Anda di halaman 1dari 16

METODOLOGI PENAFSIRAN EMANSIPATORIS

Ilmu Sosial sebagai Alat Analisis Teks Kitab Suci


1
Ole Isla Gusmian
!
Abst"ak
Dalam studi keilmuan Islam klasik, tafsir Al-Quran, selama ini
bersifat single tradition, belum dihubungkan langsung dengan
realitas sosial serta problem-problem kemanusiaan. Teks kitab suci
dihadirkan menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Dengan
demikian, yang berkuasa menyelesaikan problem-problem
kehidupan masyarakat adalah teks. roblem sosial, politik, ekonomi
dan kemanusiaan, selalu dikembalikan pada teks kitab suci.
!erangka berpikirnya bersifat deduktif yang berpangkal pada teks.
Akhirnya, tafsir cenderung bersifat teosentris dan bahkan ideologis.
Tafsir pun tercerabut dari persoalan-persoalan kemanusiaan riil yang
dihadapi umat manusia. Tuhan menjadi lebih penting untuk dibela,
sementara manusia tetap dibiarkan sengsara.
!erja metodologis tafsir sekarang memerlukan bantuan ilmu-
ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir akan
mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan
dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara
kultural dan sosiologis. Ikhtiar inilah yang dikenal dengan tafsir
emansipatoris, yakni secara konseptual Al-Quran ditempatkan
dalam ruang sosial dan segala problematika kehidupan yang terjadi,
sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesi"k dan praksis,
karena dikaitkan langsung dengan problem sosial.
Dengan metodologi tafsir yang demikian, masalah kemiskinan,
kebodohan, ketimpangan jender, politik yang menindas rakyat kecil,
korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain, merupakan
masalah yang penting untuk dipecahkan dalam konteks tafsir kitab
suci.
Pen#auluan
Tuhan me#ahyukan Al-Quran kepada $uhammad %a#. bukan
sekadar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi su&enir atau
nomenklatur. %ecara praksis, Al-Quran bagi $uhammad %a#.
merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran
dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera,
adil dan manusia#i. %ebab, tujuan dasar Islam adalah persaudaraan
uni&ersal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
!ontemplasi yang dilakukan $uhammad %a#. di gua 'ira, yang
kemudian mengantarkan dirinya memeroleh pengalaman agung(
menerima #ahyu dari Tuhan untuk kali pertama(hakikatnya
1
Makalah ini dipresentasikan dalam acara Annual Conference Kajian Islam 2006 yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama RI di Lembang and!ng" 26#$0 %o&ember 2006'
2
Dosen (!r!san )sh!l!ddin *+AI% *!rakarta'
1
merupakan re)eksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan
sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu* sistem ekonomi yang
memihak kepada golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas
sosial serta politik memusat di tangan klan-klan yang dominan.
Dengan demikian, Al-Quran saat itu terinternalisasi pada diri
$uhammad %a#. yang selalu aktif mempersiapkan diri membuka
kaca mata analisis sosial dalam merespons realitas sosial, ekonomi
dan politik yang dihadapi masyarakat saat itu. +ahyu yang turun
masa a#al kerasulannya, misalnya, sangat lekat dengan kritik etik
sosial(kritik atas orang yang mengakumulasi kekayaan dengan
tanpa batas ,Qs. Al-Tak-tsur* .-/0, larangan menghardik anak yatim
dan menelantarkan orang miskin ,Qs. Al-Dhuh-* 1-.20(ketimbang
corak kritik teologis. 'al ini menunjukkan betapa transformasi sosial
yang dilakukan $uhammad %a#., tidak lepas dari kemampuannya
dalam membaca problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat
saat itu. Dan dengan demikian, artinya bah#a Al-Quran yang
di#ahyukan kepadanya tidak lahir dari ruang hampa yang kedap
dari problem sosial, ekonomi dan politik yang melilit masyarakat
saat itu.
!ini, lima belas abad telah berlalu. Al-Quran telah terkodi"kasi
ke dalam satu mushhaf dan satu teks standar. 3alu, bagaimana kita
mesti memahaminya dalam konteks problem sosial yang kompleks
yang kita hadapi sekarang4
ertanyaan ini jelas berkaitan dengan problem metodologi
penafsiran. erlu disadari, bah#a sebagai #ahyu yang telah
mengalami tekstualisasi, Al-Quran telah menjadi teks tertutup.
$ohamed Arkoun menyebutnya sebagai corpus resmi. Artinya,
jumlah ayat dan surahnya tidak lagi bisa bertambah, pun apalagi
dikurangi. 5amun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses
penggalian makna-makna konseptual yang bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia, tentu selaiknya tidaklah pernah tertutup
dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara
hegemonik. %ebab, sebagai teks, Al-Quran secara inhern tidaklah
akan pernah bisa 6berbicara sendiri, ia mesti disuarakan dengan
6pembacaan-pembacaan secara produktif. 7Al-Qurn bayna daftayi
al-mushhaf l yanthiqu, wa innam yatakallamu bihi al-rijl,8 kata
Imam Ali. embacaan yang produktif ini tentu mengandaikan
adanya metodologi tafsir.
Ta$si" #alam Nala" Teosent"is%I#eologis
%ejauh ini dalam studi keilmuan Islam klasik, sebagai suatu
metode dalam memahami kitab suci Al-Quran, ilmu tafsir termasuk
dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat single tradition; tidak
dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. !itab-kitab
!l"m al-Qurn yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir,
secara umum bicara dalam konteks problem teks. 9elum memasuki
ranah problem konteks sosial di mana penafsir berada.
:
3alu, pada
$
Ini bisa dilihat dari berbagai kitab ,Ulm al-Qurn yang selama ini menjadi standar" misalnya
Mann-. al#Khal/l al#0athth-n" Mabhits f `Ulm al-Qurn 1t'tp'2 Mansy3r-t al#,Ashr al#4ad/ts"
2
era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan
metodologi baru dalam pembacaan teks kitab suci. %ekadar
menyebut contoh, ;i<at 'assan membangun hermeneutik Al-Quran
feminis dengan menyusun tiga prinsip interpretasi* ,.0 linguistic
accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk pada semua leksikon
klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata itu dalam
kebudayaan di mana ia dipergunakan, ,=0 criterion of philosophical
consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam Al-Quran
itu secara "loso"s konsisten dan tidak saling bertentangan, dan ,:0
ethical criterion, yakni bah#a praktik etis sesungguhnya harus
tere)eksikan dalam Al-Quran.
>
Amin al-!huli ,#. .?11 $.0 ketika berhadapan dengan teks Al-
Quran, membangun #ilayah hermeneutik teks dari unthinkable
menjadi thinkable. Ia memperlakukan teks Al-Quran sebagai kitab
sastra Arab terbesar ,#itb al-Arabiyyah al-akbar0, sehingga
analisis linguistik-"lologis teks merupakan upaya niscaya untuk
menangkap pesan moral Al-Quran. Dalam usahanya ini, al-!huli
sama sekali tidak bermaksud menyejajarkan status Al-Quran
dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia bermaksud menemukan
angan-angan sosial kebudayaan Al-Quran dan hidayah yang
terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh
5abi $uhammad %A+.
@
andangan al-!huli ini yang kemudian
dikembangkan oleh 5ashr 'amid Abu Aayd. Dia berpandangan
bah#a studi Al-Quran haruslah dikaitkan dengan studi sastra dan
studi kritis. %tudi tentang Al-Quran sebagai sebuah teks linguistik
meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Bntuk
melakukan proyek ini dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam
bidang linguistik, semiotik dan hermeneutika dalam kajiannya
tentang Al-Quran.
1
'assan 'anafC ,lahir .?:@ $.0 mengintrodusir sebuah
hermeneutik Al-Quran yang spesi"k, temporal, dan realistik.
$enurutnya, hermeneutik Al-Quran haruslah dibangun atas
pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan
kajian atas problem manusia. Interpretasi haruslah dimulai dari
realitas dan problem-problem manusia, lalu kembali kepada Al-
Quran untuk mendapatkan sebuah ja#aban teoretis. Dan ja#aban
teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori 'anafC ini
didasarkan pada konsep asbb al-nu$"l yang memberikan makna
bah#a realitas selalu mendahului #ahyu.
D
Dalam hermeneutik Al-
Quran semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta unsur
156$78 M!hammad ,Ali al#*h-b3n/" al-Tibyn f `Ulm al-Qurn 1eir!t2 9lam al#K!t!b" t'th'7'
:
Ri;;at 4assan" <=omen.s Interpretation o; Islam>" dalam 4ans +hijsen 1ed'7" Women and slam
in Muslim !ociety 1+he 4ag!e2 Ministry o; ?oreign A;;airs" 155:7" h' 116'
@
*elengkapnya lihat" ('('A' (ansen" The nter"retation of the #oran in Modern $%y"t 1Leiden2
B'('rill" 156:7' Bdisi Indonesia" &is'ursus Tafsir Al-Quran Modern( terj' 4air!ssalim dan *yari;
4idayat!llah 1Cogyakarta2 +iara =acana" 15567'
6
+entang Ab! Dayd dalam konteks st!di Al#0!r.an baca kajian Moch %!r IchEan" Meretas
#esar)anaan #ritis Al-Quran( Teori *ermeneuti'a +asr Abu ,ayd 1(akarta2 +eraj!" 200$7' !k! ini
berasal dari tesis pen!lisnya yang dit!lis dalam program *2 di )ni&ersitas Leiden %ederland dalam
bahasa Inggris yang kem!dian diindonesiakan oleh pen!lisnya sendiri'
6
4assan 4ana;/" &irast slmiyyah 1Kairo2 Maktabat al#Anjil! al#Mishriyyah" 15F17" hlm' 65'
$
triadik ,teks, penafsir dan audiens sasaran teks0 menjadi demikian
signi"kan. %uatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada
teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem sosial kemanusiaan, model pembacaan
kitab suci yang dita#arkan oleh 'assan 'ana" di atas sungguh
menarik. %ebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam sejarahnya
yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan
problem-problem sosial kemanusiaan. ada sisi lain, teks kitab suci
menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Eang berkuasa di
dalam menentukan suatu paradigma adalah teks, ukuran untuk
menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah
teks. roblem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu
dikembalikan ,sebagai bentuk penyelesaian0 kepada teks kitab suci.
!erangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada
teks dan realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. $aka, tafsir
sebagai metode pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di
dalam lingkaran 7peradaban teks8. Ia sangat lekat, meminjam
pemetakan $ohamed Abied Al-Fabiri, dengan al-aql al-bayn% atau
yang oleh $ohamed Arkoun dimasukkan ke dalam al-aql al-lh"t%&
sama halnya dengan !alam, Gikih, Galsafah dan tasa#uf, dalam
mainstream tradisi keilmuan Islam tradisional.
/

