Anda di halaman 1dari 38

1

A.PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .
(1)

Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
(1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.
Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan
secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa
dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya.
(2)


A. EPIDEMIOLOGI

Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene
/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000
2

kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa
kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29
1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6.
(1)

Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan
dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi
berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita.
(2)


Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.
(2)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2
% berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra.
Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi
segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium
3

terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh
permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut
sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang
terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid.
Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel
Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu
memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati
memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika
dan dari aorta melalui arteria hepatika.
(2,3,4)

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya
yaitu:
Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu
penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di
dalam usus.
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
4

pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.

Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B
12
,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan
B
12
juga disimpan secara normal.
Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi
akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi
cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.

Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.

Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain
5

Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,
penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon
yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia
oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron.

Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan
darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai
darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot
darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja
fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.


C. ETIOLOGI

Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit
non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica
yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang
terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis
invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain
patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati.
(2)

6


Gambar 1. Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar


Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua
stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri
menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya
perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini
tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau
enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um
yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease
yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering
atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista
sebelum keluar ke tinja.

Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan
dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam
lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti
merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
7

manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media.
Abses Hati Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme
penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki
penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan
sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.
Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam
abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan
dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau
pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
8

6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik.

D. PATOGENESIS

Abses Hepar Amebik

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang
terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal.


E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada
lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya
akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan
melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine
protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar
keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang
masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim
proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati
terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy
paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna.


9

Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral.
Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat
terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah
secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari
vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati
sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan
nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran
empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding
lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik.
(1,10)




10

E. GAMBARAN KLINIS
Abses Hepar Amebik
Gejala :
a. Demam ( 38-40
o
C)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium
c. Anoreksia
d. Vomitus
e. Berat badan menurun
f. Batuk
g. Pembengkakan perut kanan atas
h. Ikterus
i. Buang air besar berdarah
j. Kadang ditemukan riwayat diare
k. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
Abses hati piogenik
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam tinggi
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
11

d. Malaise dan kelelahan
e. Berat badan menurun
f. Berkurangnya nafsu makan
g. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

F. DIAGNOSIS

Abses hati amebik
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
12

6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-
kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi
untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun
terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis.
(1)

13

G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Differential Diagnosis Manifestasi Klinis
Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL
3
. pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-
3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,
SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang
14

didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL
3
. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal
infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar.



Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi
hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim
transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum
dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat
kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial
penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara
mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak
ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram
negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp,
Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.


2 Pemeriksaan Radiologi
1.U S G
Ultrasound mempunyai sensitifitas yang tinggi (80-90%) terhadap pemeriksaan fluid
filled lesion. Gambaran abses hepar menyerupai kista tetapi pada abses tampak mixed
echogenisitas, terlihat fluid centers,dinding yang lebih tebal, lebih jelas dan relatif regular
namun acoustic posterior enhancement lebih rendah. Struktur pada rongga abses dapat
terlihat debris, fluid level atau bayangan gas.
15


Gambar 2 : Gambaran ultrasonografi pada abses hepar, memperlihatkan lesi yang
berbatas tegas,tepi irregular dengan echo heterogen.
Pada abses hepar stadium awal bisa bersifat echogenik dengan bagian tepi yang tidak
jelas atau bahkan tidak tampak.

Gambar 3 : Gambaran ultrasonografi abses hepar pada stadium awal
Kemudian abses tersebut akan terlihat sebagai massa dengan dinding irregular dan
dengan acoustic enhancement pada bagian posterior, seringkali terlihat debris internal.
Setelah infeksi berlanjut, abses tersebut memiliki batas tegas dengan garis bentuk yang
lebih tajam, debris mungkin tampak lebih halus.
16


Gambar 4 : Gambaran ultrasonografi abses hepar pada stadium lanjut.
Pada pengobatan yang berhasil, rongga abses bisa bertahan dalam waktu lama dan dapat
dikelirukan dengan massa kistik.

Gambar 5 : Gambaran pemeriksaan ultrasonografi abses hepar pasca pengobatan
Tampilan echotexture abses hepar pada pemeriksaan ultrasonografi bervariasi yaitu :
unechoic, hiperechoic, hipoechoic atau echo heterogen. Struktur pada rongga abses dapat
terlihat debris, fluid level, atau bayangan gas .
17


Gambar 6 : Gambaran abses hepar dengan echotexture unechoic

Gambar 7 : Gambaran abses hepar dengan echotexture hipoechoic

Gambar 8 : Gambaran abses hepar dengan echotexture hiperechoic
Gambar 9 : Gambaran abses hepar yang ruptur ke dalam rongga thorax
18


Gambar 10 : Gambaran abses hepar yang ruptur ke dalam rongga abdomen
Pada pemeriksaan abses hepar dengan USG Doppler tidak tampak adanya vascularisasi
di dalam lesi.

