan. Selanjutnya dalam drip infuse 4 mg / 500 ml, 12
tts/menit.
2. Perdarahan Antepartum
a. Pengertian
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi
pada kehamilan berumur diatas 22 minggu. (varney, 2007)
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi
setelah kehamilan 28 minggu. (Mochtar, 2012)
Perdarahan antepartum dapat berasal dari:


21

1. Kelainan Plasenta
Plasenta previa, solusio plasenta (abruption plasenta), atau
perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya,
seperti: insersio velamentosa, rupture sinus marginalis,
plasenta sirkumvalata.
2. Bukan dari kelainan plasenta, biasanya tidak begitu
berbahaya, misalnya kelainan serviks dan vagina (erosi,
polip, varises yang pecah) dan trauma.
(Mochtar, 2012)
Plasenta previa adalah implantasi plasenta disekitar
osteum uteri internum yang dapat berakibat perdarahan pada
kehamilan di atas 22 minggu. (Varney, 2007)
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta
berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah
rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir (ostium uteri internal). (Mochtar, 2012)
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta
yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin
lahir. (Mochtar, 2012)
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasinya sebelum janin lahir. (Cuningham, 2006)

22

b. Etiologi
1) Plasenta Previa
Strassmann mengatakan bahwa factor terpenting adalah
vaskularisasi yang kurang pada desidua yang menyebabkan
atrofi dan peradangan, sedangkan Brown menekankan
bahwa factor terpenting ialah vili khorialis persisten pada
desidus kapsularis. Factor-faktor etiologi:
a) Umur dan Paritas
Pada primigravida, umur diatas 35 tahun legih sering
daripada umur dibawah 25 tahun. Lebih sering pada
parites tinggi daripada paritas rendah.
b) Hipoplasia endometrium : bila menikah dan hamil pada
umur muda.
c) Endometrium cacat pada bekas persalinan berulang-
ulang, bekas operasi, kuretase dan manual plasenta.
d) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium
belum siap menerima hasil konsepsi.
e) Tumor-tumor seperti mioma uteri, polip endometrium.
f) Kadang-kadang pada malnutrisi.



23

2) Solusio Plasenta
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain:
a) Faktor vaskuler (80-90%), yaitu toksemia gravidarum,
glomerulo kronika, dan hipertensi essensial. Karena
desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah
pecah, kemudian terjadi hematoma retroplasenter dan
plasenta sebagian terlepas.
b) Faktor trauma
(1) Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidramnion
dan gemeli.
(2) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat
pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau
pertolongan persalinan.
c) Faktor paritas
Lebih banyak dijumpai pada multi daripada primi.
d) Pengaruh lain seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus
pada vena cava inferior, dan lain-lain.
e) Trauma langsung seperti jatuh dan lain-lain.
(Mochtar, 2012)



24

c. Tanda dan Gejala
1) Plasenta Previa
Gejala klinik plasenta previa dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a) Perdarahan
(1) Terjadi akibat terbentuknya segmen bawah rahim
yang menimbulkan pergeseran dan lepasnya
plasenta dari implantasi.
(2) Bagian plasenta di depan ostium uteri memungkinkan
terjadinya perdarahan.
(3) Perdarahannya dapat berulang tergantung dari luas
plasenta yang lepas dan lingkar lumen ostium uteri.
(4) Perdarahan tidak dirasakan sakit.
(5) Terjadi perubahan hemodinamik sirkulasi
(6) Gawat janin
b) Tertutupnya segmen bawah rahim oleh plasenta
(1) Tertutupnya segmen bawah rahim oleh plasenta
sehingga menghalangi masuknya bagian terendah
janin sehingga masih mengambang di atas pintu
atas panggung.
25

(2) Dapat menimbulkan kelainan letak janin seperti letak
sungsang, letak lintang, kepala belum masuk PAP
atau miring.
(Manuaba, 2007)
2) Solusio Plasenta
a) Solusio plasenta eksternal yaitu terdapat perdarahan
pervaginam yang tampak dan berasal dari perdarahan
retroplasenter.
b) Solusio plasenta internal artinya perdarahan pervaginam
tidak tampak sehingga gejala klinik yang mengganggu
sirkulasi retroplasenter lebih menonjol. Ketegangan
dinding uterus makin nyata sehingga sulit melakukan
palpasi. Kejadian gawat janin lebih cepat terjadi
tergantung dari besarnya perdarahan retroplasenter.
(Manuaba, 2007)
d. Diagnosis
1) Plasenta Previa
Diagnosis plasenta previa dapat ditegakkan berdasarkan:
a) Anamnesis perdarahan
b) Palpasi abdomen
c) Pemeriksaan inspekulo
26