Dalam lingkaran peradaban teks tersebut, sejarah
perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya, secara umum
setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.
?
'ertama, nalar
teosentris. Eaitu penafsiran kitab suci yang dominan memusatkan
diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan
dan tentu dibela. $aka, ketika bicara mengenai masalah keadilan,
maka keadilan yang dimaksud adalah keadilan Tuhan. !etika bicara
soal kasih sayang, maka konteksnya selalu ditarik dalam pengertian
kasih sayang Tuhan. !etika bicara soal kekuasaan dan kebebasan,
maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan Tuhan.
9egitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian,
Tuhan telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung
banyak masalah, sehingga harus dibela dan diperjuangkan dalam
kehidupan umat manusia. ara mufasir dengan segala
kemampuannya tampil untuk membela-5ya. Itulah akhirnya, tafsir
menjadi bersifat sangat teosentris.
$embesarkan, mensucikan dan mengagungkan Tuhan memang
suatu kesadaran yang logis di dalam syariat agama. 5amun, bila
kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem
kemanusiaan, maka #acana tafsir hanya dikembangkan dalam
F
Mohamed Arko!n" al--i'r al-Ushl .a stihlah al-Tashl 1eir!t2 Dar al#*aGi" 20027" h' $0F'
5
Masdar ?' Mas.!di" <Rekonstr!ksi Al#0!r.an di Indonesia>" Ma'alah yang dipresentasikan
pada acara *emiloka ?KM+4I di ged!ng H)*DIKLA+ M!slimat %)" Hondok Iabe" (akarta *elatan"
200$" h' :' Hemetaan tipologi nalar ini berbeda dengan yang selama ini terjadi dalam aliran#aliran ta;sir
yang dir!m!skan berdasarkan r!ang lingk!p keilm!an' Misalnya" ada ta;sir ;iGhi" ta;sir s!;i" ta;sir
;alsa;i" ta;sir l!ghaEi" ta;sir al#,aGdi" ta;sir al#bathini" ta;sir bi al#mats!r" dan ta;sir bi al#ra.yi' Lihat"
M!hammad ,Ali al#*h-b3n/" al-Tibyn f `Ulm al-Qurn 1eir!t2 9lam al#K!t!b" t'th'78 ,Ali al#A!si"
al-Thabthabi .a Manha)uhu f Tafsrih 1+eheran2 M!,-Eanah al#Ri-sah lil,Al-Gah al#Da!lah ;/
M!ndJimah al#9,lam al#Isl-m/" 15F@7'
:
mainstream pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Quran dan
penafsirannya, akhirnya hanya dipersembahkan untuk Tuhan.
adahal, seperti kita tahu, Al-Quran merupakan petunjuk bagi
kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Quran
merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur
masyarakat yang menindas, rasis dan ahumanis, bukan sebatas
praktik-praktik ritual sebagai bentuk pengagungan Tuhan.
Tafsir era klasik sangat didominasi dengan model tafsir
teosentris ini. olemik di kalangan para teolog $uslim(seputar
masalah sifat dan perbuatan Tuhan* apakah manusia bisa melihat-
5ya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai
tangan seperti manusia, !alam Allah makhluk atau tidak, dan
seterusnya(telah me#arnai dengan kental #acana tafsir pada
masa itu. ara teolog memperdepatkan masalah-masalah di seputar
eksistensi Tuhan. $uktaHilah yang sering dianggap sebagai aliran
rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme
mereka itu hanya untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan,
bukan membela problem-problem sosial kemanusiaan yang
dihadapi umat Islam pada saat itu. %ecara praksis, tafsir saat itu
telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta
menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem
sosial kemanusiaan tersebut.
Eang kedua, nalar tafsir ideologis. Eakni pembacaan atas kitab
suci yang telah berorientasi pada problem-problem manusia, tetapi
masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak substansial dan tidak
mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang
dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas
paham, aliran dan madHhab tertentu, baik itu dalam konteks "kih,
teologi maupun tasa#uf. Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat
teosentris, tetapi yang tampak dominan adalah membela aliran dan
madHhab tertentu yang berkembang di dalam sejarah umat Islam.
5alar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan keyakinan
tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. $aka, muncullah
aliran tafsir %unni, tafsir %yiIah, tafsir $uktaHilah, begitu juga dalam
konteks hukum, muncul tafsir yang membela madHhab-madHhab
"kih.
.2

