Anda di halaman 1dari 70

1

dari redaksi




EVALUASI DIRI ADALAH CIRI KEMATANGAN



Tidak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi adalah yang tidak abadi. Segala
sesuatu akan berubah, yang tidak berubah adalah perubahan. Terkadang perubahan
adalah hal yang tidak menyenangkan. Apalagi kita berpikir dan merasa keadaan kita sangat
baik. Pepatah mengatakan penemuan terbesar dalam hidup adalah menemukan hal yang
luar biasa dari keadaan yang biasa atau mungkin kita bisa mengatakan the enemy of a great
life is a good life. Mudah sekali untuk meneruskan apa yang sudah berjalan dengan rutinitas
yang ada. Mengapa harus membebani diri dengan perubahan?
Perubahan adalah esensi dari pemastian akan sebuah kualitas, yang lebih dikenal
dengan penjaminan mutu (Quality Assurance). Siapa yang berkepentingan dalam
penjaminan mutu di perguruan tinggi? Walaupun pada hakikatnya kita adalah institusi yang
memiliki otonomi, tetapi kita bertanggung jawab terhadap semua stakeholders, pemerintah,
mahasiswa/keluarganya, asosiasi profesi, pemberi dana, dunia usaha dan industri, dan staf.
Setiap usaha penjaminan mutu dimulai dengan evaluasi diri. Tujuan evaluasi diri
adalah untuk mendapatkan profil diri yang komprehensif untuk perencanaan dan perbaikan
diri yang berkesinambungan, jaminan mutu internal lembaga, dan persiapan untuk evaluasi
eksternal (akreditasi). Untuk itu semua diperlukan kematangan.
Mari kita meningkatkan daya saing nasional melalui peningkatan mutu.





Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 ii
2

3
petunjuk untuk penulis


Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk
seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original yang relevan dengan bidang kesehatan,
kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus,
penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah dan surat kepada redaksi.
1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun
terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang,
masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan
sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular,
atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil
penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang
apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil
penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di
kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan
perlu disebarluaskan.
5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini
sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak
menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus
memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-
review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk
diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada
manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent).

Penulisan Makalah
Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas
A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan
dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh
makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan
gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus
disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis.

Halaman Judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi
penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan
jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati
sampai 4 orang.

Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan
penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan
pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah.

Teks Makalah
Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil
(Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 iv
4

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak
baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan
panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat
dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf.

Tabel
Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel
diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul.
Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah.

Gambar
Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto.
Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254
mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda
penunjuk bagian atas gambar. Tandai juga bagian depan. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat
dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor
urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah.

Metode Statistik
Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian Metode. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci
berikut rujukan metode tersebut.

Ucapan Terimakasih
Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan
teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi.

Rujukan
Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan
teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang
penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada
tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform
Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical
Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus.
Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum
diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished
observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan
sebagai rujukan dengan perkataan in press. Contoh:

Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996.

Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak
mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis
dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.



Makalah dikirimkan pada:
Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara
Jl. dr. Mansur No. 5
Medan 20155
Indonesia


v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006
5
DAFTAR ISI





Susunan Redaksi

i
Dari Redaksi

ii
Petunjuk untuk Penulis

iv
Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI
1. Terapi Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut dengan Iridoplasti dan Iridotomi Laser
Edi S. Affandi, Indriani Pudjiastuti

135
2. Data Concerning Primary Angle Closure Glaucoma in Indonesia
Edi S. Affandi

142
3. Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital Medan
Selvi Nafianti

149
4. A Comparative Study on The Physical Fitness Level Using The Harvard, Sharkey, and
Kash Step Test
Gusbakti Rusip

153
5. Translokasi Kuman pada Obstruksi Usus Mekanik Sederhana
di RSUP H. Adam Malik/RSUD Dr. Pirngadi Medan
Bachtiar Surya

157
6. Maternal and Fetal Complications of Cesarean Deliveries
Daulat H. Sibuea

165

TINJAUAN PUSTAKA
7. The Use of Versapoint in Operative Hysteroscopy
Budi R. Hadibroto

170
8. Anatomi Retroperitoneal Laparoskopik
Budi R. Hadibroto

175
9. Disfungsi Seksual pada Penderita Diabetes Mellitus Pria
Ridwan Harahap

180
10. Pedoman Peri-operatif Renal Assessment
Usul M. Sinaga

184

LAPORAN KASUS
11. Kematian Maternal pada Aborsi Berisiko
Daulat H. Sibuea

190
12. Perubahan Kualitas Hidup Penderita Pembesaran Prostat Jinak Pasca-prostatektomi
Terbuka
Usul M. Sinaga, Harry B., Aznan Lelo

193


Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 39 No. 3 September 2006
ISSN: 0216-325X
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 vi
6

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 135



Terapi Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut
dengan Iridoplasti dan Iridotomi Laser

Edi S. Affandi, Indriani Pudjiastuti
Departemen Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta


Abstrak: Glaukoma primer sudut tertutup akut merupakan kasus kedaruratan medis yang
penatalaksanaannya mengharuskan melakukan tindakan iridotomi (iridektomi) sebagai terapi
definitifnya, baik dengan sinar laser atau bedah insisional. Tidak jarang iridotomi laser sulit
dilakukan karena sulitnya focusing laser oleh adanya edema kornea. Dilaporkan kasus glaukoma
primer sudut tertutup akut yang dilakukan tindakan iridoplasti laser lebih dahulu sehingga
membantu menurunkan tekanan intra okuler dan menjadikan kornea lebih jernih sebelum
melakukan iridotomi laser.


Abstract: Acute primary angle closure glaucoma is a medical emergency and the management
prescribed iridotomy (iridectomy) as definitive treatment, whether by incisional or laser surgery.
It is not uncommon that laser iridectomy is hard to perform because the difficulty to focus the
laser ray due to corneal edema. Case of acute primary angle closure glaucoma treated with laser
iridoplasty first to help reducing intra ocular pressure and make clearer cornea before performing
laser iridotomy is reported.



PENDAHULUAN
Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut
adalah glaukoma primer akibat sudut bilik
mata depan tertutup secara tiba-tiba oleh
jaringan iris sehingga tekanan intraokular
mendadak meningkat sangat tinggi.
1-3
Gejala
yang timbul adalah rasa sakit yang hebat
disertai dengan penglihatan kabur, mata
merah, kornea keruh, mual, dan muntah.
1-4

Penatalaksanaan glaukoma primer sudut
tertutup akut pada dasarnya dapat dibagi
dalam 4 tahap, yaitu segera menghentikan
serangan akut dengan obat-obatan, melindungi
mata sebelahnya dari kemungkinan terkena
serangan akut, melakukan iridektomi perifer
pada kedua mata sebagai terapi definitif serta
penatalaksanaan sekuele jangka panjang.
1

Obat-obatan yang biasa dipakai adalah
golongan hyperosmotic agent, penghambat
karbonik anhidrase, antagonis adregernik,
adrenergik dan tetes mata para
simpatomimetik.
1-2
Kadang-kadang dengan
obat-obatan tekanan intraokuler tidak dapat
diturunkan, sehingga tindakan iridektomi
perifer sebagai terapi definitif sulit dilakukan
akibat epitel kornea yang udema. Pada
keadaan tersebut, salah satu alternatif
menurunkan tekanan intraokuler adalah
dengan melakukan iridoplasti (peripheral
iridoplasy, gonioplasty)
1,3-4
sebelum iridektomi
laser dapat dilakukan.
Serangan akut pada glaukoma primer
sudut tertutup harus segera diatasi agar
kerusakan trabekulum, saraf optik, dan lensa
dapat diminimalkan serta pembentukan
sinekhia posterior dan sinekhia perifer anterior
(PAS) dapat dicegah. Jika tekanan intraokuler
sudah dapat diturunkan, maka iridektomi
perifer sebagai terapi definitif harus segera
dikerjakan untuk mencegah terjadinya
serangan akut yang berulang.
Pada keadaan di mana sudah terbentuk
PAS yang luas, iridektomi perifer saja
mungkin tidak cukup untuk mengontrol
tekanan intraokular dan operasi filtrasi
KARANGAN ASLI
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 136
mungkin diperlukan.
1,4
Dalam penatalaksanaan
glaukoma primer sudut tertutup akut sering
timbul masalah dalam memutuskan tindakan
bedah inisial apa yang akan diambil, apakah
cukup iridektomi perifer saja atau
memerlukan operasi filtrasi, terutama pada
kasus-kasus dengan serangan akut yang cukup
lama.
Pada makalah ini akan dipresentasikan
sebuah kasus glaukoma primer sudut tertutup
akut dengan waktu serangan yang sudah
cukup lama, kemudian dilakukan iridoplasti
dan iridotomi perifer laser. Tekanan
intraokulernya dapat terkontrol dalam 10
bulan pengamatan, tanpa memerlukan
tindakan operasi filtrasi.
Tujuan dari presentase ini adalah
mengemukakan iridoplasti sebagai tindakan
pertama dalam menurunkan tekanan intraokuler
dan menjelaskan penatalaksanaan glaukoma
primer sudut tertutup akut yang dianjurkan
saat ini, berkaitan dengan masalah di atas.

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 55 tahun dirujuk
ke Poliklinik Subbagian Glaukoma RSCM
oleh dokter spesialis mata (SpM) RS luar
dengan glaukoma akut mata kirinya. Pasien
mengeluh mata kirinya sakit, merah, dan
pandangan mata kabur disertai dengan mual
dan muntah. Sejak 20 hari yang lalu pasien
berobat ke SpM dengan hasil pemeriksaan
visus mata kanan 6/10, TIO 4/7,5, mata kiri
visus 3/60 dan TIO 2/10, mata merah.
Diberikan obat-obatan pilokarpin 2% 6xOS,
timolol 0,25% 2xOS, steroid topikal 6xOS,
asetazolamid 3x250mg dan KCL 3x1 tablet.
Empat hari kemudian pasien kontrol dan
didapatkan perbaikan klinis di mana mata
kanan visus 6/6 dan TIO 8/7,5 sedangkan
mata kiri visus 6/12 dan TIO 12/7,5. Sepuluh
hari yang lalu pasien kembali mengeluh sakit
yang sama pada mata kirinya, pandangan mata
kabur disertai mual dan muntah, padahal
menurut pasien obat-obatan masih dipakai.
Dua hari kemudian pasien berobat lagi ke
spesialis mata dan pada pemeriksaan
didapatkan mata kanan visus 6/6 dan TIO
8/7,5 sedangkan mata kiri visus 2/60, TIO
2/10, obat-obatan diteruskan. Keluhan
kemudian agak berkurang, sampai kira-kira 3
hari yang lalu timbul kembali keluhan seperti
di atas. Kemudian pasien berobat ke spesialis
mata tersebut 1 hari yang lalu dan didapatkan
visus mata kanan 6/6 dan TIO 7/7,5
sedangkan mata kiri visus 1/300 proyeksi
cahaya baik dan TIO 2/10 dan akhirnya pasien
dirujuk ke RSCM. Riwayat hipertensi dan
diabetes disangkal.
Pada pemeriksaan fisik di RSCM,
didapatkan keadaan umum baik, gizi cukup,
kesadaran kompos mentis, tekanan darah
150/90 mmHg, suhu afebril, nadi 80x/menit
dan pernafasan 20x/menit. muntah (-).
Pemeriksaan oftalmologis mata kanan
didapatkan visus 6/6, TIO 13 mmHg,
pergerakan baik ke segala arah, palpebra dan
konjungtiva tenang, kornea jernih, bilik mata
depan dangkal, gambaran iris baik, pupil
miosis dengan reflek, lensa dan vitreus jernih
serta pada funduskopi tampak papil bulat,
batas tegas dengan CD rasio 0,3,
perbandingan arteri dan vena 2:3, reflek
makula (+) dan gambaran retina normal.
Pemeriksaan oftalmologis mata kiri
didapatkan visus 6/60, TIO 71 mmHg,
palpebra udem dan spasme, konjungtiva bulbi
hiperemis dengan injeksi konjungtiva dan
injeksi silier, kornea udem, bilik mata depan
dangkal, gambaran iris masih baik, pupil
middilatasi dengan reflek cahaya menurun,
lensa katarak Vogt dan vitreus jernih serta
pada funduskopi tampak papil udem dengan
CD rasio sulit dinilai, refleks makula menurun
dengan gambaran retina baik.
Pemeriksaan gonioskopi pada mata kanan
tampak sudut terbuka sempit 360 dengan
ketebalan pigmen derajat 1 sedangkan pada
mata kiri sudut tertutup 360.
Pasien didiagnosis sebagai glaukoma
primer sudut tertutup akut mata kiri dan
hipertensi ringan. Terapi yang diberikan
adalah iridoplasti dengan argon laser. Energi
yang digunakan 500 mW, ukuran spot
500m, waktu paparan 0,2 detik sebanyak 50
kali. Sebelum tindakan diberikan tetrakain
0,5%, pilokarpin 2%, dan timolol 0,5% tetes
mata pada mata kiri. Sembilan puluh menit
kemudian, setelah tekanan intraokular dapat
diturunkan dan kornea menjadi jernih,
dilakukan iridotomi perifer laser. Digunakan
argon dan Nd:Yag laser untuk membuat
iridotomi perifer. Sebelum tindakan diberikan
tetrakain 0,5% tetes mata pada mata kiri.
Setelah iridoplasti, tekanan intraokular
dapat diturunkan menjadi 50 mmHg dalam
Edi S. Affandi dkk. Terapi Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 137
15 menit, 40 mmHg dalam 30 menit, 32
mmHg dalam 60 menit dan 25 mmHg dalam
90 menit. Kemudian pasien dirawat dengan
diberikan obat-obatan timolol 0,5% 2x mata
kiri, steroid topikal 4x mata kiri dan
pilokarpin 2% 4x mata kanan. Tekanan
intraokular 6 jam pasca tindakan iridotomi
9/7,5.
Keesokan harinya pada pemeriksaan mata
kanan didapatkan visus 6/6, TIO 10 mmHg,
lain-lain tetap sedangkan mata kiri visus 6/30,
TIO 9 mmHg, palpebra udem dan spasme,
konjungtiva bulbi hipermis dengan injeksi
konjungtiva dan injeksi silier yang sudah
berkurang, kornea jernih, bilik mata depan
dangkal, gambaran iris baik pupil middilatasi
dengan refleks cahaya , tampak iridotomi
perifer pada jam satu, lensa katarak Vogt,
vitreus jernih dan pada funduskopi tampak
papil bulat, batas cukup tegas dengan CD
rasio 0,6, terdapat nasalisasi pembuluh darah
dengan perbandingan arteri dan vena 2:3,
refleks makula (+) dan gambaran retina baik.
Pemeriksaan gonioskopi mata kiri didapatkan
sudut terbuka sempit pada daerah temporal
dan inferior serta terutup pada daerah
superior dan nasal. Pasien dipulangkan.
Satu minggu kemudian pada pemeriksaan
didapatkan mata kanan visus 6/6, TIO 12 mm
Hg, lain-lain tenang. Mata kiri visus 6/30, TIO
17 mmHg, palpebra dan konjunctiva bulbi
tenang, kornea jernih, bilik mata depan
dangkal, gambaran iris baik, pupil middilatasi
dengan refleks cahaya (), iridotomi perifer
(+) pada jam 1, lensa katarak Vogt dan vitreus
jernih, funduskopi papil bulat, batas tegas CD
rasio 0,6 dengan nasalisasi pembuluh darah,
perbandingan arteri dan vena 2:3, refleks
makula (+), gambaran retina baik. Timolol
0,5% 2x dan steroid topikal 4x pada mata kiri
serta pilokarpin 2% 4x pada mata kanan tetap
diberikan.
Dua minggu pasca tindakan, pemeriksaan
mata kanan visus 6/6, TIO 14 mmHg, lain-
lain tenang, mata kiri visus 6/30, TIO 18
mmHg, lain-lain tetap. Dilakukan
pemeriksaan perimetri octopus dan
didapatkan lapang pandang berupa temporal
island pada mata kiri. Obat steroid topikal
distop, dan pilokarpin 2% 4x1 tetes mata
kanan. Enam minggu pasca tindakan,
pemeriksaan mata kanan visus 6/6, TIO 15
mmHg, lain-lain tenang, mata kiri visus 6/30,
TIO 18 mmHg, pupil middikatasi refleks
cahaya (-), lain-lain tetap. Dilakukan
gonioskopi ulang pada mata kiri dan
didapatkan sudut tertutup pada daerah
superior dan nasal, dan terbuka sempit pada
daerah temporal dan inferior. Dilakukan
iridotomi perifer laser pada mata kanan. Pasca
iridotomi diberikan steroid topikal 4x pada
mata kanan, dan pilokarpin distop.
Sepuluh bulan pasca tindakan,
pemeriksaan mata kanan visus 6/6, TIO 19
mmHg, lain-lain tenang. Mata kiri visus 6/30,
TIO 19 mmHg, lain-lain tetap.

DISKUSI
Serangan akut pada glaukoma primer
sudut tertutup harus segera diatasi, sebab
tekanan intraokuler yang tinggi secara
persisten dapat menyebabkan penutupan
sudut yang permanen, kerusakan trabekulum
dan nervus optikus yang irreversibel. Jika
tekanan intraokuler sudah dapat diturunkan,
maka terapi definitif berupa iridektomi perifer
harus segera dikerjakan untuk menghindari
terjadinya serangan akut yang berulang.
1,3,4

Penatalaksanaan serangan akut pada
pasien ini awalnya kurang baik karema tidak
segera dilakukan iridektomi perifer setelah
tekanan intraokuler dapat diturunkan yaitu
pada kontrol hari ke-4 setelah pengobatan,
sehingga terjadi serangan akut yang berulang.
Serangan akut ulangan ini, yang terjadi 10 hari
yang lalu, tampaknya tidak dapat diatasi
dengan baik, walaupun diberikan obat-obatan,
sehingga tekanan intraokuler tetap tinggi dan
visus makin memburuk sampai 1 hari yang
lalu.
Menurut David
5
, keterlambatan datang dan
waktu yang diperlukan untuk menghentikan
serangan mempunyai pengaruh terhadap hasil
akhir, sedangkan tingginya tekanan intraokular
pada saat serangan tidak dapat
memprediksikan prognosis jangka panjang.
Pada saat datang ke poliklinik subbagian
glaukoma, pasien masih dalam keadaan akut
dengan tekanan intraokular yang sangat tinggi
(71 mmHg), walaupun dengan obat-obatan.
Tindakan pertama yang harus dilakukan
adalah menurunkan tekanan intraokular
secepat mungkin, di mana salah satu alternatif
adalah melakukan iridoplasti
1,3-4,6
. Tindakan
iridoplasti dikemukakan terbukti efektif pada
keadaan refrakter terhadap obat-obatan.
1,4,6

Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 138
Tekanan intraokular yang tinggi pada
keadaan akut disebabkan oleh adanya blok
pupil yang menyebabkan aliran aqueos dari
bilik mata belakang ke bilik mata depan
terhambat sehingga tekanan intraokular di
bilik mata belakang meningkat dan
mendorong iris bagian perifer ke depan (iris
bombe) sehingga menutup sudut bilik mata
depan.
1-2,4

Iridoplasti dapat membuka sudut bilik
mata depan yang tertutup secara aposisional
oleh jaringan iris perifer secara mekanik,
dengan cara memberi bakaran argon laser
pada iris perifer 360 sebanyak 2024 spot
sehingga stroma iris perifer tersebut mengerut
dan menarik iris dari sudut bilik mata. Argon
laser yang dipakai adalah energi rendah, spot
yang besar dan durasi yang panjang.
1,3-4,6
Secara
hispatologis, pengerutan stroma iris jangka
pendek disebabkan pengerutan kolagen karena
panas, sedangkan jangka panjang oleh
kontraksi membran fibroblas.
6,7

Argon laser yang dianjurkan adalah 200
400 mW dengan ukuran spot 100200 um
dan durasi 0,10,2 detik
1,4
, sedangkan
menurut Ritch
6
adalah energi 200499 mW,
ukuran spot 500 um dan durasi 0,5 detik.
Lam dkk.
3
pada penel i ti annya
menggunakan energi 318 mW (280 400
mW), ukuran spot 360 um (200 500 um)
dan durasi 0,26 detik (0,2 0,3 detik)
sebanyak 82,1 kali (40 211 kali). Pada
pasien ini digunakan energi 600 mW, ukuran
spot 500 um dan durasi 0,2 detik sebanyak 50
kali. Argon laser yang digunakan pada pasien
ini masih dalam batasan yang dipakai oleh
Lam, kecuali besar energi yang agak lebih tingi
sedikit, tetapi dengan jumlah bakaran yang
lebih rendah. Efek yang timbul pada
penggunaan energi laser yang terlalu tinggi
adalah iis hangus, terbentuknya gelembung
udara atau pop (ledakan kecil). Hal-hal
tersebut tidak terjadi pada pasien ini.
Iridoplasti efektif dalam menurunkan
tekanan intraokuler pada keadaan akut,
bahkan pada keadaan dengan PAS yang luas.
5

Lam dkk.
3
pada penelitiannya
menggunakan obat-obatan anti glaukoma
topikal dan iridoplasti sebagai terapi awal pada
glaukoma primer sudut tertutup akut dengan
lama serangan 1036 jam mendapatkan bahwa
tekanan intraokuler menurun dengan cepat
dan kornea menjadi jernih dalam 12 jam.
Dalam penelitian lanjutannya memakai
iridoplasti sebagai terapi tunggal pada
glaukoma primer sudut tertutup akut, Tham
dkk.
8
melaporkan bahwa tekanan intraokuler
menurun dengan cepat, tetapi sedikit lebih
tinggi pada 2 jam pasca tindakan, bila
dibandingkan dengan yang menggunakan
obat-obat anti glaukoma topikal. Mereka
berkesimpulan bahwa obat-obat topikal
tersebut mempunyai efek yang sinergik
dengan iridoplasti dalam menurunkan tekanan
intraokuler.
Lam dkk.
3
juga mendapatkan bahwa
iridoplasti dapat dilakukan pada keadaan
kornea yang udem, bilik mata depan yang
dangkal dan pupil middilatasi, karena
iridoplasti menggunakan energi yang rendah,
tidak memerlukan derajat ketepatan bakaran
yang tinggi dan dapat dilakukan dengan
mudah pada iris yang tebal. Iridoplasti juga
didapatkan cukup aman karena tidak
menimbulkan kekeruhan kornea, perdarahan
serta efek laser pada jaringan mata yang lain
maupun efek samping sistemik.
Pada pasien ini obat-obat anti-glaukoma
topikal dan iridoplasti dipilih sebagai terapi
awal untuk menurunkan tekanan
intraokulernya, karena sudah terbukti efektif
dan aman.
3
Pada pengamatan didapatkan
bahwa tekanan intraokuler menurun dari
71mmHg menjadi 50 mmHg dalam 15 menit,
40 mmHg dalam 30 menit, 32 mmHg dalam
60 menit dan 25 mmHg dalam 90 menit.
Tidak dijumpai efek samping yang berarti,
baik pada saat maupun sesudah tindakan.
Temuan menarik didapat oleh Lam dkk.
3

secara kebetulan, di mana pada satu kasus
yang hanya dilakukan iridoplasti sebesar
kurang lebih 180, tetapi ternyata efektivitas
penurunn tekanan intraokulernya sama seperti
pada kasus yang dilakukan iridoplasti 360.
Penelitian lanjutan tentang hal tersebut
dilakukan oleh Lai dkk.
9
, di mana iridoplasti
180 digunakan sebagai terapi awal bersama-
sama dengan obat-obatan anti-glaukoma
topikal pada glaukoma primer sudut tertutup
primer akut dengan lama serangan 48 jam.
Tekanan intraokuler dapat diturunkan dengan
efektif dan kornea menjadi jernih dalam 12
jam, tanpa komplikasi.
Iridektomi perifer sudah diakui sebagai
terapi definitif pada glaukoma primer sudut
tertutup.
1,4,6,10-11
Tindakan ini cukup sederhana,
Edi S. Affandi dkk. Terapi Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 139
aman,
1,4,6,10-11
dan ampuh.
12
Dengan iridektomi
perifer, kedalaman bilik mata depan bagian
perifer meningkat sedangkan di daerah tengah
tidak berubah. Iridektomi perifer dapat
mencegah terjadinya serangan akut yang
berulang pada glaukoma primer sudut
tertutup dengan blok pupil, sebab dengan
iridektomi tersebut telah terjadi hubungan
antra bilik mata belakang dan depan sehingga
tidak akan terjadi perbedaan tekanan yang
cukup besar di antara keduanya untuk
mendorong iris perifer ke depan.
1,4

Kadang-kadang iridektomi perifer saja
tidak cukup untuk dapat mengontrol tekanan
intraokuler sehingga diperlukan operasi
filtrasi, yaitu pada keadaan telah terjadi
kerusakan trabekulum atau PAS yang luas
1,4
.
Beberapa penulis menyarankan operasi filtrasi
dilakukan sebagai terapi primer pada kasus
dengan lama serangan akut > 36 atau 72 jam.
Facility of outflow 0,10 ul/menit/mmHg, PAS
yang luas (>50 75%), terdapat defek lapang
pandang serta cupping nervus optikus.
3

Serangan akut pada pasien ini cukup lama
(> 72 jam) sehingga pada awalnya timbul
dilema dalam menentukan apakah diperlukan
operasi filtrasi sebagai terapi bedah awal,
karena dikhawatirkan sudah terjadi kerusakan
trabekulum dan penutupan sudut yang luas
sehingga iridektomi saja tidak dapat
mengontrol tekanan intraokulernya.
Affandi
12
dalam menentukan perlu/
tidaknya operasi filtrasi pada dua kali
penelitian retrosektifnya menggunakan
tekanan intraokuler setelah terapi
medikamentosa sebagai patokan. Pada waktu
itu operasi filtrasi dilakukan bila tekanan
intraokuler > 21 mmHg atau bila tekanan
intraokuler 21 mmHg tetapi dengan nilai
tonografi C < 0,13. Dengan kriteria di atas,
ternyata 88% dan 80% kasus glaukoma primer
sudut tertutup akut dianggap memerlukan
trabekulektomi. Pada hasil penelitiannya,
Affandi mendapatkan bahwa tekanan
intraokuler terkontrol < 21 mmHg tanpa
obat-obatan pada 80% dan 78% pasien yang
dilakukan tabekuekomi, ternyata pada 54%
dan 36% pasien yang dilakukan
trabekulektomi tersebut tidak tampak bleb
filtrasi, sehingga diasumsikan bahwa
iridektomi saja sudah mencukupi untuk
mengontrol tekanan intraokuler dan operasi
trabekuektomi merupakan tindakan
berlebihan yang dapat merugikan pada pasien-
pasien tersebut.
Krupin
10
dan Playfair
11
pada penelitian-
penelitiannya berkesimpulan bahwa sangat
sulit dan bahkan tidak mungkin untuk dapat
memprediksikan kasus mana yang
memerlukan operasi filtrasi dengan
berdasarkan tekanan intraokuler sebelum dan
sesudah pemberian obat awal, ada/tidaknya
atrofi iris, glaukomfleken pada lensa dan
gonioskopi sebelum maupun pada saat operasi
pada asus glaukoma primer sudut tertutup
akut.
Peneliti lain mendapatkan bahwa
kombinasi iridektomi dan obat-obatan
memberikan hasil yang sama dengan yang
dilakukan dengan operasi filtrasi tetapi
dengan komplikasi operasi yang lebih kecil.
Banyak kasus yang tekanan intraokulernya
dapat terkontrol setelah iridektomi saja,
walaupun sudah terdapat kerusakan yang
luas.
1,4,10
Trabekulektomi adalah tindakan bedah
yang mempunyai risiko yang tidak kecil, baik
dari segi anestesi, infeksi, perdarahan, dan juga
biaya. Perkembangan terapi laser memberikan
sumbangan yang besar dalam menengahi
masalah di atas, di mana iridotomi laser
mempunyai beberapa kelebihan, yaitu tidak
dibutuhkan anestesi retrobulber, tidak ada
kemungkinan endophthalmitis, tidak terjadi
kebocoran jaringan, jarang terjadi perdarahan
intraokuler, waktu yang diperlukan untuk
pengembalian tajam penglihatan lebih cepat,
konjungtiva tidak terganggu untuk operasi
filtrasi bila nantinya diperlukan.
13,14

