Oleh: M. Abdul Basith G99122068 Anisa Febrina G99122015 Diena Ashlihati G99122035
Pembimbing dr. Retno Widiati, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2014
BAB I STATUS PASIEN
I. IDENTITAS Nama : Sdr. T Umur : 30 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Alamat : Klepu, Ngadirojo, Wonogiri Tgl pemeriksaan : 20 Agustus 2014 No. RM : 01266636
II. ANAMNESIS A. Keluhan utama : Tidak bisa melihat B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik Mata RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan kedua matanya tidak bisa melihat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan pandangannya mulai kabur sejak 7 hari yang lalu. Semakin lama semakin kabur sampai akhirnya pasien tidak dapat melihat sama sekali. Pasien mengaku memiliki riwayat minum alkohol 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan bahwa ia tidak mencampur alkoholnya dengan apa pun. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah, pandangan dobel, gatal, nrocos, blobok, nyeri, silau, dan juga tidak pusing sebelum tidak bisa melihat sama sekali.
C. Riwayat Penyakit Dahulu - Riwayat sakit serupa : disangkal - Riwayat pengobatan : disangkal - Riwayat kencing manis : disangkal - Riwayat hipertensi : disangkal - Riwayat asma : disangkal - Riwayat TBC : disangkal - Riwayat trauma : disangkal - Riwayat iritasi mata : disangkal - Riwayat operasi mata : disangkal - Riwayat alergi : disangkal D. Riwayat Penyakit Keluarga - R. Hipertensi : disangkal - R. Kencing manis : disangkal - R. Sakit serupa : disangkal - R. Benjolan di mata : disangkal - R. Asma : disangkal E. Kesimpulan Anamnesis OD OS Proses toksik toksik Lokalisasi saraf optik saraf optik Sebab alkohol alkohol Perjalanan akut akut Komplikasi - - III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan umum Keadaan umum baik E 4 V 5 M 6 , gizi kesan cukup T = 120/80 mmHg N = 88x/1menit RR = 14x/1menit S = 36,6 C BB = 65 kg, TB = 165 cm B. Pemeriksaan subyektif OD OS Visus sentralis jauh 0 0 Pinhole tidak dilakukan tidak dilakukan Koreksi tidak dilakukan tidak dilakukan Refraksi tidak dilakukan tidak dilakukan
Visus Perifer Konfrontasi test tidak dilakukan tidak dilakukan Proyeksi sinar - - Persepsi warna - -
C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata Tanda radang tidak ada tidak ada Luka tidak ada tidak ada Parut tidak ada tidak ada Kelainan warna tidak ada tidak ada Kelainan bentuk tidak ada tidak ada 2. Supercilium Warna hitam hitam Tumbuhnya normal normal Kulit sawo matang sawo matang Geraknya dalam batas normal dalam batas normal 3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia tidak ada tidak ada Strabismus tidak ada tidak ada Pseudostrabismus tidak ada tidak ada Exophtalmus tidak ada tidak ada Enophtalmus tidak ada tidak ada Anopthalmus tidak ada tidak ada
4. Ukuran bola mata Mikrophtalmus tidak ada tidak ada Makrophtalmus tidak ada tidak ada Ptosis bulbi tidak ada tidak ada Atrofi bulbi tidak ada tidak ada Buftalmus tidak ada tidak ada Megalokornea tidak ada tidak ada 5. Gerakan Bola Mata Temporal superior sde sde Temporal inferior sde sde Temporal sde sde Nasal sde sde Nasal superior sde sde Nasal inferior sde sde 6. Kelopak Mata Gerakannya dalam batas normal dalam batas normal Lebar rima 8 mm 8 mm Blefarokalasis tidak ada tidak ada Tepi kelopak mata Oedem tidak ada tidak ada Margo intermarginalis tidak ada tidak ada Nyeri Tekan tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada Entropion tidak ada tidak ada Ekstropion tidak ada tidak ada 7. Sekitar saccus lakrimalis