$isalnya, kalangan %yiah memaknai surah Al-;ahm-n* .?-==,
marajalbahraini yaltaqiyn, bainahum bar$akhullyabghiyn,
fabiayyilirabbikum tukad$d$ibn, yakhruju minhumal lululu wal
marjn&(ia memberikan dua lautan mengalir, yang keduanya
kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui) (ari keduanya keluar mutiara dan marjan8, dua lautan
dimaknai dengan Ali dan GatimahJ barHakh ,batas0 adalah
$uhammadJ mutiara dan marjan adalah 'asan dan 'usain.
..
Al-
10
lihat" ?ahd ibn ,Abd!rrahm-n ibn *!laim-n al#R3m" tti)ht al-Tafsr f Qarn al-/bi` `Asyr
1Riyad2 Maktabah R!syd" 20027" jilid I' !k! ini mengkaji ta;sir#ta;sir yang lahir pada abad 1: hijriah'
Dari st!di ini terlihat bahEa nalar ta;sir#ta;sir terseb!t masih terk!ngk!ng di dalam konteks aliran ;ikih
dan teologi' Herdebatan yang k!at masih memperj!angkan kes!cian" keadilan dan keag!ngan +!han'
11
M!hammad ,9bid Al#(-bir/" 0unyah al-1A2l al-1Arab3 &irsah Tahlliyyah +a2diyyah li
+u4hm al-Ma`rifah fi al-Tsa2fah al-1Arabiyyah 1eir!t2 Al#MarkaJ al#+saGa;i al#KArab/" 155$7" h'
@
Qusyairi menak#ilkan ayat yang sama sebagai berikut* Allah
menjadikan dua lautan hati, yaitu lautan khauf dan lautan raj.
$utiara dan marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia
spiritual kaum su".
.=