Dibandingkan dengan iridektomi
insisional, Schwenn
15
pada penelitiannya
mendapatkan bahwa iridotomi laser lebih
dapat diterima dan lebih disukai oleh pasien,
di samping itu juga menimbulkan kerusakan
endotel kornea yang lebih kecil.
Ada 2 tipe laser yang umumnya
digunakan untuk iridektomi yaitu Nd:YAG
dan argon. Laser Nd:YAG lebih disukai karena
dapat menembus iris dengan mudah
khususnya pada iris berwarna coklat gelap dan
biru muda, di mana sulit dilakukan dengan
laser argon. Di samping itu lubang iridotomi
yang terbentuk tidak mudah menutup
kembali. Karena laser Nd:YAG tidak
mempunyai efek koagulatif seperti argon,
maka perdarahan lebih sering terjadi.
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 140
Perdarahan ini biasanya dapat berhenti sendiri
atau dihentikan dengan cara menekankan
lensa kontak yang dipakai untuk iridotomi
1,4,6
.
alternatif lain untuk mengurangi perdarahan
akibat laser Nd:YAG adalah dengan
memberikan sebelumnya laser argon untuk
menipiskan stroma iris dan mengkoagulasi
pembuluh darah, pada tempat yang akan
dilakukan iridotomi, kemudian baru dilakukan
iridotomi oleh laser Nd:YAG. Cara ini
dikatakan memberikan hasil lebih baik dan
komplikasi yang lebih kecil, yang
menggunakan keunggulan efek fototermal dari
argon dan penetrasi yang mudah dari
Nd:YAG.
1,4

Pada pasien ini, laser yang dipakai untuk
iridotomi adalah kombinasi antara argon dan
Nd:YAG. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi kemungkinan risiko perdarahan
pada pasien dengan keadaan akut. Dengan
kombinasi kedua laser tersebut, dapat
terbentuk iridotomi yang paten dan tidak
dijumpai komplikasi sampai 10 bulan
pengamatan.
Quiqley
13
dan Robin
14
pada
pengamatannya tentang efektivitas dan
keamanan dari iridotomi laser dengan argon
selama masing-masing 1,8 tahun dan 538
bulan mendapatkan bahwa iridotomi tetap
paten, tekanan intraokuler tetap terkontrol,
sedangkan penurunan tajam penglihatan yang
terjadi diyakini tidak berhubungan dengan
tindakan laser tetapi oleh katarak senilis.
Penatalaksanaan glaukoma primer sudut
tertutup akut yang dianjurkan saat ini adalah
melakukan iridotomi perifer laser dahulu pada
semua kasus, segera setelah tekanan
intraokuler dapat diturunkan dan kornea
sudah jernih, kemudian residual glaucoma
diobati secara berjenjang dengan obat-obatan,
atau operasi filtrasi bila perlu, sesuai
kebutuhan.
1,4
Iridotomi laser profilaksis pada
mata sebelahnya dilakukan untuk mencegah
terjadinya serangan akut. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa 40 80% mata
sebelahnya akan terkena serangan akut dalam
waktu 5 10 tahun, tetapi kadang-kadang
setelah 25 30 tahun.
1-2,4,6
Profilaksis mata
sebelahnya dengan obat miotik untuk jangka
lama tidak direkomendasikan lagi, karena obat
tersebut tidak memberikan perlindungan total
terhadap serangan akut dan dapat pemakaian
jangka panjang memudahkan terjadinya PAS
dan glaukoma sudut tertutup kronik.
1,4

Tampaknya dengan iridotomi perifer,
tajam penglihatan, tekanan intraokuler, dan
papil nervus optikus pasien dalam pengamatan
10 bulan dapat terkontrol dan tidak
menunjukkan tanda-tanda perburukan,
walaupun masih memerlukan obat berupa
timolol 0,5% 2x sehari untuk residual
glaucoma-nya dan pengamatan rutin lebih
lama lagi.

KESIMPULAN
Iridoplasti efektif dalam membantu
menurunkan tekanan intraokuler pada
glaukoma primer sudut tertutup akut.
Tindakan ini dapat dilakukan sebagai tindakan
pertama pada keadaan akut, sebelum dapat
melaksanakan iridotomi perifer laser karena
keadaan kornea masih keruh.


DAFTAR PUSTAKA
1. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV,
Becker-Shaffers Diagnosis and Therapy of
the Glaucomas 7
th
ed. St. Louis. The CV
Mosby Company, 1999.
2. Denny M, Taylor F, ed. Basic Clinical
Science 19971998. Glaucoma. San
Francisco: American Academy of
Ophthalmology, 1997.
3. Lam DSC, Lai JSM, Tham CCY.
Immediate Argon Laser Peripheral
Iridoplasty as Treatment for Acute Attack
of Primary Angle-closure Glaucoma. A
Preliminary Study. Ophthalmology
1998;105:223136.
4. Hoskin HD, Kass MA. Becker-Shaffers
Diagnosis and Therapy of the Glaucomas
6
th
ed. St. Louis: The CV Mosby
Company, 1989.
5. David R, Tessler Z, Yassur Y. Long-term
outcome of primary acute angle-closure
glaucoma. Br J Ophthalmol 1985; 69: 2612.
6. Ritch R Liebmann JM. Laser Iridotomy
and Peripheral Iridoplasty. In: Ritsch R,
shield MB, Krupin T, eds. Glaucoma
Therapy 2
nd
ed. St. Louis: Mosby Year
Book Inc, 1996; 3 15491573.


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 141








15.




Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 142
Data Concerning Primary Angle Closure Glaucoma in Indonesia*

Edi S. Affandi
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine
University of Indonesia, Jakarta
glaucoma in various parts in this country varies from 0.4% to 1.6%. These data are taken from the
National Survey on Blindness and Ocular Morbidity in 1996 carried out by the Ministry of Health
of the Republic of Indonesia. At Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, the incidence of
glaucoma is 1.8% among people 40 years old or older. Primary Angle Closure Glaucoma (PACG)
is most frequently found and mainly with acute signs and symptoms. The clinical appearance
shows some differences compared to that reported in Caucasians. The age of the patients is
relatively younger. Patients present to the hospital in the advanced stage or received delayed
treatment. Filtering surgery have been done on 74 (88%) among 84 acute PACG eyes, but a
retrospective study reported in 2001 indicates that the number of filtering surgery can be reduced
if laser iridectomy was performed.


Abstrak: Glaukoma adalah penyebab kebutaan utama kedua di Indonesia. Insiden glaukoma pada
berbagai bagian negeri ini berkisar dari 0.4% sampai 1.6%. Data ini diambil dari Survei Nasional
Mengenai Kebutaan dan Morbiditas Mata pada tahun 1996 yang diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,
insiden glaukoma adalah 1,8% di antara orang-orang berusia 40 tahun atau lebih tua. Glaukoma
Primer Sudut Tertutup (PACG) paling sering ditemukan dan sebagian besar dengan gejala-gejala
dan keluhan akut. Tampilan kliniknya memperlihatkan adanya beberapa perbedaan dibandingkan
dengan yang dilaporkan untuk orang Kaukasia. Usia penderita relatif lebih muda. Pasien datang ke
rumah sakit pada tahap lanjut atau menerima terapi yang terlambat. Operasi filtrasi telah
dilakukan pada 74 (88%) dari 84 mata PACG akut, tetapi suatu penelitian retrospektif yang
dilaporkan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa jumlah operasi filtrasi dapat dikurangi bila
iridektomi laser dilakukan.



INTRODUCTION


Data reported in this paper is mainly
taken from the report of The National Survey
on Blindness and Ocular Morbidity and from
clinical data of Primary Angle Closure
Glaucoma (PACG) at Glaucoma service, Dr.
Cipto Mangunkusumo General Hospital,
Jakarta. The objective of this paper is to
present a general view of Glaucoma, the
clinical appearance of PACG and
management of acute PACG in Indonesia.

Presented in SEAGIG (South East Asia Glaucoma Interest Group)


Satellite Meeting Singapore on 10
th
February 2003
1. Data from The National Survey on
Blindness and Ocular Morbidity
The National Survey on Blindness and
Ocular Morbidity have been reported in 1983
and 1996. Those surveys were conducted by
the Ministry of Health of the Republic of
Indonesia in cooperation with:
Indonesian Ophthalmologist Association
National Central Statistic Bureau
Central Health Research and Faculty of
Public Health, Universities of Indonesia.
Medical Faculty of several State
Universities in Indonesia

Edi S. Affandi Data Concerning Primary Angle


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 143
In those surveys data emerged that the
incidence of glaucoma in various parts of
Indonesia varies from 0.4% to 1.6% of whole
population and it was 1.2% among peoples
over 40 years old. On both surveys glaucoma
was diagnosed by examining intraocular
pressure with Schiotzs tonometer and optic
nerve head by direct ophthalmoscope.
1,2
It
was reported that blindness rate in Indonesia
was 1.2 % in 1983 and it was 1.6% in 1996. The
position of glaucoma among other main causes of
bilateral blindness is shown in Table 1.

Table 1.
The prevalence of main causes of blindness in
Indonesia
Diseases 1983 1996
Lens
Corneal
Glaucoma
Refractive
Retinal
Others
0.76
0.13
0.10
0.06
0.03
0.12
0.78
0.10
0.20
0.14
0.13
0.25

2. Data from Dr. Cipto Mangunkusumo
Hospital Jakarta
A small number of Hospital reports about
incidence and the types of glaucoma, indicate
that primary angle closure glaucoma (PACG)
is commonly found in Indonesia.
3,4,5
At Dr
Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta the
incidene of glaucoma is 1.8% among people
40 years or older.
Based on data of new glaucoma patients
collected in 1989 and 1990 at this Hospital,
Primary Angle Closure Glaucoma (PACG)
were found more often than Primary Open
Angle Glaucoma (POAG) as is shown in the
following table:

Table 2.
Incidence and types of glaucoma at Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta
Type of Glaucoma No. of Cases
In 1989 In 1990
Primary Open Angle Glaucoma
Primary Angle Closure Glaucoma
1. acute 7 + 42
2. chronic 15 + 17
Congenital Glaucoma
Secondary Glaucoma
43


62
12
34
51


59
9
47

The following data of this paper will show
some findings on the clinical appearance of
Primary Angle Closure Glaucoma cases.
3. Data on Clinical Appearance of PACG
at Dr Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta
5

The retrospective study of the clinical
appearance of 109 cases among 121 PACG
cases in 1989 and 1990, consisted of 82 acute
PACG (84 eyes) and 27 chronic PACG cases
(41 eyes), demonstrated that a large number
of the cases received delayed treatment or
came to the hospital in the late stage. The
following data will show those findings.

Age and Sex Distribution
Primary Angle Closure Glaucoma affects
women three times more often than men in
Caucasians and in black people both women
and men are affected equally.
6
The cases of
PACG reported in this paper consisted of 28
men and 81 women as shown in Table 3.

Table 3.
Age, sex, and total number of PACG at Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta
Age (years)
Sex
<40 40 - 60 > 60 Total
Men 2 19 7 28
Women 7 59 15 81
Total 9 78 22 109

It is also seen in Table 3 that a large
number of cases were between the ages 40-60
years. In Caucasians a great majority of cases
were reported of the ages over 60 years.
6
The
distribution of the age of our patients
compared to cases reported by Playfair and
Watson is shown in Table 4.
4


Table 4.
Comparison of age distribution in PACG
Age (years) Cipto Playfair-
M. Hospital Watson
Under 40 9 0
40-60 78 17
Over 60 22 60
Total (patients) 109 77

It can be pointed out that the age of the
PACG patients at Dr Cipto Mangunkusumo
Hospital is relatively younger.

4. Some Data on Chronic PACG
The clinical picture of chronic primary
angle closure glaucoma was similar to primary
open angle glaucoma (POAG), except the
angle was gonioscopically closed.
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 144
Data of visual acuity on 27 patients (41
eyes) with chronic PACG is shown in Table 5. It
indicates that 25 eyes (58.5%) have ended in
blindness, if the criteria on visual acuity for
blindness of WHO is applied.

Table 5.
Visual acuity in chronic PACG
Visual Acuity No. of Eyes Percentage
<3/60 24 58.5
>3/60 17 41.5
Total 41 100.0

An analysis of the optic disc image and
the visual field loss of those chronic PACG
eyes are shown in Table 6 and Table 7.

Table 6.
Optic disc damage in chronic PACG
Optic disc damage No. of eyes Percentage
Early 7 17.1
Intermediate 13 31.7
Advanced 21 51.2
Total (eyes) 41 100.0

Table 7.
Visual field loss in chronic PACG
Visual field loss No. of eyes Percentage
Early 8 19.5
Intermediate 10 24.4
Advanced 23 56.1
Total (eyes) 41 100.0

Table 6 shows that 21 eyes (51.2%) out of
41 eyes with chronic PACG have had
glaucomatous damage of the optic disc with
cup/disc ratio 0.8 or more (advanced stage), and
Table 7 demonstrates that 23 eyes out of 41 eyes
already had advanced visual field loss (temporal
and or telescopic field, including absolute
glaucoma in 5 eyes). From these data it can be
concluded that more than half of Cipto
Mangunkusumo Hospital patients with chronic
PACG came for the first time to the hospital in
the advanced stage.

5. Some Data on Acute PACG
The diagnosis of acute primary angle closure
glaucoma is based on findings of the following
criteria:
8

1. The history of acute attack
2. Presenting any or all congestive signs
and symptoms
3. In the involved eye, angle closure was
present without the evidence of
secondary features, and the other eye
displayed an anterior chamber angle
that was narrow or had previous
closure.
There were 82 patients (84 eyes) who met
these criteria among 109 PACG cases. Out of
those patients, there were only 12 eyes (14,3%)
who came to hospital or received treatment
within 48 hours after the acute attack. In 72 eyes
(85,7%) the duration of attack before treatment
was more than two days. A comparison of those
findings in cases reported by Lowe
9
is shown in
Table 8.
The subjective symptoms and objective
signs of those cases of acute PACG compared to
that reported in the literature
7,10
are shown in
Table 9 and Table 10.



Table 8.
A comparison of the duration of the attack of acute PACG
Duration
Cipto M
Hospital
Percentage Lowe Percentage
Within 48 hours
Over two days
Total (eyes)
12
72
84
14.3%
85,7%
100%
65
103
168
38,6%
61,4%
100%









Edi S. Affandi Data Concerning Primary Angle


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 145
Table 9.
Subjective symptoms of acute PACG
Subjective Cipto M Hospital Luntz
Symptom (%) (%)
Colored halo 31 85
Red eye 100 100
Pain 100 90
Blurred vision 77 90
Headache 48 88
Nausea, vomiting 21 10

It can be stressed that colored halo as the
earliest subjective symptom is found in relatively
small number of our patients. The cause may be
due to unawareness of the patient to that
symptom.
The following Table 10 indicates that acute
PACG cases at Dr. Cipto Mangunkusumo
Hospital already had more glaucomatous
damage when they came for the first time to the
hospital.

Table 10.
Some objective signs in acute PACG
Objective Cipto M Playfair
signs Hospital (%) (%)
Visual acuity 49 23
< 3/60
Iris atrophy 23 5
Optic disc damage 38 7

Table 11 shows the conditions of the other
(fellow) eye in 82 patients with acute primary
angle closure glaucoma. Absolute glaucoma
were found in 28 eyes, 2 eyes have had previous
filtering surgery, acute angle closure glaucoma in
2 eyes, chronic angle glaucoma in 3 eyes and 51
eyes noted as narrow angle and normal ocular
pressure.

Table 11.
Presenting state of the fellow eyes in 82 cases
Presenting state No. of cases
Absolute glaucoma 28
Post. Filtering surgery 2
Acute angle closure glaucoma 2
Chronic angle closure glaucoma 3
Narrow angle 47
Total 82

This table shows that 35 of the fellow eyes
of acute primary angle closure glaucoma cases
already had closed anterior chamber angle.

Management of Acute Primary Angle Closure
Glaucoma
The management of acute primary angle
closure glaucoma service, Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital consisted of:
1. The patient is hospitalized after examination
at the glaucoma clinic.
2. Initial medical treatment is given
simultaneously:
a. Pilocarpine 2% eye drops every hour.
b. Acetazolamide 500 mg orally, repeated
250 mg every 6-8 hours.
c. Glycerin 50% orally 3 times 100-150
cc, daily.
d. Corticosteroid-Antibiotic eye drops 4
times daily.
3. The type of initial surgical therapy is
decided.

The intraocular pressures were remeasured
20-24 hours after initial medical treatment. In
29 among 84 eyes (35%) acute PACG the
intraocular pressure could be reduced below 21
mmHg (the rate of success = 35%). In 55 eyes
(65%), the intraocular pressure were 21 mmHg
or more in which 32 eyes (38%) the intraocular
pressure exceed 30 mmHg (Table 12).

Table 12.
Results of initial medical therapy in acute PACG
Intra Ocular No. of eyes Percentage
Pressure
Below 21 mmHg 29 35
21 30 mmHg 23 27
Over 30 mmHg 32 38
Total 84 100

A comparison of the success rate of the
initial medical therapy between the cases at Dr
Cipto Mangunkusumo Hospital and cases
reported by Ganias and Mapstone
11
are as
follows (The criteria of success, if intraocular
pressure could be reduced below 21 mmHg) 29
of 84 (34.5%) and 23 of 30 (76.6%). This
comparison indicates a lower percentage of
success of the initial medical treatment at Dr.
Cipto Mangunkusumo Hospital.
In the last decade Timolol 0.5 % eye-drop is
added in initial medical therapy, but the success
rate is not increased.

Initial Surgical Therapy for Acute PACG
The initial surgical treatment is mainly based
on the intraocular pressure responses to initial
medical therapy, as follow:
a. If the intraocular pressure can be reduced to
21 mmHg or below, and the facility of
outflow is more than 0.13 or half or more of
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 146
the anterior chamber angle is opened,
peripheral iridectomy is performed.
b. Filtering procedure should be done for all
cases with intraocular pressure above
21mmHg or the intraocular pressure is
below 21 mmHg with the outflow facility
less than 0.13 or more than half of the
anterior chamber angle is closed.

By those criteria the type of the initial
surgical therapy of acute PACG at Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital were decided and its
result
8
are shown in Table 13.

Table 13.
Types of initial surgical therapy in acute PACG
Result Type of No.
of
surgery eyes
Controlled*
Uncontrolled
Iridectomy 10 8 (80%) 2 (20%)
Filtering 74 46 (62%) 28 (38%)
Total 84 54 (64%) 30 (36%)
* The intraocular pressure 21 mmHg or less with or
without additional minimal medical therapy assessed
approximately 4 months after surgery.

By using the criteria for deciding an initial
surgical treatment as mentioned above, a large
number of cases have been treated by filtering
surgery as shown in Table 13. This finding is
the reverse to that found in the literature, in
which iridectomy was done in most acute
PACG.
6,13

In 46 eyes with controlled intraocular
pressure after filtering procedures; 25 eyes
(54%) did not show any filtering bleb and 21
eyes (46%) showed filtering bleb (Table 14).
An analysis on the relatively short period
of time for 46 eyes, which led to criteria of
controlled intraocular pressure by filtering
surgery in our cases study is shown in Table
14. It indicates that eyes with hypotony are
commonly found (43%). Hypotony eyes after
filtering surgery can be due to over drainage
through the filtration area.
6
And also in those
controlled eyes, the eyes without filtering bleb
(not appeared) shows a greater in number
(54%). It is possible the success of filtering
surgery in spite of absent of filtering bleb is
due to the iridectomy alone.
From both analyses, it can be assumed
that in several of those cases peripheral
iridectomy alone may cure the disease or in
other words, iridectomy is indicated in those
cases from the beginning or it must be chosen
as an initial surgical treatment, and
consequently the number of filtering surgery
can be reduced. It is advisable to reduce the
number of filtering surgery because of its
greater risk of complications.
6,8

For that purpose, in the last three years
laser iridectomy has been performed in all
cases of acute PACG at Dr Cipto
Mangunkusumo Hospital. It was done before
initial surgical treatment. A retrospective
study of those 30 eyes (all without laser
iridoplasty) which is reported in 2001
indicated that the success rate (The
intraocular pressure could be reduced below
21 mmHg without post-laser medical
treatment assessed 3 months after laser
iridectomy) is found in 19 eyes (63.3%), 3
eyes (10%) with additional treatment of
Timolol 0.5% eye drops 2 times daily and
trabeculectomy was performed in 8 eyes
(26.7%) because the intraocular pressure
remained uncontrolled. This data shows that
present management can reduce the number
of filtering surgery in acute PACG cases. A
good result of laser iridectomy in long term
follow up has been reported in the literature.
16,17


SUMMARY AND COMMENT
Some data concerning glaucoma in
Indonesia taken from the report of the
National Surveys on Blindness and Ocular
Morbidity and from the clinical appearance
and management of primary angle closure
glaucoma at Dr Cipto Mangunkusumo
Hospital, Jakarta are presented.

Table 14.
Filtering bleb in 46 eyes with Controlled Intraocular Pressure after filtering surgery of acute PACG
Controlled intraocular pressure
Filtering Bleb
With Without Hypotony Total
Med. Med.
Appeared 4 10 7 21% (46%)
Not appeared 5 6 14 25% (54%)
Total 9(20%) 16(37%) 21(43%) 46 (100%)
Edi S. Affandi Data Concerning Primary Angle


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 147
Based on this data the following
summaries can be drawn as follows:
1. The incidence of glaucoma in various
parts in Indonesia varies from 0.4% to
1.6%. At Dr Cipto Mangunkusumo
Hospital Jakarta, the incidence of this
disease is 1.8% among people over 40
years old.
2. Glaucoma is the third (1983) or the
second (1996) main cause of blindness in
Indonesia.
3. Primary angle closure glaucoma is more
common than primary open angle
glaucoma and is mostly with acute signs
and symptoms. There are some
differences of the clinical picture
compared to that reported in Caucasians.
4. The age of the patients PACG in
Indonesia is younger than Caucasians.
5. The patients came to the hospital in
advanced stage or had received delayed
treatment.
6. Filtering surgery is the most frequent type
of initial surgical therapy in acute PACG,
but the number can be reduced if laser
iridectomy is performed after initial
medical treatment.

Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital
Jakarta is a community hospital, but it is also a
top referral and teaching hospital, so that the
data reported from this hospital does not
automatically reflect the general population.
There are many factors which influence
the frequency and types of glaucoma cases
among various countries, including race,
socioeconomic, psychophysic, cultural and
other factors. Such clinical picture itself is
related to the epidemiological standpoints.
4,6,15

Therefore an epidemiologic survey and
hospital reports in Indonesia concerning
glaucoma must be accelerated.


REFERENCES
1. Ministry of Health of the Republic of
Indonesia; Result of National Surgery on
Blindness and Ocular Morbidity; Jakarta:
The Ministry; 1983.
2. Ministry of Health of the Republic of
Indonesia; Result of National Surgery on
Blindness and Ocular Morbidity. Jakarta:
The Ministry; 1996.
3. Gumansalangi EA. Patern of Chronic
Primary Angle Closure Glaucoma in Dr.
Sutomo Hospital, Surabaya, Proceeding
Book of the 6
th
National Congress of
Indonesian Ophthalmologist Association;
1988; Semarang.
4. Affandi ES: Some Data in Primary
Glaucoma at the Dr. Cipto
Mangunkusumo Hospital, NOG-Perdami
Joint Meeting; 1985, October; Jakarta
5. Affandi ES., Srinagar M., Musfari H.
Primary Angle Closure Glaucoma at Dr.
Cipto Mangunkusumo Hospita., the
Tenth AACO; 1992; Jakarta.
6. Stampler RL, Lieberman MF, Drake MV.
Beckers and Shaffers Diagnosis and
Therapy of the Glaucomas, St Louis: the
CV Mosby Co; 1999. p. 216.
7. Playfair TJ, Watson PG ed.
Management of Acute Primary ACG: The
Result of Peripheral Iridectomy Used as
Initial Procedure. Br. J. Ophthalmol
1979; 63: 17-
8. Affandi ES. Management of Acute
Primary Angle Closure Glaucoma in the
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Jakarta: Univ. of Indonesia; 1976.
9. Lowe RF. Angle Closure Glaucoma,
Clinical types. Trans Ophth. Soc. Aust.
1962; 25: 65-
10. Luntz MH. Primary Angle Closure
Glaucoma. Br. J. Ophthalmol, 1973; 57:
445-
11. Ganias F, Mapstone R. Miotics in Closed
Angle Glaucoma. Br. J. Ophthalmol
1975; 59: 205-
12. Miranti A, Affandi ES, Initial Medical
Therapy in Acute Primary Angle Closure
Glaucoma at Dr. Cipto Mangunkusumo
Hospital. Jakarta: Univ. of Indonesia;
1995.
13. Murphy MB, Speath GL. Iridectomy in
Primary Angle Closure Glaucoma. Arc.
Ophthalmol 1971; 85: 67-

Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 148
14. Irawati J, Affandi ES, Widya Artini.
Result of Laser Iridectomy in Acute
Primary Angle Closure Glaucoma at Dr.
Cipto Mangunkusumo Hospital. Jakarta:
Univ. of Indonesia; 2001.
15. Hyams S. Angle Closure Glaucoma.
Amsterdam: Kugler and Ghedini
Publications; 1990. p.8-
16. Alsagoff Z, Aung T, Ang LPK, Chew
PTK. Long Term of Clinical Course of
Primary Angle Clodure Glaucoma in an
Asian Population. Ophthalmology 2000;
107: 2300-4
17. Aung T, Ang LPK, Chan SP, Chew PTK.
Acute Primary Angle Closure: Long term
Intra Ocular Pressure Outcome in Asian
Eyes. Am J Ophthalmol 2001; 131 : 7-12.



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 149
Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital Medan

Selvi Nafianti
Department of Child Health Medical Faculty,
University of Sumatra Utara/Haji Adam Malik Hospital Medan
Abstract: Retinoblastoma is the most common primary intraocular malignancy of childhood occurring
in both hereditary and non hereditary forms. The incidence of retiloblastoma is recorded to be about 11
cases per million children younger than 5 years. A modern day medical success story, more than 90% of
children can be cured of retinoblastoma by early detection and treatment of the affected eye. We review
the chart of all the children with retinoblastoma who visited Outpatient Clinic Hematology-Oncology
Division and Pediatric Ward of Department of Child Health H. Adam Malik Hospital Medan during
1999 2003. Most sample 28 (87.5%) were in group age 0 5 years and male more than female
(68.7% vs 31.3%). This study showed that there were 13 of 32 (40.6%) children with retinoblastoma
with severe malnourished, moderate malnourished 9 (28.1%) and mild malnourished 2 (6.3%). There
were 17 (53.1%) retinoblastoma bilateral. Retinoblastoma unilateral and bilateral mostly in group age 0
5 years 13 (40.6%) and 15 (46.9%). Male more then female in unilateral (34.4% vs 12.5%) and
bilateral (34.4% vs 18.7%). Most children with retinoblastoma visited the hospital due to red and
painful eyes 10 (31.3%), leukocoria 9 (28.1%), strabismus 7 (21.9%) and proptosis 6 (18.8%). This
study concludes that the incidence of retinoblastoma is as high as the previous studies. Demographic
and socioeconomic factors have a big role in history of retinoblastoma. It is required to improve human
resources and facilities to provide better diagnosis and management of retinoblastoma in children.