Oedem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada 8. Sekitar Glandula lakrimalis Odem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada 9. Tekanan Intra Okuler Palpasi kesan normal kesan normal Tonometer Schiotz tidak dilakukan tidak dilakukan 10. Konjungtiva Konjungtiva palpebra Oedem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada Sikatrik tidak ada tidak ada Konjungtiva Fornix Oedem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada Sikatrik tidak ada tidak ada Konjungtiva Bulbi Pterigium tidak ada tidak ada Oedem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada Sikatrik tidak ada tidak ada Injeksi konjungtiva tidak ada tidak ada Caruncula dan Plika Semilunaris Oedem tidak ada tidak ada Hiperemis tidak ada tidak ada Sikatrik tidak ada tidak ada 11. Sklera Warna putih putih Penonjolan tidak ada tidak ada 12. Cornea Ukuran 12 mm 12 mm Limbus jernih jernih Permukaan rata, mengkilat rata, mengkilat Sensibilitas normal normal Keratoskop (Placido) tidak dilakukan tidak dilakukan Fluoresin Test tidak dilakukan tidak dilakukan Arcus senilis (-) (-) Ulkus (-) (-) Hipopion (-) (-) 13. Kamera Okuli Anterior Isi jernih jernih Kedalaman dalam dalam 14. Iris Warna coklat coklat Gambaran spongious spongious Bentuk bulat bulat Sinekia Anterior tidak ada tidak ada 15. Pupil Ukuran 5 mm 5 mm Bentuk bulat bulat Tempat sentral sentral Reflek direct (+) lambat (+) lambat Reflek indirect (+) lambat (+) lambat Reflek konvergensi tidak dilakukan tidak dilakukan 16. Lensa Ada/tidak ada ada Kejernihan jernih jernih Letak sentral sentral Shadow test - - 17. Corpus vitreum Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD OS Visus sentralis jauh 0 0 Pinhole Tidak dilakukan tidak dilakukan Koreksi tidak dilakukan tidak dilakukan Refraksi tidak dilakukan tidak dilakukan Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal Supercilium dalam batas normal dalam batas normal Pasangan bola mata dalam batas normal dalam batas normal dalam orbita Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal Gerakan bola mata sulit dievaluasi sulit dievaluasi Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal Sekitar gld lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal Tekanan IntraOkuler kesan normal kesan normal Konjunctiva bulbi dalam batas normal dalam batas normal Sklera dalam batas normal dalam batas normal Kornea dalam batas normal dalam batas normal Camera oculi anterior dalam batas normal dalam batas normal Iris dalam batas normal dalam batas normal Pupil membesar, reflek menurun membesar, reflek menurun Lensa dalam batas normal dalam batas normal Corpus vitreum tidak dilakukan tidak dilakukan
V. DIAGNOSIS BANDING - Neuritis Optik - Thyroid Ophtalmopathy
VI. DIAGNOSIS ODS Toxic Optic Neuropathy ec alkohol VII. TERAPI a. Medikamentosa : Glaucom 2 x tab Metil prednisolon 8mg 2 x 1 Neurobion 5000 1 x 1 Non cort ED 3 x 1 ODS b. Non medikamentosa : Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang sehat dan seimbang, menghentikan konsumsi alkohol ataupun rokok, mematuhi pengobatan
VIII. PLANNING Kontrol kembali setelah 10 hari IX. PROGNOSIS OD OS Ad vitam bonam bonam Ad sanam dubia dubia Ad kosmetikum bonam bonam Ad fungsionam dubia dubia
BAB II OPTIK NEUROPATI TOKSIK