5alar tafsir ideologis maupun teosentris telah terjadi sangat
lama dalam sejarah umat Islam, dan melapuk di dalam sistem
kesadaran mereka. Dalam rentang #aktu yang lama tersebut, tafsir
ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan pertarungan
madHhab, baik di dalam bidang teologi, "kih, "lsafat maupun
tasa#uf. $ereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya
secara ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka.
Akhirnya, yang muncul adalah apa yang disebut 5ashr '-mid AbK
Aayd sebagai qirah al-mughridhah atau tafsir ideologis ,talw%n0.
.:
Lrang membaca Al-Quran secara tendensius, diletakkan dalam
kerangka ideologi yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa
mempunyai pijakan epistemologis yang kuat terhadap gagasan
pokok kitab suci. %ehingga, yang tampak seakan-akan ada ayat-ayat
Al-Quran yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada ayat-ayat
yang pro aliran Fabariah.
.>
Gakta ini di dalam sejarah bukan hanya
akan menampilkan Al-Quran dalam kerangka yang ambigu, tetapi
bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Quran kehilangan elan
*ital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian atas
problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
$eski kedua nalar tafsir tersebut telah berlangsung lama dalam
sejarah umat Islam, tetapi tidak memberikan sumbangan penting
terhadap proses humanisasi di tengah problem riil masyarakat
$uslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak
terkait langsung dengan proses formasi sosial. eran yang
diambilnya, bila kita merujuk pada tradisi "kih yang selama ini telah
terbentuk, sebatas pada masalah kontrak sosial antarindi&idu,
belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial, politik dan
kekuasaan yang membentuk formasi sosial.
P"oblem Kemanusiaan sebagai Lokus Ta$si"
!itab suci Al-Quran memang bersifat interpretatif. %ebagian
umat Islam sering berdebat pada perbedaan interpretasi, seperti
yang terlihat di dalam dua nalar tafsir di atas. Tapi, kita sadar bah#a
problem umat Islam sekarang bukan sekadar problem interpretasi,
tetapi lebih riil, kita sekarang sedang menghadapi suatu realitas
sosial yang menindas, timpang, dan tidak manusia#i* terjadi
ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, kemiskinan,
$06'
12
bid5" h' $1@'
1$
%ashr 4-mid Ab3 Dayd" +a2d al-#hithb al-&n 1Kairo2 *ina li al#%ashr" 155:7" h' 526'
1:
Kajian tentang teologi di dalam Islam" ter!tama teologi di era klasik" teologi M!ktaJilah"
Asy.ariah" 0adariah dan (abariah" ses!ngg!hnya tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang problem
pena;siran atas kitab s!ci yang mereka lak!kan' 4al ini penting disadari karena pertentangan
antaraliran di dalam sejarah Islam selal! mengaitkan diri pada dasar pijak yang sama" yait! teks Al#
0!r.an' Ini berarti ada nalar pena;siran dan pilihan ayat yang berbeda sehingga melahirkan paham#
paham yang beragam'
6
kebodohan, terpuruknya kaum petani, nelayan, dan buruh, serta
masalah-masalah sosial yang lain.
Bntuk menghadapi problem-problem sosial yang akut tersebut,
pertanyaan mendasar sekarang adalah bagaimana secara
konseptual tafsir mesti dibangun4 $elampaui dua nalar tafsir di atas
(yang tidak punya fungsi di dalam menghadapi problem-problem
sosial yang sedang dihadapi umat Islam(maka kita mesti
mengarahkan lokus penafsiran teks kitab suci Al-Quran, pertama-
tama ke arah problem-problem sosial kemanusiaan. 5amun, pilihan
langkah ini bukan tanpa masalah. %ebab, bergumul dengan kitab
suci, kita selalu dihadapkan dengan suatu kepercayaan umat Islam
yang sangat kuat bah#a Al-Quran seabadi Tuhan sendiri, ia ada
selama Tuhan ada. !ita pun bertanya, mana yang lebih dahulu,
"rman atau umat manusia4 9ukankah "rman di#ahyukan Tuhan
kepada umat manusia4 3alu, dari mana kita mesti memulai usaha
penafsiran Al-Quran* dari teks atau konteksnya, di tengah problem
sosial kemanusiaan sekarang ini4 Inilah pertanyaan yang pernah
dilontarkan oleh Garid Msack. Dia menghadapi dan mengalami
langsung suatu problem kemanusiaan, berupa reHim Apartheid di
Afrika %elatan dan eksklusi&isme beragama yang terjadi di tanah
kelahirannya. Dia pun kemudian bersikap tegas* memilih
hermeneutika pembebasan dan pluralisme untuk menghidupan
"rman Tuhan di bumi kelahirannya.
.@

5ah, bila lokus pembahasan kita adalah problem sosial
kemanusiaan, maka tafsir menjadi penting untuk digerakkan ke
arah praksis kehidupan sosial umat. Fadi, orientasi nalar tafsir tidak
lagi bersifat teosentris atau pun ideologis, tetapi bersifat
antroposentris. Tafsir yang memilih lokusnya pada problem
kemanusiaan dan praktik pembebasan inilah yang oleh $asdar G.
$asudi diistilahkan dengan nalar tafsir emansipatoris.
.1
ilihan
istilah emansipatoris, menurutnya tidak lepas dari sejarah teori
kritis. Dalam kritisisme ada dua elemen. 'ertama, perhatian realitas
material, yaitu sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideologi
hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan material atau
mempertanyakan hegemoni yang bertolak pada realitas empirik.
#edua, &isi struktur ,relasi-relasi0, baik relasi kekuasaan dalam dunia
produktif ,majikan-buruh0, maupun relasi hegemonik, dalam
hubungan pemberi dan penerima narasi ,ulama-umat0, maupun
relasi politik ,penguasa-rakyat0.
.D

!arena mengacu dan bertitik tolak pada realitas problem
kemanusiaan kontemporer, maka tafsir emansipatoris ini
paradigmanya bukan lagi terpaku pada pembelaan terhadap Tuhan
1@
4al ini bisa disimak dalam ?arid Bsack" Quran( 6iberation 7 8luralism3 An slamic
8ers"ecti9e of nterrele%ious !olidarity a%ainst :""ression( 1556' !k! ini telah dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia berj!d!l Membebas'an yan% Tertindas" terj' =at!ng A' !diman 1and!ng2
MiJan" 20007'
16
Masdar ?' Mas.!di" <Haradigma dan Metodologi Islam Bmansipatoris> Kata Hengantar dalam
Leri Lerdiansyah" slam $mansi"atoris Menafsir A%ama untu' 8ra'sis 8embebasan 1(akarta2 H$M"
200:7" h' M&iii'
16
bid5( h' 5:'
6
(karena memang Tuhan tak butuh pembelaan kita(tetapi yang
lebih utama adalah secara praksis membangun komitmen terhadap
berbagai problem sosial kemanusiaan. !omitmen ini di#ujudkan
dalam bentuk aksi sosial dalam rangka membangun dan
menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan.
%ehingga, gerakannya ke arah praksis pembebasan manusiaJ bukan
dari kungkungan dogmatisme maupun ideologi, tetapi dari struktur
sosial politik yang menindas, yang dengan transparan telah
memunculkan kemiskinan, kebodohan, marjinalisasi perempuan,
dan problem-problem sosial lain. Tafsir emansipatoris dengan
demikian, berikrar menghidupkan elan *ital gerakan sosial yang
bergerak pada problem-problem sosial kemanusiaan. %ecara
integral, tafsir emansipatoris tidak berhenti pada pembongkaran
teks, tetapi teks dijadikan sebagai sarana pembebasan. %ebab,
realitas dominasi tidak hanya pada #ilayah #acana, tetapi juga
dominasi bersifat riil dan materiil.
./
Dan kita sepenuhnya sadar
bah#a peran Al-Quran adalah sinar bagi sistem kehidupan yang
adil, beradab dan berperikemanusiaan.
!ita patut bangga, orang menuntut agar Al-Quran dijadikan
sebagai referensi moral dan daya gugah. 5amun, di tengah riuhnya
tuntutan tersebut, muncul ambi&alensi* yaitu intensitas ritual
keagamaan menjadi sangat romantik dan marak, namun dalam
kehidupan sehari-hari belum mampu melahirkan kesalehan diri,
apalagi kesalehan sosial. !ehidupan beragama tampak meriah
dalam rutinitasnya, namun tanpa disertai dengan keprihatinan dan
tanggung ja#ab sosial. $aka yang terlihat, agama hanya sebatas
sebagai medan penyelamatan personal, tidak sebagai keberkahan
sosial. Tuhan, dengan sifat kasih dan sayangnya, tidak ,di0hadir,kan0
dalam ruang problem sosial. adahal, agama tanpa tanggung ja#ab
sosial, kata $uslim Abdurrahman, sama artinya dengan pemujaan
belaka. %ebab, hanya dengan tanggung ja#ab sosial, agama dengan
semangat profetisnya akan terintegrasikan dengan problematika
sosial yang nyata. Di dalam problem sosial itulah seseorang justru
akan menemukan basis ketak#aannya dalam bentuk praksis
solidaritas sosial kemanusiaan.
.?
Inilah makna juga yang
dimunculkan oleh Ali Asghar Mngineer dalam rumusan teologi
pembebasannya.
=2