Abstrak: Retinoblastoma merupakan penyakit keganasan primer intraokuler terbanyak pada anak,
bisa terjadi secara herediter dan non-herediter. Insidens retinoblastoma lebih kurang 11 per satu
juta penduduk usia di bawah 5 tahun. Angka keberhasilan pengobatan 90% pada anak yang
dideteksi secara dini. Penelitian ini dilakukan dengan melihat rekam medik kasus retinoblastoma
yang berobat ke Subbagian Hematologi-Onkologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS H.
Adam Malik periode 1999 2003. Sampel terbanyak 20 orang (87.5%) berusia 0 5 tahun dan
laki-laki lebih banyak dari perempuan (68.7% vs 31.3%). Status gizi 13 dari 32 (40.6%) adalah
gizi buruk, sedangkan malnutrisi ringan 2 (6.3%), dan malnutrisi sedang 9 (28.1%). Sebanyak 17
(53.1%) masing-masing menderita retinoblastoma unilateral dan bilateral. Retinoblastoma
unilateral dan bilateral paling banyak pada kelompok usia 0 5 tahun sebanyak 13 (40.6%) dan
15 (46.9%). Laki-laki lebih banyak dari perempuan pada yang unilateral (34.4 vs 12.5%) dan
bilateral (34.4% vs 18.7%). Umumnya pasien datang dengan keluhan mata merah dan sakit 10
(31.3%), leukokoria 9 (28.1%), strabismus 7 (21.9%) dan proptosis 6 (18.8%). Penelitian ini
mengambil suatu kesimpulan bahwa insidens retinoblastoma pada penelitian ini sama dengan
pada penelitian sebelumnya. Faktor demografi dan sosio-ekonomi mempunyai peranan dalam
menentukan perjalanan penyakit pada anak dengan retinoblastoma. Perlu peningkatan sumber
daya manusia dan fasilitas penunjang demi meningkatkan kualitas hidup anak dengan
retinoblastoma.



INTRODUCTION
Retinoblastoma is the most common
primary intraocular malignancy of childhood
occurs in both hereditary and nonhereditary
forms, that affects approximately 300 children
in the United States each year. In the world
wide, the incidence of retinoblastoma is
recorded to be about 11 cases per million
children younger than 5 years.
1-3
A commonly
used estimate is case of retinoblastoma per
18.000-30.000 live births, depending on the
country. There seems to be no racial
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 150
predilection for retinoblastoma, and no
difference in incidence exists among blacks
and whites. The estimated sex ration is 1.12:1.
A modern day medical success story, more
than 90% of children can be cured of
retinoblastoma by early detection and
treatment of the affected eye. Unfortunately
some children can have both eyes affected.
Whenever possible, eye-cancer specialists try
to save a childs eyes and preserve vision.
4-6

Retinoblastoma is often present at birth
and is almost entirely restricted to early
childhood. Approximately 80% of cases are
diagnosed before children reach the age 3 to 4
years, with median age at diagnosis of 2 years.
The discovery of retinoblastoma beyond age 6
years is rare. Bilateral disease is diagnosed
earlier than unilateral disease. Sporadic
bilateral retinoblastoma has been associated
with advanced parental age.
7-9

In the United States, most cases are
diagnosed while the disease is still intraocular
where as in developing countries diagnosis
usually occurs later.
1-6
The most common signs
and symptoms are listed here in order of
frequency.
5,7,9

1. Leukocoria: white pupillary reflex
2. Strabismus, with an estropia or
exotropia from poor vision secondary
to macular involvement.
3. Red painful eye secondary to
intraocular inflammation, uveitis, or
vitreous hemorrhage.

Earlier detection of the tumor influence
the prognosis and in recent years has allowed
for more conservation eye sparing treatment
of retinoblastoma. Retinoblastoma treatment
typically requires the cooperation of an
ophthalmic oncologist, pediatric oncologist,
and radiation therapist. Over the last 30 years,
treatment has evolved from simple
enucleation (removal of the eye), to eye-
sparing radiotherapy, and more recently to
chemotherapy-based multimodality therapy.
Though retinoblastoma has been cured by
external beam irradiation, investigators have
suggested that radiation may cause an increase
the risk of developing second cancers later in
life.
10-15

There is only few reports about
retinoblastoma in Indonesia, that was the
reason why we conducted this retrospective
study to describe the incidence of
retinoblastoma in Indonesia.

OBJECTIVE
To describe the incidence of
retinoblastoma in Haji Adam Malik Hospital
Medan Indonesia during 1999 2003.

METHODS
We review the chart of all the children
with retinoblastoma who visited outpatient
clinic Hematology-Oncology Division and
Pediatric Ward of Department of Child
Health H.Adam Malik Hospital Medan during
1999 2003.

RESULTS

Table 1.
Distribution sample according to age and sex
n
(n=32)
%
Age group
0-5 yrs
6-10 yrs
>10 yrs
Sex
Male
Female

28
3
1

22
10

87.5
9.4
3.1

68.7
31.3

Most sample 28 (87.5%) were in group age
0-5 years and male more than female (68.7% vs
31.3%).

Table 2.
Distribution sample by nutritional status
Nutritional status
n
(n=32)
%
Normal
Mild malnourished
Moderate malnourished
Severe malnourished

8
2
9
13

25
6.3
28.1
40.6

From Table 2 above showed that there were
13 of 32 (40.6%) children with retinoblastoma
with severe malnourished, followed by moderate
malnourished 9 (28.1%) and mild malnourished
2 (6.3%). Only 8 of 32 (25%) had normal
nutritional status.

Table 3.
Initial diagnosis
Diagnosis n %
Unilateral 15 46.9
Bilateral 17 53.1

Selvi Nafianti Retinoblastoma in Children


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 151
From Table 3 showed that 17 (53.1%) had
one side retinoblastoma (unilateral) and 17
(53.1%) retinoblastoma affected both eyes
(bilateral).

Table 4.
Distribution of retinoblastoma type by group age
and sex
Unilateral Bilateral
n % n %
Group age
0-5 yrs
6-10yrs
>10 yrs

Sex
Male
Female

13
2
0


11
4

40.6
6.3
0


13.4
12.5

5
1
1


11
6

46.9
3.1
3.1


34.4
18.7

Retinoblastoma unilateral and bilateral
mostly in group age 0 5 years 13 (40.6%) and
15 (46.9%), respectively (Table 4). Male more
than female in unilateral (34.4% vs 12.5%) and
bilateral (34.4% vs 18.7%)

Table 5.
Presenting signs of children with retinoblastoma in
initial visited
Sign n %
White pupil (leukocoria)
Poorly aligned eyes (strabismus)
Red and painful eyes
Protruding eyes (proptosis)
9
7
10
6
28.1
29.1
31.3
18.8

This study found that most children with
retinoblastoma visited the hospital due to red
and painful eyes 10 (31.3%), followed by
leukocoria 9 (28.1%), strabismus 7 (21.9%)
and proptosis 6 (18.8%), respectively.

DISCUSSION
Most sample 28 (87.5%) were in group
age 0-5 years and male more than female
(68.7% vs 31.3%). Lee et al
6
in Singapore
found that 67 of 125 (53.6%) eye cancer
patient were male and the most common
cancer among children younger than 15 years
was retinoblastoma (95.7%). Moll et al
8

studied about familial retinoblastoma and
suggested to do screening until the age of 4
years in order to detect retinoblastoma as
early as possible. In this recent study it was
very difficult to convince the parents to
screening sibs and parents. This inferiority
provide late diagnosis of familial
retinoblastoma in our place.
This study showed that there were 13 of
32 (40.6%) children with retinoblastoma
suffered from severe malnourished, followed
by moderate malnourished 9 (28.1%) and
mild malnourished 2 (6.3%). Only 8 of 32
(25%) had normal nutritional status. There
were 17 (53.1%) retinoblastoma affected both
eyes (bilateral) and 15 of 32 (46.9%) had one
sided retinoblastoma (unilateral). Retinoblastoma
unilateral and bilateral mostly in group age 0
5 years 13 (%) and 15 (%), respectively (Table
4). Male more than female in unilateral
(34.4% vs 12.5%) and bilateral (34.4% vs
18.7%)
This study found that most children with
retinoblastoma visited the hospital due to red
and painful eyes 10 (31.3%), followed by
leukocoria 9 (28.1%), strabismus 7 (21.9%)
and proptosis 6 (18.8%), respectively.
Canzano et al
9
studied in the US, and found
that 50% of all retinoblastoma cases are
diagnosed after observation of leukocoria by a
family member or primary physician.
Abramson et al
2
in their retrospective study
from 1914 2000 reported that most US
children whose retinoblastoma is diagnosed
initially present with leukocoria detected by
parent, despite routine pediatric screening for
familial retinoblastoma via the red reflex test.
Initial disease detection at the point of
leukocoria or strabismus correlated with high
patient survival rates and poor ocular survival
rates for presenting eye. Saving eyes and vision
requires disease recognition before leukocoria.
In this recent study all the diagnosis were
made by pediatric hematologist. Chantada et
al
15
reported that pediatricians are the first
health professional seen by most children with
retinoblastoma. However, the diagnosis is not
readily established. There is a delay in
consultation by parents, and socioeconomic
and demographic factors might play role in
delayed diagnosis. These factors have a big
role in developing countries to influence the
history of retinoblastoma patients regarding
late diagnosis and treatment.
1-3,12,1315


CONCLUSION
The incidence of retinoblastoma in this
study is as high as previous studies.
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 152
Demographic and socioeconomic factors have
a big role in history of retinoblastoma. It is
required to improve human resources and
facilities to provide better diagnosis and
management of retinoblastoma in children.


REFERENCES
1. Aventura ML, Roque MR. Retinoblastoma.
eMedicine February 18
th
2002.
2. Abramson DH, Beaverson K, Sangani P,
Vora RA, Lee TC, Hochberg M, et al.
Screening for retinoblastoma: Presenting
signs as prognosticators of patient and
ocular survival. Pediatr 2003;112
(6):1248-55.
3. Butros LJ, Abramson DH, Dunkel IJ.m
Delayed diagnosis of retinoblastoma:
Analysis of degree, cause, and potential
consequences. Pediatr 2002;109(3)
4. Rubnitz JE, Crist WM. Molecular genetics
of childhood cancer: Implications for
pathogenesis, diagnosis, and treatment.
Pediatr 1997;100:101-8.
5. American Academy of Pediatrics.
Committee of Practice and Ambulatory
Medicine and Section on Ophthalmology.
Eye examination in infants, children, and
young adults by pediatricians. Pediatr
2003;111:902-7.
6. Lee SB, Eong KGA, Saw SM, Chan TK,
Lee HP. Eye cancer incidence in
Singapore. Br J Ophthalmol 2000;84:767-
70.
7. Armstrong RA. Retinoblastoma and the
new genetics. Optometry Today March
12
th
1999.


8. Moll AC, Imhof SM, Schouten-Van
Meeteren AYN, Boers M. At what age
could screening for familial
retinoblastoma be stopped? A register
based study 1945-98. Br J Ophthalmol
2000;84:1170-72.
9. Canzano JC, Handa JT. Utility of
papillary dilatation for detecting
leukocoria in patients with
retinoblastoma. Pediatr 1999;104 (4)
10. Rodriguez-Galindo C, Wilson MW, Haik
BG, Merchant TE, Billups CA, Shah N, et
al. Treatment of intraocular
retinoblastoma with vincristine and
carboplastin. J Clin Oncol 2003;21:2019-
25.
11. Tamboli A, Podgor MJ, Horm JW. The
incidence of retinoblastoma in the United
States: 1974 trough 1985. Arc
Ophthalmol 1990;108 (1).
12. Abramson DH, Ellsworth RM, Grumbach
N, Kitchin FD. Retinoblastoma: survival,
age at detection and comparison 1914-
1958, 1958-1983. J Pediatr Ophthalmol
Strabismus 1985;22 (6):246-50.
13. Shields JA, Augsburger JJ. Current
approaches to the diagnosis and
management of retinoblastoma. Surv
ophthalmol 1981;25 (6):347-72.
14. Levy C, Doz F, Quintana E, Pacquement
H, Michon J, Schlienger P, et al. Role of
chemotherapy alone or in combination
with hyperthermia in the primary
treatment of intraocular retinoblastoma:
preeliminary results. Br J Ophthalmol
1998;82:1154-58.
15. Chantada G, Fandino A, Marutti J,
Urrutia L, Schvartzman E. Late diagnosis
of retinoblastoma in a developing country.
Arch Dis Child 1999;80:171-4.




Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 153
A Comparative Study on The Physical Fitness Level Using
The Harvard, Sharkey, and Kash Step Test

Gusbakti Rusip
Department of Physiology, Faculty of Medicine
Islamic University of North Sumatra, Medan
Step test is one of the indexes used to evaluate the physical fitness of subjects.
However, there are three methods of step tests that can be used, each varying in step height:
Harvard step test with a bench height of 45 cm for male and 43 cm for female; Sharkey step test
with a height of 40 cm for male and 33 cm for female and Kash step test with a height of 30 cm
for both male and female. The purpose of this study was to do a comparative evaluation among
the three types of step test and to determine the optimal test in our subjects. Twenty-six medical
students (male and female, 19-24 years in age) participated in all the three types of step tests in
random order. The rhythm of the stepping was maintained with the help of a metronome for
5min, after which the recovery heart rate was measured according to the respective step test
method. The data was analyzed using t-test and correlation analysis. The results indicate that
Sharkey step test correlated significantly with Kash step tests (p>0.05). In conclusion, the
Sharkey step test was easier and optimal in evaluating the level of physical fitness and the
recovery of the cardiovascular system.
Keywords: step test methods, metronome and cardiovascular endurance


Abstrak: Step test merupakan salah satu jenis pengukuran tingkat kebugaran seseorang.
Diketahui terdapat tiga metode step test yang berbeda dalam tingginya antara lain metode
Harvard dengan menggunakan tinggi bangku bagi laki-laki 45 cm, wanita 43 cm; metode Sharkey
untuk laki-laki 40 cm dan wanita 33 cm sedangkan metode Kash menggunakan tinggi yang sama
baik laki maupun wanita 30 cm. Tujuan penelitian ini membandingkan ketiga metode ini dengan
mendapat hasil yang optimal. Penelitian ini melibatkan 24 mahasiswa/i baik laki maupun wanita
yang berumur 1924 tahun. Kesemua naracoba diikut sertakan dalam menjalan ketiga metode ini
yang dilakukan secara acak. Naik turun tangga ini dilakukan dengan mengikuti irama yang teratur
dari metronom selama 5 menit (150 kali naik turun), pengukuran denyut nadi dilakukan pada
masa pemulihan bagi setiap naracoba. Data yang didapat dianalisa secara statistik dengan uji-t dan
analisa korelasi. Dari hasil penelitian ini didapati suatu korelasi yang signifikan pengukuran tingkat
kebugaran dengan metode Sharkey dibandingkan dengan metode Kash (p < 0.01), dengan metode
Harvard (p < 0.01). Sedangkan, bila dibandingkan metode Harvard dengan metode Kash tidak
ada korelasi yang signifikan (p> 0.05). Dapat disimpulkan bahwa dengan metode Sharkey lebih
mudah dilakukan yang menghasilkan pengukuran tingkat kebugaran yang optimal.
Kata kunci: metode naik turun tangga, metronom dan kebugaran


INTRODUCTION
Step test is one of the indexes used to
evaluate the physical fitness of subjects. The
level of physical fitness is one of parameters to
improve individuals and societys health.
1,2

Regular exercises can improve physical
fitness. The measurement of physical fitness
is aimed to know the endurance of
cardiovascular. This component of
cardiovascular is important to measure
someones physical fitness. According to the
previous study, the recovery of cardiovascular
system. Pulse measurement at the recovery by
step test tends to be effective to dedicate that
the physical fitness in aerobic.
3,4
In other
researchers have reported that the step test in
the direct examination of physical fitness can
not measure VO
2max
.
5
The measurement of the
endurance of cardiovascular surely applies
some methods, such as Running test of 2.4
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 154
km, Running/walking test for 12 minutes, Fast
walking test and step tests. From some tests
mentioned, the research is interested to study
of step test which has got some methods, such
as Harvard, Sharkey, and Kash.
6
Froelicher
(1983), said that measure of endurance with
step test in filed have many advantage for
example of which is cheap relative, did not
need electrics and calibrate appliance.
7


Purpose
This study was to do a comparative
evaluation among the three types of step tests
and to determine the optimal test in our
subjects.

MATERIAL AND METHODS
Twenty-six medical students (male and
female, 19-24 years in age) participated an all
the three types of step tests in random order.

Experimental procedure
Every subjects takes an exercise by step
test according 3 methods, and detect a pulse
at the recovery. However, there are three
methods of step tests that can be used, each
varying in step height: Harvard step test with
a bench height of 45 cm for male and 43 cm
for female; Sharkey step test with a height of
40 cm for male and 33 cm for female and
Kash step test with a height of 30 cm for both
male and female.
Harvard method, Subject is asked go up
and down a bench rhythmically 120 time/
minutes regularly with a metronome for 5 min
(150 steps). The subjects raises his right leg
and put it on a bench after being commanded
go (start stopwatch), and then raised left leg
beside the right one, afterwards drops right leg
and followed by the left one. Before 5 min
subjects feel tired the detection is stopped and
write down the time. The subjects sits soon
after stopping, after 1 minute rest count pulse
rate for 30 second.

Assessment formula: time in second x 100
2 x (pulse1+pulse2+pulse3)

Score level of physical fitness:
Criteria Score value
Excellent 5 > 90
Above average 4 80-89
Average 3 65-79
Below average 2 50-64
Poor 1 <50

Sharkey method, The body weight of the
subjects is weighed. Subject is asked go up
and down a bench rhythmically 90 time/
minutes regularly with a metronome for 5
min. The subjects raises his right leg and put it
on a bench after being commanded go (start
stopwatch), and then raised left leg beside the
right one, afterwards drops right leg and
followed by the left one. Before 5 min
subjects feel tired the detection is stopped and
write down the time. The subjects sits soon
after stopping, after an hour rest subjects sit
15 seconds, a pulse counted for 15 seconds.
The result made (indexes see Table 1 and 2).
They must match the body weight of a
subject with a pulse produced. The level of
physical fitness of the subjects can be seen
from the assessment criteria.

Score level of physical fitness
A g e
Criteria Score 25 35 45 55 65
M F M F M F M F M F
Excellent 5 45 42 43 40 41 3838 39 36 37 34
Above average 4 40 37 38 35 36 33 33 31 32 29
Average 3 35 32 33 30 31 28 29 26 27 24
Below average 2 30 27 28 25 26 23 24 21 22 20
Poor 1 25 22 23 20 21 18 19 16 17 15
Note: M: Male; F: Female



Gusbakti Rusip A Comparative Study on The Physical


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 155
Kash method, The Subject is asked go up
and down a bench with rhythmically 96 time/
minutes regularly with a metronome for 3
min. The subjects raises his right leg and put
it on a bench after being commanded go
(start stopwatch), and then raised left leg
beside the right one, afterwards drops right leg
and followed by the left one. Before 3 min
subjects feel tired the detection is stopped and
write down the time. The subjects sits soon
after stopping, after an hour rest subjects sits
for 5 second, a pulse counted for 60 seconds.

Score level of physical fitness
Pulse/minutes
Criteria Score
Male Female
Excellent 5 71 96
Above
average
4 72 -102 97 - 127
Average 3 103 - 117 128 - 142
Below
average
2 118 - 147 143 - 171
Poor 1 > 148 > 178

Statistical analysis
The data was analyzed using t-test and
correlation analysis. Considered to have
significant difference (p<0.05).

RESULTS AND DISCUSSION
The mayor finding of the present was that
level of fitness. Previous many research
indicate that to burn 2000 calorie one week in
physical fitness, including three methods seen
to be its influence fitness. The exercise can
make backside muscle, calf and thigh strive
harder than walking in flat place. Therefore,
exercise steps test influence performance.

Exercise step test by Harvard methods
The results of step test shows that 5 min
are 17 persons (65%), and les than 5 min are 9
persons (34.6%). The level of physical fitness
of excellent are 2 persons (7.7%), above
average are 3 persons (11.5%), average are 12
persons (46.1%), below average are 2 persons
(7.7%), and poor are 7 persons (26.9%).

Exercise step test by Sharkey methods
The results of step test shows that 5 min
are 24 persons (92.3%), and les than 5 min are
2 persons (7.7%). The level of physical fitness
of excellent are 13 persons (50%), above
average are 10 persons (38.5%), average are 2
persons (7.7%), below average are 1 persons
(3.8%), and of less none.

Exercise step test by Kash methods
The results of step test shows that 3 min
are 26 persons (100%). The level of physical
fitness of excellent none, above average are 4
persons (15.4%), average are 8 persons
(30.8%), below average are 11 persons
(42.3%), and poor are 3 persons (11.5%).
The results indicate that Sharkey step test
correlated significantly with Kash step test
(p<0.01) and Harvard step test (p<0.01).
However, there was no significant correlation
between Harvard and Kash step tests (p>0.05).
In this case, its step height size of this three
methods directly influence physiological response
especially cardiovascular.

CONCLUSION
The comparative three methods, the
Sharkey step-test was easier and optimal in
evaluating the level of physical fitness and the
recovery of the cardiovascular system. The
step height size influences the result of
physical level of fitness.


REFERENCES
1. Pedoman pengukuran kesegaran jasmani,
Depkes RI, 1994.
2. Mc Ardley WD, Katch FI, Katch VC.
Energy, nutrition and human
performance. Exercise physiology, (3
rd
),
1991; p: 339-4.
3. Maksud MG, Coutts KD, Tisrani FE.
Maximal VO
2
, ventilation, and heart rate
of olympic speed skating candidates. J
Apll Physiol, 1970; 29: 186.
4. Ness GE. Alteration in pulmonary
function consequent to competitive
swimmers and their parents, J Appl
Physiol, 1974; 37: 27.
5. Miyamura M, Kuroda H, Hirata K and
Hinda H. Evaluation of the step test
scores based on the measurement of
maximal aerobic power, J Sport Med
Physiol Fitness, 1975; 15: 316-22.
6. Brouha,L. The step test: a simple
methode of measuring physical fitness for
muscular work in young men, R.Q. 1943;
14: 31-6.
7. Froeliches VF. Exercise testing and
training. Chicago: Years book publ, 1983.
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 156
Table 1.
Physical fitness indexes for male
Pulse body weight (kg)
54 58 63 68 72 77 81 86 90 95 99 104 108
180 33.0 32.8 32.8 32.6 32.6 32.3 32.3 32.3 62.3 32.1 62.1 31.9 31.9
175 34.8 33.9 33.9 33.7 33.4 33.4 33.4 33.0 33.0 33.0 32.8 32.8 32.8
170 35.4 34.8 34.9 34.8 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3
165 36.7 36.7 35.9 35.6 35.6 35.6 35.2 35.2 35.2 35.2 35.0 34.8 34.8
160 37.2 37.2 37.2 37.2 37.0 36.7 36.7 36.7 36.5 36.5 36.5 35.9 35.9
155 38.7 38.5 38.3 38.1 37.8 37.8 37.8 37.8 37.8 37.8 37.6 37.4 37.4
150 40.3 39.8 39.8 39.6 38.9 38.9 38.9 38.9 38.7 38.7 38.7 38.7 38.5
145 41.6 40.9 40.7 40.3 40.3 40.3 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0
140 42.9 42.7 42.0 41.8 41.8 41.8 41.6 41.6 41.6 41.6 41.6 41.6 41.6
135 44.4 44.0 43.3 43.1 43.1 43.1 43.1 43.1 43.1 42.9 42.9 42.7 42.5
130 46.2 45.8 45.5 45.3 45.1 44.9 44.9 44.9 44.7 44.7 44.7 44.2 44.2
125 48.0 47.3 47.1 46.9 46.6 46.6 46.6 46.6 46.6 46.6 46.6 46.6 46.6
120 49.7 49.3 49.1 48.8 48.6 48.6 48.4 48.4 48.4 48.4 48.4 48.4 48.4
115 51.7 51.7 51.5 51.0 51.0 51.0 51.0 51.0 50.6 50.6 50.6 50.4 49.5
110 53.7 53.7 53.5 53.2 53.2 53.0 52.8 52.8 52.8 52.6 52.6 51.7 51.3
105 56.1 56.1 56.1 55.7 55.4 55.2 55.2 55.0 55.0 55.0 53.9 53.5 53.0
100 59.0 58.7 58.3 58.1 58.1 58.1 57.4 57.4 57.6 56.5 56.1 55.3
95 64.2 61.8 61.2 61.2 61.2 60.9 60.7 60.7 59.4 58.7 57.2
90 67.3 65.1 64.7 64.7 64.5 64.2 64.0 62.5 61.6 60.1
85 69.3 69.3 68.2 67.8 67.8 67.8 65.8 64.9 63.7
80 72.8 72.6 71.9 71.9 71.9 69.5 68.4 67.2


Table 2.
Physical fitness indexes for female
Pulse body weight (kg)
36 41 45 50 54 59 64 68 73 77 82 86
175 31.2
170 31.9 31.9 62.1 32.1 32.1 32.1 32.1 32.1 32.3
165 32.3 32.6 33.0 33.0 33.2 33.2 33.2 33.2 33.2
160 33.4 33.7 33.9 34.1 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3 34.3
155 34.5 34.8 35.2 35.4 35.4 35.4 35.4 35.4 35.4 35.4
150 35.6 36.1 36.3 36.3 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7
145 37.2 37.4 38.1 38.1 38.1 38.1 38.1 38.3 38.3 38.9 38.9
140 38.7 39.4 39.4 39.4 39.6 39.6 39.6 39.6 39.6 39.6 39.6
135 39.6 39.8 40.0 40.3 40.3 40.9 40.9 41.1 41.1 41.4 41.6 41.6
130 40.5 41.1 41.8 42.0 42.2 42.9 42.9 43.1 43.3 43.3 43.6 43.6
125 41.4 43.6 43.8 44.0 44.0 44.4 44.7 44.9 44.9 45.3 45.3 45.3
120 42.5 45.3 45.8 46.0 46.0 46.4 46.9 47.1 47.1 47.3 47.5 47.5
115 44.4 47.7 48.0 48.0 48.0 48.0 49.3 49.3 49.3 49.3 49.3 49.3
110 48.0 50.2 51.5 51.7 51.7 51.7 51.9 52.4 52.4 52.8
105 51.7 53.7 53.7 53.9 54.1 54.6 55.4 55.7 55.7
100 55.2 56.8 57.0 57.6 58.3 58.3 59.4
95 58.1 60.7 61.2 61.6 62.3 62.3
90 62.7 64.7 65.6 67.5 67.5 68.6


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 157
Translokasi Kuman pada Obstruksi Usus Mekanik Sederhana
di RSUP H. Adam Malik/RSUD Dr. Pirngadi Medan

Bachtiar Surya
Departemen Ilmu Bedah/Subbagian Bedah Digestif
FK USU-RSUP H. Adam Malik Medan



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 158
Bachtiar Surya Translokasi Kuman pada Obstruksi Usus


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 159
rongga peritoneum. Pada Tabel 2 dapat dilihat
distribusi translokasi kuman berdasarkan
demografi penderita (umur dan jenis kelamin).
Berdasarkan umur, yang mengalami
translokasi kuman yang terbanyak berada pada
kelompok umur 45 54 tahun dan 55 64
tahun masing-masing ditemukan 3 dari 5
kasus. Sedangkan penyebaran umur merata
pada kelompok umur 15 24 tahun, 25 34
tahun, 35 44 tahun, dan 65 74 tahun,
dengan besaran masing-masing 2 kasus. Pada
kelompok umur di atas 75 tahun, tidak
ditemukan kasus translokasi. Berdasarkan jenis
kelamin ditemukan 11 dari 25 kasus yang
berjenis kelamin laki-laki dan 3 dari 5 kasus
yang berjenis kelamin perempuan.
Dari hasil penelitian ini (Tabel 2) tidak
ditemukan perbedaan bermakna (p > 0,05)
antara translokasi kuman dengan demografi
penderita (umur dan jenis kelamin) (Tabel 2).
Berdasarkan lokasi obstruksi, translokasi
kuman pada umumnya di usus halus yaitu 3
dari 16 kasus dan 11 kasus di usus besar dari
14 kasus. Berdasarkan lama obstruksi
ditemukan 3 dari 17 kasus yang mengalami
translokasi kuman kurang dari 2 hari dan 11
dari 13 kasus translokasi kuman lebih dari 2 hari.
Pada Tabel 3 memperlihatkan perbedaan
bermakna (p < 0,05) antara translokasi kuman
dengan lokasi dan lama obstruksi, yaitu
translokasi lebih banyak terjadi pada lokasi
obstruksi usus besar daripada usus halus dan
pada obstruksi yang lebih dari dua hari
(Tabel 3).

