Reformasi Poco
Reformasi Poco
Bayangkanlah pada suatu pagi anda sedang berada di pinggir kolam renang yang asri di sebuah
hotel berbintang. Atau mungkin juga sedang berada di seputar Gelora Senayan. Anda baru saja
selesai jalan pagi ketika tiba-tiba diajak untuk bersenam ringan bersama. Biasanya instruktur
akan mengajak peserta senam melakukan tarian berikut ini. Gerakan dasarnya relatif mudah.
Dua langkah kecil ke kanan, kembali ketempat, lalu mundur satu atau dua langkah ke belakang,
kemudian maju ke depan sambil berputar. Begitu seterusnya gerakan itu diulang-ulang, hingga
anda selesai memutar tubuh ke empat penjuru angin lalu kembali ke tempat semula.
Itulah tarian atau gerakan senam Poco-Poco yang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia
sejak enam atau tujuh tahun terakhir ini. Walaupun gerakan tersebut memiliki banyak varian,
namun ada yang tetap. Yaitu, jika tidak membuat kesalahan maka anda relatif statis karena
berputar-putar di tempat. Jarak antar sesama pesenam atau penari juga akan terjaga secara
harmonis. Selanjutnya, anda tentu akan kecanduan dan tidak mau berhenti ber “poco-poco”
dengan irama lagu yang memang membuai.
Harmonisasi gerak tari Poco-Poco di atas kiranya sangatlah tepat untuk menggambarkan kondisi
umum pelaksanaan reformasi di negeri kita. Beberapa kali pergantian kepemerintahan dan
kabinet ternyata tidaklah serta merta membawa perbaikan. Banyak lini kehidupan tidak
mengalami pembaruan, malah untuk beberapa bidang mengalami kemunduran. Kalaupun ada,
perbaikan ternyata tidaklah mudah untuk diteruskan, teladan tidak mudah ditularkan. Singkat
kata, reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara belum mengalami kemajuan berarti, lebih
banyak berputar-putar dan jalan di tempat. Persis bak orang menari Poco-Poco.
***
Rangkaian “kekonyolan” masih saja terjadi sejak reformasi digulirkan. Beratnya perputaran
roda reformasi di Indonesia tergambarkan dalam uraian berikut.
Petani masih harus terus berjuang. Sayur kol di daerah Boyolali hanya dihargai sekitar Rp 100,0
per kilogram. Panen bawang merah di beberapa sentra pertanian di pulau Jawa seperti Brebes,
kalaupun terbebas dari serangan hama, tidaklah mampu melepaskan diri dari serbuan bawang
impor. Nelayan dan petani garam mengalami nasib sama. Petani tebu pun masih harus jatuh
bangun karena belum sehatnya industri gula. Singkat kata, bagi petani dan nelayan masih
berlaku ungkapan “waktu membeli bibit, pestisida atau pupuk harga ditentukan penjual, ketika
menjual hasil panen harga di tentukan pembeli”.
Terjadinya penyetopan secara mendadak terhadap kendaraan yang sedang melaju kencang di
jalan bebas hambatan Jagorawi pada musim Lebaran 2004 lalu memperlihatkan arogansi aparat
yang sulit diterima akal sehat. Hal ini diperkeruh lagi oleh ucapan juru bicara Presiden yang
simpang siur. Penetapan seorang supir yang telah meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut
sebagai salah satu tersangka, juga sangat membingungkan.
Pemberantasan korupsi masih terkesan pilih kasih dan harus berpacu dengan bermunculannya
kasus korupsi baru dengan modus operandi yang lebih canggih. Tidak salah kiranya pengamat
ekonomi UI Faisal Basri yang juga pejabat tinggi di Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha
(KPPU) dalam sebuah talk show menyindir penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
yang justru diangkat menjadi pembantu presiden (Radio Delta, 27/12/04).
Di samping berbagai manfaat yang diperoleh dari gaya pemberitaan televisi yang lugas dan
langsung dari lapangan, banyak pula orang mempertanyakan etika pemberitaan yang
menayangkan secara dramatis musibah tsunami di Aceh. Lihatlah betapa penayangan jenazah
yang diiringi oleh jerit histeris keluarganya telah ditingkahi oleh tujuan komersil dan iklan.
Bahkan baru-baru ini saya sendiri terperanjat ketika pembawa acara meminta seorang Bapak
yang telah kehilangan 22 anggota keluarga, termasuk anak gadisnya, untuk menyanyikan lagu
kesayangan si anak (Metro TV, 11/1/05). Tidak berhenti disitu saja, ketika Sang Bapak telah
berhasil “memaksakan” diri menggumamkan sepenggal lagu tersebut, pembawa acara dengan
dinginnya malah terus meminta satu bait lagu lagi untuk disenandungkan. MasyaAllah!
***
Daftar kekonyolan di berbagai lini kehidupan di atas bisa saja diperpanjang tanpa batas. Sebut
saja proses kematian yang dialami pejuang HAM Munir, perusakan lahan tempat pengolahan
sampah terpadu di Desa Bojong, Bogor bulan November tahun lalu, penutupan Bank Global,
hingga bebasnya senjata api masuk bar dan berdampingan dengan gelas alkohol di sebuah hotel
berbintang yang dijaga ekstra ketat dalam sebuah pesta malam tahun baru.
Lalu menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kekonyolan demi kekonyolan tersebut masih
terus terjadi? Lantas apa sebaiknya yang harus dilakukan?
Ada beberapa alasan. Pertama, banyak pemimpin yang lupa dan tidak menyadari bahwa
Indonesia memang masih tergolong negara miskin dengan GDP per Capita di bawah US$ 1000,0.
Kedua, tingkat upah sebagai besaran ekonomi makro masih belum diperlakukan secara
proporsional di dalam sistem ekonomi nasional, baik untuk swasta, buruh, serta aparat
pemerintah sendiri. Tingkat upah (wage) ini sangatlah luas dampaknya termasuk kepada
rendahnya produktivitas dan korupsi. Selanjutnya, bangsa Indonesia semakin mengabaikan hal-
hal detil dan cenderung hanya memperhatikan persoalan besar. Keempat, pola pikir dalam
menetapkan kebijakan masih terperangkap kedalam pola pikir masa lalu. Dengan kata lain,
kebijakan baru miskin inovasi. Kelima, bangsa kita semakin banyak maunya namun sangat sulit
menentukan prioritas. Terakhir, kita semakin tidak menghargai profesionalisme orang lain.
Salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah kembali kepada jalur reformasi yang
sebenarnya. Ada baiknya kita telaah kembali arti kata reformasi atau “reform” yang dalam
Pocket Oxford Dictionary (1994) diartikan sebagai “make or become better by the removal of
faults and errors” serta “removal of faults or abuses, esp. moral, political, or social”.
Mudah-mudahan dengan memahami arti kata reformasi dan kembali menjalankan proses
reformasi secara konsisten dan konsekuen, maka perbaikan diharapkan akan datang menerangi
Indonesia yang sedang berkabung. Kita sungguh mengharapkan reformasi yang sebenarnya,
bukan “Reformasi Poco-Poco” yang melenakan segelintir orang dan melupakan rakyat banyak.
_________
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.