d) Pemeriksaan penunjang (USG) untuk memastikan
diagnosisplasenta previa.
(Manuaba, 2007)
2) Solusio plasenta
Diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan sebagai
berikut:
a) Perdarahan pervaginam disertai rasa sakit sebagai cirri
khas perdarahan pada solusio plasenta.
b) Pemeriksaan khusus obstetric
(1) Terjadi ketegangan dinding uterus.
(2) Auskultasi denyut jantung janin bervariasi, dapat
normal sampai terjadi kematian intrauterine.
(3) Pemeriksaan dalam: ketuban tegang, bagian
terendah mungkin sudah masuk PAP.
c) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
d) Pemeriksaan penunjang laboratorium.
(Manuaba, 2007)
e. Komplikasi
1) Plasenta previa
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
a) Prolaps tali pusat
b) Prolaps plasenta
27

c) Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual
dan bila perlu dibersihkan dengan kerokan
d) Robekan-robekan jalan lahir karena tindakan
e) Perdarahan postpartum
f) Infeksi karena perdarahan yang banyak
g) Bayi premature atau lahir mati.
(Mochtar, 2012)
2) Solusio Plasenta
a) Komplikasi langsung
(1) Perdarahan
(2) Infeksi
(3) Emboli dan syok obstetric.
b) Komplikasi tidak langsung
(1) Couvelair uterus, sehingga kontraksi tidak baik,
menyebabkan perdarahan post partum
(2) a/hipo-fibrinogenemia dengan perdarahan postpartum
(3) nekrosis korteks renalis, menyebabkan anuria dan
uremia
(4) kerusakan-kerusakan organ seperti hati, hipofisis dan
lain-lain.
(Mochtar, 2012)

28

f. Penatalaksanaan
1) Plasenta previa
a) Penanganan konsevatif
Dilakukan pada bayi premature dengan TBJ< 2500 gram
atau umur kehamilan < 37 minggu dengan syarat denyut
janutng janin baik dan perdarahan sedikit atau berhenti.
Cara perawatan sebagai berikut:
(1) Observasi ketat di kamar bersalin selama 24 jam.
(2) Keadaan umum ibu diperbaiki, bila anemia berikan
transfuse PRC sampai Hb 10-11 gr%
(3) Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin
(kemungkinan perawatan konservatif gagal) dengan
injeksi Betametason/ Deksamentason 12 mg tiap 12
jam (IM) bila usia kehamilan <35 minggu atau TBJ
<2000 gram.
(4) Bila perdarahan berhenti, penderita dipindahkan ke
ruang perawatan dan tirah baring selama 2 hari, bila
tidak ada perdarahan dapat mobilisasi
(5) Observasi perdarahan setiap 6 jam, denyut jantung
janin dan tekanan darah.
(6) Bila perdarahan berulang dilakukan penanganan aktif.
29

(7) Penderita dipulangkan bila tidak terjadi perdarahan
ulang setelah dilakukan mobilisasi dengan nasehat;
(a) Istirahat
(b) Dilarang koitus
(c) Segera masuk rumah sakit jika terjadi perdarahan
(d) Periksa ulang 1 minggu lagi.
b) Penanganan Aktif
Segera terminasi kehamilan. Bila perdarahan aktif
(perdarahan > 500 cc dalam 30 menit) dan diagnose
sudah ditetapkan lakukan seksio sesarea dengan
memperhatikan keadaan umum ibu.
(SMF Obgyn RSUP NTB, 2008)
2) Solusio Plasenta
a) Infuse cairan kristaloid (Ringer Laktat/ NaCl 0,9%),
terminasi kehamilan.
b) Tindakan awal dilakukan amniotomi.
c) Bila KJDR, dilanjutkan dengan drip oksitosin.
d) Dilakukan seksio sesarea bila:
(1) Janin hidup (bila persalinan diperkirakan berlangsung
> 6 jam)
(2) Gawat janin
30