Tabel 1.
Deskripsi umur, suhu, nadi, dan leukosit
Variabel n Rerata SB Minimum Maksimum
Umur (tahun) 30 43,63 15,63 16,00 75,00
Suhu (
0
C) 30 37,19 0,42 36,50 37,90
Nadi (x/menit) 30 85,93 7,69 72,00 98,00
Leukosit (per-mm3) 30 10,44 1,28 4,70 11,80
Keterangan: SB = Simpangan Baku


Tabel 2.
Distribusi translokasi kuman berdasarkan demografi penderita (umur dan jenis kelamin)
Translokasi
Tidak Terjadi
Translokasi
Total Variabel
n n n %
P
Umur
- 15 24 thn 2 1 3 10 0,690
- 25 34 thn 2 5 7 23,3
- 35 - 44 thn 2 4 6 20,0
- 45 54 thn 3 2 5 16,7
- 55 64 thn 3 2 5 16,7
- 65 74 thn 2 1 3 10
- > 75 thn - 1 1 3,3
Total 14 16 30 100,0
Jenis Kelamin
- Laki-laki 11 14 25 83,3 0,513
- Perempuan 3 2 5 16,7
Total 14 16 30 100,0



Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 160
Tabel 4 menginformasikan dari 14 kasus
yang mengalami translokasi kuman,
terdistribusi pada berbagai etiologi. Kasus
yang dikarenakan hernia inguinalis lateral
inkarserata 3 dari 16 kasus dan yang
dikarenakan tumor 11 dari 14 kasus. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa translokasi
kuman lebih banyak pada penderita dengan
tumor daripada hernia inguinalis laeteralis
inkarserata (p < 0,05).
Tabel 5 memperlihatkan adanya
perbedaan jenis kuman yang ditemukan pada
lumen usus dengan rongga peritoneum, yaitu
8 dari 14 kasus yang mengalami translokasi.
Pada penelitian ini ditemukan 5 jenis kuman
yang mengalami translokasi ke cairan
intraperitoneum, yaitu Escherichia coli pada 2
kasus, Staphylococcus aureus 9 kasus,
Klebsiella oxytoca 1 kasus, Klebsiella
pneumoniae 1 kasus, yang merupakan kuman
anaerob fakultatif dan Pseudomonas
aeruginosa 1 kasus yang merupakan kuman
aerob obligat.
Tabel 6 dan Tabel 7 memperlihatkan
kuman-kuman yang sensitif terhadap
antibiotik yang diisolasi dari lumen usus
(Tabel 6) dan rongga peritoneum (Tabel 7).
Masing-masing isolat kuman ada yang sensitif
dan tidak sensitif terhadap antibiotika yang
diujikan. Apabila kedua tabel disatukan
khusus untuk membandingkan kuman-kuman
yang sensitif terhadap antibiotik yang diuji,
maka diperoleh Tabel 8.
Dari Tabel 8 dapat diketahui antibiotik
yang diperkirakan efektif dalam mengatasi
kemungkinan pasca-laparotomi adalah Amikin
dan Dibekasin.

DISKUSI
Berdasarkan temuan preoperatif dan
intraoperatif semua sampel pada penelitian
ini, tidak didapatkan adanya tanda-tanda
strangulasi atau nekrosis usus dan ini sesuai
untuk obstruksi usus mekanik sederhana. Pada
penelitian ini dibuktikan adanya translokasi
kuman pada 14 kasus (46,7%) ke cairan
rongga peritoneum dari 30 kasus obstruksi
usus mekanik sederhana. Penelitian yang
dilakukan oleh Zulfikar di Ujung Pandang
tahun 2004 menemukan empat kasus (20%)
translokasi kuman ke cairan rongga
peritoneum dari 20 kasus obstruksi usus
mekanik sederhana. Pada penelitian oleh Sagar
di Liverpool (Inggris) tahun 1994 mendapatkan
translokasi kuman di kelenjar getah bening
mesenterial pada 14 kasus (38%) dari 36 kasus
obstruksi di usus besar dan 16 kasus (7,3%)
dari 218 kasus tidak obstruksi di usus besar.
Penelitian oleh OBoyle di Scarborough
(Inggris) tahun 1997 pada 448 kasus yang
dilaparotomi mendapatkan 69 kasus (15%)
yang mengalami translokasi ke kelenjar getah

Tabel 3.
Distribusi translokasi kuman berdasarkan lokasi dan lama obstruksi
Translokasi Tidak Terdapat
Translokasi
Total
Variabel
n n n %

P
Lokasi Obstruksi
- Usus halus 3 13 16 53,3 0,001
- Usus besar 11 3 14 46,7
Total 14 16 30 100,0
Lama Obstruksi
- < 2 hari 3 14 17 56,7 0,000
- > 2 hari 11 2 13 43,3
Total 14 16 30 100,0


Tabel 4. Distribusi translokasi kuman berdasarkan etiologi
Translokasi Tidak Terjadi
Translokasi
Total
Etiologi
n n n %

P
HIL Inkarserata
Tumor
3
11
13
3
16
14
53,3
46,7
0,001
Total 14 16 30 100,0
Keterangan : Hil = Hernia Inguinalis Lateralis

Bachtiar Surya Translokasi Kuman pada Obstruksi Usus


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 161
Tabel 5.
Jenis kuman dalam lumen usus dan cairan rongga peritoneum pada obstruksi usus mekanik sederhana
Pasien
No.
Jenis Kuman di
Lumen Usus
Jenis Kuman di
Rongga Peritoneum
Keterangan
1. E.coli -
2. E.coli -
3. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
4. S.aureus S.aureus
5. S.aureus S.aureus
6. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
7. S.aureus + E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
8. E.coli -
9. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
10. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
11. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
12. S.aureus + K.pneumoniae K.oxytoca Jenis kuman berbeda
13. K.pneumoniae K.pneumoniae
14. E.coli S.aureus Jenis kuman berbeda
15. E.coli -
16. E.coli -
17. K.oxytoca -
18. K.penumoniae -
19. E.coli E.coli
20. E.coli E.coli
21. K.oxytoca -
22. S.aureus -
23. E.coli -
24. E.coli -
25. P.aeruginosa P.aeruginosa
26. P.aeruginosa -
27. E.coli -
28. E.coli -
29. E.coli -
30. K.oxytoca -

bening mesenterial, 38 kasus (8%) yang
mengalami translokasi ke serosa usus, 27 kasus
(39%) yang mengalami translokasi ke kelenjar
getah bening usus dan serosa usus, 28 kasus
(6%) yang mengalami translokasi ke pembuluh
darah perifer. Takesue di Hiroshima (Jepang)
tahun 2005, mendapatkan translokasi kuman
ke kelenjar getah bening mesenterial pada 32
kasus (39%) dari 75 kasus karsinoma
kolorektal yang tidak mengalami obstruksi.
Didapatkan lima jenis kuman yang
mengalami translokasi ke cairan rongga
peritoneum dan merupakan kuman anaerob
fakultatif, yaitu E. coli ditemukan pada dua
kasus, S. aureus sembilan kasus, K. oxytoca
satu kasus, K. pneumoniae satu kasus, dan
kuman aerob obligat yaitu P. aeruginosa satu
kasus. Penelitian di Ujung Pandang didapat
tiga jenis kuman yang mengalami translokasi
yaitu E.coli pada dua kasus, K.aeruginosa pada
satu kasus, Enterobacter pada satu kasus.
Penelitian OBoyle (1997) mendapatkan jenis
kuman yang mengalami translokasi ke serosa
usus terbanyak E.coli (37%), Coagulase
negative staphylococcus (32%), K. oxytoca
(11%). Yang mengalami translokasi ke
kelenjar getah bening mesentrial E. coli
(55%), Coagulase negative staphylococcus
(26%), K. oxytoca (10%), S. aureus (3%), P.
aeruginosa (1%). Takesue (2005)
mendapatkan kuman terbanyak E.coli (31%),
K. Pneumoniae (8%), S.aureus (1%), P.
aeruginosa (1 %).
Terjadinya translokasi kuman dapat
disebabkan karena perubahan keseimbangan
antara koloni usus dan sistim imunitas hospes
dan barrier mukosa usus. Masuknya
endotoksin dari kuman akan menghilangkan
fungsi barrier mukosa usus karena endotoksin
akan mengganggu mikrosirkulasi mukosa usus.
Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 162
Dengan masuknya endotoksin dari saluran
cerna dapat mengakibatkan sepsis, acute
respiratory distress syndrome, gagal organ
multistim hingga kematian.
9,10

Pada berbagai penelitian dijumpai
hubungan yang signifikan antara translokasi
bakteri dan kematian pasca-operasi.
2
Dari
Tabel 5 diketahui 8 dari 14 kasus yang
mengalami translokasi dijumpai jenis kuman

Tabel 6.
Kuman-kuman yang sensitif terhadap antibiotik yang diisolasi dari lumen usus
No. Jenis Antibiotik Jenis Kuman
E.coli S.aureus K.oxytoca K.pneumoniae P.aeruginosa
1. Ampicilin - - - - -
2. Cefotaxim + + + + +
3. Ceftriaxon + + + + +
4. Amikin + + + + +
5. Gentamicin + + + - -
6. Kanamicin + + + + -
7. Dibekasin + + + + +
8. Cyprofloxacin + + + + +
9. Chloramphenicol + + + + -
10. Tetracyclin - + - - -
Keterangan: + : sensitif
- : non sensitif


Tabel 7.
Kuman-kuman yang sensitif terhadap antibiotik yang diisolasi dari rongga peritoneum
No. Jenis Kuman

Jenis Antibiotik
E.coli S.aureus K.oxytoca K.pneumoniae P.aeruginosa
1. Ampicilin - - - - -
2. Cefotaxim + + + + +
3. Ceftriaxon + + + + -
4. Amikin + + + + +
5. Gentamicin + + - - -
6. Kanamicin + + + + -
7. Dibekasin + + + + +
8. Cyprofloxacin + + + - +
9. Chloramphenicol + + + + -
10. Tetracyclin - - - - -
Keterangan: + : sensitif
- : non sensitif


Tabel 8.
Kuman-kuman yang sensitif terhadap antibiotik yang diuji
No. Jenis Antibiotik Jenis Kuman
E.coli S.aureus K.oxytoca K.pneumoniae P.aeruginosa
LU RP LU RP LU RP LU RP LU RP
1. Ampicilin - - - - - - - - - -
2. Cefotaxim +/- + + + + + +/- + + +
3. Ceftriaxon + + +/- +/- + + + + +/- -
4. Amikin + + + + + + + + + +
5. Gentamicin +/- + +/- +/- +/- - - - - -
6. Kanamicin +/- + + +/- + + + + - -
7. Dibekasin + + + + + + + + + +
8. Cyprofloxacin +/- + + + +/- + +/- - +/- +
9. Chloramphenicol +/- + + +/- + + + + - -
10. Tetracyclin - - +/- - - - - - - -
Keterangan: LU :lumen usus
RP : rongga peritoneum
+ : sensitif
- : non sensitif
+/- : ada sensitif dan ada yang non sensitif

Bachtiar Surya Translokasi Kuman pada Obstruksi Usus


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 163
Tabel 9.
Translokasi kuman ke rongga peritoneum
No Jenis Kuman Intralumen Simarmata (2006) Boyle (1997) Zulfikar (2004)
1. E. coli 19 2 14 6 7 2
2. S. aureus 5 3 ND - ND ND ND
3 K. oxytoca ND 4 2 ND ND
4 K. pneumoniae 3 1 ND - ND ND ND
5 P. aeruginosa 2 1 ND - ND ND ND
6 K. aeruginosa ND - ND ND ND 3 1
7 Enterobacter ND - ND ND ND 2 1
Keterangan: ND : Non Data

yang berbeda. Namun 6 dari 8 translokasi
kuman yang berbeda adalah E. coli jenis
kuman di lumen usus dan S. aureus jenis
kuman di rongga peritoneum. Hal ini
dimungkinkan sewaktu isolasi kuman dari
lumen usus, jenis kuman yang mengalami
translokasi tidak teraspirasi. Sangkaan ini
diperkuat dengan kasus nomor 7 di mana jenis
kuman di lumen usus adalah S. aureus dan
E. coli, jenis kuman di rongga peritoneum
adalah S. aureus saja.

Pola kepekaan kuman terhadap antibiotik
di lumen usus dan di rongga peritoneum pada
tujuh kasus dengan jenis kuman yang sama
tidak dijumpai perbedaan pada penelitian ini.
Tidak ditemukan adanya perbedaan yang
bermakna secara statistik antara terjadinya
translokasi kuman dengan umur dan jenis
kelamin. Sedangkan antara terjadinya
translokasi kuman dengan lokasi, lama, dan
etiologi obstruksi ditemukan perbedaan yang
bermakna.

KESIMPULAN
1. Pada obstruksi usus mekanik sederhana
dapat terjadi translokasi kuman dari
lumen usus ke rongga peritoneum 14 dari
30 kasus; (46,7%).
2. Ditemukan perbedaan bermakna dalam
hal translokasi kuman menurut lokasi,
lama dan etiologi obstruksi, di mana
translokasi lebih banyak terjadi pada:
a. lokasi obstruksi usus besar daripada
usus halus,
b. obstruksi yang lebih dari dua hari
c. penderita dengan tumor daripada
hernia inguinalis lateralis inkarserata.
3. Jenis kuman yang mengadakan translokasi
ke rongga peritoneum adalah jenis
anaerob fakultatif yaitu E. coli, S. aureus,
K. oxytoca, K. Pneumoniae, dan jenis
aerob obligat yaitu P. aeruginosa.
4. Dijumpai perbedaan jenis kuman di
lumen usus dengan di rongga peritoneum.
5. Pola kepekaan kuman terhadap antibiotik
pada kasus dengan jenis kuman yang sama
di lumen usus dan di rongga peritoneum
tidak dijumpai perbedaan.
6. Amikin dan Dibekasin merupakan
antibiotik yang sensitif pada semua kuman
yang mengalami translokasi dalam
penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA
1. Alexander JW, Boyce ST, Bobcock GF, et
all: The Process of Microbial
Translocation, Ann of Surg. 212, 1990,
496 510.
2. I Ketut Bubha: Macam dan Diagnosis
Obstruksi Intestinal, Dibawakan Pada
Muktamar VI Ikabdi Semarang, 2002,
116.
3. OBoyle CJ, MacFie J, Mitchell CJ et al.:
Microbiology of Bacterial Translocation in
Human, Gut, 42, 1998, 29 35.
4. Ellis H: Acute Intestinal Obstruction in
Maingots Abdominal Operations, Applei
and Lange, Vol. I, 9
th
ed, 1989, 885 98.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg: Flora Mikroba
Normal Tubuh Manusia, Mikrobiologi
Kedokteran, Alih bahasa: Nugroho E,
Maulany RF, Edisi 20, EGC, 1995,
188 92.
6. Levine BA, Brandley Aust J: Kelainan
Bedah Usus Halus, Sabiston Buku Ajar
Bedah, Alih bahasa: Andrianto P, Timan
IS, Bagian I, EGC, 1995, 543 59.

Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 164
7. Munster AM: Gut; Clinical Importance
Bacterial Translocation, Permeability and
Other Factors, Multiple Organ Failure:
Pathophysiology, Prevention and Therapy,
SpringerVerlag New York Inc, 2000,
86 9.
8. Nabie BA, Khalsa SS: Small Bowel
Obstruction e Medicine Journal, 2, 2001,
150 61.
9. Zulfikar M: Translokasi Kuman pada
Obstruksi Usus Mekanik Sederhana di
RSU Wahidin Sudiro Husodo Ujung
Pandang, 2004.
10. Pickleman J: Small Bowel Obstruction,
Maingots Abdominal Operations,
Prentice Hall International Inc, 10
th
ed,
Vol II, 1997, 1159 68.
11. Roumen RMH: Intestinal Permeability
after Severe Trauma and Haemorrhagic
Shock is Increase without Relation to
Septic Complication, Arc. Surg 128,
1993, 453 7.




Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 165
lications of Cesarean Deliveries

Daulat H. Sibuea
Department Obstetric and Gynecology
North Sumatra University, Faculty of Medicine, Medan, Indonesia


Abstract: The objectives of this study were to document and compare complication rates of
vaginal delivery with that elective and emergency cesarean delivery ( cesarean section / or CS). A
prospective study was performed base on 1745 pregnant women with live fetus, and delivered
between November 15, 2001 through November 15, 2003 in Haji Adam Malik Hospital and Dr.
Pirngadi Hospital Medan in Indonesia. Of those 1013 women delivered vaginally, 283 women
with elective CS, and 449 women with emergency CS, whose follow up to the 5
th
7
th
day were
possible, data were recorded use the same standardize research protocol. The protocol has been
developed by senior staff of the Epidemiology Unit, Prince of Songkla University, Hat-Yai,
Thailand, also by the expert appointed by World Heath Organization (WHO). Maternal
mortality rate of respective three modes of delivery were 6.9; 0.0 and 15.6 deaths per 1000
women. The statistically its significant highest in emergency CS group. Other maternal
complications e.g. mayor wound complication, (i.e. bladder injury, abdominal wound dehiscence,
peritonitis) and hemorrhage needing blood transfusion, follow the same pattern is lowest in
vaginal delivery and highest in emergency CS group, except for hemorrhage needing hysterectomy.
Only complication which is the highest in vaginal delivery is major secondary operation (i.e. manual
removal of placenta, evacuation of uterine content, and suture perineal wound dehiscence).
Early neonatal mortality (deaths) rate was however highest in the emergency CS group and the
difference is not statistically significant compare to vaginal delivery and elective CS group. But,
the rates of moderate and severe birth asphyxia were statistically significant low among elective
CS and vaginal delivery group compare to emergency CS group. CS of both types increase
maternal complication, moderate and severe birth asphyxia, so unnecessary CS should therefore
be avoided.
Keywords: mode of delivery, maternal complications, early neonatal complications


Abstrak: Tujuan penelitian prospektif ini adalah pengumpulan data dan membandingkan angka
komplikasi dari kelompok persalinan pervaginam, seksio sesarea elektif, dan seksio sesarea (SS)
emergensi. Seluruhnya ada 1745 ibu bersalin yang diteliti (yang terdiri dari 1013 ibu bersalin
pervaginam, 283 ibu dengan SS elektif, dan 449 ibu dengan SS emergensi, yang diobservasi
sampai post partum hari ke-5 7, data dicatat pada protokol penelitian yang sudah distandarisasi.
Angka kematian maternal adalah 6.9 per-1000 ibu bersalin pervaginam, 0.0 per-1000 ibu SS
elektif, dan 15.6 per-1000 ibu SS emergensi. Komplikasi maternal lainnya seperti komplikasi
perlukaan mayor (misalnya; perlukaan kandung kemih, jahitan luka laparotomi terbuka,
peritonitis), perdarahan dengan pemberian transfusi darah adalah rendah pada kelompok
persalinan pervaginam, meningkat pada kelompok SS elektif, dan tertinggi pada kelompok SS
emergensi, kecuali seksio-histerektomi. Komplikasi yang sering pada persalinan pervaginam
adalah operasi mayor sekunder (seperti; plasenta manual, kuretase, dan penjahitan ulang luka
perineum yang terbuka).
Angka kematian neonatal dini adalah tinggi pada kelompok SS emergensi namun tidak berbeda
bermakna dibanding dengan kelompok persalinan pervaginam dan kelompok SS elektif. Namun,
angka asfiksia sedang dan berat adalah rendah pada kelompok SS elektif dan pada kelompok
persalinan pervaginam dibanding dengan kelompok SS emergensi. SS emergensi dan elektif
meningkatkan angka komplikasi maternal, komplikasi asfiksia neonatal dini sedang dan berat, oleh
sebab itu seksio sesarea yang tidak jelas indikasinya jangan dilakukan.
Kata kunci: cara persalinan, komplikasi maternal, komplikasi neonatal dini

Karangan Asli


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 166
INTRODUCTION
Maternal mortality in developing
countries its one of the most important
reproductive health problems. CS facilities are
an essential heath service to increase safe
motherhood.
1
The procedure is the most
important way to save the woman and the
fetus with complications of labors including
dystocia, placenta previa and fetal distress.
The association CS and maternal mortality in
developing countries is often confounded by
indication, prognostic factors and preceding
complications of pregnancy.
2
The cases had
higher odds for several kinds of complications
of pregnancy including anemia, oedema,
eclampsia, and prolonged labor. In addition to
emergency conditions, the equipment,
facilities and skill of the operators may be
inadequate in many places thus leading to
high case fatality.
3

This study is as a part of multicenter
involving 10 Asian countries, and all center
shared the same standardize research protocol,
which has been developed by chief and senior
staff of the Epidemiology Unit, Prince of
Songkla University, Faculty of medicine, Hat-
Yai, Thailand, and the expert appointed by
WHO.
The study objective was to document and
compare the complication rates of vaginal
delivery with those of elective and emergency
CS, in the Haji Adam Malik Hospital and Dr.
Pirngadi Hospital Medan Indonesia.

MATERIALS AND METHODS
The design was prospective study
collecting data from pregnant women with
live fetus and their new born infants who
were delivered at and residing in proximity to
the Haji Adam Malik Hospital and Dr.
Pirngadi Hospital Medan, Indonesia. This
database were collected at delivery 2
nd
and 5
th

days post partum. The same standardize
research protocol has been developed by chief
and senior staff of the Epidemiology Unit,
Prince of Songkla University, Faculty of
Medicine, Hat-Yai Thailand, and the expert
appointed by WHO, and was approved by
institute review board of each hospital, as well
as WHO scientific and ethical review
committee, as well as the institute review
board of study center. The study was
conducted during November 15, 2001
through November 15, 2003.
Consecutive eligible delivery cases were
identified at the labor rooms and post-partum
ward by midwife staff and invited to
participate in the study. In cases of elective
(planned) CS, admission to the study and
informed consent was obtained prior to
delivery as soon as reasonable after delivery. In
cases of emergency CS, admission to the study
and informed consent was obtained as soon as
reasonable after delivery. In subjects with
vaginal delivery, informed consent was
obtained and admission to the study
performed as soon as reasonable after delivery.
Case eligibility was confirmed by the
principal investigator who also reviewed
potential cases on the daily basis. For
surveillance of complications, clinical check
list on discharge from hospital was used. By
this system, all complications of delivery
within 48 hours were detected at the hospital.
Using a similar check list, all CS patients and
sample of patients with vaginal deliveries were
followed up at hospital or at home within 5
7 days. A surveillance system was also set up
to identify patents who return to the hospital
for any reason during six weeks postpartum.
Data coding, monitoring and verification
were carried out by investigator as soon as the
form arrives from the interviewers.
Computerization of data was carried out using
a specific data entry program compiled from
Epi-Info Version 6.04. The data were
transferred and analyzed using R statistical
package. Fishers exact test where appropriate
were used to test statistically significant
difference of rates among groups of deliveries.
A P value < 0,005 was considered statistically
significant.

RESULTS
Between November 15, 2001 and
November 15, 2003, there were records of
1745 women recruited in Haji Adam Malik
Hospital and Dr. Pirngadi Hospital Medan,
Indonesia. These gave births 1728 singletons,
15 twins and, 2 women delivered of first twins
out side hospital and second twins in hospital.
The distribution of mode of delivery was 1013
women with vaginal deliveries, 283 women
with elective CS and 449 emergency CS.

Daulat H. Sibuea Maternal and Fetal Complications of Cesarean Deliveries

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 167
Table 1.
Maternal complication by mode of delivery
Mode of delivery
Type of Maternal complication Vagina
n1=1013
women
Elective CS
n2=283
women
Emergency
n3=449
women
Fishers exact test p
value
Mayor wound complications or mayor
secondary operation per 100 women
Hemorrhage needing blood transfusion per
100 women
Hemorrhage needing hysterectomy per 100
women
Maternal deaths per 1000 women
0.2

0.3

0.3

6.9
0.4

7.8

0.4

0.0
2.6

24.5

0.9

15.6
0.001

0.001

0.315

0.001


Table 2.
Early neonatal complication by mode of delivery
Mode of delivery
Type of Early Neonatal Complication Vagina
n1=1005
live births
Elective CS
n2=285
live births
Emergency
n3=448
live births
Fishers exact test
p value
Moderate and severe early neonatal
asphyxia per 100 live birth
Early neonatal deaths 1000 live birth
1.3

8.9
1.0

7.0
8.7

26.8
0.001

0.020

Shown in Table 1, a consistent ascending
order of complications of delivery from
vaginal delivery to elective CS and highest at
emergency CS; and the difference is
statistically significant, except for hemorrhage
needing hysterectomy. These complications
include mayor wound complication (i.e.
bladder injury, abdominal wound dehiscence,
peritonitis), and hemorrhage needing blood
transfusion, maternal deaths, except for
hemorrhage needing hysterectomy. The only
complication which is the highest in vaginal
delivery is mayor secondary operations (i.e.
manual removal of placenta, evacuation of
uterine content, and suture perineal wound
dehiscence).
There were 14 maternal deaths out of
1745 women delivered; emergency CS group
had the highest mortality rate (15.6 per 1000
women). This value is statistically significant
higher than the rates among vaginal group and
elective CS group (6.9 and 0.0 per 1000
women, respectively), and the difference
between the two latter rates also is statistically
significant.
Eclampsia and other pregnancy induced
hypertensive condition were the most
common contributing to seven of these 14
maternal deaths. This is high compare to
other classic causes of maternal deaths i.e.
four maternal deaths from postpartum
hemorrhage, two maternal deaths from
serious infection recorded as puerperal sepsis
post emergency CS, and one due to coma
hepaticum postpartum.
Altogether there were 1738 live born
infants and 23 still births Complication rates
in the fetal side were somewhat different from
maternal complications. Elective CS group
has lowest early neonatal mortality rate, but
not statistically significant compare than those
in the vaginal delivery and the emergency CS
group.
Elective CS group also had the lowest rate
of moderate and severe birth asphyxia (Apgar
score at min 5 less than 7 for moderate birth
asphyxia, and less than 4 for severe birth
asphyxia) and statistically significant compare
than those in the vaginal delivery and
emergency CS group.

