Anda di halaman 1dari 4

"REFORMASI POCO-POCO"

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan dalam Kolom Majalah Forum Keadilan, No.39/6 Feb 2005

Bayangkanlah pada suatu pagi anda sedang berada di pinggir kolam renang yang asri di sebuah
hotel berbintang. Atau mungkin juga sedang berada di seputar Gelora Senayan. Anda baru saja
selesai jalan pagi ketika tiba-tiba diajak untuk bersenam ringan bersama. Biasanya instruktur
akan mengajak peserta senam melakukan tarian berikut ini. Gerakan dasarnya relatif mudah.
Dua langkah kecil ke kanan, kembali ketempat, lalu mundur satu atau dua langkah ke belakang,
kemudian maju ke depan sambil berputar. Begitu seterusnya gerakan itu diulang-ulang, hingga
anda selesai memutar tubuh ke empat penjuru angin lalu kembali ke tempat semula.

Itulah tarian atau gerakan senam Poco-Poco yang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia
sejak enam atau tujuh tahun terakhir ini. Walaupun gerakan tersebut memiliki banyak varian,
namun ada yang tetap. Yaitu, jika tidak membuat kesalahan maka anda relatif statis karena
berputar-putar di tempat. Jarak antar sesama pesenam atau penari juga akan terjaga secara
harmonis. Selanjutnya, anda tentu akan kecanduan dan tidak mau berhenti ber “poco-poco”
dengan irama lagu yang memang membuai.

Harmonisasi gerak tari Poco-Poco di atas kiranya sangatlah tepat untuk menggambarkan kondisi
umum pelaksanaan reformasi di negeri kita. Beberapa kali pergantian kepemerintahan dan
kabinet ternyata tidaklah serta merta membawa perbaikan. Banyak lini kehidupan tidak
mengalami pembaruan, malah untuk beberapa bidang mengalami kemunduran. Kalaupun ada,
perbaikan ternyata tidaklah mudah untuk diteruskan, teladan tidak mudah ditularkan. Singkat
kata, reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara belum mengalami kemajuan berarti, lebih
banyak berputar-putar dan jalan di tempat. Persis bak orang menari Poco-Poco.
***
Rangkaian “kekonyolan” masih saja terjadi sejak reformasi digulirkan. Beratnya perputaran
roda reformasi di Indonesia tergambarkan dalam uraian berikut.
Petani masih harus terus berjuang. Sayur kol di daerah Boyolali hanya dihargai sekitar Rp 100,0
per kilogram. Panen bawang merah di beberapa sentra pertanian di pulau Jawa seperti Brebes,
kalaupun terbebas dari serangan hama, tidaklah mampu melepaskan diri dari serbuan bawang
impor. Nelayan dan petani garam mengalami nasib sama. Petani tebu pun masih harus jatuh
bangun karena belum sehatnya industri gula. Singkat kata, bagi petani dan nelayan masih
berlaku ungkapan “waktu membeli bibit, pestisida atau pupuk harga ditentukan penjual, ketika
menjual hasil panen harga di tentukan pembeli”.
Terjadinya penyetopan secara mendadak terhadap kendaraan yang sedang melaju kencang di
jalan bebas hambatan Jagorawi pada musim Lebaran 2004 lalu memperlihatkan arogansi aparat
yang sulit diterima akal sehat. Hal ini diperkeruh lagi oleh ucapan juru bicara Presiden yang
simpang siur. Penetapan seorang supir yang telah meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut
sebagai salah satu tersangka, juga sangat membingungkan.

Pemberantasan korupsi masih terkesan pilih kasih dan harus berpacu dengan bermunculannya
kasus korupsi baru dengan modus operandi yang lebih canggih. Tidak salah kiranya pengamat
ekonomi UI Faisal Basri yang juga pejabat tinggi di Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha
(KPPU) dalam sebuah talk show menyindir penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
yang justru diangkat menjadi pembantu presiden (Radio Delta, 27/12/04).

Pelaksanaan “good governance” seperti fatamorgana. Telah dimaklumi bahwa tata


pemerintahan yang baik akan tercapai apabila ada keseimbangan peran antara tiga unsur
utamanya: state atau penguasa, pelaku bisnis atau pengusaha, dan civil society atau kelompok
masyarakat sipil. Telah menjadi catatan sejarah bahwa masa awal Orde Baru merupakan
dominasi penguasa atas dua unsur lainnya, sementara masa-masa akhir Orde Baru merekam
dominasi pengusaha.

Sesungguhnya era reformasi merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan peran


masyarakat. Namun secara kasat mata terlihat bahwa bandul pelaksanaan pemerintahan
kembali diayunkan pengusaha dan sepertinya akan melumat dua komponen lainnya. Jabatan
rangkap yang sangat jauh dari sikap hidup profesional kembali justru dicontohkan oleh elite
pimpinan. Birokrat kehilangan rasa percaya dirinya dan civil society semakin tidak terwakili.
Lebih menyedihkan lagi, posisi perguruan tinggi jadi serba canggung. Pakarnya semakin banyak
yang menjadi “kutu loncat” di sekitar birokrasi dan partai politik memburu posisi dan jabatan
tanpa aturan main yang jelas. Fungsi riset yang sangat dibutuhkan di kemudian haripun menjadi
terbengkalai. Semakin hari, semakin susah membedakan pakar dengan celebrity.