(3) Kontra indikasi pervaginam (letak lintang, CPD, dan
lain-lain)
(4) Gagal pervaginam
e) Transfuse darah segar bila Hb < 8 gr%
f) Pemeriksaan laboraturium sebagai berikut:
(1) Darah lengkap
(2) Waktu perdarahan (Bleeding time)
(3) Waktu pembekuan (Clotting time)
(4) Fungsi ginjal (Ureum, kreatinin)
(SMF Obgyn RSUP NTB, 2008)
3. Preeklamsia dan Eklamsia
a. Pengertian
Preeklamsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan
dimana hipertensi terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu
pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal
(Bobak, dkk, 2004).
Menurut Varney (2007), preeklamsia adalah sekumpulan
gejala yang secara spesifik hanya muncul selama kehamilan
dengan usia lebih dari 20 minggu, kecuali pada penyakit
trofoblastik, dan dapat didiagnosis dengan kriteria adanya
peningkatan tekanan darah selama kehamilan (sistolik 140
mmHg, diastolik 90 mmHg), disertai proteinuria (0,3 gram
31

protein selama 24 jam ata0,3 gram protein selama 24 jam atau
30 mg/dL dengan hasil reagen urin (+1).
Preeklamsia adalah penyakit dengan tanda- tanda
hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena
kehamilan, yang umumnya terjadi pada triwulan ke-3
kehamilan, tetapi dapat sebelumnya pada mola hidatidosa.
(Winkjosastro, 2008).
Apabila preeklamsia tidak tertangani dengan baik, dapat
mengakibatkan eklamsia, yaitu timbulnya kejang dan atau koma,
dimana sebelumnya telah menunjukkan gejala preeklamsia
(Varney,2007).
Eklamsia adalah terjadinya konvulsi atau koma pada pasien
disertai tanda dan gejala preeklamsia. Konvulsi atau koma dapat
muncul tanpa didahului gangguan neurologis (Bobak, dkk, 2004).
Jadi, berdasarkan definisi di atas, maka preeklamsia adalah
hipertensi yang terjadi pada kehamilan lebih dari 20 minggu
dengan disertai proteinuria dengan atau tanpa edema,
sedangkan eklamsia adalah timbulnya kejang dan atau koma yang
merupakan kelanjutan dari preeklamsia.



32

b. Klasifikasi Preeklamsia
Preeklamsia diklasifikasikan menjadi tiga, antara lain:
preeklamsia ringan, preeklamsia berat dan eklamsia
(Winkjosastro,2008).
1) Preeklamsia Ringan adalah timbulnya hipertensi 140/ 90
mmHg sampai 160/ 110 mmHg yang disertai proteinuria
dengan atau tanpa edema setelah usia kehamilan 20
minggu (SMF Obgin RSUP NTB, 2008)
2) Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan
darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic
110 mmHg, disertai dengan proteinuria lebih dari 5 gr/ liter
(Prawirohardjo,2005).
Preeklamsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/
110 mmHg yang disertai proteinuria dengan atau tanpa
edema setelah usia kehamilan 20 minggu (SMF Obgin
RSUP NTB, 2008).
Apabila disertai dengan adanya keluhan subjektif,
meliputi nyeri kepala (frontal) yang tidak hilang dengan
analgetik biasa, ganggguan visus yaitu mata berkunang-
kunang, dan nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
abdomen, maka diagnosa menjadi impending eklamsia.

33

c. Etiologi Preeklamsia dan Eklamsia
Preeklamsia hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tanda
dan gejala timbul hanya selama masa hamil dan menghilang
dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir (Bobak, dkk, 2004).
Preekl amsi a i ni merupakan suatu penyaki t vasospastik,
yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi,
hipertensidan proteinuria. Diagnosis preeklamsia secara tradisional
didasarkan pada adanya hipertensi disertai proteinuria dengan
atau tanpa edema. Akan tetapi, temuan yang paling penting adalah
hipertensi, dimana 20 % pasien eklamsia tidak mengalami
proteinuria yang berarti sebelum serangan kejang pertama
(Bobak, dkk, 2004).
Etiologi penyakit ini hingga saat ini belum diketahui dengan
pasti. Banyak teori yang dikemukakan ahli namun belum ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang saat ini
digunakan adalah iskemia placenta, namun teori ini belum
dapat menerangkan semua yang berkaitan dengan penyakit ini.
Tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang
menyebabkan preeklamsia dan eklamsia (Wiknjosastro,2008).
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi
dari kelainan ini, antara lain :

34

1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin
(PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi
penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti
dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan
serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan
tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat
diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan
blocking antibodies terhadap terhadap antigen plasenta
tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan
berikutnya. Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data
yang mendukung adanya sistem imun pada penderita
preeklamsia dan eklamsia:
a) Beberapa wanita dengan preeklamsia mempunyai
kompleks imun dalam serum
35

b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi
sistem komplemen pada preeklamsia diikuti dengan
proteinuria.
Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa
pendapat menyebutkan bahwa sistem imun humeral dan
aktivasi komplemen terjadi pada preeklamsia tetapi tidak ada
bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan preeklamsia
maupun eklamsia.
3) Peran Faktor Genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik
pada kejadian preeklamsia dan eklamsia, antara lain:
a) Preeklamsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi
preeklamsia dan eklamsia pada anak dari ibu yang
menderita preeklamsia dan eklamsia sebelumnya
c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia
dan eklamsia pada anak dan cucu ibu yang dahulu hamil
dengan riwayat preeklamsia atau eklamsia.
d) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System
(Sudhaberata, 2009).