DISCUSSION
This study confirms that in two hospitals
the rate of various maternal complications
generally ascending from vaginal delivery to
elective and emergency CS. The findings of
lowest rate of maternal complications from
vaginal delivery were also reported from
previous other studies.
4-6

From this study mayor complications on
the maternal side are more serious in CS
deliveries than in vaginal deliveries.
Karangan Asli



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 168
Among maternal complications,
eclampsia, pregnancy induced hypertension
and related disease, are the most common
cause of death, than hemorrhage and
infection. These figures have to be interpreted
with caution due to that fact that the study is
conducted in tertiary hospital. The pattern in
each hospital cant represent that of the whole
region. Pregnancy induced hypertension
which can lead to eclampsia and death are
chronic obstetric condition that are in more
easily detected. The advancement in obstetric
facilities may have more benefit effect on case
fatality of the classic obstetric complication
triad (obstructions or dystocia, hemorrhage,
and infections) than eclampsia. With any of
these explanations, the study suggests that
more research and development in obstetrics
should be given to reduce this highest cause of
obstetric death.
The relationship between mode of
delivery and the outcomes however should be
interpreted with caution. Selection of the
mode was not randomly assigned by mainly by
indication. Emergency cesarean delivery is
generally considered as a life saving obstetric
procedure. Patients who had indications for
this procedure would have already been in
worse conditions compared to elective
cesarean and vaginal delivery, this prone to
higher complications rate.
Hall and Bewley
7
, showed that where as
emergency CS was associated with and almost
ninefold risk of maternal death relative to that
of vaginal delivery, even elective CS was
associated an almost threefold risk. Harper
and coauthor
8
, reported that CS was
associated with an almost fourfold risk of
maternal death, even after controlling for
pregnancy complication.
Elective cesarean delivery is usually
performed under a controlled condition.
Although indications for elective cesarean
delivery may predispose the patients to
subsequent complications, with better
prepared conditions, the level of
predisposition would be lower than the
emergency condition.
The findings on the fetal aspect were
different from the maternal side, statistically
significant low fetal complications rates for
moderate and severe birth asphyxia was
observed in elective cesarean delivery group.
Elective cesarean delivery group poses
lowest risk for early neonatal mortality, but
not statistically significant different compared
to vaginal and emergency cesarean delivery
group. These outcomes are combine results of
selection of cases of elective cesarean delivery
and the newborn care. On one hand, the
procedure of elective cesarean delivery is
carried out under proper planning and
preparation while the fetus is still in good
condition. These may lead to less chance of
asphyxia.
In conclusion, our data suggest that
elective cesarean delivery carried out under
these hospitals does not pose special serious
risk to the offspring. Matthew and coauthor
9
,
have reported a consistent association
between increasing cesarean delivery rates and
falling perinatal death rates.
Increased risk for mayor wound
complications and the need for blood
transfusion are all related to surgery. Although
vaginal delivery is associated with mayor
secondary operation, e.g. due to retention of
placenta, perineal wound dehiscence, the
surgical risk of cesarean delivery out-weight
this less serious risk.

CONCLUSION
Our data suggest that various procedures
in cesarean delivery did exert statistically
significant additional risk to the women.
Cesarean deliveries can increase maternal
complication, it should be as signed the
patients with high precautions. Elective
cesarean deliveries, when properly chosen, can
reduce maternal complications from
emergency cesarean deliveries and safe the
fetal health from complications.

ACKNOWLEDGMENTS
The author is grateful to: The
Department of Reproductive Health and
Research Family and Community Health
Cluster, World Health Organization, for the
financial support for this study; Dr. Viraksakdi
Chongsuvivatwong, and Dr. Apiradee Lim,
the chief and senior staff of the Epidemiology
Unit, Prince of Songkla University, Faculty of
Medicine, Hat Yai, Thailand, for statistic
analysis assistance of this study ; Professor
Dr.H. Djafar Siddik, Sp.OG, Chairman of
Western Indonesian Reproductive Health
Daulat H. Sibuea Maternal and Fetal Complications of Cesarean Deliveries

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 169
Development Centre, for support and
suggestion for this study; The director of Haji
Adam Malik Hospital and Director of Dr.
Pirngadi Hospital Medan, Indonesia, for their
kindly allowed its hospital to be the site of
this study; All midwives who offered for
collecting data assisting.

REFERENCES
1. Thonneaw P, et al. Risk factors for
maternal mortality; results of a case-
control study conducted in Conakry
(Guinea); J. Gynecol Obstet 1992; 39 :
87 92.
2. van-Denbroeck N, Banlerberghe W.
Cesarean section for maternal indication
in Kasongo (Zaire). Int. J. Gynecol Obstet
1986; 24: 121 26.
3. White SM, Thorpe RG, Maine D.
Emergency Obstetric surgery performed
by nurses in Zaire. Lancet 1987: 12; 621
28.
4. Hager RM, et al. Complication of cesarean
deliveries; rates and risk factors. Am. J.
Obstet Gynecol 2004; 190 (2), 428 34.
5. Bergholt T, Stenderup JK, Vested JA,
Helm P, Lenstrup C. Intra-operative
surgical complication during cesarean
section; An observational study of the
madence and risk factors. Acta Obstet
Gynecol Scand 2003; 82 (3), 251 56.
6. van-Ham MA, van-Dongen PW, Mulder J.
Maternal consequences of cesarean
section. A retrospective study of intra -
operative and post operative maternal
complications of cesarean section during a
10-year period. Eur J. Obstet Gynecol
Reprod Biol 1997; 74 (1), 1 6.
7. Hall MH, Bewley S. Maternal mortality
and mode of delivery. Lancet 1999; 354;
776 82.
8. Harper MA, et al. Pregnancy related death
and health care services. Obstet -Gynecol
2003; 102; 276 81.
9. Matthew TG, et al. Rising Cesarean
Section Rates: A can for concern? Br J.
Obstet - Gynecol 2003; 110; 346 58.


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 170
The Use of Versapoint in Operative Hysteroscopy

Budi R. Hadibroto
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP H. Adam Malik RSUD Dr. Pirngadi Medan


Abstract: To assess the efficacy and safety of operative micro-hysteroscopy versapoint bipolar
measurements and main results. Fifteen women (age range 35 55 years) with abdominal uterine
bleeding (AUB) were treated with endometrial ablation (10), ablation polyps (3) and myoma
(fibroid) submucous (2). All surgeries were performed without complication. The anesthesia
were spinal block. Distension medium is established with normal saline. All patients are
ambulatoir. All procedures could be finished within 40 minutes. The Gynecare Versapoint
Bipolar Electrosurgery System offers breakthrough technology for use in a safe saline environment
and permits treatment of various benign intrauterine pathologies, as well as the treatment of
abnormal uterine bleeding. This innovative system represents a significant advance in bipolar
electrosurgical technology, permitting rapid and controlled tissue effects such as vaporization,
desiccation and cutting. Fifteen women underwent hysteroscopic procedures, using the 5 mm
continuous flow hysterocope by the versapoint bipolar electrosurgical system. Normal saline was
used for distension of the uterine cavity. Case of versapoint were treated by using the Twizzle
electrode of the versapoint bipolar system: 10 (66,6%) endometrial ablation, 3 (20%) ablation
polyps, and 2 (13,3%) myoma submucous. Hysteroscopic treatment of benigna intrauterine
pathology or abnormal uterine bleeding with the versapoint system is an effective safe and simple
procedure.
Keywords: versapoint, hysteroscopy


Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efikasi dan keamanan teknik operasi mikro-
histeroskopi menggunakan bipolar versapoint. The Gynecare Versapoint Bipolar Electro Surgery
System membuat teknologi baru dalam penangan patologi intrauterine yang jinak dalam
lingkungan saline. Sistem inovatif ini menghasilkan keunggulan yang signifikan dalam teknologi
elektrosurgikal yang memungkinkan vaporisasi, deseksi, dan pemotongan jaringan yang lebih
cepat dan terkontrol. Lima belas wanita yang menjalani prosedur histeroskopi menggunakan
histeroskop aliran teratur (continuous flow hysteroscope) ukuran 5 mm dari versapoint electro-
surgical system. Normal saline digunakan untuk mengembangkan rongga uterus. Dijumpai 10
(66,6%) kasus ablasi endometrial, 3 (20%) kasus ablasi polip dan 2 (13,3%) kasus myoma
submukus ditangani dengan versapoint. Dari penelitian didapat hasil bahwa terapi histeroskopi
pada keadaan patologi intrauterine yang jinak maupun perdarahan uterus disfungsi dengan
memakai system versapoint terbukti lebih efektif, aman, dan sederhana.
Kata kunci: versapoint, histeroskopi


INTRODUCTION
To assess the efficacy and safety of
operative micro-hysteroscopy versapoint
bipolar measurements and main results.
Fifteen women (age range 35 55 years) with
abdominal uterine bleeding (AUB) were
treated with endometrial ablation (10),
ablation polyps (3) and myoma (fibroid)
submucous (2). All surgeries were performed
without complication. The anesthesia were
spinal block. Distension medium is established
with normal saline. All patients are
ambulatoir. All procedures could be finished
within 40 minutes.
The Gynecare Versapoint Bipolar
Electrosurgery System offers breakthrough
TINJAUAN PUSTAKA
Budi R. Hadibroto The Use of Versapoint in Operative Hysteroscopy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 171
technology for use in a safe saline
environment and permits treatment of various
benign intrauterine pathologies, as well as the
treatment of abnormal uterine bleeding. This
innovative system represents a significant
advance in bipolar electrosurgical technology,
permitting rapid and controlled tissue effects
such as vaporization, desiccation and cutting.
1


DESCRIPTION OF VERSAPOINT BIPOLAR
Versapoint electrosurgical system is
designed procedures. A typical versapoint
system woul d can pause the fol l owi ng
i tems:
2-6

- Versapoint electrosurgical generation
- Versapoint dual pedal foot switch
- Reusable 3 m connector cable
- A range of sterile, single axe electrodes

The electrodes such as the 5F type are
approximate 360 mm long and intended for
insertion down the working channel of
standard commercially, available
hysteroscope, different active tip are available
to provide apposite tissue effect according to
prefence and nature of the gynecological
operation. The electrodes are designed to
provide both ablation and coagulation of
tissue only when active within a saline
environment, thus minimizing the risk of
hyponatremia.

INDICATION OF VERSAPOINT BIPOLAR
SYSTEM
The versapoint hysteroscopic system is an
electrosurgical system used in conjunction
with continuous flow hysteroscopes with 5Fr
or larger working channels for correction of
the following pathologies.
2-6

- Submucous myoma
- Endometrial polyps
- Hyperplasia endometri (DUB)
- Intrauterine adhesion
- Uterine septa/synochia

A range of tissue effects can be achieved
using various electrodes and six modes of
operation including Vapor Cut 1, 2, 3; Blend
1, 2; and Desiccate to treat a wide array of
benign uterine pathologies. In either
hysteroscopic or resectoscopic applications,
the Gynecare Versapoint Bipolar System can
deliver instantaneous vaporization, thereby
eliminating the creation of resection chips
that can obscure visualization and extend
procedure time.

ADVANTAGES OF THE VERSAPOINT
BIPOLAR SYSTEM
4,6,10

- Easy to set up
- Works under normal saline
- Versatile: allows varying tissue effect
- Facilities, virtually bloodless intrauterine
surgery
- Safe and well toleratedly patients
- Relatively short hearing curve

The system was designed to respond to
the increasing need in the gynecological
practice to provide "See and Treat." That is,
the surgeon has the option to treat benign
uterine pathology at the time of diagnosis in a
single intervention which offers many
advantages:
- saves time
- reduces costs by eliminating a return office
visit for treatment
- can often reduce patient anxiety by
eliminating the waiting time between
diagnosis and treatment

In addition, little or no cervical dilation is
required because the Gynecare Versapoint
Bipolar 5 Fr. Electrodes can be used with
small diameter hysteroscopes. Fluids which
are used as distention medium can be
absorbed into the cells during hysteroscopy by
four distinct means:
- through vascular absorption
- into cervical lacerations, and
- by conductive venous pressures via tissue
extravasation

During fluid absorption by vascular
absorption, an acute expansion of blood
volume occurs with the introduction of a
water load such as a distention medium.
When using nonphysiologic solutions such as
glycine, sorbitol, manitol, hyskon, dextrose,
etc., this causes a dilution of blood
constituents which can lead to the
hyponatremia typical of water intoxication.
The fall or differential shifts and change in
serum sodium levels can significantly affect
morbidity leading to cerebral edema, delirium,
coma and even death.
Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 172
The predisposing factors of hyponatremia
include:
- use of hyponatremic (non-electrolytic)
distention media
- high distention pressure
- procedure duration
- resections extending intramurally

By using isonatremic irrigation or
distention fluids such as normal saline, there
are significant advantages to maintaining fluid
balances. The critical advantage is: the ability
of isotonic solutions to reduce the risk of
hyponatremia. Unlike nonphysiologic
solutions, normal saline contains physiologic
levels of sodium and, therefore, does not
disrupt homeostasis. It should be noted that
fluid monitoring is required even when using
normal saline as a hysteroscopic distention and
irrigation medium.

PRINCIPLE OF ELECTROSURGERY
7-9,12

The primary principle of electrosurgery is
the underlying principle of energy
conductance and transfer. This basic principle
states that energy follows pathways of least
resistance or impedance. In the case of
electrosurgical instruments, energy will travel
from the active electrode to the return
electrode and back to the generator.
Electrosurgery is the process of cutting
and/or coagulating tissue using a high
frequency alternating current. This is achieved
when an electrosurgical current passes
through the tissue and dissipation of electrical
power occurs within the tissue. The
dissipation of electrical power causes a
temperature rise within the tissue and results
in thermal disruption at the cellular level. In
order to complete an electrical circuit, two
electrodes are necessary. The configuration of
the electrodes that complete the electric
circuit determine the type of electrosurgical
technique: Monopolar vs Bipolar.
With conventional monopolar
electrosurgery, the active electrode is
where lectrosurgical cutting or coagulation
takes place by way of coronal discharges or
sparking of the energy. The active electrode is
relatively small and can be configured in
various shapes such as loops, blades, needles,
etc.
The second electrode required to
complete the circuit is called the neutral or
return electrode, also known as the patient
return electrode. Compared to the active
electrode, it is relatively large in size.
In monopolar procedures, electric current
flows from the active electrode through the
patients body to the return electrode.
Current density is very high at the active
electrode and very low at the patient return
electrode resulting in good electrosurgical
cutting at the active electrode and no
electrosurgical effect at the return electrode.
The primary disadvantage of monopolar
energy is the required use of high voltages
(<9000V) plus resulting tissue effects of deep
necrosis and thermal margins.
Advanced Gynecare Versapoint bipolar
energy is significantly different from
monopolar energy. While it performs like a
monopolar device, it also provides all of the
inherent safety features of conventional
bipolar electrosurgery.
Gynecare Versapoint Bipolar Electrodes
offer a complete array of tip configurations to
choose from to provide a range of cutting and
laser-like vaporizing tissue effects, as well as
desiccation. Gynecare Versapoint Bipolar
Electrodes are designed especially for
electrosurgical applications using normal
saline and offer:
- controlled, predictable tissue effects
- excellent hemostasis
- with little or no charring

Bipolar energy is delivered from the
generator to the tissue through the active
electrode. In the vaporization mode, the
generator controls the creation of a vapor
pocket which, upon contact with tissue,
causes instantaneous cellular rupture which is
characteristic of vaporization. The energy
then seeks the path of least resistance
through the saline distention media, to the
return electrode and back to the Gynecare
Versapoint Bipolar Generator.
In the desiccation mode, the generator
modulates the output waveform and limits
the power delivered to the electrode,
preventing the formation of a vapor pocket.
Electrosurgical current flows from the active
portion of the electrode through the tissue
and back to the return electrode through the
Budi R. Hadibroto The Use of Versapoint in Operative Hysteroscopy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 173
saline distention medium. The energy passing
through the tissue dehydrates cells and causes
hemostasis.
IMPORTANT: Never electrify or activate
the electrode when the electrode is being
extended. In addition, each inward stroke
should be even in depth and parallel to the
previous stroke. The Gynecare Versapoint
Bipolar 5 Fr. Spring Electrode is ideal for
removing large fibroids utilizing a terracing
technique. This electrode expedites debulking
of larger masses and is ideal for rapid tissue
vaporization and desiccation.
The Gynecare Versapoint Bipolar System
is a more advanced technology which has
been developed to enable physicians to
vaporize benign intrauterine pathologies using
bipolar energy in a saline environment.
11

- Safe Saline Environment: Normal saline
reduces potential for hyponatremia
- Innovative Bipolar Technology: Vaporizes,
cuts and desiccates tissue
- Versatile: Resectoscopic and hysteroscopic
applications
- Instantaneous Tissue Vaporization:
Eliminates resection chips permitting
continuous visualization of tissue effect
- Contact Technique: Permits tactile
feedback for improved control
- Cost Effective: Designed for outpatient/
office use enabling see and treat
diagnosis and treatment in a single
intervention

INDICATIONS
The Gynecare Versapoint Bipolar
Resectoscope is used to permit direct viewing
and access to the uterine cavity for the
purposes of performing hysteroscopic surgical
procedures.
7-9


The indications for use include:
- Removal of submucous fibroids
- Transection of intrauterine septa
- Removal of polyps
- Endometrial Ablation
- Transection of intrauterine adhesions

The Gynecare Versapoint Bipolar
Electrodes are indicated for use in tissue
cutting, removal, and desiccation as required
or encountered in gynecologic hysteroscopic
electrosurgical procedures for the treatment of
intrauterine myomas, polyps, adhesions, and
septa and benign conditions requiring
endometrial ablation.

CONTRAINDICATIONS
The Gynecare Versapoint Bipolar System
is contraindicated for non-hysteroscopic
surgical procedures. The Gynecare Versapoint
Bipolar System is contraindicated where
hysteroscopic procedures are contraindicated.
This includes, but is not limited to the
following:
7-9

- pregnancy
- uterine bleeding or menses
- invasive carcinoma of the cervix
- recent uterine perforation
- cervical stenosis
- intolerance to anesthesia
- cervical or vaginal infection
- medical contraindications
- inability to adequately distend the
intrauterine cavity

The Gynecare Versapoint Bipolar System
is further contraindicated in patients with the
following conditions: cervical or uterine
malignancy, acute pelvic inflammatory
disease, and unaddressed adnexal pathology.
The Gynecare Versapoint Bipolar System is
contraindicated for use in tubal sterilization
procedures. Endometrial ablation by
electrosurgical means should not be
undertaken without adequate training and
clinical experience. Additionally, endometrial
biopsy should be performed prior to any
endometrial ablation procedure. The
Gynecare Versapoint Bipolar Electrodes are
contraindicated where hysteroscopic bipolar
electrosurgical procedures in normal saline
solution are contraindicated. The Gynecare
Versapoint Bipolar Electrodes are
contraindicated in any non-hysteroscopic
surgical procedure and in procedures where
normal saline solution is not used as an
irrigation and distention medium. The use of
this device is contraindicated in patients with
the following conditions: acute cervicitis,
pregnancy, cervical or uterine malignancy,
acute pelvic inflammatory disease, and
unaddressed adnexal pathology. The Gynecare
Versapoint Bipolar Electrodes are
contraindicated for use in tubal sterilization
procedures.
12

Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 174
Hysteroscopic myomectomy should not
be undertaken without adequate training and
clinical experience. The following are clinical
conditions that can significantly complicate
hysteroscopic myomectomy:
- Severe anemia
- Inability to circumnavigate a myoma due
to size (e.g., predominantly intramural
myomas with small submucous components)

PATIENT AND METHODS
Fifteen women underwent hysteroscopic
procedures, using the 5 mm continuous flow
hysterocope by the versapoint bipolar
electrosurgical system. Normal saline was used
for distension of the uterine cavity.
Case of versapoint were treated by using
the Twizzle electrode of the versapoint
bipolar system: 10 (66,6%) endometrial
ablation, 3 (20%) ablation polyps, and 2
(13,3%) myoma submucous (20%).

CONCLUSION
Hysteroscopic treatment of benigna
intrauterine pathology or abnormal uterine
bleeding with the versapoint system is an
effective safe and simple procedure.


REFERENCES
1. FD Loffer. New Developments in
Hysteroscopy. University of Arizona,
Phoenix, USA, 1998.
2. PJ ODonovan. VERSAPOINT: Bipolar
Diathermy in a Saline Medium; an
Overview. MERIT Centre, Bradford Royal
Infirmary, Bradford, UK, 1998.
3. CE Miller. VERSAPOINT Bipolar
Vaporization System: A Bipolar
Microelectrode for Hysteroscopic Surgery
using normal Saline as a distension
medium. Dept. of OBIGYN, University of
Illinois/Chicago, Chicago, Illinois, 1998.
4. MPH Vleugels. Hysteroscopic Surgery
moves from Theatre to Office Procedure
by the normal saline field Bipolar
Electrosurgery, Dept. of OBIGYN,
Canisius Wilhelmina Hospital, Nijmegen,
Netherlands, 1998.
5. KAJ Chin and RJA Penketh. Clinical
evaluation of the VERSAPOINT Bipolar
Diathermy for Operative Hysteroscopy.
Dept. of OB/GYN, University Hospital of
Wales, Cardiff, UK, 1998.
6. MPH Vleugels. A new Bipolar Technology
in hysteroscopic Treatment of uterine
fibroids. Dept. of OB/GYN, Canisius
Wilhelmina I-Iospital, Nijmegen,
Netherlands, 1998.
7. Drs. Nico JT Cuppen, Vleugels MPH.
Economical outcome of Ambulatory
Hysteroscopic Treatment of Myomas with
VERSAPOINT. Cuppen Consulting
Vinkenstraat 40, 5961 XD Horst,
Netherlands, 1998.
8. B Love, R McCorvey. VERSAPOINT
Ablation of Submucous Myomata.
Womens Weliness Center, Montgomery
Alabama, 1998.
9. CE Miller, S Davies, M Johnston.
Application of the VERSAPOINT Bipolar
Vaporization System for Hysteroscopic
Surgery in an Office Setting. Center for
Human Reproduction, Chicago, Illinois,
1998.
10. PJ ODonovan. Evaluation of Operative
Microhysteroscopy with Bipolar
Electrosurgery in a Saline Medium.
MERIT Centre, Bradford Royal Infirmar~
Bradford, UK, 1998.
11. MPH Vleugels, N Cuppen, J Bakker. Is
hysteroscopic surgery really the cheapest
surgical tool for gynecologists? A costs
analysis study to calculate all costs of the
different surgical treatments for
dysfunctional bleedings with or without
intracavital pathology. Dept. of Obstetrics
& Gynecology Canisius Wilhelmina
Hospital, Nijmegen, Netherlands, 1998.
12. L. McMillan, R. Kerkar, J. ORiordan, B.
Smith. Operative outpatient hysteroscopy
using the VERSAPOINT system: a
preliminary feasibility study of 25 cases
Whipps Cross Hospital, London, UK,
1998.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 175

Budi R. Hadibroto
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP H. Adam Malik RSUD Dr. Pirngadi Medan


Abstrak: Teknik bedah yang baik didasarkan pada pengetahuan anatomi yang akurat. Selama
laparoskopi, anatomi pelvis tampak berbeda nyata disebabkan efek pneumoperitoneum, posisi
Trendelenburg, dan tenaga tarik dari manipulator rahim. Selain itu, dengan laparoskopi ada
liminitasi hakiki yang terkait dengan sumbu visual yang ditetapkan, kehilangan kedalaman bidang,
dan pembesaran. Pengembangan laparoskop dengan sudut pandang yang berbeda-beda
menjadikan orientasi pada pelvis semakin menantang. Dalam makalah ini, kita akan membahas
beberapa hubungan anatomi penting yang sangat penting selama prosedur laparoskopik.
Kata kunci: anatomi retroperitoneal, laparoskopik


Abstract: During laparoscopic procedures, pelvic anatomy will seem significantly different
because the effect of pneumoperitoneum. Trendelenburg position and straining effect of uterine
manipulator. The other factors includes visual axis of laparoscope and magnification of the lens.
Development of laparoscope with different visual axis makes orientation of pelvic cavity
structures and organs much better and easier. This review will discuss several aspects of pelvic
cavity organs orientation during laparoscopic procedure became better and easier.
Keywords: retroperitoneal anatomy, laparoscopic


PENDAHULUAN
Teknik bedah yang baik didasarkan pada
pengetahuan anatomi yang akurat. Selama
laparoskopi, anatomi pelvis tampak berbeda
nyata disebabkan efek pneumoperitoneum,
posisi Trendelenburg, dan tenaga tarik dari
manipulator rahim. Selain itu, dengan
laparoskopi ada liminitasi hakiki yang terkait
dengan sumbu visual yang ditetapkan,
kehilangan kedalaman bidang, dan
pembesaran. Pengembangan laparoskop
dengan sudut pandang yang berbeda-beda
menjadikan orientasi pada pelvis semakin
menantang.
Karena bidang tiga dimensi diproyeksikan
pada monitor sebagai gambar dua dimensi,
maka ahli bedah endoskopik wajib memahami
bahwa struktur anatomi yang tampak superior
pada monitor sesungguhnya anterior dan yang
tampak inferior sesungguhnya posterior.
Dalam makalah ini, kita akan membahas
beberapa hubungan anatomi penting yang
sangat penting selama prosedur laparoskopik.


ANATOMI I NTRA- PERI TONEAL
SUPERFI SI AL
Penanda utama (landmark) intra-
peritoneal superfisial di dalam pelvis
mengingatkan operator akan struktur-struktur
anatomi utama dalam ruang retroperitoneal.
Umbilicus berlokasi pada level L3-L4,
walaupun lokasi bervariasi menurut berat
badan pasien, keberadaan panniculus
abdominal dan posisi pasien di atas meja
operasi (telentang versus Trendelenburg).
Cabang dua aorta abdominal pada L4-L5 pada
80 persen kasus.
1

Peritoneum parietal di atas dinding
abdominal anterior naik di 5 tempat, yang
menggambarkan kelima lipatan umbilical.
Lipatan umbilical median, yang terbentang
dari kubah kandung kemih hingga umbilicus,
menutup urachus miring. Yang lateral
terhadap urachus, pada masing-masing sisi,
adalah lipatan-lipatan umbilical medial, yang
melapis arteri-arteri umbilical miring dari atas.



Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 176
Persis lateral terhadap masing-masing
lipatan umbilical medial adalah ligamen
(lipatan) umbilical lateral, yang dibentuk oleh
peritoneum yang melapis pembuluh-
pembuluh epigastrik inferior dari atas,
sebelum masuk ke dalam sarung rectus, begitu
pembuluh-pembuluh tersebut mengalir
cephalad untuk bergabung dengan arteri
epigastrik superior. Pada sebagian besar kasus,
lokasinya bisa ditegaskan secara visual melalui
peritoneum dengan laparoskop, yang
menghindari cedera padanya selama
penempatan trocar tambahan.
Pada masing-masing sisi kantong
rectouterine, peritoneum terrefleksikan atas
ligamen-ligamen uterosacral yang membentuk
lipatan-lipatan uterosacral. Yang sedikit lateral
dan superior terhadap lipatan uterosacral
sering berupa lipatan lain peritoneum, lipatan
ureter, yang menutupi ureter.
Arteri iliac internal mengalir paralel
dengan dan persis posterior terhadap ureter.
Arteri iliac eksternal beberapa sentimeter
anterior terhadapnya pada otot psoas dan
dapat dilihat berdenyut melalui peritoneum.
Kemudian arteri iliac eksternal dan internal
bisa diikuti secara superior untuk menemukan
per cabang-duaan arteri iliac persekutuan pada
bibir pelvis yang melapisi sendi sacroiliac dari
atas. Kemudian arteri iliac persekutuan kanan
bisa diikuti secara superior untuk menemukan
per cabang-duaan aorta, di atas ruang
prasacral pada kira-kira ruas tulang belakang
lumbar keempat. Arteri iliac persekutuan kita
lebih sulit diidentifikasi karena mesentery
colon sigmoid yang melapis dari atas. Vena
iliac persekutuan kiri berlokasi persis medial
dan interior terhadap arteri iliac persekutuan
kiri di dalam ruang presacral. Ada kalanya
vena tersebut menutupi keseluruhan ruang
antara arteri-arteri iliac persekutuan.