Me"a&ut 'a(u #engan Ilmu%ilmu Sosial
Dalam konteks terjadinya ambi&alensi tersebut, tafsir yang
secara metodologis selama ini hanya berada dalam lingkaran
1F
Masdar ?' Mas.!di" <Bksplorasi Haradigma dan Metodologi Islam Bmansipatoris>" Makalah"
2002'
15
M!slim Abd!rrahman" slam Transformatif 1(akarta2 H!staka ?irda!s" 155@7" h' 15F'
20
Dalam teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis daripada teoritisasi meta;isis yang
mencak!p hal#hal yang abstrak dan konsep#konsep yang ambig!' Hraksis yang dimaks!d adalah si;at
liberati; dan menyangk!t interaksi dialektis antara <apa yang ada> dan <apa yang sehar!snya>'
Mena;sirkan ta!hid b!kan hanya sebagai keesaan +!han" nam!n j!ga sebagai kesat!an man!sia yang
tidak akan benar#benar terE!j!d tanpa terciptanya masyarakat yang adil' *elengkapnya" lihat Asghar
Ali Bngineer" slam dan Teolo%i 8embebasan( terj' Ag!ng Hrihantoro 1Cogyakarta2 H!staka Helajar"
15557'
F
islamic studies yang kental dengan nalar teosentris ,al-aql al-
lh"t%0, maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu
sosial. $aka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks,
tetapi mesti dirajut dengan peradaban ilmu ,science0 yang oleh
Arkoun disebut sebagai al-aql al-trih% wa ilmiy) %ebab, memahami
fenomena dan problem sosial yang dihadapi manusia kontemporer
sangat terkait dengan ilmu budaya, yang mengungkap masalah
yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam kelompok
masyarakatJ dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan
interaksi kelompok di dalam masyarakat. Bntuk mengetahui dan
mengurai problem sosial kemanusiaan di tengah masyarakat, kita
bukan menggunakan analisis kerohanian yang abstrak, seperti yang
selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah dengan
menggunakan kacamata analisis sosial. 'al ini penting untuk
merumuskan pemahaman keagamaan mengenai problem
kemanusiaan, mere)eksikannya secara kritis, menteoritisasikan
dalam bentuk perubahan, dan aksi perubahan itu sendiri.
=.
%alah satu contoh adalah ketika orang menguraikan masalah
kemiskinan. !emiskinan merupakan suatu hal yang dibenci di dalam
agama Islam. Tindakan menelantarkan kaum miskin, oleh agama
Islam juga dipandang sebagai tindakan yang tidak etis. 5amun,
sebagian orang seringkali menggunakan analisis kerohanian di
dalam mengurai dan menjelaskan problem kemiskinan, yakni
dikaitkan dengan soal kualitas ketak#aan umat yang lemah.
3emahnya ketak#aan inilah yang diklaim sebagai penyebabnya.
Diagnosa seperti ini jelas membingungkan. !ita tahu bah#a
masalah kemiskinan merupakan masalah sosial dan kongkret,
namun penyebabnya tiba-tiba dengan mudah dituduhkan pada soal
ketak#aan yang abstrak. !ita tahu bah#a sekarang ini mesjid
didirikan di mana-mana(ak 'arto bahkan pernah membuat proyek
mesjid ancasila di seluruh Indonesia(, acara pengajian
diselenggarakan di berbagai tempat, acara santapan rohani bahkan
telah menjadi trend dalam dunia entertaint, tapi toh kenyataannya
kemiskinan justru semakin kuat melilit umat Islam.
5ah, kita pun akan bertanya kembali agak lebih keras* apa
sesungguhnya penyebab kemiskinan dan bagaimana cara
penyelesaiannya4 Diagnosa dengan jalan kerohanian di atas,
tampaknya memang tidak rele&an, atau bahkan memang keliru.
%ebab, kemiskinan lebih merupakan problem sosial. %ebagai
problem sosial, maka masalah kemiskinan akan terlihat jelas faktor-
faktor penyebabnya, bila dilihat dengan analisis sosial. ada
kenyataannya, penyebab kemiskinan bukan hanya soal ketak#aan(
yang abstrak tersebut, tetapi menyangkut struktur relasi sosial di
masyarakat yang timpang. $aka, di sini akan terlihat bah#a
kemiskinan terjadi bisa disebabkan karena adanya monopoli
ekonomi yang dilakukan oleh kalangan konglomerat, kebijakan
21
Masdar ?' Mas.!di" <Haradigma dan Metodologi Islam Bmansipatoris> Hengantar dalam Leri
Lerdiansyah" slam $mansi"atoris Menafsir A%ama untu' 8ra'sis 8embebasan" h' M&ii'
5
ekonomi yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memihak kepada
kepentingan masyarakat umum, dan atau bisa juga tidak adanya
sikap dinamis dan progresif di kalangan umat itu sendiri.
Dalam konteks ini, maka penyelesaian masalah kemiskinan,
tentu tidak cukup dengan pendekatan kerohanian yang abstrak(
le#at adagium-adagium yang tampak religius, seperti sabar,
ta#akal, lapangdada menerima takdir Tuhan, dan seterusnya.
enyelesaian semacam ini jelas hanya akan menyesatkan dan
mengasingkan agama serta kitab sucinya dari problem riil yang
dihadapi umat manusia. Agama hanya jadi opium bagi pemeluknya.
5ah, ilmu-ilmu sosial dalam tafsir emansipatoris dapat membantu
kita di dalam mendiagnosa dan memahami problem sosial
kemanusiaan yang dihadapi umat manusia tersebut.
Dalam contoh kasus kemiskinan di atas, kita bisa mengurainya
dari kasus perkasus. 9ila kemiskinan disebabkan oleh adanya
monopoli di kalangan kongklomerat dengan menguasai sentra-
sentra ekonomi, maka penyelesaiannya adalah perlu adanya sistem
distribusi ekonomi yang adil, baik dalam bentuk pembayaran pajak
maupun membangun jaringan kerja antara industri kecil dan
kalangan konglomerat, sehingga kekayaan tidak akan hanya
berputar di kalangan konglomerat saja. Eang kedua, bila kemiskinan