A. PENGERTIAN Neuropati optic toksik adalah kelainan syaraf mata akibat keracunan suatu bahan atau obat-obatan yang berdampak mata kabur, bahkan kebutaan. Obat-obatan atau bahan kimia yang dapat menyebabkan neuropati optic toksis adalah methanol atau alkohol, etambutol, hidroksikuinolin, terhalogenasi, dan racun dari rokok. Secara klinis, penderitanya mengalami penurunan tajam penglihatan (visus bilateral), progresif, didapatkan penglihatan skotoma sekosentral, gangguan penglihatan warna, dan selanjutnya dapat terjadi kebutaan (atrofi optic). B. PATOFISIOLOGI Mekanisme secara pasti bagaimana zat toksik dapat memberi efek kepada saraf optik masihlah belum jelas. Walaupun etiologi penyakit ini lebih sering multifaktorial, beberapa klinisi setuju bahwa pasien dengan penyalahgunaan etanol dan tembakau serta gangguan nutrisi merupakan prinsip utama terjadinya ambliopia (berkurangnya tajam penglihatan). Masihlah belum jelas bagaimana mekanisme tembakau atau etanol berefek langsung pada saraf optik. Mengapa beberapa agen bersifat toksik pada saraf optik terutama bagian yang terdiri dari berkas papillomakular, masihlah belum dapat dijelaskan. Apakah gangguan pengaliran darah ke saraf optik hingga akumulasi agen toksik tersebut, masihlah dipertanyakan. Beberapa hipotesa mengatakan bahwa sifat chelating dari etambutol yang berkontribusi pada sifat neurotoksisitasnya, tapi hal ini belumlah dapat dibuktikan. Mekanisme neurotoksisitas yang muncul dari amiodarone sebagai antiaritimia masihlah belum jelas. Peneliti meyakini bahwa ada hubungannya dengan lipidosis yang diinduksi oleh obat.
Gambar 1
Gambar 2
C. PENYEBAB Beberapa penyebab neuropati optik toksik berupa tembakau, etanol, bahan kimia dan obat-obatan, seperti metanol, etilen glikol, etambutol, isoniazid, digitalis, simetidin, vincristine, siklosporin, toluena, dan amiodarone. D. GEJALA Neuropati optik toksik mirip satu sama lain dalam hal presentasi klinis dan sebagian besar neuropati optik yang muncul secara simultan dan bersifat bilateral. Ketika seorang pasien diduga memiliki neuropati optik, anamnesis menyeluruh sangat penting dan harus mencakup pola makan (misalnya, berapa banyak dan apa yang pasien makan); obat / paparan racun (misalnya, logam berat, asap, pelarut), sosial ekonomi (misalnya, pendapatan), termasuk penggunaan tembakau dan alkohol, dan latar belakang pekerjaan, dengan rincian apakah terdapat kasus serupa di antara rekan kerja. Pengobatan penyakit kronis juga harus selalu ditanyakan. Riwayat keluarga juga perlu ditanyakan. Orang dengan alkoholisme tidak selalu mengatakan kebiasaan minum mereka, sehingga untuk memperoleh rincian tersebut, bersama dengan rincian dietnya, perlu ditanyakan kepada teman atau kerabat. Peninjauan sistem lebih lanjut mencakup pertanyaan tentang gejala sensorik di kaki dan gangguan berjalan karena hal ini mungkin mencerminkan suatu neuropati perifer zat toksik pada serebelum. Pandangan buram adalah gejala yang sering dikeluhkan. Pasien berangsur-angsur menyadari penglihatan kaburnya saat sedang membaca. Biasanya pasien terlambat mendeteksi penyakitnya, sehingga pengobatan tertunda. Awalnya, hanya satu mata yang mungkin terlibat, tetapi pandangan berkabut akhirnya akan muncul pada kedua mata, menyebabkan pandangan semakin menurun. Jika hilangnya penglihatan bersifat unilateral atau perbedaan tajam penglihatan yang signifikan antara 2 mata, diagnosis lain haruslah dipertimbangkan. Beberapa pasien mungkin melihat beberapa warna tertentu terlihat memudar, atau mengalami kehilangan warna persepsi secara umum. Diskromatopsia (buta warna) dapat menjadi gejala awal neuropati optik toksik. Untuk neuropati optik toksik, hilangnya visual dapat bersifat akut maupun kronis, tergantung pada jenis zatnya. Dipastikan apakah gejala-gejala visual timbul selama atau segera setelah paparan terhadap toksin tertentu. Pastikan apakah penyakit serupa terdapat pada rekan kerja atau orang lain yang terkena obat kimia yang sama juga E. PEMERIKSAAN FISIK Pada neuropati optik toksik, visus dapat berbeda-beda mulai dari penurunan minimal hingga tidak terdapatnya persepsi cahaya dalam kasus yang jarang. Umumnya, pasien memiliki visus 20/200 atau mungkin lebih baik. Saat pupil dinilai, jarang ditemukan defek hanya pada satu mata karena neuropati optik hampir selalu bersifat bilateral dan simetris. Pada sebagian besar pasien, kedua pupil bereaksi lambat terhadap cahaya. Penglihatan terhadap warna harus dinilai karena diskromatopsia merupakan kondisi yang akan dialami pasien dengan penyakit ini. Pada tahap awal dari neuropati optik toksik, umumnya pasien memperlihatkan saraf optik yang normal, namun edema diskus dan hiperemia dapat ditemukan dalam beberapa kasus intoksikasi, khususnya pada keracunan akut. Hilangnya berkas papilomakular dan atrofi optik dapat terjadi tergantung pada berbagai hal terutama jenis intoksikasinya. Pada toksisitas etambutol, secara klinis fundus tetap normal pada awalnya, sehingga deteksi dini cukuplah sulit. Bila obat tetap dilanjutkan, akan tibul atrofi. Pada toksisitas isoniazid, telah dilaporkan adanya edema dari saraf optik. Pasien pengguna amiodarone, biasanya ditemukan edema diskus optik bilateral bersama dengan perdarahan yang berbentuk seperti api. Namun, ditemukan juga neuropati optik bersifat unilateral. Dampak pada penglihatan terkait dengan neuropati optik dapat berupa tidak ada, ringan, atau berat. F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada neuropati optik toksik didapatkan hasil pencitraan yang normal, namun pemeriksaan tetap sering dilakukan untuk memastikan diagnosis penyebabnya. Pencitraan yang paling tepat adalah MRI dari saraf optik dan chiasma optikum dengan dan tanpa kontras gadolinium. Evaluasi lapang pandang, dengan cara lapang statik (Humphrey) atau kinetik (Goldmann), penting dalam mengevaluasi setiap pasien suspek neuropati optik toksik. Skotoma sentral atau cecocentral (angioskotoma) dengan lapangan perifer masih terjaga baik merupakan karakteristik defek lapang pandang pada neuropati optik toksik dan cukup lazim ditemukan pada pasien dengan gangguan tersebut. Namun dapat juga didapatkan gambaran bentuk lain walaupun jarang. Walaupun defek lapang pandang didapatkan bersifat simetris, pada tahap awal, defek biasanya lebih besar dibanding lapang pandang mata satunya. Pada toksisitas etambutol, skotoma sentral merupakan defek yang cukup sering ditemukan, namun pernah dilaporkan adanya defek bitemporal dan hambatan pada lapang perifer. Defek lapang pandang pada toksisitas amiodarone berupa hambatan secara umum pada lapang pandang atau berupa cecocentral scotomas (angioskotoma). Optical coherence tomography (OCT), yang sekarang cukup sering digunakan pada pasien glukoma untuk mengukur ketebalan sarung serat saraf, dapat juga digunakan untuk mengetahui perubahan pada pasien dengan neuropati optik, seperti pada neuropati akibat etambutol. Dengan OCT, dapat diketahui kuantitas serat saraf retina yang hilang dari nervus optikus pada pasien dengan neuropati tersebut sebagai tanda awal toksisitas dari obat tersebut, yang tidak mungkin dapat diketahui dengan funduskopi. Oleh karena itu, sebagai tambahan pemeriksaan, tes objektif ini bisa digunakan untuk memonitor pasien pengguna etambutol.
DAFTAR PUSTAKA
Kesler A dan Pianka P. 2003. Current Neurology and Neuroscience Reports. Volume 3, Issue 5, pp 410-414