BIBIR PELVIS
Ini merupakan jalan masuk struktur
penting ke dalam rongga pelvis dan harus
dipahami lapisan demi lapisan.
Dari permukaan peritonela ke arah sendi
sacroiliac, struktur-struktur berikut ditemukan
saling menyilang satu sama lain dan dapat
dikenali secara laparoskopik sebagai penanda-
utama peritoneal superfisial: peritoneum,
pembuluh-pembuluh ovarium pada ligamen
infundubulopelvis, ureter, per cabang-duaan
arteri iliac persekutuan dan vena iliac
persekutuan.
Dengan membedah pada lapisan yang
lebih dalam, akan terpapar tepi medial otot
psoas, saraf obturator, dan fascia parietal yang
melapisi kapsula sendi sacroiliac dari atas.
Yang medial terhadap saraf obturator
terletaklah torso lumbosacral.
2,3


DINDING SAMPING PELVIS
Dinding samping pelvis dimasuki dengan
membuka refleksi peritoneal antara ligamen
bulat secara anterior, ligamen infundibulopelvis
secara medial dan arteri iliac eksternal secara
lateral. Berdasarkan bidang-bidang acascular,
itu terdiri dari tiga lapisan bedah.
2,3


Lapisan Pertama Dinding Samping Pelvis
Secara medial, lapisan pertama adalah
peritoneum parietal dengan ureter yang
melekat padanya pada sarung fascialnya. Bila
peritoneum ini diincisi dan ditarik masuk
secara medial ureter tertarik masuk
bersamanya kecuali dipisahkan darinya dengan
benda tumpul atau hydrodiseksi.

Lapisan Kedua Dinding Samping Pelvis
Lapisan bedah kedua terdiri dari
pembuluh-pembuluh iliac internal dan
cabang-cabang anterior visceralnya: rahim,
arteri vesical superior yang menuju ke arteri
umbilical miring, arteri vesical inferior, arteri
vaginal, dan arteri rectal tengah.

Lapisan Ketiga Dinding Samping Pelvis
Dari anterior ke posterior: (i) otot psoas
dengan arteri iliac eksternal pada aspek
medialnya, (ii) vena iliac eksternal persis
medial dan posterior terhadapnya, dan (iii) di
bawah vena iliac eksternal terhadap otot
internus obturator dengan saraf dan
pembuluh-pembuluh orturator yang
membentang sepanjang batas anteriornya ke
arah kanal obturator.

Node Getah Bening Pelvis
Node-node pelvis eksternal ditemukan
sepanjang arteri dan vena iliac eksternal dari
per cabang-duaan pembuluh-pembuluh iliac
persekutuan ke vena-vena circumlex dalam
secara caudal. Node-node obturator
ditemukan pada obturator fossa, yang dibatasi
secara medial oleh arteri hipogastrik, secara
Budi R. Hadibroto Anatomi Retroperitoneal Laparoskopik


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 177
lateral oleh vena iliac eksternal, otot internus
obturator, dan fascial-nya, dan secara anterior
oleh saraf dan pembuluh-pembuluh
obturator. Node-node sepanjang pembuluh-
pembuluh hipogastrik hingga per cabang-
duaan arteri dan vena iliac persekutuan
membentuk kelompok hipogastrik.

DASAR LIGAMEN LEBAR
Dasar ligamen-ligamen lebar adalah
ligamen-ligamen cardinal yang juga dikenal
sebagai ligamen-ligamen Mackenrodt.
Pembedah-duaan dinding camping pelvis akan
menuju ke daerah ini. Perlu dipahami bahwa
arteri iliac internal terus berlanjut ke arteri
vesical superior dan kemudian ke arteri
umbilical miring. Tenaga tarik pada lipatan
umbilical medial akan membantu
mengidentifikasi arteri iliac internal, dan
cabang medial yang lewat superior pada ureter
kemudian akan diidentifikasi sebagai arteri
rahim. Bagian atas dari ligamen cardinal
ditembus oleh ureter begitu ureter
membentang ke dalam corong ureter persis
di bawah arteri rahim, 1 sampai 2 cm lateral
terhadap isthmus rahim dengan ligamen
uterosacral letaknya persis medial. Inilah
tempat paling umum dari cedera rahim dalam
prosedur ginekologi.
Dasar ligamen-ligamen lebar
menggambarkan dua ruang penting: secara
anterior adalah ruang paravesical dan persis
posterior, ke arah sacrum, adalah ruang
pararectal. Tingkat pembedah-duaan lateral,
dan karenanya ekscisi, ke arah dinding
samping pelvis, ligamen Mackenrodt
menentukan jenis hysterectomy radikal.

RUANG AVASCULAR PELVIS
Tiga pasang ligamen membagi pelvis ke
dalam delatan ruang avascular.

Ruang Prevesical (Retropubis) Retzius
Ruang retzius, atau ruang retropubis,
adalah ruang avascular potensial dengan batas-
batas yang sangat vascular antara belakang
tulang pubis dan dinding anterior kandung
kemih. Ruang retropubis dibatasi secara
anterior oleh fascia transversalis, yang
menyusup pada permukaan posteior
symphysis pubis. Urethra, ligamen-ligamen
paraurethral (pubourethral) dan titik-
sambungan uretrhoversial (leher kandung
kemih) membentuk dasar ruang ini sementara
symphysis pubis dan ramus pubis superior
yang berada di dekatnya dengan ligamen
Cooper merupakan batas inferior.

Ruang Paravesical
Secara lateral, ruang retropubis
bersebelahan dengan ruang-ruang paravesical,
titik pemisahnya merupakan ligamen
umbilical medial (arteri umbilical miring).
Ruang paravesical berpasangan dibatasi sacara
lateral oleh otot internus obturator, saraf,
arteri, dan vena obturator persis di bawah
bubungan arcuat tulang ileum. Batas posterior
(ke arah sacrum) adalah sarung facial
endopelvis sekitar arteri dan vena iliac internal
dan cabang-cabang anteriornya, begitu artei
dan vena tersebut membentang ke arah tulang
belakang ischial. Fascia pubocervical
membentuk dasar bilis lateral ini begitu fascia
tersebut menyusup ke dalam pelvis arcus
tendineus fascuae (garis putih facial). Persis di
atas level garis putih facial dapat dilihat garis
putih otot (arcus tendineus levator ani) yang
merupakan titik asal otot levator ani.
Sewaktu melakukan colposuspensi
retropubis melalui laparoskop, operador harus
mengingat bahwa persis di bawah vena dan
arteri iliac eksternal adalah perpanjangan lateral
dari ligamen pectineal (Cooper). Karena itu,
penempatan jahitan melalui ligamen pectineal
(Cooper) harus ditahan pada 3 sampai 4 cm
garis tengah untuk menghindari lacerasi tak
sengaja atas pembuluh-pembuluh besar ini.
Arteri arteri dan vena-vena obturator tambahan
kerapkali ada dan terangkai dari pembuluh-
pembuluh epigastrik inferior dan membentang
melintasi ligamen pectineal (Cooper) pada
jalurnya untuk menganastomosis bersama
pembuluh-pembuluh obturator pada kanal
obturator. Ahli bedah haruslah senantiasa
mencarinya, karena ada pada sekitar 40 persen
pasien.

Ruang Pararectal
Ruang segitiga dengan dasar ligamen
cardinal menggambarkan batas anterior. Batas
medial adalah ureter dan kandung kemih
lateral adalah arteri iliac internal. Ruang ini
bisa dengan mudah dikembangkan dengan
pembedah-duaan tumpul posterior terhadap
titik asal arteri rahim dan lateral terhadap
ureter.
Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 178
Ruang Vesicovaginal dan Rectovaginal
Ruang vesicovaginal adalah ruang
avascular potensial antara permukaan anterior
vagina dan aspek posterior kandung kemih,
yang dibatasi secara lateral oleh pilar-pilar
kandung kemih atau ligamen-ligamen
vesicouterine/vesicocervical. Ruang ini dapat
dimasuki dengan mengincisi lipatan fesico-
uterine peritoneum.
Ruang rectovaginal dibatasi oleh vagina
secara anterior, rectum secara posterior, dan
badan perineal secara inferior dan lateral. Ruang
ini dapat dimasuki dengan mengincisi
peritoneum cul-de-sac posterior antara kedua
ligamen uterosacral, yang terletak secara superior.

Ruang Presacral (Retrorectal)
Ruang retrorectal adalah antara rectum
secara anterior dan sacrum secara posterior.
Ruang ini dimasuki secara abdominal dengan
membagi mesentery colon sigmoid atau
melalui ruang pararectal. Secara inferior ruang
ini berakhir pada level otot levator dan secara
lateral terus berlanjut sebagai fosse pararectal.
Arteri sacral tengah dan plexus vena-vena
melekat secara superfisial pada ligamen
membujur anterior sacrum. Fascia endopelvis
pada ruang ini membungkus saraf-saraf
visceral plexus hipogastrik superior dan
jaringan getah bening. Batas lateral ruang
presacral dibentuk oleh arteri iliac
persekutuan, ureter, dan juga arteri
mesenterik inferior yang melintas melalui
mesentery colon sigmoid di samping kiri.
Pembedah-duaan lateral dan inferior pada
ruang presacral menuju ke struktur-struktur
yang memasuki pelvis di atas bibir pelvis.
4,6


DAERAH PARA-AORTA
Daerah para-aorta adalah daerah anatomi
dari pembuluh-pembuluh ginjal turun ke per
cabang-duaan arteri-arteri iliac persekutuan
pada retroperitoneum abdominal posterior.
Untuk tujuan praktek, daerah ini dibagi
menjadi dua daerah.
Daerah para-aorta bawah dibatasi oleh
per cabang-duaan aorta hingga ke level arteri
mesenterik inferior secara superior, otot psoas
secara lateral dan per cabang-duaan iliac-iliac
persekutuan secara inferior. Pembedah-duaan
untuk jaringan getah bening untuk kanker
rahim atau leher rahim melibatkan daerah ini.
Daerah infrarenal (daerah para-aorta atas)
memanjang dari level arteri mesenterik
inferior ke vena ginjal kiri. Biasanya arteri-
arteri ovarium keluar dari aspek anterior aorta
di bagian tengah daerah ini. Vena ovarium
kanan berjalan di samping ureter kanan dan
bermuara ke dalam vena cava. Vena ovarium
kiri melintas bersama-sama dengan ureter kiri
tetapi bermuara ke dalam vena ginjal kiri.
Struktur-struktur ini terletak di permukaan
anterior otot psoas. Masalah utama di samping
kiri adalah cedera pada vena ginjal dan vena-
vena dan arteri-arteri lumbar yang muncul
dari aspek posterior aorta dan venacava.
Perluasan interior daerah ini adalah ruang
presacral.
5

Penanda utama, yang harus tetap
dicamkan untuk lymphadenectomy para-
aorta, dari kanan ke kiri adalah:
1. Otot psoas
2. Pembuluh-pembuluh ovarium
3. Ureter kanan, kdial terhadap otot psoas
dan lateral terhadap vena cava inferior
4. Vena cava pada lateral kanan aorta
5. Aorta dan kedua arteri iliac persekutuan
6. Di bawah per cabang-duaan aorta, secara
superfisial adalah plexus saraf hipogastrik
superior dan node-node presacral, dan di
bawahnya adalah vena iliac persekutuan
kiri yang melintas dari kiri ke kanan.
7. Di sebelah kiri aorta adalah arteri
mesenterik inferior, colon sigmoid, dan
mesentery-nya. Pada bidang yang lebih
dalam terdapat vena-vena dan arteri
lumbar secara medial dan ureter kiri secara
lateral, yang dilihat setelah adenectomy
getah bening kiri.
8. Jauh di sebelah kiri adalah otot psoas kiri.

URETER
Ureter lumbar terletak pada otot psoas
medial terhadap pembuluh-pembuluh
ovarium. Ureter ini memasuki rongga pelvis
persis superfisial terhadap per cabang-duaan
arteri iliac persekutuan dan persis dalam
pembuluh ovarium, yang terletak pada
ligamen infundibulopelvis di bibir pelvis. Ini
terletak pada lembaran medial ligamen lebar
begitu ia melintas ke arah kandung kemih dan
dapat dikenali berdasarkan gerapan peristalti-
nya yang khas. Kemudian ureter lewat persis
lateral terhadap ligamen uterosacral, kira-kira
2 cm secara medial terhadap tulang belakang
Budi R. Hadibroto Anatomi Retroperitoneal Laparoskopik


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 179
iscchial melalui bagian atas ligamen cardinal di
dasar ligamen lebar. Di sini ia terletak persis di
bawah arteri rahim, kira-kira 1,5 sampai 2 cm
lateral terhadap samping leher rahim.
2,6
Ureter
membentuk putaran lutut pada titik ini dan
melintas secara medial dan anterior untuk
lewat pada aspek anterolateral sepertiga
vagina atas ke arah kandung kemih.


DAFTAR PUSTAKA
1. Nezhat F, Brill AI, Nezhat CH et al.
Laparoscopic Appraisal of the Anatomic
Relationship of the Umbilicus to the
Aortic Bifurcation. J Am Assoc Gynecol
Laparosc, 1998. p.5-135.
2. Rogers RM Jr, Children JM. Laparoscopic
Gynecologic Anatomy-The Surgical
Essentials.
3. Morrow CP, Curtin JP. Surgical Anatomy,
Gynecologic Cancer Surgery, Churchill
Livingstone, 1996. p.67-139.
4. Nezhat CR, Siegler AM, Nezhat F,
Nezhat C, Seidman DS, Luciano A.
Operative Gynecologic Laparoscopy. 2
nd

edition, McGraw Hill, 2000.
5. Smith JR, Del Priore G, Curtin J,
Monaghan JM. An Atlas of Gynecologic
Oncology. Martin Dunitz, London, 2001.
6. Pasic RP, Levine RL. A Practical Manual
of Laparoscopy, A Clinical Cook Book.
The Parthenon Publishing Group, 2002.


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 180

Ridwan Harahap
Departemen Biologi Fakultas Kedokteran USU


Abstrak: Diabetes mellitus adalah salah satu dari penyakit tertua di mana pengobatan terutama
ditujukan untuk mencegah komplikasi kronis secara maksimal. Problema seksual yang paling
sering terjadi pada pasien-pasien diabetes mellitus adalah keluhan seksual dan disfungsi seksual.
Pada tulisan ini fokusnya lebih ditujukan pada problema disfungsi seksual. Gangguan fungsi
seksual pada pasien diabetes mellitus bisa berupa impotensia dalam berbagai tingkat, gangguan
ejakulasi, dan penurunan gairah.
Kata kunci: gangguan fungsi seksual, diabetes mellitus, impotensia, ejakulasi, dan gairah


Abstract: Diabetes mellitus is one of the oldest diseases. It is however, the treatment
achievement, particularly in preventing the chronical complication have been maximally. The
most frequent sexual complain and sexual dysfunction. In this writing, the focus will be more
directed toward sexual dysfunction problem. Sexual function disorder on diabetes mellitus
patient may be such as the impotence in several stages, ejaculation disturbance, and decreasing in
libido (sexual passion).
Keywords: dysfungsi sexual, diabetes mellitus, impotensi, ejaculatoria, and libido


PENDAHULUAN
Salah satu penyebab organik yang dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi seksual
pada pria adalah penyakit diabetes mellitus
(Colodny, Master, Johnson, 1979). Di USA
didapati 2 juta penderita DM dan 50%
(1 juta) di antaranya menderita impotensia.
1

40% penderita DM umur 60 tahun atau
lebih tua lagi dapat kehilangan komplet fungsi
ereksi.
2
Disfungsi seksual sering dihubungkan
dengan disfungsi ereksi yang merupakan satu
gangguan kesehatan di mana terdapat
ketidakmampuan seorang pria untuk ereksi
atau mempertahankan ereksi dalam waktu
yang cukup untuk mengadakan hubungan
seksual (senggama) yang memuaskan.
3

Pada tahun-tahun terakhir ini sensasi
tentang problematik seksual ini lebih mencuat
ke permukaan dengan telah ditemukan dan
dipasarkannya obat dengan nama paten
viagra dengan zat aktifnya sildenafil sitrat
yang digunakan untuk menanggulangi
impotensia/disfungsi ereksi, kendati demikian
pada penelitian pasca-pemasarannya
dilaporkan adanya kematian 123 orang setelah
menggunakan obat ini disebabkan serangan
jantung, terkena stroke dan kematian lain yang
sulit diidentifikasi penyebabnya.
3

PEMBAHASAN
Diabetes mengakibatkan sejumlah
komplikasi dasar yaitu angiopati pada sistem
pembuluh darah dan neuropati pada sistem
syaraf ataupun campuran dari keduanya yang
bermanifestasi di berbagai organ dan tempat
di seluruh tubuh. Komplikasi dasar tersebut
dapat mengakibatkan gangguan seksualitas
pada penderita DM.
4

Ereksi merupakan proses transformasi
penis yang lemas (flaccid) menjadi organ yang
tegang (rigid). Ereksi merupakan hasil dari
satu interaksi yang komplet dari faktor
psikogenik, neuro endokrin, dan mekanisme
vaskular yang bekerja pada jaringan ereksi
penis.
4,5

Potensi seks pria yang merupakan respons
seks seseorang meliputi beberapa tahapan
yaitu libido, ereksi, ejakulasi, dan orgasme.
Dalam keadaan normal keempat tahapan
tersebut merupakan rangkaian yang berurutan
pada suatu respons seks dan tingkah laku
seks
5
.
Orgasmus adalah perasaan kepuasan seks
sebagai akibat dari pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (seksual tension) setelah
terjadinya fase rangsangan (excitement) yang
Ridwan Harahap Disfungsi Seksual pada Penderita Diabetes Mellitus Pria


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 181
memuncak pada fase plateu (menyebabkan
rangsangan) yang maksimal.
5

Pada pria pelepasan ketegangan seks yang
optimal ini disertai meskipun tidak selalu
dengan keluarnya ejakulat (Lanberg 1976).
5

Masalah seksual yang sering ditimbulkan
pada penderita diabetes mellitus pada garis
besarnya adalah:
I. Keluhan seksual
II. Disfungsi seksual

I. Keluhan Seksual
Keluhan seksual yang sering dijumpai
pada penderita diabetes adalah:
- alat kelamin terasa lembek
- alat kelamin bertambah kecil

II. Disfungsi Seksual
Masalah seksual pada penderita DM dapat
berupa
1
:
1. Impotensia
2. Ejakulasi dini (premature ejakulation/
ejakulasi praecock)
3. Retrograad ejaculation
4. Anejaculation
5. Pseudo ejaculation
6. Hilangnya libido (loss of interest)
1,3


1. Impotensia
Adalah ketidaksanggupan penis untuk
mendapatkan atau menjaga suatu ereksi dalam
menyelenggarakan suatu hubungan seksual
(sexual intercourse).
4

Impotensi merupakan salah satu gangguan
yang paling meresahkan bagi penderita
diabetes pria dan kadang-kadang sulit untuk
dibayangkan penderita-penderita DM pria
lebih takut pada gangguan impotensia
dibanding dengan gangguan kebutaan dan
amputasi yang bisa ditimbulkan dan
mengancam pasien sebagai akibat lanjut dari
penyakit diabetes.
Pada penderita DM yang memerlukan
terapi insulin ternyata lebih tinggi proporsinya
dalam menimbulkan DE dibandingkan dengan
pasien DM yang tidak memerlukan terapi
insulin.
Dalam ensiklopedia Indonesia, Mulia dan
Hedding mendefinisikan impotensia sebagai
kelemahan syahwat, kepelohan, kelemahan
pucuk.
6

Setidak-tidaknya ada 3 bentuk penyebab
yang harus diperkirakan sebagai penyebab
impotensi pada penderita diabetes pria.
1,2,3


1.1. Impotensi Psikogenik
Gangguan psikis penderita dapat
menimbulkan impotensia.
1,6,7

Keretakan rumah tangga, perasaan
berdosa, rasa tidak dihargai, keadaan
depresi dapat menimbulkan impotensia.
Umumnya impotensia psikogenik terjadi
secara mendadak, bersifat selektif yaitu
hanya pada pasangan tetapnya. Di sini tes
syaraf otonomi tidak menunjukkan
kelainan. Dengan tes obyektif hasking
meneliti 30 penderita diabetes dengan
keluhan impotensi dan ternyata hanya 6
penderita yang betul merupakan bentuk
impotensia organik dan yang selebihnya
adalah bentuk psikogenik.
1,7


1.2. Impotensi Organik
Impotensi organik pada diabetes
umumnya disebabkan oleh neuropati
diabetik yaitu kelainan saraf parasimpatik
otonom dan S2, S3, dan S4.
2,3,8
Pada
umumnya impotensi neuropatik terjadi
perlahan-lahan, tanpa gangguan libido
(gairah seks) dan disertai gangguan saraf
otonomi lainnya. Kadang-kadang
impotensia organik pada diabetes
ditemukan bersifat sementara yaitu pada
tahap mula diabetes di mana diabetes
belum terkontrol. Keadaan diabetes
terkontrol dapat memperbaiki impotensia
(reversible). Pada umumnya impotensia
neuropatik dijumpai pada diabetes yang
telah berlangsung lama dan pada mereka
yang umumnya lebih tua. Adam
menemukan dari 29 penderita diabetes
dengan impotensia ternyata 80% mereka
berumur 4655 tahun. Kelelahan dan
gangguan konsentrasi juga dapat berakibat
timbulnya impotensia.
3,7

Pada pasien diabetes yang usianya lebih
tua dijumpai insidennya lebih tinggi lesi
fibrosis arteria cavernosa di mana tunika
internum-nya mengalami proliferasi dan
penyempitan lumen.
2,8


1.3. Impotensi Farmakologik
Beberapa obat dapat mengurangi daya
ereksi pada pemakaian yang lama oleh
Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 182
penderita diabetes. Obat-obatan
psikotropik dan hipnotik yang sering
dipakai secara umum seperti: valium,
librium, luminal, dan seterusnya yang
mana obat ini dipakai sebagai obat
penenang dan obat tidur. Obat-obat anti
hipertensi yang sering sebagai penyerta
dari penyakit diabetes adalah methyl dopa
dan clonidin di samping itu juga
reserpine, propanalol, thiazide
(diuretik).
2,3,4
Untuk penderita diabetes
hipertensi sebaiknya digunakan obat-obat
yang bekerja perifer sebab lebih
aman.
3,4,9,10

Suatu report dari A.S. 25% dari kasus
disfungsi ereksi disebabkan oleh pengaruh
obat.
2


2. Ejakulasi Dini (Premature Ejaculation,
Ejakulasi Praecock)
Ejakulasi dini adalah suatu keadaan di
mana seorang pria sudah mendapatkan
orgasmus dan berejakulasi sebelum ia sendiri
menghendakinya.
7,10

Kelainan ini merupakan persoalan yang
paling sering dijumpai dari keluhan problem
seksual.
5,7,11
Ejakulasi adalah proses keluarnya
ejakulat (semen) yang menempuh kejadian-
kejadian yang berurutan yaitu keluarnya
komponen-komponen ejakulat, ejakulasi ante
grad dan penutupan sfinkter uretra interna
serta pembukaan sfinkter uretra eksterna
7
.
Menurut Kinsey 75% semua pria berejakulasi
2 menit setelah penis memasuki vagina. Pria
dengan kelas sosial yang rendah cenderung
untuk berejakulasi lebih cepat sedang orang-
orang dari sosio-ekonomi yang tinggi lebih
cenderung untuk menunda ejakulasi.
1,6,9

Ejakulasi pada penderita diabetes pria dapat
terjadi sesudah atau bersamaan dengan
terjadinya impotensia. Pada penderita yang
mengalami impotensia erektiones umumnya
mempunyai kecenderungan ingin
mempercepat aktivitas seksualnya sebab ada
kekhawatirannya akan hilang ketegangan penis
(batang zakar).
1


3. Retrograd Ejaculation
Pada keadaan ini ereksi dan orgasmus
normal, hanya pada setiap ejakulasi tidak ada
semen yang keluar dan oleh karena itu disebut
shooting dry. Hal ini disebabkan kegagalan
penutupan spinkter uretra interna pada setiap
ejakulasi sehingga semen masuk ke dalam
kantong air seni pria itu sendiri dan bukan ke
dalam vagina wanita pasangan koitusnya.
Diagnosa ejakulasi retrograd tidaklah terlalu
sukar, dengan anamnese serta pemeriksaan air
seni dapat dilihat sperma yang masih aktif
dalam jumlah banyak.
2,8,12
Retrograd
ejaculation ini disebabkan oleh autonomic
neuropati (Kolody, Master, Jhonson
1979).
1,12,13


4. Anejaculation
Suatu keadaan di mana pria tidak dapat
atau memperoleh kesulitan untuk berejakulasi
di dalam vagina walaupun ia dapat berereksi
dan dapat melakukan penetrasi (penembusan)
vagina yang wajar.
9
Dilaporkan oleh Kinsey
bahwa 0,14% dari masyarakat mengalami
anejakulasi (Steeno,1978). Pada diabetes
ternyata hal ini disebabkan karena tidak
terkoordinasinya rangsangan saraf yang
mengalami neuropati. Pada beberapa kasus
sering kali walaupun koitus berjalan sampai
berjam-jam, penis masih tetap berereksi tanpa
mampu berejakulasi.

5. Pseudo Ejaculation
Pada keadaan ini ejakulasi terjadi secara
tidak lengkap. Hal ini disebabkan kegagalan
koordinasi refleks ejakulasi (Sham
ejakulasi).
1,10,14


6. Hilangnya Libido (Lose of Interest)
Menurut Freud (1905) libido ialah semua
kekuatan dari dorongan seks, yakni dorongan
untuk mencapai kepuasan seksual (seksual
pleasure seeking).
4,7
Keadaan ini bersifat
psikologis, tetapi faktor fisiologi dan kadar
hormon seks juga turut mempengaruhinya.
Hilangnya gairah seksual pada penderita
diabetes dapat ditimbulkan oleh antara
lain.
1,4,9,15

- impotensia
- kondisi tubuh: kelainan fisik, daya
kerja menurun
- psikologi: informasi yang salah.