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak adil, yang
justru berpihak pada pengusaha besar, maka dalam faktor ini harus
ada kritik struktural terhadap pemerintah di dalam pembuatan
kebijakan-kebijakannya terkait dengan masalah-masalah ekonomi.
Dan yang ketiga, bila masalah kemiskinan terjadi disebabkan oleh
tidak produktifnya masyarakat di dalam menjalani hidup, maka
perlu adanya penyadaran tentang perlunya semangat hidup yang
dinamis dan progresif dengan berbagai pelatihan dan
pengembangan skill.
Analisis semacam ini bisa terjadi tidak lepas dari bantuan ilmu-
ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir kitab
suci Al-Quran akan mampu menemukan dan mengurai problem-
problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian
kerohanian, tetapi dengan analisis sosial dan kultural. $ere)eksikan
problem-problem tersebut secara sosial, moral, dan teologis, lalu
menteoritisasikan perubahan sebagai landasan aksi pembebasan.
Ta$si" )e"si$at S*esi+k #an P"aksis
$aka, tafsir emansipatoris, secara konseptual menempatkan Al-
Quran dalam ruang sosial di mana penafsir berada, dengan segala
problematika kehidupannya, sehingga sifatnya tidak lagi terkait
dengan sosio-kultural kearaban dan abstrak(yang sebagiannya
secara tradisional terekam di dalam asbb al-nu$"l(tetapi bersifat
spesi"k dan praksis yang dikaitkan langsung dengan problem-
problem sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat, pada saat
di mana proses tafsir tersebut dilakukan.
==
!asus yang dialami oleh
22
Lo!is renner 1ed'7" Muslim dentity and !ocial Chan%e in !ub-!aharian Africa" 155$" h' @#
67'
10
Garid Msack yang kemudian dia membangun hermeneutika
pembebasan dan pluralisme, dan Amina +adud $uhsin yang
membangun hermeneutika kesetaraan jender, adalah dua contoh
yang baik dalam masalah tersebut.
Dalam kerangka ini, kita harus mampu mengubah pandangan
7normatif8 atas teks kitab suci Al-Quran menjadi rumusan 7teoretis8
,teori ilmu0.
=:
$isalnya, dalam memahami ayat-ayat tentang orang
fakir miskin, secara tekstual seringkali kita hanya melihatnya
sebagai kelompok yang harus dikasihani dan berhak menerima
Hakat-sedekah ,Qs. Al-Taubah N?O* 120 dan sebagai peminta-minta
yang tidak boleh dihardik ,Qs. Al-Dhuha N?:O* .20. Dengan
pendekatan teoretis ,meminjam teori-teori sosial0, sebagaimana
dicontohkan di atas, kita akan mengetahui kalangan fakir miskin
secara lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan kultural.
enafsiran Al-Quran, di sini lalu pertama-tama bersifat
e+egesis, yaitu mengeluarkan #acana dari Al-Quran ,reading out0
dan kemudian eisegesis, yaitu memasukkan #acana 6asing ke
dalam Al-Quran ,reading into0.
=>
$engeluarkan #acana dari Al-
Quran maksudnya adalah merumuskan masalah-masalah moral
sosial di dalam Al-Quran. $isalnya, soal kemiskinan, kebodohan,
jender, rasialisme, diungkap dari dalam teks kitab suci Al-Quran.
!emudian, secara teoretik konseptual, problem-problem tersebut
dire)eksikan secara kritis dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu
sosial. Dengan cara inilah, problem-problem sosial kemanusiaan
tersebut bisa diurai secara komprehensif, praksis dan riil. Dan di
sinilah kita akan menemukan elan pembebasan Al-Quran.
!etika kita mendengarkan suara adHan yang dikumandangkan,
sebagai norma religius, kita bukan sekadar perlu mendengarkannya.
Tetapi, juga harus mere)eksikannya ke dalam norma sosial.
anggilan suci yang mengagungkan Tuhan tersebut, secara implisit
dalam konteks norma sosial dan historis, menurut ;aof !houry,
berarti* berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamakP Tariklah
pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaanP %italah
kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan
dengan cara mencuriP %ediakanlah makanan untuk rakyat banyakP
9ukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum
#anitaQ.berikan kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri
dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar.
=@
Da"i P"aksis ke Re,eksi
roses tersebut menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat
top-down, yang berangkat dari re)eksi ,teks0 ke praksis ,konteks0,
tetapi sebaliknya bersifat bottom up, yaitu dari ba#ah ke atas* dari
praksis ,konteks0 menuju re)eksi ,teks0. Dengan pandangan yang
2$
K!ntoEijoyo" 8aradi%ma slam 1and!ng2 MiJan" 15517" h' 2F:'
2:
?arid Bsack" <Iontemporary Religio!s +ho!ght in *o!th A;rica and +he Bmergence o;
0!r.anic 4eremene!tical %otions>" dalam CM/5( Lol' 2" no' 2" Desember 1551'
2@
Rai; Kho!ry" al-Thahrah al-Qa.mi al-`Arab( +ahnu *ummatuh .a Mu'ammiluh( dik!tip
oleh Asghar Ali Bngineer" dalam slam dan Teolo%i 8embebasan( h' @'
11
demikian, pengertian 7konteks8 teks kitab suci tidak hanya dilihat
dalam konteks struktur teks ,siyq al-kalm0, juga tidak hanya
dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan ,siyq
al-tan$%l0. 5amun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang
sosial budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya,
sejarah dan sosialnya sendiri. %ebab, pada saat itu, penafsir tidak
hanya berhadapan dengan teks kitab suci, tetapi dia juga(dan ini
yang lebih penting(berhadapan dengan realitas sosial, sebagai teks
sosial yang selalu hidup dan berkembang.
=1