36

d. Patofisiologi Preeklamsia dan Eklamsia
Menurut Bobak, dkk, (2004), patofisiologi preeklamsia
berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan. Adaptasi
normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume darah,
vasodilatasi, penurunan resistensi vascular sistemik (SVR),
peningkatan curah jantung, dan peningkatan osmotic koloid.
Pada preeklamsia, volume plasma yang beredar menurun,
sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit
maternal. Perubahan ini menyebabkan perfusi organ maternal
menurun, termasuk perfusi ke unit janin uteroplasenta.
Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ
dengan menghancurkan sel- sel darah merah sehingga
kapasitas oksigen maternal menurun. Vasospasme arterial juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga
meningkatkan edema dan lebih lanjut menurunkan volume
intravaskuler, meredisposisi pasien yang mengalami
preeklamsia mudah menderita edema paru.
Easterling dan Benedetti menyatakan bahwa
preeklamsia ialah suatu keadaan hiperdinamik dimana temuan
khas hipertensi dan proteinuria merupakan akibat hiperfungsi
ginjal. Untuk mengendalikan sejumlah besar darah yang
berfungsi di ginjal, timbul reaksi vasospasme ginjal sebagai
37

suatu mekanisme protektif, tetapi hal ini akhirnya akan
mengakibatkan proteinuria dan hipertensi yang khas untuk
preeklamsia.
e. Gejala Preeklamsia dan Eklamsia
1) Gejala Preeklamsia Ringan:
Menurut SMF Obgin RSUP NTB (2008), gejala preeklamsia
ringan antara lain:
a) Terjadi hipertensi dengan tekanan darah 140/ 90
mmHg sampai < 160/ 110 mmHg.
b) Proteinuria 0,3 gr/ 24 jam atau secara kualitatif (++).
2) Gejala Preeklamsia Berat
Menurut SMF Obgin RSUP NTB (2008) dan Winkjosastro
(2008), gejala preeklamsia berat antara lain:
a) Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik 110 mmHg (tekanan darah ini tidak turun
walaupun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah
baring).
b) Peningkatan kadar enzim hati.
c) Trombosit < 100.000 sel/ mm.
d) Oliguria, dengan jumlah urin < 500 ml/ 24 jam.
e) Proteinuria > 5 gram/ 24 jam atau kualitatif (++++).
38

f) Gangguan cerebral, yaitu nyeri kepala (frontal) dan tidak
hilang dengan analgetik biasa.
g) Gangguan visus, yaitu mata berkunang- kunang.
h) Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
abdomen.
i) Edema paru dan sianosis.
j) Pertunbuhan janin terhambat (IUGR).
k) Adanya sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated, Liver
Enzym, Low Platelet Count).
3) Gejala Eklamsia :
Menurut SMF Obgin RSUP.NTB (2008) dan Manuaba (2010),
gejala eklamsia antara lain :
a) Menurunnya kesadaran sampai koma
b) Terj adi konvul si
c) Sebelumnya terdapat tanda-tanda preeklamsia dan
memburuknya preeklamsia
d) Kadang-kadang disertai gangguan fungsi organ.
f. Determinan yang Mempengaruhi Preeklamsia dan Eklamsia
1) Paritas
2) Umur, terutama pada umur reproduksi ektstrem yaitu < 20
tahun dan usia > 35 tahun
3) Sosial ekonomi
39

4) Kehamilan ganda
5) Penyakit vaskuler termasuk hipertensi dan diabetes mellitus
6) Penyakit ginjal
7) Riwayat keluarga dengan riwayat preeklamsia dan eklamsia
8) Obesitas dan anemia
9) Hidrops fetalis
10) Sindrom antifosfolifid
11) Ras kulit hitam (Wals, 2008).
Kira-kira 85% preeklamsia terjadi pada kehamilan
pertama, preeklamsia terjadi pada 14% sampai 20% kehamilan
dengan janin lebih dari satu. Pada ibu yang mengalami
hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapai
25% (Bobak, dkk, 2004).
g. Komplikasi Preeklamsia dan Eklamsia
Komplikasi yang timbul akibat preeklamsia (preeklamsia
ringan, preeklamsia berat dan eklamsia), antara lain:
1) Perubahan pada plasenta dan uterus, dimana terjadi
penurunan aliran darah ke plasenta yang menyebabkan
gangguan fungsi plasenta. Kenaikan tonus uterus dan
kepekaan terhadap rangsangan sering didapatkan pada
preeklamsia sehingga mudah terjadi partus prematurus.
40