Pada umur yang lebih lanjut lebih sering
dijumpai impotensia psikogenik.
3,16
Menurut
Kolodny at al (1979) penderita DM ada yang
mengalami gangguan libido dan ada yang
tidak. Pria DM tanpa gangguan libido diawali
dengan gangguan ereksi yang ringan atau
Ridwan Harahap Disfungsi Seksual pada Penderita Diabetes Mellitus Pria


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 183
sedang, yang terjadi setelah beberapa tahun
menderita DM. Penderita DM dengan gangguan
libido dapat disertai dengan impotensia ereksi
yang mendahului atau bersamaan dengan gejala-
gejala DM misalnya berat badan berkurang,
polidipsi dan poliuri sebagai akibat keadaan
umum yang jelek. Effendi et al. (1886) mencatat
bahwa gangguan libido pada penderita DM kira-
kira 22,5%.
4,15,17


KESIMPULAN
1. Gangguan fungsi seksual pada penderita
DM bisa berupa impotensia dalam
berbagai tingkat, gangguan ejakulasi, dan
gangguan libido.
2. Secara patofisiologi gangguan seksualitas
adalah akibat neuropati dan angiopati di
samping faktor psikologi.
3. Impotensia merupakan gangguan yang
paling meresahkan pada penderita
diabetes sedang ejakulasi dini merupakan
keluhan yang terbanyak.
4. Penyebab terbanyak dari impotensia
adalah faktor psikologik (80%), untuk
mengantisipasi faktor ini perlu adanya
keharmonisan dalam kehidupan berumah
tangga, menjauhi hal-hal yang dapat
membuat perasaan berdosa, menekan, dan
meminimalkan keadaan depresi serta
dapat menghargai diri seseorang. Dari
faktor organik mencegah kelelahan yang
hebat dan kurang konsentrasi.
5. Pemakaian obat-obat pada penyakit
diabetes harus hati-hati dengan pemilihan
obat-obat yang lebih aman.


KEPUSTAKAAN
1. Pengkahila J.A. Masalah Seksual pada
Penderita Diabetes Mellitus. dalam: Dexa
Media, 1991: 4, 8-9.
2. Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Ikatan
Dokter Indonesia:1999, 12.
3. Adam Jhon M.F. Problem Seksual pada
Penderita Diabetes Laki-laki. Dalam:
Medika, 1983: 978-981.
4. Soehadi K. Pengaruh Regulasi Diabetes
Mellitus terhadap Profil Spermiogram,
Hormon Reproduksi dan Potensi Seks
Pria. Surabaya Universitas Airlangga:
1989, 207 pp Disertasi.
5. Pangkahila W. Sexological Aspect of
Andrology. Dalam: Bulletin Andrologi
Indonesia, 1990: 10-15.
6. Syaraswati Arif T. Proses Kesuburan dan
Seks Pria dalam Perkawinan, Aspek
Kejiwaan pada Potensi Seks Pria. 1
st
Ed.
Jakarta,1985: 36.
7. Setia Budi T. Disfungsi Seksual pada pria
L. Dalam: Proceeding Seminar Seksiologi
Nasional I, Denpasar, 1981: 80-3.
8. Adi Pramono H. Juwono R. Retrograde
Ejaculation in F.X. Arif Adimoelia, Eddy
Karundeng Eds. Dalam: Proceeding of
International Congres Andrologi in
Perspective. Denpasar. Indonesia Society
of Andrology, 1983: 48-9.
9. Paat G. Proses Reproduksi, Kesuburan,
dan Seks Pria. Dalam: Perkawinan,
Impotensia dan Kesejahteraan Keluarga.
1
st
Ed. Jakarta, 1983: 45-53.
10. David Blend. Sexual Problematic
Impotence, 1
st
Ed. London E & C Living
Stone, 1989: 33-48.
11. Syahrim M. Hatta. Proses Kesuburan dan
Seks Pria dalam Perkawinan, Obat-Obat
yang Dapat Meningkatkan Gairah Seksual
Pria. 1
st
Ed. Jakarta, 1983: 33.
12. Giezerman M. et al. Retrograde
Ejaculations. Dalam: Fertil Steril, 1976:
29,7.
13. Sandler B. Idiopathic Retrograde Ejaculation.
Dalam: Fertil Steril, 1974: 32,7.
14. Chew. KK. Hormonal Evaluation of
Erectil Dysfunction. Dalam: APSIR Book
On Erectile Dysfunction. Auckland The
Asia Pacific Society in Impotence
Research, 1999: 61-62.
15. Marumo K. Murari M. Epidemiologi of
Erectile Dysfunction. Dalam: APSIR
Book on Erectile Dysfunction. Auckland,
1999: 17-18.
16. Wibowo S. Pencegahan Disfungsi Ereksi
dan Komplikasi Lain pada Pria dengan
Diabetes. Dalam: Majalah Andrologi
Indonesia, 2005: 399-409.
17. Valdis T Robert. Kammermann S. Your
Sexuality A Self Assesment. Third Ed.
The Mc Graw-Hill Companies Inc, 1997:
88 New York etc.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 184
Pedoman Peri-operatif Renal Assessment

Usul M. Sinaga
Departemen Bedah Fakultas Kedokteran USU
dehidrasi/pendarahan (syok), bahan obat-obat nefrotoksik, gagal ginjal kronik


Abstract: It is worse condition, if every post operative case, suffering acute renal failure. Usually
acute renal failure due to bad condition pre operative as dehydration/haemorragic (shock), induce
nephrotoxic drugs, or chronic renal failure. To prevent acute renal failure is peri operative renal
assessment.
Keywords: dehydration/haemorragic (shock), nephrotoxic drugs, and chronic renal failure


PENDAHULUAN
Pada setiap tindakan bedah adakalanya
setelah tindakan bedah dijumpai gangguan
fungsi ginjal berupa anuria dan oliguria.
Gangguan fungsi ginjal ini diperkirakan terjadi
10% dan kasus-kasus yang bedah dan
gangguan ini dikenal sebagai Gagal Ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu penurunan fungsi
ginjal yang ditandai dengan berkurangnya
produksi urine sampai kurang dari 400 ml/24
jam disertai perubahan biokimia didalam
plasma dan urine. Gagal ginjal disebut akut =
GGA (Acute Renal Failure) oleh karena
perubahan tersebut terjadi baru beberapa jam
atau beberapa hari. Sedangkan yang disebut
kronis = GGK (Chronic Renal Failure) oleh
karena perubahan itu terjadi beberapa bulan
atau beberapa tahun. Acute on chronic renal
failure adalah episode akut ditandai dengan
bertambah turunnya Filtrasi Glomeruli
(Glomerulus Filtration Rate) pada penderita
GGK yang pada mulanya dalam keadaan
stabil. Secara garis besar fungsi ginjal adalah :
filtrasi, reabsorbsi, sekresi, kontrol cairan dan
elektrolit (homeostatis) dan fungsi endokrin.
1


PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
1-4

1. Faktor Pre Renal:
Hipovolemi menyebabkan iskemik pada
ginjal yang bisa terjadi oleh karena pasien
mengalami dehidrasi atau pendarahan.
Pasien tersebut akan mengalami GGA bila
tidak mendapat cairan yang cukup.
Keadaan seperti ini dijumpai pada pasien
yang mengalami shock berat (trauma),
pasien dengan infeksi dan sepsis.

2. Faktor Renal (Intrinsic renal factor):
Terjadinya GGA oleh karena adanya
kelainan pada ginjal penderita sendiri,
seperti nephritis interstitial yang
disebabkan oleh obat-obatan (NSAID,
aminoglikosida, ACE-inhibitor), zat
kontras radiologi, cedera kedua ginjal yang
berat atau "crush injury.

3. Faktor Post Renal:
Terjadinyo GGA oleh karena adanya
gangguan pada bilateral ureter. Gangguan
bisa berupa obstruksi oleh karena batu
saluran kemih, pembesaran kelenjar
prostat, ureter yang putus dan terikat pada
waktu operasi.

Faktor Risiko untuk Terjadinya Gagal
Ginjal Pasca-bedah

Risiko gagal ginjal berkaitan dengan faktor
yang mudah diidentifikasi yaitu faktor pre
operatif, faktor post operatif, faktor medis,
faktor surgical. Pasien post operatif

Usul M. Sinaga Pedoman Peri-operatif Renal Assessment


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 185
Tabel 1.
Klasifikasi faktor-faktor risiko untuk gagal ginjal
5
Faktor Risiko Pra Bedah Faktor Risiko Pasca Bedah
Medis Bedah Medis Bedah
Insuffisiensi ginjal Operasi darurat atau mendesak Hipovolemi Pendarahan
Usia > Perforasi organ dalam Sepsis Lepasnya anastomosis
Ikterus obstruksi Sepsis Gagal jantung Kebocoran empedu
Gagal hati Syok ketika masuk RS AINS
Penyakit jantung Bedah abdomen
Hiperfensi Bedah vaskuler
AINS


Tabel 2.
Biokimia pada status oliguria
5
Tes Gagal Pre-Renal ATN
Urea serum Peninggian tidak proporsional dengan kreatinin Naik proporsional dengan kreatinin
Kreatinin serum Normal atau sedikit meninggi Naik bersamaan dengan urea
Natrium urine (mmol/L.) <20 >40
Osmolalilas serum (mOsmol/kg) >500 <350
Rasio urea urin : Serum >8 <2
Rasio kreatinin urine: serum > 40 <20
Catatan: kreatinin urine dalam mmol/L: kreatinin serum dalam mol/L

yang dirawat secara intensif, beberapa faktor
penting yang diduga penyebab penurunan
fungsi ginjal yang paling sering adalah
hipovolemi, sepsis, dan obat-obatan nefrotoksik.

Acute Tubular Necrosis (ATN)
Dikenal dua jenis lesi ATN.
1. Nekrosis epitel tubular sedangkan
membran dasar tetap utuh. Ini disebabkan
oleh bahan-bahan makanan/kimia yong
menyebabkan nefrotoksik.
2. Nekrosis epitel tubular dan membran
dasar yang sering ada kaitannya dengan
iskemik ginjal.

Gambaran Klinis GGA
5
Perjalanan klinis gagal ginjal akut dibagi
menjadi 3 stadium, yaitu:
1. Stadium Oliguri
Gangguan fungsi ginjal dengan produksi
urine kurang dari 100 ml/ hari pada orang
dewasa disebut anuria. Sedangkan fungsi
ginjal dengan produksi urine antara 100-
400 ml/ hari disebut oliguria. Stadium
oliguri berlangsung sejak 24-48 jam
sesudah cedera dan bisa berlangsung
sampai 12 hari atau sampai 6 minggu.
Oliguria biasanya disertai dengan azotemia
(gejala-gejala akibat peningkatan ureum).

2. Stadium Diuresis (Poliuri)
Ditandai dengan produksi urine mulai dari
300-500 cc sarnpai 3-5 liter/hari. Pada
fase ini menunjukkan bahwa sudah mulai
membaiknya fungsi tubular walaupun
GFR masih abnormal. Keadaan ini bisa
terjadi akibat diuresis osmotik yaitu akibat
tingginya konsentrasi ureum darah atau
gangguan kemampuan tubulus untuk
mempertahankan garam dan air. Pada
stadium ini pasien akan mengalami
kekurangan Na, K dan H
2
O. Keadaan ini
bisa berlangsung sampai 2-3 minggu dan
bila ditanggulangi dapat mengakibatkan
dehidrasi berat atau gangguan elektrolit.

3. Stadium Post Diuresis (Stadium
Penyembuhan)
Proses penyembuhan bisa berlangsung
sampai 1 tahun. Pada waktu itu
kemampuan eritropoetin, kemampuan
pemekatan urine, dan produksi volume
urine oleh ginjal berangsur-angsur pulih
normal kembali.

Symptom and Sign
3
:
Gejala yang dijumpai dapat bervariasi
sampai dengan bentuk dan berat
penyebabnya, seperti jenis tindakan bedah,
trauma mayor, luka bakar yang luas dan
penyakit sistemik. Pada permulaan dari
keadaan hipovolemi dijumpai tanda-tanda
tekanan darah menurun, mental confusion,
ekstremitas dingin. Bila terjadi hiponatremi
ditandai dengan gejala-gejala postural hipotensi,
turgor kulit menurun. Bila terjadi hiperkolemi
akan terjadi aritmia jantung (Pada EKG dijumpai
gelombong T yang tinggi dan runcing serta QRS
Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 186
Tabel 3. Urinary findings in oliguria of physiological and acute renal failure origin
Physiological Oliguria ARF
Urine volume Low Low
Sodium excretion < 15 mmol/1 (0.06 g/100 ml) > 60 mmol/1 (0.3 g/100 ml)
Urea excretion > 50 mmol/1 (1.5g/t00 ml) < 160 mmol/1 (1 g/l00mi)
U/P osmolarity ratio > 1.3 < 1.1
Response to furosemide and volume
replacement
Always Occasionally

complex memanjang). Bisa terjadi gejala-gejala
infeksi dan sepsis. Anemia tidak selalu
dijumpai kecuali pada penderita dengan
sepsis, haemolitic uremic syndrome atau
GGA yang disebabkan pendarahan.

Diagnosis
Adanya riwayat tindakan bedah mayor,
trauma mayor, luka bakar yang luas,
kehilangan cairan dan elektrolit beberapa
jam/hari sebelum terjadinya GGA. Terjadinya
oliguria atau anuria. Warna urine coklat
gelap/merah gelap berisi eritrosit, cellular cast
dan debris.

Pengelolaan GGA
3
Tujuan utama adalah segera
menyelamatkan jiwa penderita dengan
mencegah hiperkalemia dan infeksi dengan
mencari penyebabnya untuk ditanggulangi.
Prinsip penatalaksanaannya meliputi:
1. Keseimbangan cairan
2. Pemeriksaan darah dan elektrolit
3. Kontrol infeksi
4. Radiologi
5. Renal Replacement Therapy (RRT)/Dialyse/
Terapi Ginjal Pengganti (TGP)
6. Kontrol Hipertensi
7. Nutrisi
8. Biopsi Ginjal

1. Keseimbangan Cairan
Pemasangan kateter urine dan
pengambilan sample untuk menilai
osmolalitas dari urine, berat jenis,
konsentrasi Na
+
dan kultur. Volume urine
harus dihitung setiap jam atau setiap
setengah jam untuk menilai derajat oliguri
dan melihat respons terhadap pemberian
furosemide intravena. Jika penderita
mengalami syok, pasang kateter vena
sentral untuk menilai substitusi cairan.
Pada keadaan metobolik yong terkontrol
seorang dewasa akan memerlukan 500 ml
cairan per hari ditambah cairan sebanyak
volume urine dan kehilangan cairan dari
usus maupun kulit. Penderita ini mudah
mengalami over dehidrasi dengan
demikian berat badan pasien harus
ditimbang setiap hari. Pemberian diuretik
pada penderita oliguri dapat diberikan
furosemide 500 l000 mg per hari per
oral maupun intravena. Furosemid dosis
tinggi dapat mengurangi lamanya fase
oliguria.

Tanda Klinik Deplesi Cairan
1. Tekanan vena jugular rendah.
2. Hipotensi, tekanan darah turun lebih
dari 10 mmHg pada perubahan posisi
(baring-duduk).
3. Vena perifer kolaps dan perifer teraba
dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki).

Tanda Klinik Kelebihan Cairan
1. Tekanan vena jugular tinggi.
2. Terdengar suara gallops.
3. Hipertensi edema perifer, pembengkakan
hati ronkhi di paru.

Tergantung pada tahap mana pasien GGA
datang ke klinik. Pada tahap dini
umumnya dalam keadaan kekurangan
cairan, sedangkan pada tahap lanjut
terdapat tanda-tanda kelebihan cairan.
Pasien dengan edema atau asites sering
dikira oleh karena kelebihan cairan,
sebenarnya keadaan ini hanya
menunjukkan adanya ekspensi cairan ke
interstitial, yang dapat terjadi pada volume
intravaskular yang normal, lebih atau
bahkan kurang.

2. Pemeriksaan Darah dan Elektrolit
Ureum darah pada permulaan renal failure
belum meningkat, dan baru akan
menentukan diagnostik dan prognostik
bila peningkatan dengan cepat sebesar >15
mmol/l (l00 mg/100 ml) per 24 jam,
diduga pasien mengalami hiperkatabolik
CGA atau infeksi/sepsis. Diikuti oleh
peninggian kreatinin, phospat dan asam
Usul M. Sinaga Pedoman Peri-operatif Renal Assessment


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 187
urat. Lekosit selalu meninggi (20.000/ul
dengan 80-90% adalah PMN), tetapi
peninggian ini tidak patognomonis untuk
tanda infeksi pada pasien GGA.

Hiperkalemi (K
+
> 7 mmol/L) biasa
dijumpai pada gagal ginjal akut dan dapat
berakibat fatal jika terjadi ventricular
asistole. Tidak ada tanda fisik dari
hiperkalemia, dianogsis hanya dapat
ditegakkan dengan menghitung kadar
kalium dalam plasma. Toleransi
hiperkalemia pada anak-anak lebih baik
dibanding orang dewasa. Hiperkalemia
pada anak masih sering dijumpai pada
kadar 8.0 - 9.0 mmol/L. Hiperkalemia bisa
terjadi pada gagal ginjal dengan asidosis
(ketoasidosis diabetik atau asidosis
metobolisme). Karena pemakaian obat-
obat yang menghambat sekresi kalium
(NSAID, ACE-Inhibitor), pada penderita
diabetes (hiperglikemi) dengan defisiensi
insulin, dan pada penderita dengan crush
injury, gangren dan luka bakar yang luas
menyebabkan lepasnya kalium kedalam
intraseluler. Untuk memonitoring
hiperkalemia sebaiknya pada penderita
dipasang direct display oscilloscope untuk
melihat perubahan EKG akibat
hiperkalemia.

Bila terjadi hiperkalemia berat dapat
diberikan
5,6
:
- Berikan 10 ml kalsium glukonat 10%
iv selama 1 - 2 menit
- Berikan 15 u soluble, insulin dengan
bolus bersama 50 ml dekstrosa 50%
- Berikan 5 mg solbutamol nebulizer
dengan masker
- Koreksi asidosis dengan NaHCO
3

- Hentikan obat-obat yang menyebabkon
hiperkalemia
- Berikan resonium 15 gr setiap 6 jam
per oral atau 30mg bd per rectum
dengan enema
- Pertimbangkan dialisis

3. Kontrol Infeksi
Kateter urine dan infus sebaiknya dicabut
sesegera mungkin untuk memutuskan
jalan masuk kuman. Pasien renal failure
cenderung mengalami infeksi dan sepsis
Penderita gagal ginjal akut yang bukan
akibat trauma, penyebab kematiannya
biasanya infeksi. Perlu dilakukan kultur
urine, darah dan cairan dialisat setiap hari.
Kateter urine diganti setiap 5 hari.

4. Radiologi
Foto polos abdomen untuk mencari batu
ginjal dan dense persistent nephrogam
(gambaran ginjal yang padat dan jelas)
selalu dijumpai pada acute tubular
necrose. Retrogard pielografi dan CT Scan
untuk menentukan obstruksi ureter, dan
ultrasonografi sangat dibutuhkan.

5. Renal Replacement Therapy [RRT]/
Dialyse/Terapi Ginjal Pengganti (TGP)
TGP dapat diiakukon untuk indikasi akut
(life saving) atau direncanakan (kronis),
yaitu pada penderita GGT yang tidak lagi
dapat dikelola dengan terapi konservatif
atau medikamentosa. Sebagai panduan
umum, Zawada (1988) memberikan
beberapa indikasi kapan sebaiknya
penatalaksanaan TGP dimulai. Walaupun
demikian setiap pusat nefrologi biasanya
mempunyai panduan masing-masing.
a. Akut: - Azotemia berat
- Hiperkalemia berat (> 7 mmol/L)
- Asidosis berat (< 15 mmol/L)
- Overhidrasi yang tidak
responsif terhadap terapi
diuretik.
b. Kronis: Bila klirens kreatinin sudah
menurun kurang dari : 0,1 -
0,15 cc/menit/Kg BB (untuk
penderita 60 Kg, klirens
kreatinin. menurun kurang
dari 6-9 cc/menit atau
kreatinin plasma > 10 mg/dl,
urea nitrogen darah [BUN) >
100 mg/dl) .

6. Kontrol Hipertensi
Dengan pemberian obat-obat anti
hipertensi. ACE inhibitor dapat diberikan
pada stadium awal, tetapi harus dengan
monitor kadar ureum dan kreatinin yang
ketat. Bila dijumpai kenaikan kadar urea
serum >30% dari pemeriksaan awal, terapi
ACE inhibitor harus segera dihentikan.
Sebagai alternatif dapat diberikan
antagonis kalsium.

Tinjauan Pustaka


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 188
7. Nutrisi
Tujuan utama pengaturan nutrisi pada
penderita GGA adalah untuk mencegah
kerusakan jaringan tubuh dan
mempertahankan keseimbangon nitrogen
dalam keadaan positif. Untuk penderita
dewasa idealnya dapat diberi 3000 kalori
perhari dengan 80 gram protein. Pada
masa awal penderita akan sulit untuk
makan sehingga memerlukan pemberian
infus asam amino, lemak dan karbohidrat.
Jumlah cairan dibatasi sesuai dengan
kebutuhan dan diperhitungkan dengan
cairan yang sudah diberikan. Bila pasien
mendapat peritoneal dialise harus diingat
bahwa pasien akan kehilangan 40 gram
serum albumin ke dalam dialisat setiap 24
jam. Pada fase diuretik pasien akan sudah
lebih baik, nafsu makan mulai pulih
kembali.

8. Biopsi Ginjal
Untuk menentukan diagnosa penyebab
GGA, hasil biopsi dapat menunjukkan
adanya kelainan patologi berupa
glomerulonefritis akut, nefritis interstitial
akut, myeloma ginjal. Tindakan ini
sebaiknya dilakukan bila hipertensi dan
uremia sudah terkontrol.

Pendekatan terhadap Oliguria Pasca-bedah
Berkurangnya volume urine 400 ml/hari
atau < 30ml/jam untuk 3 jam berturut-turut
adalah tidak normal. Ini bisa menjadi pertanda
buruk akan terjadinya gagal ginjal. Penderita
pasca bedah yang mengalami hipovolemia
yang berkelanjutan akibat perdarahan harus
segera ditanggulangi. Langkah-langkah yang
harus diambil pada keadaan ini adalah sebagai
berikut:
Nilai sirkulasi. dengan monitoring
frekwensi nadi, turgor kulit dan tekanan
darah
Pasang kateter urine dan pantau jumlah
urine per jam
Periksa elektrolit, kreatinin, urea dan Hb
segera (dalam 3 jam)
Perhatikan irama jantung. Oliguria dan
gagal ginjal bisa terjadi sekunder terhadap
gagal jantung
Cari tanda-tanda infeksi luka, infeksi paru,
septikemia (biakan darah), urine.
Pikirkan komplikasi mayor dari pembedahan
itu sendiri, kebocoran anastomosis usus,
kebocoron empedu, jaringan gangren usus,
anggota gerak otot.
Pikirkan apakah ada tanda-tanda obstruktif
ureter

Manajemen Lanjut Penderita GGA
6,7
Jika pasien masih mengalami
anuria/oliguria, maka pasien mungkin sudah
menderita gagal ginjal sebelumnya atau baru
mengalami acute tubular necrosis (ATN),
untuk perawatan selanjutnya adalah:
Pemasangan CVP, jika tekanan darah
rendah dengan CVP normal atau tinggi,
maka ada kemungkinan gagal jantung atau
pulmonary embolism mayor. Ambil EKG,
foto thorak dan periksa gas darah arteri.
Jika ada demam dengan hipotensi dan
oliguria, maka kemungkinannya adalah
septic shock.
Pemberian antibiotika yang sesuai.
Jangan beri diuretik pada kondisi
hipovolemik. Setelah sirkulasi dioptimalkan,
berikan furosemid dosis tinggi iv (80-160
mg). Walaupun ini tidak mencegah gagal
ginjal yang sedang terjadi, diuretic ada
kalanya mempersingkat fase anuria/
oliguria.
Hentikan setiap obat yang mungkin
nefrotoksik atau biasa mengganggu aliran
darah ginjal seperti : AINS, ACE inhibitor.
Curigai terapi baru yang dimulai pada
minggu sebelumnya sebagai penyebab
kemungkinan dari gagal ginjal.
Penggunaan morfin pada kasus gagal ginjal
dapat menyebabkan akumulasi dalam
tubuh dan menyebabkan depresi
pernafasan.

Manajemen pada Fase Diuretik
8
Fase diuretik ini bisa terjadi pada hari
kedua dan ketiga setelah fase oliguri. Volume
urine bisa mencapai 5 liter perhari atau lebih
bila selama fase diberi cairan, dan volume
urine hanya lebih dari 2 liter perhari bila
selama fase oliguri pemberian cairan sangat
terbatas. Urine yang dikeluarkan pada
permulaan fase diuretik kualitasnya kurang
baik karena mengandung sedikit urea dan
banyak elektrolit. Pada keadaan ini blood urea
masih tinggi dan perlu dilanjutkan dialisa.
Ureum dan elektrolit dalam urine perlu
Usul M. Sinaga Pedoman Peri-operatif Renal Assessment


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 189
diperiksa, urea yang tinggi dalam urine
memberi arti perbaikan dan kemampuan
tubulus sedangkan jumlah elektrolit dalam
urine menggambarkan pengurangan
konsentrasi eleklrolit dalam serum.
Pada kasus GGA tanpa komplikasi jumlah
urea dalam darah kembali normal sangat
cepal. Bila terjadi perlambatan jumlah urea
menjadi normal ini berarti adanya kerusakan
ginjal, urinary tract infection, cortical necrosis.
Creatinine clearance memerlukan waktu yang
lama untuk kembali normal. Anemia yang
terjadi pada GGA juga agak lambat menjadi
normal bisa sampai 3 bulan untuk mencapal
Hb > 13 gr/dl. Obat-obat haematinic tidak
merupakan indikasi rutin karena tidak ada
efek untuk memperbaiki anemianya kecuali
ada faktor co-existing deficiency.

Prognosa
3
Prognosa pasien GGA tidak selamanya
sama karena berbagai faktor penyebab. GGA
karena faktor kehamilan memberikan
prognosa yang baik sedangkan GGA karena
trauma yang berat (multiple trauma) atau luka
bakar prognosanya jelek. Kriteria lain dari
GGA dengan pronosa jelek yaitu :
1. Umur > 50 lahun
2. Infeksi
3. Prolonged Oligurie
4. Peninggian blood urea yang sangat cepat
5. Jaundice
6. Keterlambatan dalam penanggulangan
yang intensif terrnasuk tindakan dialisa

Chronic Renal Failure
Tindakan pembedahan pada kasus
Chronic Renal Failure memerlukan persiapan
pra-bedah yang cukup sempurna. Perlu
diperhatikan mengenai penyakit dasar yang
menjadi indikasi pembedahan, jika tindakan
pembedahan, bukan operasi ginjal, (misalnya
hernia) yang menderita GGK, sebaiknya
kondisi pasien dalam keadaan terkontrol
dengan nilai serum ureum 150 mg/dl dan
serum kreatinin < 7 umol/l.
Tindakan operasi dilaksanakan sehari
setelah dialisis mencegah terjadinya
pendarahan post operative.


KEPUSTAKAAN
1. Anderson PS, McCarty L. Patophysiology
clinical concepts of disease, alih bahasa
Dharma A, ECG, Jakarta, 1985.
2. Angelo S. Acute Renal Failure; VeriMed
Healthcare Network, 2002.
3. Gabriel R. Renal Medicine, Billiere
Tindall, London, 1977:172-87
4. Anderson MLD. Care of the critically ill
surgical patient;1
st
edition Arnold Great
Britian, 1999.
5. Nicholls AJ, Iain HW. Perioperative
medicine, alih bahasa Dharmawan I,
Farmedia, Jakarta, 2001.
6. Chao DC, David J, Meg SH. Impact of
renal dysfunction on weaning from
prolonged mechanical ventilation, Crit
Care vol.1 No.3, 1997.
7. Romao JE et al. Outcome of acute renal
failure associated with cardiac surgery in
infats, Arq Bras Cardiol vol.75, 2000: 318-
21.
8. Kellum JA. The use of diuretics and
dopamine in acute renal failure: a
systematic review of the evidece, Crit
Care vol.1 issue 2, 1997.