Dalam kerangka ini, pemahaman atas konsep asbb al-nu$"l
bukan hanya dalam pengertian tradisional yang selama ini dipahami
(yaitu sebab turunnya ayat Al-Quran yang diri#ayatkan para
sahabat dari 5abi %a#(tetapi secara konseptual juga dalam
pengertian problem dan realitas kultural, sosial, ekonomi dan politik
pada saat ayat diturunkan. Dengan cara yang demikian ini, kita bisa
mengurai problem kultural, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi
di masyarakat Arab saat Al-Quran diturunkan dengan analisis ilmu-
ilmu sosial. 3alu, dikaitkan dengan problem-problem sosial, ekonomi
dan politik yang terjadi di tengah kehidupan penafsir saat ini. Di
sinilah, secara komprehensif kita akan merumuskan mengenai
problem kemanusiaan dan cara menyelesaikannya.
Dengan demikian, hal yang mendasar dalam tafsir
emansipatoris adalah mengenai tujuan dari penafsiran. Di sini,
sebagaimana dalam hermeneutika pembebasan 'assan 'ana", Al-
Quran dipahami secara spesi"k, tematik, dan temporal. enafsiran
Al-Quran haruslah berdasarkan atas pengalaman hidup di mana
penafsir hidup dan dimulai dari kajian atas problem-problem
manusia yang muncul pada saat itu. %ebab, pada dasarnya, realitas
mendahului #ahyu, sebagaimana yang kita lihat dalam konsep
asbb al-nu$"l) $aka, interpretasi haruslah bertolak dari realitas,
lalu kembali kepada #ahyu yang secara teoretis sebagai sinar
pembebasan, dan kemudian harus berujung pada tindakan praksis.
=D
$aka, dalam kasus ini kita harus mengubah pemahaman atas
tema-tema pokok dalam Al-Quran yang 7a-historis8 menjadi
7historis8. $isalnya, selama ini, kisah-kisah dalam Al-Quran
dipahami secara a-historis. adahal, maksud Al-Quran mengisahkan
cerita tersebut agar kita berpikir historis. $isalnya, kisah tentang
penindasan Giraun terhadap bangsa Israel, hanya dipahami pada
konteks Haman itu. adahal, kaum yang tertindas ada di sepanjang
Haman, termasuk saat ini, saat kita hidup. enyembahan berhala
yang dilakukan oleh kaum 5abi Ibrahim, bukan hanya terjadi pada
saat itu, tetapi juga terjadi di sepanjang Haman. 9ahkan, berhala-
berhala pada era sekarang semakin berkembangJ misalnya berhala
itu dalam bentuk kekuasaan, kapital, pemikiran dan yang lain.
%etelah itu, dalam konteks memahami dasar-dasar tindakan
moral juga mesti diubah* dari cara berpikir 7subjektif8 ke arah cara
26
Islah A!smian" #ha4anah Tafsir ndonesia( dari *ermeneuti'a hin%%a deolo%i 1(akarta2
+eraj!" 200$7" h' 2:F#5'
26
4assan 4ana;i" &irsah slmiyyah 1Kairo2 Maktabah Al#Anjil! al#Mishriyyah" 15F17" h' 65'
12
berpikir 7objektif8. $isalnya, konsep moral tentang tujuan
menunaikan Hakat, Al-Quran menegaskan sebagai 7pembersihan8
harta dan ji#a kita ,Qs. Al-Taubah N?O* .2:0, atau dalam konteks
ancaman. $isalnya adalah sebuah hadis yang diri#ayatkan oleh
Imam $uslim, 7, min shahibi kan$in la yuadd% $aktahu ill uhmia
alaihi f% nri jahannama, fayujalu shafiha fatukw bih janbahu
wa jabhatuhu(seseorang yang menyimpan hartanya, tidak
dikeluarkan $akatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam) -aginya
akan dibuatkan setrika dari api, lalu dipakai menyetrika lambung
dan dahinya.8
=/
Felas, perintah itu arahnya adalah sisi subjektif.
Tetapi, sisi objektif tujuan penunaian Hakat adalah demi
kesejahteraan sosial. Dari arah objektif inilah lalu bisa kita
kembangkan pada kasus-kasus yang lain, seperti larangan
menumpuk kekayaan, menghardik orang miskin dan menyia-
nyiakan anak yatim.
Terkait dengan ini, formulasi #ahyu yang bersifat 7umum8
mesti dipahami dalam konteks 7spesi"k8 dan 7empiris8. $isalnya,
Al-Quran mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk
kekayaan secara pribadi sehingga kekayaan berputar hanya di
kalangan kaum kaya. !ita perlu mengartikan pernyataan #ahyu
tersebut pada pengertiannya yang spesi"k dan empiris. Ini berarti
kita mesti menerjemahkan pernyataan itu ke dalam realitas
sekarang, yaitu adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan
ekonomi dan politikJ adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan
tertentu di lingkungan elite yang berkuasa. Dan juga memahami
#ahyu yang bersifat 7indi&idual8 ini ke arah yang 7struktural8.
Dalam contoh kasus di atas, kekayaan yang hanya memusat pada
satu orang atau kelompok, sesungguhnya bukanlah semata-mata
masalah indi&idual tetapi juga menyangkut masalah struktural,
yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak membela kepentingan rakyat
kecil.
Penutu*
Dari uraian di atas, terlihat bah#a tafsir emansipatoris
memperlakukan teks kitab suci dalam ruang re)eksi kritis sekaligus
diaplikasikan dalam ranah praksis, bukan hanya secara moral tetapi
juga struktural. Di sini, teks kitab suci digunakan sebagai alat untuk
mempertajam kesadaran nurani dalam melihat, mempersepsikan
dan sekaligus memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan.
rinsip interpretasi atas teks kitab suci, di sini secara linguistik
haruslah bersifat komprehensif dan "loso"s. Dan dalam konteks
praksis, teks kitab suci secara etik pembebasan harus terre)eksikan
dalam kehidupan umat manusia.
Rara memahami #ahyu sebagaimana diuraikan di atas akan
mampu mengungkap signi"kansi yang implisit di dalam teks Al-
Quran, yang tak terkatakan di dalam struktur #acana teks. !ita
2F
!hahh Muslim" Kit-b Dak-h" hadis nomor 16:F" diriEayatkan dari Ab! 4!rairah'
ST
U
V
W
TX Y
X
ZX S[
U
\
]
^ W_
U
`
U
ab
c
d U e
f
g
f
h US_
U
i
U
`
j
k
X
l
U
mX Z
W
n
f
g X o
W
p
U
q U lr X s
X
St U u
U
^ jv
U
w
U
xf y
U
z
W
o
f
r U {
U
| XS}U[
U
~
U