2) Hipofibrinogenemia, dimana pada preeklamsia berat Zuspan
(1978) menemukan 23% mengalami hipofibrinogenemia.
3) Hemolisis, pada penderita preeklamsia berat kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan
ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan
kerusakan sel-sel hati atau destruksdi sel darah merah.
4) Solusio plasenta
5) Kerusakan ginjal
6) Edema paru, disebabkan oleh adanya decompensasi cordis
sinistra
7) Kelainan mata, dimana dapat terjadi kehilangan penglihatan
untuk sementara yang berlangsung sampai satu minggu dan
bahkan kadang terjadi perdarahan pada retina yang
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri
8) Sindrom HELLP yaitu Hemolysis, Elevated Liver Enzym,
Low Platelet Count
9) Dismaturitas, prematuritas, dan kematian janin
10) Komplikasi lainnya seperti lidah tergigit, aspirasi pneumonia,
DIC (Disseminated Intravaskular Coogulation).
(Winkjosastro, 2007).


41

h. Penanganan Preeklamsia dan Eklamsia
1) Penanganan khusus preeklamsia ringan
a) Penanganan khusus preeklamsia ringan menurut
Prawirohardjo (2008) :
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama
penanganan preeklamsia ringan. Istirahat dengan
berbaring miring ke kiri dapat menyebabkan pengaliran
darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga
lebih banyak, tekanan vena pada ekstremitas bawah
menurun dan reabsorpsi cairan dari darah tersebut
bertambah.
Pada umunya pemberian diuretika dan antihipertensi
pada preeklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-
obatan tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan
tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian
obat- obatan dapat menutupi tanda dan gejala
preeklamsia berat. Setelah keadaan menjadi normal
kembali penderita diperbolehkan pulang, akan tetapi
harus diperiksa lebih sering daripada biasanya.
Beberapa kasus preeklamsia ringan tidak membaik
dengan penanganan konservatif. Tekanan darah
meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah,
42

walaupun penderita beristirahat dengan pengobatan
medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan
walaupun janin masih prematur.
b) Penanganan Preeklamsia ringan menurut SPM Obgin
RSUP. NTB (2008), antara lain :
(1) Rawat Jalan
(a) Cukup istirahat
(b) Diet biasa (tidak perlu rendah garam)
(c) Tidak perlu diberi obat - obatan
(d) Pantau tekanan darah, pemeriksaan proteinuria,
refleks patella dan kondisi janin
(e) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda
bahaya preeklamsia berat dan eklamsia
(f) Kunjungan ulang setiap satu minggu
(2) Rawat Inap
(a) Kriteria Rawat Inap
1. Bila dalam pengobatan 2 minggu tidak ada
perbaikan.
2. Cenderung menuju gejala preeklamsia berat
3. Hasil pemeriksaan kesejahteraan janin
meragukan atau jelek.

43

(b) Pengobatan / evaluasi selama rawat inap
1. Tirah baring
2. Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit,
urin lengkap, asam urat darah, trombosit,
fungsi hati, fungsi ginjal.
(c) Konsultasi dengan bagian lain
1. SMF mata
2. SMF penyakit dalam
3. SMF Penyakit Jantung, dll.
(d) Evaluasi hasil pengobatan pemeriksaan
kesejahteraan janin
1. Bila jelek : terminasi kehamilan
2. Bila ragu : ulangi pemeriksaan kesejahteraan
janin
3. Bila baik :
a. Usia kehamilan < 37 minggu
Bila tensi normal, persalinan ditunggu
sampai aterm.
Bila tensi turun tetapi tidak mencapai
normal, kehamilan dapat diakhiri pada usia
kehamilan > 37 minggu