Sementara itu, penggusuran SMPN 56 di kawasan Melawai Blok M, Jakarta, semakin


memprihatinkan dunia pendidikan yang sudah carut marut. Bayangkan, penggusuran sekolah
disamakan dengan penggusuran lapak, kios atau gubuk liar yang ditinggalkan mudik
penghuninya. Seperti sudah diperkirakan, proses eksekusi tinggal menunggu waktu yang tepat.
Penggusuran SMPN tersebut akhirnya terlaksana pada saat sekolah itu ditinggal mudik guru dan
siswanya.
Digital divide (kesenjangan digital) masih menganga. Fasilitas telekomunikasi dan informasi
terkonsentrasi di kota-kota besar dan kelompok mampu. Siaran televisi masih didominasi oleh
hiburan dengan mengutamakan pusar, pinggul, kisah misteri dan iklan. Suatu ironi yang sangat
menyesakkan dalam era telematika telah terjadi begitu saja tanpa banyak yang peduli. Tatkala
bangsa ini membutuhkan prestasi kelas dunia guna membangkitkan rasa nasionalisme, maka
untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir bangsa Indonesia justru tidak bisa
menyaksikan secara langsung pahlawan bulu tangkisnya berjuang meraih prestasi tertinggi di
arena Olimpiade bersejarah Athena 2004. Masyarakat yang tidak mampu berlangganan TV Kabel
atau Satelit hanya bisa menahan gundah ketika melihat foto Taufik Hidayat menghiasi halaman
koran esok harinya. Taufik yang memegang medali emas olimpiadenya terlihat tercenung
memandang Sang Saka Merah Putih. Saya sendiri ikut menangis geram karena tidak bisa
mengikuti rangkaian perjuangan panjang Taufik.

Di samping berbagai manfaat yang diperoleh dari gaya pemberitaan televisi yang lugas dan
langsung dari lapangan, banyak pula orang mempertanyakan etika pemberitaan yang
menayangkan secara dramatis musibah tsunami di Aceh. Lihatlah betapa penayangan jenazah
yang diiringi oleh jerit histeris keluarganya telah ditingkahi oleh tujuan komersil dan iklan.
Bahkan baru-baru ini saya sendiri terperanjat ketika pembawa acara meminta seorang Bapak
yang telah kehilangan 22 anggota keluarga, termasuk anak gadisnya, untuk menyanyikan lagu
kesayangan si anak (Metro TV, 11/1/05). Tidak berhenti disitu saja, ketika Sang Bapak telah
berhasil “memaksakan” diri menggumamkan sepenggal lagu tersebut, pembawa acara dengan
dinginnya malah terus meminta satu bait lagu lagi untuk disenandungkan. MasyaAllah!
***
Daftar kekonyolan di berbagai lini kehidupan di atas bisa saja diperpanjang tanpa batas. Sebut
saja proses kematian yang dialami pejuang HAM Munir, perusakan lahan tempat pengolahan
sampah terpadu di Desa Bojong, Bogor bulan November tahun lalu, penutupan Bank Global,
hingga bebasnya senjata api masuk bar dan berdampingan dengan gelas alkohol di sebuah hotel
berbintang yang dijaga ekstra ketat dalam sebuah pesta malam tahun baru.

Untaian panjang proses “reformasi poco-poco” di atas bukanlah untuk mengungkit-ungkit


kekurangan kita dan bukan untuk salah menyalahkan. Daftar itu sekedar merekam peristiwa
yang seharusnya mampu menggugah nurani dan kepedulian kita terhadap reformasi. Langkah
maju hanya bisa dicapai setelah reformasi dijalankan dengan konsisten dan konsekuen.
Pengingkaran terhadap hakekat reformasi hanya akan memperpanjang derita rakyat Indonesia,
memperburuk citra bangsa dalam pergaulan internasional, serta memudarkan semangat dan
rasa percaya diri kita.

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kekonyolan demi kekonyolan tersebut masih
terus terjadi? Lantas apa sebaiknya yang harus dilakukan?

Ada beberapa alasan. Pertama, banyak pemimpin yang lupa dan tidak menyadari bahwa
Indonesia memang masih tergolong negara miskin dengan GDP per Capita di bawah US$ 1000,0.
Kedua, tingkat upah sebagai besaran ekonomi makro masih belum diperlakukan secara
proporsional di dalam sistem ekonomi nasional, baik untuk swasta, buruh, serta aparat
pemerintah sendiri. Tingkat upah (wage) ini sangatlah luas dampaknya termasuk kepada
rendahnya produktivitas dan korupsi. Selanjutnya, bangsa Indonesia semakin mengabaikan hal-
hal detil dan cenderung hanya memperhatikan persoalan besar. Keempat, pola pikir dalam
menetapkan kebijakan masih terperangkap kedalam pola pikir masa lalu. Dengan kata lain,
kebijakan baru miskin inovasi. Kelima, bangsa kita semakin banyak maunya namun sangat sulit
menentukan prioritas. Terakhir, kita semakin tidak menghargai profesionalisme orang lain.

Salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah kembali kepada jalur reformasi yang
sebenarnya. Ada baiknya kita telaah kembali arti kata reformasi atau “reform” yang dalam
Pocket Oxford Dictionary (1994) diartikan sebagai “make or become better by the removal of
faults and errors” serta “removal of faults or abuses, esp. moral, political, or social”.

Mudah-mudahan dengan memahami arti kata reformasi dan kembali menjalankan proses
reformasi secara konsisten dan konsekuen, maka perbaikan diharapkan akan datang menerangi
Indonesia yang sedang berkabung. Kita sungguh mengharapkan reformasi yang sebenarnya,
bukan “Reformasi Poco-Poco” yang melenakan segelintir orang dan melupakan rakyat banyak.
_________
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Anda mungkin juga menyukai