W
o
f
r U Sv
U

f
S
U
^ Ww
U
g
f
^ fo
X
w
U

U
N .

1$
akan mampu memunculkan tema-tema sosial yang selama ini
menjadi problem sosial masyarakat dan belum diangkat dengan
tegas di dalam #acana tafsir secara komprehensif dengan basis
ilmu sosial. $aka, tafsir emansipatoris bukan hanya mengurai
masalah ketidakadilan, deskriminasi jender, pembebasan umat yang
tertindas, baik secara ekonomi, politik, maupun ras. Tetapi, tafsir
emansipatoris juga akan membuka pintu dalam pembahasan
masalah korupsi, suap, money politics, hibah kepada pejabat, kolusi,
nepotisme, perburuhan, petani, nelayan dan masalah-masalah
sosial lainnya, sekaligus bagaimana gerakan penyelesaiannya.
%emuanya ini tentu membutuhkan kesadaran kita, bah#a teks
kitab suci bukanlah satu-satunya alat dalam mencerahkan
kemanusiaan, tetapi ia juga membutuhkan ilmu-ilmu lain di dalam
mengurai problem kemanusiaan yang terus berkembang. %ebab,
mesti disadari bah#a teks apa pun, termasuk teks Al-Quran, tidak
dapat membangun dan menegakkan peradaban manusia secara
sendirian. Eang membangun dan menegakkan peradaban manusia
sesungguhnya adalah proses dialektika manusia dengan realitas di
satu pihak, dan dengan Al-Quran di pihak yang lain.
9ertemu Tuhan tidak harus di tempat-tempat suci atau
menghitung tasbih sambil melafalkan nama-nama-5ya, tetapi juga
perlu dilakukan di ruang-ruang sosial* menolong orang yang
tertindas, mengentaskan orang miskin dari jurang kemiskinan,
membebaskan masyarakat dan kebodohan. !arena memang
demikian inilah iman dipraksiskan.NO
1:
DAGTA; B%TA!A
Abdurrahman, $uslim. .slam /ransformatif, Fakarta* ustaka Girdaus,
.??@.
AbK Aayd, 5ashr '-mid. 0aqd al-#hithb al-(%n%, !airo* %ina li al-
5ashr, .??>.
Al-Ausi, IAli. al-/habthabi wa ,anhajuhu f% /afs%rih, Teheran*
$uI-#anah al-;i-sah lilIAl-ah al-Daulah fC $undHimah al-
Ilam al-Isl-mC, .?/@.
Al-F-birC, $uhammad Ibid. -unyah al-1Aql al-1Arab%2 (irsah
/ahl%liyyah 0aqdiyyah li 0u$h"m al-,arifah 3 al-/saqfah
al-1Arabiyyah, 9eirut* Al-$arkaH al-Tsaa" al-6ArabC, .??:.
Al-Qathth-n, $ann- al-!halCl. ,abhits f% !l"m al-Qurn, t.tp.*
$ansyKr-t al-IAshr al-'adCts, .?D:.
Al-;Km, Gahd ibn IAbdurrahm-n ibn %ulaim-n. .ttijht al-/afs%r f%
Qarn al-4bi Asyr, ;iyad* $aktabah ;usyd, =22=.
Al-%h-bKnC, $uhammad IAli. al-/ibyn f% !l"m al-Qurn, 9eirut*
lam al-!utub, t.th.
Arkoun, $ohamed. al-5ikr al-!sh"l% wa .stihlah al-/ash%l, 9eirut* Dar
al-%ai, =22=.
9renner, 3ouis ,ed.0, ,uslim .dentity and 6ocial 7hange in 6ub-
6aharian Africa, .??:.
Mngineer, Asghar Ali. .slam dan /eologi 'embebasan, terj. Agung
rihantoro, Eogyakarta* ustaka elajar, .???.
Msack, Garid. 7Rontemporary ;eligious Thought in %outh Africa and
The Mmergence of Quranic 'eremeneutical 5otions8, dalam
.7,4), ol. =, no. =, Desember .??..
Msack, Garid. Quran, 8iberation 9 'luralism2 An .slamic 'erspecti*e
of .nterrelegious 6olidarity against :ppression, .??D.
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berjudul
,embebaskan yang /ertindas, terj. +atung A. 9udiman,
9andung* $iHan, =222.
usmian, Islah. #ha$anah /afsir .ndonesia, dari ;ermeneutika
hingga .deologi, Fakarta* Teraju, =22:.
'anafC, 'assan. (irast .slmiyyah, !airo* $aktabat al-Anjilu al-
$ishriyyah, .?/..
'assan, ;i<at. 7+omens Interpretation of Islam8, dalam 'ans
Thijsen ,ed.0, <omen and .slam in ,uslim 6ociety) The 'ague*
$inistry of Goreign A<airs, .??>.
Ich#an, $och 5ur. ,eretas #esarjanaan #ritis Al-Quran, /eori
;ermeneutika 0asr Abu =ayd, Fakarta* Teraju, =22:.
Fansen, F.F.. /he .nterpretation of the #oran in ,odern >gypt)
3eiden* M.F.9rill, .?D>. (iskursus /afsir Al-Quran ,odern, terj.
'airussalim dan %yarif 'idayatullah, Eogyakarta* Tiara +acana,
.??D.
!unto#ijoyo. 'aradigma .slam, 9andung* $iHan, .??..
1@
$asudi, $asdar G. 7Mksplorasi aradigma dan $etodologi Islam
Mmansipatoris8, $akalah, =22=.
$asudi, $asdar G. 7aradigma dan $etodologi Islam Mmansipatoris8
!ata engantar dalam eri erdiansyah, .slam >mansipatoris
,enafsir Agama untuk 'raksis 'embebasan, Fakarta* :$, =22>.
$asudi, $asdar G. 7;ekonstruksi Al-Quran di Indonesia8, ,akalah
yang dipresentasikan pada acara %emiloka G!$T'I di gedung
B%DI!3AT $uslimat 5B, ondok Rabe, Fakarta %elatan, =22:.
16

Anda mungkin juga menyukai