44

b. Usia kehamilan 37 minggu
Bila tensi normal, persalinan ditunggu
sampai inpartu.
Bila tensi tidak mencapai normal, lakukan
terminasi.
c. Cara persal inan
Pervaginam bila tidak ada kontraindikasi. Bila
perlu mempercepat kala II (Ekstraksi vakum).
2) Penanganan kasus Preeklamsia berat
a) Penanganan kasus preeklamsia berat menurut Manuaba
(2007) :
(1) Infus Intravena :
(a) Dosis 4 - 6 gram dosis permulaan diencerkan
dengan 100 ml per IV dan habis dalam 15 - 20
menit.
(b) Mulai 2 gr/ jam dalam 100 ml IV untuk
mempertahankan konsentrasi
(c) Ukur magnesium serum antara 4-6 jam, dan infus
kembali untuk mengatur agar konsentrasi 4-7
mEq/ l (4,8-8,4 mg/dL)
(d) Magnesium sulfat diteruskan sampai hanya 24
jam postpartum.
45

b) Penanganan kasus preeklamsia berat menurut SPM
Obgin RSUP NTB (2008) :
1) Perawatan Konservatif
(a) Bila umur kehamilan < 37 minggu,tanpa adanya
keluhan subyektif dengan keadaan janin baik.
(b) Pengobatan dilakukan di kamar bersalin / ruang
isolasi :
(1) Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri)
(2) Infuse Dextrose 5 %, 20 tetes/mnt
(3) Pasang kateter tetap
(4) Pemberian obat anti kejang : magnesium sulfat
(MgSO4):
(a) Langsung diberikan dosis pemeliharaan
MgSO4 1 g/jam IV
(b) Caranya: Siapkan infus Dextrose 5% atau
NaCl 0,9% 500 cc lalu masukkan MgSO4
40% 15 cc ke dalam 500 cc larutan infus
kemudian atur tetesan 28 tetes/ menit (1
kolf/ 6 jam). Monitor jumlah tetesan,
bersamaan dengan monitor tanda vital.
(5) Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
a. Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu
46

Calcium glukonas 10% (1 gr dalam 10 cc)
diberikan IV pelan
b. Refleks patella(+)
c. Frekuensi pernafasan >16 x/mnt
d. Produksi urine >100 cc dalam 4 jam
sebelumnya
(6) Pemberian antihipertensi (bila tekanan darah
>180/110 mmHg)
(7) Pemeriksaan Laboratorium:
a. Hb, trombosit, hematocrit, asam urat
b. Urin lengkap dan produksi urin 24 jam
c. Fungsi hati
d. Fungsi ginjal
(8) Konsultasi :
a. SMF. Penyakit dalam
b. SMF. Mata
c. SMF. Jantung, dll .
(c) Pengobatan selama rawat inap di kamar bersalin
a. Ti rah bari ng
b. Medi kamentosa
c. Pemeriksaan laboratorium
d. Diet biasa
47

e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin
(CTG/USG)
(d) Perawatan konservatif dianggap gagal bila :
a. Adanya tanda-tanda Impending eklamsia
b. Penilaian kesejahteraan janin jelek
c. Kenaikan tekanan darah progresif
d. Adanya sindrom HELLP
e. Adanya kelainan fungsi ginjal
(e) Perawatan konservatif dianggap berhasil bila
penderita sudah mencapai perbaikan dengan
tanda-tanda preeklamsia ringan dan perawatan
dilanjutkan sekurang- kurangnya selama 3 hari
lagi kemudian penderita boleh pulang
(f) Bila perawatan konservatif gagal, dilakukan
terminasi.
2) Perawatan Aktif :
(1) Penilaian kesejahteraan janin jelek
(2) Adanya keluhan subjektif
(3) Adanya Sindrom HELLP
(4) Kehami l an at erm
(5) Perawatan konservatif gagal
(6) Perawatan selama 24 jam, tekanan darah tetap
48

160/110 mmHg
(7) Pengobatan medikamentosa
(8) Tirah baring ke satu sisi (kiri)
(9) Infuse dextrose 5 % 20 tts/mnt
(10) Pemberian MgSO : berikan MgSO4 4 g IV
(bolus), yaitu:
(a) Sedot MgSO4 40 % 10 cc ke dalam spuit 20
cc
(b) Tambahkan aquadest 10 cc
(c) Berikan secara IV pelan
(11) Dosis Pemeliharaan : MgSO4 2 g/jam IV, yaitu:
(a) Setelah tindakan pervaginam atau seksio
sesarea, pasien segera minum 1 sampai 2
gelas
(b) Setelah bayi lahir, monitor keluhan
subyektif, tekanan darah dan diuresis
dalam 2 jam (100 cc/ jam)
(c) Bila tidak ada keluhan subyektif tekanan
darah sesuai kriteria preeklamsia ringan
dan diuresis 100 cc/ jam maka pemberian
MgSO4 dihentikan.
49