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 190
orsi Berisiko

Daulat H. Sibuea
Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi
FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan


Abstrak: Pasien, seorang ibu berumur 35 tahun bersuami dan multipara, setelah berhenti
memakai kontrasepsi pil mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan ini digugurkan
oleh dukun dengan memasukkan batang tengkua melalui vagina ke kavum uteri. Empat hari
kemudian setelah ditangani dukun ibu tersebut, meninggal dengan diagnosa abortus septik.
Penyuluhan tentang bahaya aborsi berisiko harus digalakkan dan tindakan aborsi berisiko juga
harus dihindari. Pelayanan dan pengayoman terhadap akseptor kontrasepsi efektif harus tersedia
di setiap puskesmas dan dengan biaya yang terjangkau.
Kata kunci: abortus buatan berisiko; kematian maternal


Abstract: The patient, a 35 years old married woman and multiparity, after terminated use of
contraceptive pill had been an undesired pregnancy. A traditional birth attendant inserting a rod
passed through vagina to uterine cavity. Four days later this mother dies with diagnosis septic.
abortion Counseling of danger from risky abortion need to encourage and risky abortion should
be avoided too. The effective care and protection against user of contraceptive must be available
in every public health center, and of affordable cost.
Keywords: high risk abortion; maternal deaths


PENDAHULUAN
Di dunia ini setiap tahunnya satu dari
delapan kematian maternal adalah disebabkan
oleh perdarahan pervaginam yang disertai
infeksi berat atau septik setelah tindakan
aborsi berisiko.
1

Yang dimaksud dengan aborsi berisiko atau
aborsi yang tidak aman adalah pengguguran
kehamilan yang tidak diinginkan dengan cara
yang mempunyai risiko tinggi terhadap
keselamatan jiwa ibu, karena dilakukan oleh
individu yang tidak mempunyai pengetahuan
dan keterampilan serta menggunakan peralatan
yang tidak memenuhi persyaratan minimal bagi
suatu tindakan medis.
1
Sekitar 50% kejadian abortus di Indonesia
termasuk abortus buatan umumnya dilakukan
oleh tenaga yang tidak terampil termasuk
dukun sehingga menimbulkan komplikasi
berat bahkan kematian ibu.
2

Laporan kasus aborsi berisiko di bawah ini
adalah salah satu contoh upaya terminasi
kehamilan yang tidak diinginkan yang berakhir
dengan kematian ibu empat hari setelah
tindakan.

LAPORAN KASUS
Ny. BT 35 tahun pendidikan sekolah
dasar, pekerjaan petani, bertempat tinggal di
desa. Status obstetrik gravida 4 para 3 abortus
0. Anak pertama laki-laki 14 tahun, anak
kedua perempuan 11 tahun, dan anak ketiga
perempuan 10 tahun. Pernah ikut program
KB, tetapi pihak keluarga tidak mengetahui
alasan dan saat meninggalkan program
tersebut. Hari pertama haid terakhir tanggal
15 Agustus 2002. Pada tanggal 10 Oktober
2002, Ny. BT meminta bantuan seorang
dukun untuk menggugurkan kehamilannya.
Dukun memasukkan batang tengkua ke dalam
uterus melalui vagina. Satu hari kemudian
terjadi perdarahan pervaginam dan nyeri
panggul. Keluhan ini semakin berat, disertai
dengan demam dan sesak nafas. Pada tanggal
13 Oktober 2002 jam 11 WIB, Ny. BT masuk
Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan
LAPORAN KASUS
Daulat H. Sibuea Kematian Maternal pada Aborsi Berisiko


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 191
dan menginap di ruang rawat intensif.
Keadaan umum sangat lemah, keadaan
penyakit berat, tekanan darah 100/60 mmHg,
frekuensi denyut jantung 128 x per menit,
frekuensi pernafasan 26 x per menit, dan suhu
tubuh 38,5
0
C. Kadar Hb 9,9 gr%, Jumlah
lekosit 28000/ mm
3
, dan pH darah 7,26.
Ditemukan batang tengkua di kanalis
servikalis, cairan vagina berbau busuk, dan
ditegakkan diagnosa abortus septik.
Pasien dirawat di ruang intensif,
mendapat terapi cairan infus Ringer Laktat,
suntikan antibiotik spektrum luas, antipiretik,
serum antitetanus 1500 IU. dexamethasone,
dan terapi oksigen intranasal. Tanggal 14
Oktober 2002 jam 04.00 WIB pasien
meninggal dunia, setelah dirawat 11 jam.

DISKUSI
Terminasi kehamilan yang dialami Ny. BT
adalah aborsi berisiko dengan cara tradisonal.
Di Brazil aborsi berisiko dengan cara
tradisional umumnya merupakan pilihan
penduduk miskin
3
. Gambaran seperti ini tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia
dan juga di negara-negara yang melarang keras
tindakan aborsi buatan yang bukan atas
indikasi penyelamatan jiwa ibu. Di perdesaan
India sekitar 15 tahun yang lalu masih sering
terjadi aborsi berisiko dengan cara
memasukkan tangkai tumbuhan yang terlebih
dahulu direndam dalam getah calotropis ke
uterus melalui vagina. Namun akhir-akhir ini
cara tradisional tersebut sudah jarang terjadi,
dan angka kejadian aborsi berisiko yang
disertai komplikasi menurun tajam setelah
indikasi aborsi buatan legal diperluas
4
.
Di negara-negara lain juga angka kejadian
abortus berisiko cenderung turun ke tingkat
terendah setelah negara-negara tersebut
menyediakan pelayanan dan pengayoman KB
yang efektif, mudah dijangkau, dan biayanya
murah, tersedia pelayanan aborsi buatan legal
yang aman, dan asuhan pasca-keguguran yang
bermutu
5
.
Di Nigeria, aborsi buatan merupakan
tindakan yang terlarang. Aborsi buatan hanya
boleh dilakukan jika kehamilan tersebut dapat
menimbulkan ancaman terhadap keselamatan
jiwa ibu. Undang-undang seperti ini di Nigeria
sudah 14 tahun berlaku, namun jumlah kasus
aborsi berisiko dengan komplikasi masih
banyak terjadi
6
.

Undang-undang kesehatan
yang berlaku di Nigeria tersebut tidak berbeda
jauh dengan undang-undang kesehatan yang
berlaku di Indonesia. Ancaman hukum pidana
terhadap pelaku dan klien aborsi buatan ilegal
kelihatannya belum dapat menghilangkan
praktik aborsi berisiko dengan cara tradisional
di Nigeria dan juga di Indonesia.
Aborsi berisiko dengan cara tradisional
yang tingkat fatalitasnya tinggi seperti
pemakaian batang tengkua yang dimasukkan
ke dalam uterus melalui vagina, masih terjadi
di Indonesia. Di laporkan pada tahun 1999 di
Brazil, aborsi berisiko dengan cara tradisional
misalnya dengan memasukkan benda-benda
asing ke uterus sudah jarang ditemukan, dan
akhir-akhir ini di sana aborsi buatan ilegal
banyak dilakukan dengan pemakaian tablet
misoprostol. Ternyata setelah pemakaian
tablet misoprostol angka kejadian perdarahan
yang berlebihan, infeksi, dan perlukaan jalan
lahir pada kasus aborsi buatan berisiko menurun
tajam
5
. Yang menjadi masalah adalah: bagaimana
cara menghentikan praktik aborsi berisiko secara
tradisional yang memasukkan benda-benda asing
ke uterus melalui vagina. Untuk itu penyuluhan
bahaya aborsi berisiko harus digalakkan. Pelayanan
dan pengayoman akseptor kontrasepsi efektif,
terjangkau dan biayanya murah harus tersedia di
setiap puskesmas.

KESIMPULAN DAN SARAN
Penyuluhan tentang aborsi berisiko harus
digalakkan dan tindakan aborsi berisiko harus
dihindari. Oleh sebab itu pelayanan dan
pengayoman terhadap akseptor KB efektif
harus tersedia disetiap Puskesmas dengan
biaya yang terjangkau.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Affandi B, et al. Dampak Abortus
terhadap Kesehatan Ibu di Indonesia.
Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. 1999; 23 (3) : 119 -125.
2. Affandi B, et al. Panduan Penatalaksanaan
Klinik dan Pengorganisasian Pelayanan
Paket Pelatihan Klinik: Asuhan Pasca
Keguguran (Edisi 2). Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. 2002; 1: 1 1,6.
Laporan Kasus



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 192
3. Guedes AC. Abortion in Brazil
Legislatation Reality and Options.
Reproductive Health Matters. 2000; 8
(16) : 66 76.
4. Varkey P, et all. The Reality of Unsafe,
Abortion in a Rural Community in South
India. Reproduksi Health Matters. 2000;
8 (16) : 83 90.
5. Villila W V, Araujo MJ. Making Legal
Abortion Available in Brazil: Patnerships
in Practice. Reproductive Health Matters.
2000 ; 8 (16) : 71 82.
6. Olukoya AA. Pregnancy Termination
Result of A. Community Based Study in
Lagos. In J. Gynecol Obstet 1987; 25 :
41 46.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 193
Penderita Pembesaran Prostat Jinak
Pasca-prostatektomi Terbuka

Usul M. Sinaga, Harry B., Aznan Lelo



Abstrak: Pembesaran kelenjar prostat jinak pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 60-70
tahun. Penyakit ini menimbulkan gejala gangguan berkemih berupa kencing mengedan, pancaran
kencing lemah, sakit, sering-sering berkemih. Gangguan klinis ini akan mengurangi kualitas hidup
dari penderita. Untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dilakukan tindakan operasi
prostatektomi terbuka pada 52 orang penderita, usia diantara 54-87 tahun. Dijumpai perbaikan
kualitas hidup penderita.
Kata kunci: pembesaran kelenjar prostat jinak, operasi prostatektomi terbuka, perbaikan kualitas hidup


Abstract: The incidence of benign prostat hypertrophy mostly occurred in 60-70 years old male.
The clinical signs and symptoms are difficult passing urine, hesistency, pain, and frequency. These
reduce the quality of life of patient. We found an increase quality of life on 52 male patients
between 54-87 years old post open prostatectomy.
Keywords: benign prostat hyperthropy, open prostatectomy, increase quality of life


PENDAHULUAN
Pembesaran prostat jinak merupakan
kelainan yang sering ditemukan pada pria usia
pertengahan sampai usia lanjut. Pada usia 50-
60 tahun angka kejadiannya sekitar 40%, pada
usia 60-70 tahun sekitar 70% dan pada usia 80
tahun ke atas lebih dari 80% di mana
separuhnya akan memberikan tanda dan gejala
klinik. Etiologi sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, tapi beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasi prostat ada
kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotetosteron dan proses penuaan.
Penatalaksanaan terhadap pembesaran
prostat jinak secara umum adalah dengan
medikamentosa dan operatif. Menurut Gacci
M dkk. (2004) tindakan prostatektomi
terbuka dapat mengatasi gejala obstruksi dan
memperbaiki kualitas hidup.
2
Kualitas hidup
dinilai dari International Prostate Symptom
Score (IPPS) dan International Continence
Society-Quality of Life (ICS-QoL).

TUJUAN PENELITIAN
Membandingkan kualitas hidup penderita
pembesaran prostat jinak sebelum (pra) dan
setelah operasi (pasca) prostatektomi terbuka.


BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan di RS Haji Adam
Malik Medan dan RS Pirngadi Medan selama
6 bulan dari Maret 2005 s.d. Agustus 2005.
Sampel adalah penderita pembesaran prostat
jinak yang menjalani operasi prostatektomi
terbuka. Dicatat skor International Prostate
Symptom Care (IPPS)
3,7
dan International
Continence Society-Quality of Life (ICS-
QoL) pra dan pasca-operasi. Data yang
diperoleh adalah nilai skor dan dapat
ditentukan rata-ratanya, dengan demikian data
yang diperoleh dianalisis dengan uji T
berpasangan. Sedangkan data komplikasi
dengan Chi-Squared Test.
Dari 52 penderita pembesaran prostat
jinak yang menjalani operasi prostatektomi
terbuka, usia paling muda adalah 54 tahun
dan tertua adalah 87 tahun, di mana
terbanyak adalah antara usia 60-70 tahun
(51,9%). Kelihatannya pada hasil penelitian
ini peningkatan kualitas hidup berupa
peningkatan yang tinggi pada skor variabel
aktivitas kerja dan rasa percaya diri,
sedangkan pada variabel hasrat seksual
4,5,10
,
disfungsi ereksi dan inkontinensia urin
menunjukkan perbaikan yang tidak begitu
besar.

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 194
HASIL PENELITIAN

Karakteristik Peserta Penelitian
Dalam periode 6 bulan penelitian, total 52
penderita BPH yang menjalani operasi
prostatektomi terbuka, di:
- Rumah Sakit Pirngadi Medan: 37
orang
- Rumah Sakit HAM: 15 orang
0
5
10
15
20
25
30
USIA (tahun)
J
u
m
l
a
h

P
e
n
d
e
r
i
t
a
50 - 60
60 - 70
70 - 80
80 - 90
Gambar 1. Distribusi umur penderita

Gambar 1 menunjukkan distribusi
penderita berdasarkan usia. Usia termuda 54
tahun sebanyak 3 orang. Usia tertua 87 tahun
satu orang. Rata-rata usia 66,43 tahun
0,997.

Hasil Pasca-operasi
Dari 52 penderita terdapat 2 penderita
yang terbebas dari komplikasi pada 2 bulan
pasca operasi dan 3 penderita yang terbebas
dari komplikasi pada 4 bulan pasca-operasi.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa retrograd
ejakulasi merupakan komplikasi terbanyak
yang terjadi pada 2 bulan pasca-operasi.
Sifatnya yang irreversibel membuat
komplikasinya masih tampak dalam jumlah
besar pada 4 bulan pasca-operasi. Komplikasi
kedua terbanyak adalah nyeri. Jumlah ini
termasuk 9 penderita yang mengalami infeksi.
Namun pada 4 bulan pasca-operasi tampak
penurunan angka penderita yang masih
mengeluhkan nyeri. Hasil perhitungan
menginformasikan bahwa ada perbedaan (p <
0,001 ) komplikasi antara 2 bulan pasca
operasi dengan 4 bulan pasca-operasi.
Gambar 2 menunjukkan jumlah penderita
yang mengalami penurunan skor, peningkatan
skor dan jumlah penderita yang tidak
mengalami perubahan skor pada variabel
kualitas hidup yang dinilai 2 bulan dan 4
bulan pasca-operasi.

Tabel 1.
Jumlah Komplikasi yang Terjadi Pasca-operasi
Komplikasi
2 bulan pasca-operasi (jumlah
penderita)
4 bulan pasca-operasi (jumlah
penderita)
Nyeri 32 13
Hematuri - -
Striktur 5 2
Urgensi 8 6
Uinfeksi 9 3
Retrograd ejakulasi 43 44
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5
Variabel
J
u
m
l
a
h

P
e
n
d
e
r
i
t
a
Menurun
Tidak berubah
Meningkat
1 = Aktivitas kerja
2 = Rasa percaya
diri
3 = Hasrat seksual
4 = Disfungsi ereksi
5 = Inkontinensia urin

Gambar 2. Perubahan skor masing-masing variabel kualitas hidup 4 bulan pasca-operasi
Usul M. Sinaga dkk. Perubahan Kualitas Hidup Penderita...


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 195
Tabel 2.
Jumlah penderita berdasarkan perubahan skor pada tiap variabel kualitas hidup yang dinilai
Menurun Tidak Berubah Meningkat
Variabel
2 bulan 4 bulan 2 bulan 4 bulan 2 bulan 4 bulan
Aktivitas Kerja 1 - 6 1 45 51
Rasa percaya diri 1 - 7 7 44 45
Hasrat Seksual 23 17 25 30 4 5
Disfungsi Ereksi 16 16 33 29 3 7
Inkontinensia Urin 38 18 11 19 3 15


Tabel 3.
Distribusi skor penderita 2 bulan pasca-operasi dan 4 bulan pasca-operasi
2 bulan 4 bulan
Variabel
Turun Tetap Naik Turun Tetap Naik
Aktivitas Kerja 1 6 45 0 1 51
Rasa percaya diri 1 7 44 0 7 45
Hasrat Seksual 23 25 4 17 30 5
Disfungsi Ereksi 16 33 3 16 29 7
Inkontinensia Urin 38 11 3 18 19 15


Tabel 4.
Perubahan kualitas hidup sebelum operasi, 2 bulan pasca operasi dan 4 bulan pasca operasi
Item Pra-operasi 2 bln pasca-operasi 4 bln pasca-operasi
Mean 12,8 14,1 16,25

Tabel 2 menunjukkan perbandingan
jumlah penderita yang mengalami perubahan
skor pada tiap variabel yang dinilai 2 bulan
pasca operasi dan 4 bulan pasca operasi.
Peningkatan ataupun penurunan skor
penderita diatas tidak selalu menggambarkan
hasil yang maksimal karena bisa saja naik-
turunnya skor tersebut hanya 1 atau 2
tingkatan saja. Tabel 2 ini memberi gambaran
bahwa tindakan operasi prostatektomi terbuka
memberikan hasil yang baik untuk
meningkatkan kualitas hidup. Perbedaan 2
bulan pasca operasi dan 4 bulan pasca operasi
bermakna p < 0,001.
Tabel 3 menunjukkan distribusi skor
penderita 2 bulan pasca operasi dan 4 bulan
pasca operasi di mana terjadi peningkatan
yang tidak merata pada semua variabel.
Perbedaan dikatakan bermakna dengan p <
0,001.
Tabel 4 menunjukkan perbandingan
kualitas hidup sebelum operasi, 2 bulan pasca
operasi dan 4 bulan pasca operasi semakin
membaik. Perbandingan ini bermakna dengan
p < 0,001.

PEMBAHASAN
Pembesaran prostat jinak adalah kelainan
pada prostat yang paling sering dijumpai
(Burkit, 1990). Pembesaran ini terjadi karena
hiperplasia sel prostat. Penyebab pasti dari
pembesaran prostat jinak ini belum diketahui,
namun ada beberapa teori mengenai
patofisiologi pembesaran kelenjar prostat
(Walsh PC dkk., 1998):
1,3,6



Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 196


Penelitian ini menunjukkan bahwa usia
terbanyak penderita pembesaran prostat jinak
sesuai dengan kriteria inklusi yang datang
berobat ke rumah sakit adalah antara 60 70
tahun sebanyak 27 orang (51.9%). Kedua
terbanyak adalah penderita dengan usia antara
70 80 tahun sebanyak 14 orang (26,9%)
diikuti dengan penderita dengan usia antara
50 60 tahun sebanyak 9 orang (17,3%) dan
terakhir penderita dengan usia antara 80 90
tahun sebayak 2 orang (3,8%).
Skor kualitas hidup IPPS seluruh
penderita (100%) adalah 5 menunjukkan
semua penderita tidak bahagia dengan fungsi
berkemih saat menderita pembesaran prostat
jinak. 2-4 bulan pasca-operasi dijumpai
komplikasi operasi yang tinggi berupa nyeri
dan retrograd ejakulasi. Komplikasi berupa
urgensi, striktur, dan infeksi tidak banyak
dijumpai pada 2 bulan pasca-operasi. Pada
empat bulan pasca operasi, skor nyeri turun
karena proses penyembuhan luka dan skor
komplikasi infeksi juga sudah turun.
Komplikasi retrograd ejakulasi (dry
ejaculation) ditemukan pada seluruh
penderita. Komplikasi ini tidak dapat
dihindarkan karena pada saat dilakukan
pengangkatan kelenjar prostat terjadi
kerusakan pada bladder neck dan duktus
ejakulatorius yang bermuara pada kelenjar
prostat. Retrograd ejakulasi merupakan
komplikasi yang bersifat irreversibel (Junior
PD dkk., 2001), sehingga tidak tampak
penurunan komplikasi ini pada 4 bulan pasca-
operasi. Untungnya penderita pembesaran
prostat jinak umumnya adalah orang yang
berusia lanjut yang biasanya tidak lagi
mengharapkan keturunan sehingga komplikasi
ini tidak secara signifikan mengganggu kualitas
hidup. Komplikasi ini harus dijelaskan
sebelum operasi supaya dapat diterima oleh
pasien.
Dari seluruh penderita terdapat 1 orang
(1,9%) penderita mengalami penurunan
aktivitas kerja di mana pada 2 bulan pasca-
operasi penderita ini mengalami striktur
akibat bladder neck kontraktur. Ini merupakan
salah satu komplikasi umum dari tindakan
prostatektomi (De la Rosette JJMCH dkk.,
2001). Enam penderita (11,5%) lain
mengalami hal yang sama tetapi tidak
mengalami gangguan dalam aktivitas kerja.
Angka ini menurun menjadi 1 penderita pada
4 bulan pasca-operasi. Dijumpai ada 45
penderita (86,5%) yang meningkat menjadi 51
(98,1%) pada 4 bulan pasca-operasi.
Gambaran di atas menunjukkan manfaat dari
tindakan prostatektomi terbuka untuk
meningkatkan aktivitas kerja.
Penurunan rasa percaya diri dijumpai pada
1 penderita (1,9%) 2 bulan pasca-operasi dan
pada 4 bulan pasca operasi didapatkan
perbaikan yang bermakna. Penderita yang
tidak mengalami perubahan skor 2 bulan
pasca-operasi ada 7 orang (13,4%) dan skor ini
tidak berubah pada 4 bulan pasca-operasi. 44
penderita (84,6%) mengalami peningkatan
skor rasa percaya diri pada 2 bulan pasca-
operasi dan skor ini meningkat menjadi
penderita 45 (86,5%) pada 4 bulan pasca-
operasi.

Usul M. Sinaga dkk. Perubahan Kualitas Hidup Penderita...


Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 197
Hasrat seksual dan disfungsi ereksi
memberikan gambaran yang hampir sama di
mana pada 2 bulan pasca-operasi terdapat 23
penderita (44,2%) mengalami penurunan
hasrat seksual dan pada 4 bulan pasca-operasi
angka ini menurun menjadi 17 penderita
(32,6%). 25 penderita (48,1%) tidak
mengalami perubahan hasrat seksual pada 2
bulan pasca-operasi dan skor ini meningkat
menjadi 30 (57,7%) pada 4 bulan pasca-
operasi. Penderita yang mengalami
peningkatan hasrat seksual 2 bulan pasca-
operasi adalah sebanyak 4 orang (7,6%), dan
skor ini menjadi 5 (9,6%) pada 4 bulan pasca-
operasi. Penurunan skor disfungsi ereksi
terjadi pada 16 penderita (30,7%) pada 2
bulan pasca-operasi dan skor ini tidak berubah
pada 4 bulan pasca-operasi. Penderita yang
tidak mengalami perubahan disfungsi ereksi
pada 2 bulan pasca-operasi adalah 33 orang
(63,4%) dan pada 4 bulan pasca-operasi
terdapat 29 orang (55,7%). Peningkatan skor
disfungsi ereksi 2 bulan pasca-operasi terdapat
pada 3 orang (5,7%) dan meningkat menjadi 7
(13,4%) pada 4 bulan pasca-operasi. Kedua
variabel ini (hasrat seksual dan disfungsi
ereksi) tidak menunjukkan perbaikan yang
signifikan.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Gacci dkk. (2004) ternyata dijumpai
peningkatan angka pada hasrat seksual setelah
dilakukannya tindakan prostatektomi terbuka.
Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh
Bartsch G. Dkk. (2004) dikatakan bahwa
fungsi seksualitas menurun dua kali lipat pada
penderita pembesaran prostat jinak.
Inkontinensia urin dijumpai pada 38
penderita (73,1%) dua bulan pasca-operasi
dan angka ini menurun menjadi 18 (34,6%)
pada 4 bulan pasca-operasi. Penderita yang
tidak mengalami perubahan skor inkotinensia
urin dua bulan pasca-operasi ada 11 orang
(21,1%) dan skor ini meningkat menjadi 19
orang (36,5%) pada 4 bulan pasca-operasi. 3
penderita (5,7%) mengalami peningkatan skor
inkontinensia urin pada 2 bulan pasca-operasi
dan skor ini meningkat menjadi 15 penderita
(28,8%) pada 4 bulan pasca operasi. Angka
variabel ini menunjukkan bahwa setelah 4
bulan pasca operasi masih dijumpai penderita
yang mengeluhkan adanya inkontinensia
walaupun derajat inkontinensianya sudah
berkurang dan penderita tersebut masih di-
follow-up hingga saat ini. Penderita
pembesaran prostat jinak yang mengalami
inkontinensia urin disarankan sementara
memakai doek. Biasanya operasi
prostatektomi terbuka yang dilakukan denga
prosedur yang baik dapat menghindarkan
komplikasi inkontinensia urin. Secara
keseluruhan penelitian menunjukan perbaikan
kualitas hidup yang bermakna bila
dibandingkan sebelum operasi, 2 bulan pasca-
operasi dan 4 bulan pasca-operasi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian eksperimental
terhadap 52 orang penderita pembesaran
prostat jinak yang dilakukan tindakan
prostatektomi terbuka diperoleh:
1. Skor IPPS dan ICS-Qol dapat memberikan
informasi perubahan kualitas hidup
penderita pembesaran prostat jinak yang
menjalani operasi prostatektomi terbuka.
2. Masih ditemukan beberapa komplikasi
operasi yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup penderita.
3. Komplikasi operasi retrograd ejakulasi
ditemukan pada hampir semua penderita
pasca-operasi prostatektomi di mana
komplikasi ini dapat diterima semua
penderita karena usia yang sudah tua
sehingga tidak mempermasalahkan
keturunan lagi.
4. Operasi prostatektomi terbuka
memperbaiki kualitas hidup.


DAFTAR PUSTAKA
1. Walsh PC, Retik AB, Vaughan Jr ED,
Wein AJ. Campbells Urology, 7
th

edition;1998, 2851-64.
2. Gacci M, Bartoletti R, Figlioli S, Sarti E.
Urinary Symptoms, Quality of Life and
Sexual Function in Patients with Benign
Prostatic Hyperthropy Before and After
Prostatectomy : a prospective study.
3. Junior PD, Koff WJ, Berger M, Boeno RL
Toniazzo G, Neto BS. Correlation
Between Urinary Blood Flow, Quality of
Life and International Prostat Symptom
Score (IPPS) in Patient with Benign
Prostat Hyperplasia (BPH), Braz J.Uro;4;
2001,353-7.

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 198
4. Yoichi A, Yoshitaka A, Kazutoshi O,
Hiroshi M. Impact of Interventional
Therapy for Benign Prostatic Hyperplasia
on Quality of Life and Sexual Function,
Journal of Urology;2000, 164(4), 1206-
11.
5. Ellis, Shaw J. Sexual Dysfunction and
PBH; 2003.
6. Jones DA. Benign Prostatic Hyperthropy
and Lower Urinary Tract Dysfunction, in
Comperehensive Urology; Mosby Int.
Ltd.; London: 451-64; 2001.
7. Kimura A, Kurimoto S, Hosaka Y,
Kitamura T, Nakamura S. International
Prostate Symptom Score (IPPS)
Overestimate the Treatment
Efficacy;//A:\JJEE.htm; 2003.
8. Peters PC, Boone TB, Frank I, McConnel
JD, Preminger GM. Benign Prostatic
Hyperplasia in Principles of Surgery, 6
th

edition; McGraw-Hill Inc; New
York;1994; 1752-7.
9. Dull P, Reagen RW, Bahson RR. Urinary
Incontinence and Bladder Control, Vol 66;
July, 2002.
10. Donovan JL. The Measurement of
Symptoms, Quality of Life and Sexual
Function; BJU, Intl: 85,10;2000.

Anda mungkin juga menyukai