BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem
imun (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit
collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada berbagai
populasi berbeda beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan
mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan
insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di
Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di
Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di
Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada
Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000
populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya
selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat
setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang,
penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang
meninggal dunia. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat
pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan
masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta
dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE
yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah
tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal
mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi klinik renal dan
central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita
dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Saat
ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana
pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%.
Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang
berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan
perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada
awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian
imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling
banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan
kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan
penyebab mortalitas.
The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 44 tahun
yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct
miocard dari pada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease
(CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi,
kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan
penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian
menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari
11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker
(6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi
klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul
pada masing-masing individu.
Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :
- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga dan
masyarakat.
- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan
masyarakat.
- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk
individu, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen
keperawatan yang terdiri dari : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
secara konsisten berupa :
a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDM
b. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M tim,
M keperawatan primer ( Gillies, 1989 ).
c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.
d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.
- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE supaya
tidak terulang dan mencegah faktor Genetik.
Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE (
sistemik Lupus Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE )
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus
erythematosus ( SLE )
c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus
erythematosus ( SLE )
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus
erythematosus ( SLE )
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus(
SLE )
C. Ruang lingkup
Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu asuhan
keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
D. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan
pembahasan atau studi pustaka.
2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan
sistemics lupus erythematosus ( SLE ).
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN ( Latar belakang, Tujuan penulisan, Ruang lingkup, Metode
penulisan, Sistematika penulisan )
BAB II TINJAUAN TEORITIS ( Definisi, Etiologi, Fatopisiologi, tanda dan gejala,
komplikasi, pemeriksaan diagnostik, Pengobatan, Askep )
BAB III PENUTUP ( Kesimpulan, Saran )
Daftar fustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem
imun (Albar, 2003).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit
collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
B. Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.
Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang
menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin
(Albar, 2003) .
2. Faktor lingkungan
Pada Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di
daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente,
2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun
dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
4. Pathway SLE
Gangguan Respon Imun
Stimulasi Antigen
( Bahan Kimia, DNA Bakteri, Antigen Virus, Fosfolipid, Protein, DNA dan RNA )
Aktivasi Sel T
Memproduksi Sitokin
Sel B Terangsang
Produksi Autoantibodi Yang patogen
Peningkatan Sel Antibodi Hipergamaglobulinemia
Pembentukan Kompleks Imun
5. Tanda dan gejala
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
6. Komplikasi
a. Gagal Ginjal
b. Kerusakan Jaringan Otak
c. Infeksi Sekunder
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka terdapat
anemia, leukopenia,trombositopenia.
b. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat
dari pada normal.
c. (biopsi) untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
d. Urinalysis pengukuran urin kadar protein dan sel darah merah
e. X-ray dada
f. Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE + sehingga uji tersebut sangat sensitif.
8. Pengobatan
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, musPemeriksaan kuloskeletal dan sistemik ringan
SLE
3. Preparat imunosupresan ( pengkelat dan analog purion ) untuk fungsi imun.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin,
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri
sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan
teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
- Meningkatkan pemakaian alat bantu
- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres
hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
h. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan
keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses
yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan
evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada
kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada klien dengan kasus
SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :
a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b. Aktivitas sehari hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari harinya.
d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh
adapun tanda dan gejalanya seperti sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistem
kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan, sistem saraf adapun untuk
pengobatannya seperti
- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
- Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
B. Saran
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan
khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang
luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
http.www.google/sistemics lupus erythematosus.com
MD. Daniel J.Wallace.THE LUPUS BOOK.B first.2007 Jogjakarta