(d) Bila timbul tanda- tanda intoksikasi MgSO4,
segera berikan Calsium Glukonas 10%, 1
gr dalam 10 cc IV pelan selama 3 menit.
(e) Bila sebelum pengobatan MgSO4 telah
diberikan diazepam, maka dilanjutkan
dengan pengobatan MgSO4
(12) Bila tekanan darah 180/110 mmHg berikan
injeksi Clonidin 0,15 mg IV yang diencerkan 10
cc dextrose 5% diberikan sama dengan
perawatan konservatif, dilanjutkan nifedipin
3x10 mg.
(13) Terminasi kehamilan dengan induksi
persalinan dengan drip oksitosin bila:
(a) Kesejahteraan janin baik
(b) Skor pelvik (Bishop) 5
(14) Terminasi kehamilan dengan operasi
seksio sesarea bila:
a) Kesejahteraan janin jelek
b) Skor pelvik (Bishop) 5



50

Tabel2.1 Tabel Penilaian Serviks untuk Induksi Persalinan (Bishop
Score)
Faktor
Skor
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 cm 3-4 cm 5 cm
Panjangserviks (cm) 3 2 1 0
Station -3 (HI) -2 (HII) -1(HIII) +1, +2 (HIV)
Konsistensi/gerakan Kaku Sedang Lunak -
Position Posterior Mid Anterior -
(Prawirohardjo, 2008).
3) Penanganan Kasus Eklampsia :
a) Penanganan kasus eklamsia menurut Wiknjosastro (2008) :
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum
penderita diperbaiki, maka direncanakan untuk
mengakhiri atau mempercepat persalinan dengan cara
yang aman. Pengakhiran kehamilan dapat dilakukan
dengan seksio sesarea atau dengan induksi persalinan
pervaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor,
seperti keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, ahli
anastesi, dan sebagainya.
b) Penanganan kasus eklamsia menurut SPM Obgin RSUP
NTB (2008), antara lain :
Prinsip pengobatan yang dilakukan, antara lain:.
(1) Menghentikan kejang dan mencegah kejang
ulangan.
(2) Mencegah dan mengatasi komplikasi.
51

(3) Memperbaiki keadaan umum ibu maupun janin
seoptimal mungkin.
(4) Terminasi kehamilan dengan mempertimbangkan
keadaan ibu (vital skor).
(5) Pemberian Obat Anti Kejang (Magnesium sulfat)
(a) Dosis awal : berikan MgSO4 4g IV
(bolus)
(b) Dosis Pemeliharaan : MgSO4 2 g/jam IV
(c) Bila terjadi kejang ulangan setelah 15 menit, berikan
MgSO4 2 g IV.
(6) Setelah tindakan (pervaginam atau seksio
sesaria) pasien segera minum 1-2 gelas.
(7) Setelah bayi lahi r, monitor keluhan subyektif
tekanan darah dan diuresis dalam 2 jam (100 cc/jam).
(8) Bila tidak ada keluhan subyektif, tekanan darah sesuai
kriteria preeklamsia ringan dan diuresis 100 cc/jam,
maka pemberian MgSO4 dihentikan.
(9) Bila timbul intoksikasi MgSO4, segera berikan
Calcium Gluconas 10% 1 gr dalam 10 cc IV pelan
selama 10 menit.
(10) Bila sebelum pengobatan MgSO4 telah diberikan
Diazepam, maka dilanjutkan pengobatan MgSO4.
52

(11) Pemberian obat dan perawatan lainnya.
(a) Obat-obat antihipertensi
(b) Antibiotika injeksi
(c) Antipiretika (bila febris)
(d) Kardiotonika (konsultasi dengan kardiologi)
(e) Diuretika diberikan bila terjadi edema paru.
(f) Perawatan ICU dengan pemasangan CVP
(12) Perawatan Penderita dengan koma
(a) Monitor kesadaran/koma dengan GCS.
(b) Perhatikan pemberian nutrisi (parentral/
personde dengan NGT).
(c) Dicegah jangan terjadi dekubitus.
(13) Terminasi kehamilan dilakukan apabila sudah
terjadi stabilisasi/ pemulihan ibu. Stabilisasi
hemodinamika dan metabolisme dicapai dalam 4-8 jam
setelah salah satu atau lebih keadaan di bawah
ini:
(a) Pemberian obat anti kejang terakhir
(b) Kejang terakhir
(c) Pemberian obat antihipertensi terakhir
(d) Penderita mulai sadar