Gambar 11 : Pemeriksaan color Doppler pada abses hepar
2.CT SCAN
Tingkat sensitivitas CT Scan dalam mendiagnosis abses hepar adalah 95-98 % Gambaran
CT Scan dari abses hepar adalah :
- Kavitas tunggal atau multiple yang hipodens (2-36HU) dan tidak homogen.
- Double target sign (dinding yang jelas dan dikelilingi daerah hipodens)
- Pada sebagian kasus (20%) dapat ditemukan gas yang terlihat sebagai gelembung
udara atau air fluid level.
Pada CT Scan abses hepar amuba didapatkan gambaran lesi hipodens yang soliter dengan
batas irregular dikelilingi oleh udem parenkimal.
19


Gambar 12 : Pemeriksaan Abses hepar dengan CT Scan + kontras menunjukkan
massa kistik yang besar dengan dinding tebal dan jelas di sekitar lesi
(double target sign)
Sebaliknya abses hepar piogenikmemberikan gambaran lesi yang multiple, konfluen dan
udem parenkimal yang kurang tegas.

Gambar 13 : Pemeriksaan abses hepar piogenik dengan CT Scan + kontras yang
menunjukkan beberapa lesi hipodens dengan dinding tipis dan jelas.
Pada CT Scan dengan pemberian kontras IV akan tampak peningkatan densitas parenkim
hepar yang normal sehingga lebih jelas perbedaan antara lesi abses dengan parenkim hati
baik pada fase arterial maupun fase portal. Bagian sentral dari abses tidak mengalami
peningkatan attenuasi kecuali bagian batas tepinya.
20


Gambar 14 : Gambaran abses hepar pada pemeriksaan CT Scan pre dan post kontra

Gambar 15 : pada pemeriksaan CT Scan + kontras , tampak bayangan gas (panah
putih) di dalam gambaran abses.

(a) (b)
Gambar16.:
a) Abses hepar amuba menunjukkan lesi hipodens yang soliter, dengan batas
yang irregular, dikelilingi oleh udem parenkimal.
21

b) Abses hepar piogenik dengan lesi multipel, konfluen dan kurang udem parenkim.
(Dikutip dari referensi 25
3. M R I
Berdasarkan efektifitas dan pertimbangan biaya maka MRI bukan pilihan utama dalam
pemeriksaan abses hepar jika dibandingkan dengan CT Scan atau USG.
Karakteristik gambaran abses hati pada pemeriksaan MRI adalah hipointesity pada T1
Weighted dan hiperintensity pada T2 Weighted.


Gambar 17 : A. Pemeriksaan MRI pada T1Wi - Terlihat lesi besar pada lobus kanan
hepar yang hipointensity dengan gambaran cincin yang
mengelilinginya memperjelas batas lesi (tanda panah)
B. Pemeriksaan MRI pada T2Wi Terlihat lesi yang hiperintensity
22

dengan Gambaran dua cincin yang mengelilinginya, bagian dalam
hipointensity sedangkan bagian luar hiperintensity.
4. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS LAINNYA
- FOTO THORAX
Abses hepar dengan pemeriksaan foto thorax dapat memberikan gambaran : peninggian
diafragma kanan dengan gerakan yang terbatas (fluroskopi), efusi pleura, atelektasis basal
paru, empiema, abses paru atau fistula hepatobronchial. Kadang-kadang dapat terlihat gas
atau cairan pada subdiafragma kanan.
Di bawah ini memperlihatkan bebarapa foto thorax pasien abses hepar yang
menunjukkan beberapa perubahan Kontur diafragma kanan :



Gambar 18 : Foto thorax P.A - Elevasi diafragma kanan
23


Gambar 19 : Foto thorax PA - Hazy contour disertai elevasi pada diafragma kanan

Gambar 20 :Foto thorax PA - Elevasi disertai flattening pada kubah diafragma Kanan

Gambar 21 : Foto thorax PA - memperlihatkan localised bulge pada diafragma kanan.
24


Gambar 22 : Foto Thorax PA - Elevasi disertai Air fluid level subdiafragmatika
kanan
Beberapa komplikasi pleuropulmonal dari abses hepar diperlihatkan oleh
roentgenograms di bawah ini :





(a) (b) (c)
Gambar 23 : a. Abses paru yang merupakan penyebaran dari abses hati
b. Gambaran hepatobronchial fistula
c. Empyema yang merupakan penyebaran dari abses hati

Gambar 24 : Foto Thorax posisi Lat.Kanan - Gambaran hepatobronchial fistula
25

- HEPATIC NUCLEAR SCANNING
Merupakan pemeriksaan yang spesifik ,dengan menggunakan Technetium-99m dapat
membedakan abses hepar amuba dengan abses hati piogenik.
Abses hepar amuba tidak mengandung lekosit sehingga akan memberikan gambaran
sebagai cold lesion disertai hot halo di sekelilingnya.
Sebaliknya abses hepar piogenik mengandung lekosit sehingga akan membentuk hot
lesion.

Gambar 25 : Hepatic nuclear scanning dengan menggunakan 99m Tc Sulphur pada
penderita abses hepar amuba
- SELECTIVE HEPATIC ARTERIOGRAPHY
Abses hati tampak sebagai lesi avascular yang mendesak dan menekan jaringan vascular
dan parenkim hati disekitarnya.(Dikutip dari referensi 19)

a b
26

Gambar 26 : a. Selective hepatic arteriogram demonstrated prominent hepatic arteries
with stretching indicating hepatic enlargement. There is displacement of
some of intra hepatic branches within the right lobe of the liver by
absceses.
b. DSA. Normal coeliac angiogram. The hepatic arteries are regular
PEMERIKSAAN DENGAN KONTRAS
a) Kontras udara
Injeksi udara pada kavitas abses hepar setelah dilakukan aspirasi pus, digunakan
untuk mengevaluasi efisiensi dari terapi.
Injeksi udara pada rongga peritoneum(pneumoperitoneum) untuk melihat adanya
perlengketan antara hepar dan diafragma.

Gambar 27 : Gambaran out line abses setelah injeksi kontras udara ke dalam kavitas
abses.

Gambar 28 : kontras udara yang diinjeksi ke dalam cavum peritoneum
(pneumoperitoneum) tampak berada di luar garis perlengketan
(adhesions) antara hepar dan diafragma
27

b) Iodised Oil
Kontras dianosol diaginol atau lipiodol diinjeksi ke dalam cavitas abses dengan
tuntunan fluroskopi.Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat ukuran dan out line
dari abses .

Gambar 29 : Kontras lipiodol diinjeksi ke dalam kavitas abses untuk memperlihatkan
out line dari batas bawah abses
c) Kontras Barium Sulfat
Pemeriksaan Colon in loop digunakan untuk melihat ukuran abses hati dan
deteksi dini adanya rupture . Gambaran colon in loop menunjukkan filling defect
pada colon ascendens dan flexura hepatica.
Pada abses hati yang terletak di lobus kiri dapat dilakukan pemeriksaan MD-Foto
dan akan terlihat filling defect pada curvature minor dari gaster

Gambar 30 : Pemeriksaan colon inloop pada abses hepar ,tampak gambaran Filling
defect pada colon ascending dan fleksura hepatica


28

C. PATOLOGI ANATOMI
Gambaran mikroskopis abses hepar piogenik menunjukkan nekrosis sentral dikelilingi
infiltrasi lekosit dan limfosit yang massif,terdapat proliferasi fibroplastik yang
membentuk jaringan ikat sebagai dindingnya.
Pada gambaran mikroskopis abses hepar amuba didapatkan bahan nekrotik dan fibrinous
di bagian sentral ,sedangkan di bagian perifer tampak sel-sel amuboid dengan sitoplasma
bergranul dan inti yang kecil. Jaringan sekitarnya edematous dengan infiltrasi limfosit
dan proliferasi ringan sel kupfer namun tidak didapatkan sel polimorfo-nuklear (PMN).
Lesi amubiasis hati tidak disertai pembentukan jaringan parut karena tidak terbentuknya
Jaringan fibrosis. Gambaran makroskopis dari specimen abses hati amuba ditemukan
bahan nekrotik seperti pasta berwarna merah kecoklatan (anchovy paste). Sedangkan
specimen abses hati piogenik menunjukkan cavitas Nekrotik yang luas dengan
kandungan pus kekuningan dan inflamasi pada dindingnya.

Gambar 31 : Spesimen abses hepar amuba yang mengandung bahan seperti pasta
berwarna kecoklatan (anchovy paste )

Gambar 32 : Spesimen abses hepar piogenik yang menunjukkan kavitas nekrotik yang
luas serta mengandung pus kekuningan dan dibatasi dinding fibrosa
(panah hitam)
29

I. PENATALAKSANAAN

Abses hati amebik
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
30

Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

Abses hati piogenik
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
31

Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang
adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang
berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-
2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.

J. KOMPLIKASI

Abses Hepar Amoeba

Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
32

drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.
Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses
dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi.
(12,13,14)


Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal,
gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses
rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.
(1)


K. PROGNOSIS

Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
33

komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium.
(2,13)


Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat
dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob,
pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara
bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah
abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi
hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain.
(1,2)

34


Gambar 33 : Gambaran komplikasi abses hepar ke organ-oran sekitarnya









35


DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
3. resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
4. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
5. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
6. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
7. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
8. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal
medicine 17
th
edition. USA. 2008. Chapter 202.
9. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2
0amuba%20(dr%20arini).pdf.
36

10. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
11. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
12. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
13. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Hal 120-122.
















37


REFRAT
ABSES HEPAR

Oleh:
Evi emilia 0718011013
Rahma Erlina 08180110
Sutan Malik M 08180110



Perceptor
dr. Rina , Sp.PD


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Hi.ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
NOVEMBER 2013

38


DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ........................................................................ 1
B. Epidemiologi ........................................................................ 2
C. Anatomi da Fisiologi Hati ................................................... 3
D. Etiologi .................................................................................. 5
E. Patogenesis ........................................................................... 8
F. Gambaran Klinis ............................................................... 10
G. Diagnosis ............................................................................. 11
H. Diagnosa Banding .............................................................. 13
I. Pemeriksaan Penunjang .................................................... 13
J. Penatalaksanaan ................................................................. 29
K. Komplikasi .......................................................................... 31
L. Prognosa .............................................................................. 32

Anda mungkin juga menyukai