53

(14) Cara Terminasi Kehamilan :
(a) Indikasi persalinan dengan drip oksitosin bila
hasil KTG normal dan Bishop skor 5
(b) Kala II dipercepat dengan ekstraksi vakum
(c) Seksio sesarea bila:
1. Adanya kontra indikasi drip oksitosin
2. Drip oksitosin tidak memenuhi syarat
3. Setelah 6 jam drip oksitosin belum
memasuki fase aktif
4. Gawat janin.
(15) Perawatan Pasca Salin :
Dilakukan monitoring tanda- tanda vital secara
ketat selama 1x24 jam.
(16) Prognosis :
Prognosis eklamsia ditentukan oleh "Kriteria
Eden", antara lain :
(a) Koma lama
(b) Nadi diatas 120x/ menit
(c) Suhu diatas 39,5 C.
(d) Tekanan darah sistolik diatas 200 mmHg
(e) Kejang lebih dari 10 kali
(f) Protein urine lebih dari 10 gr/ liter
54

(g) Tidak ada edema
Bila didapat 2 atau lebih dari gejala tersebut, maka
prognosis ibu adalah buruk.
4. Hubungan antara perdarahan antepartum dan preeklampsi-
eklampsia dengan kejadian persalinan preterm
a. Hubungan perdarahan antepartum dengan kejadian
persalinan preterm
Pada perdarahan antepartum akan muncul rangsangan
koagulum darah pada serviks. Selain itu, banyaknya plasenta
yang terlepas dapat menyebabkan turunnya kadar
progesterone yang menyebabkan timbulnya his, lepasnya
plasenta sendiri juga dapat menimbulkan his. Adanya
rangsangan koagulum darah dan timbulnya tonus uterine
tersebut dapat memicu terjadinya partus prematurus. (Mochtar,
2012)
Berdasarkan penelitian Yanniarti dengan judul hubungan
perdarahan antepartum dengan partus prematur di RSUD M.
Yunus Bengkulu tahun 2012, didapatkan hasil adanya
hubungan yang bermakna antara perdarahan antepartum
(plasenta previa dan solusio plasenta) dengan partus prematur,
dengan hasil OR plasenta previa berpeluang 2,5 kali mengalami
55

partus prematur dan solusio plasenta berpeluang 2 kali
mengalami partus preterm.
b. Hubungan preeklampsia berat dengan kejadian persalinan
preterm
Pada preeklampsia terdapat spasmus arteriola spinalis
desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta.
Perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan,
seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh
darahdalam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm
menjadi jaringan fibrotic, di percepat prosesnya pada
preeclampsia dan hipertensi. (Wiknjosastro, 2007)
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama
pertumbuhan janin terganggu, pada hipertensi yang lebih
pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematiannya karena
kekurangan oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan
terhadap perangsangan sering didapatkan pada preeclampsia
dan eklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.
(Wiknjosastro, 2007).
Menurut penelitian oleh Meis, dkk pada tahun 1995
1998 dalam menganalisis kelahiran sebelum usia gestasi 37
minggu yang dilakukan di NICHD maternal-fetal medicine Units
56

Network, kelahiran prematur yang diindikasikan 43%-nya
disebabkan oleh preeklampsia (Cunningham, 2006).
Berdasarkan penelitian Kiswatin dengan judul pengaruh
preeklampsi terhadap kejadian persalinan preterm di VK IRD
RSU DR. Soetomo Surabaya tahun 2009, didapat hasil
penelitian yang signifikan ada pengaruh preeklampsi untuk
melahirkan prematur atau kesempatan kelahiran prematur
hingga 86% untuk ibu dengan preeklampsi dibandingkan
dengan yang tidak preeklampsi.

B. Kerangka Konsep








Faktor Janin
1. Gemeli
2. Kematian Janin Dalam Rahim
3. Kelainan Kongenital
Faktor Maternal
1. Umur
2. Trauma
3. Riwayat Preterm sebelumnya
4. Perdarahan antepartum
5. Ketuban Pecah Dini
6. Malnutrisi
7. Preeklampsi-Eklampsia

Persalinan
Preterm
57

Keterangan :
: Diteliti
Sumber : (Modifikasi dari Siswosudarmo, 2008 dan Saifudin 2009)
Gambar 2.1 kerangka konsep penelitian

C. Hipotesis
Hipotesis dapat peneliti rumuskan sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara perdarahan antepartum dengan persalinan
preterm di ruang teratai RSUP NTB tahun 2013.
2. Ada hubungan antara preeklampsi-eklampsia dengan persalinan
preterm di ruang teratai RSUP NTB tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai