Anda di halaman 1dari 3

INTELEKTUAL BERMINYAK

Oleh: Eddy Satriya*)


Telah diterbitkan dalam kolom Majalah Mingguan Forum Keadilan No.45/20 Maret 05.

Sebagaimana halnya sebagian besar lapisan masyarakat, saya juga kaget ketika membaca
iklan sehalaman penuh oleh Freedom Institute di harian Kompas (26/2/05) yang secara
gamblang mendukung pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun saya
sangat terperanjat tatkala melihat nama-nama pendukung pengurangan subsidi BBM
tersebut. Disana ada nama-nama besar mulai dari pejabat negara yang super sibuk, dosen
universitas terkemuka, pemuka masyarakat, pengamat ekonomi, aktivitis LSM, pekerja
seni, pengacara, budayawan, mantan menteri dan lain sebagainya.

Saya kemudian menjadi geli sendiri. “Tahu apa mereka semua tentang subsidi BBM?”
demikian saya mencoba menghibur diri sekaligus mengurangi rasa penasaran di dalam
hati. Mungkin saja di antara nama-nama tersebut memang ada yang tahu sedikit tentang
seluk beluk BBM, atau bahkan ada yang sangat mengetahuinya. Namun, apa iya
semuanya, sekali lagi semuanya, memahami masalah BBM yang sangat kompleks
sehingga berani memasang nama mereka dibawah bendera Freedom Institute yang secara
terang-terangan mendukung dinaikkannya harga BBM? Sebegitumudahkah seorang
intelektual Indonesia memahami suatu persoalan sektoral pembangunan yang bukan
bidangnya? Kalau benar para intelektual Indonesia sebegitu cerdasnya, lalu mengapa kita
masih saja terpuruk dan berbagai persoalan tidak terselesaikan?
***
Memahami seluk beluk BBM memaksa kita untuk mengerti banyak hal dan masalah
dalam penyediaan BBM. Beberapa diantaranya adalah: (a) Tidak seimbangnya konsumsi
dan produksi BBM; (b) Tersebarnya wilayah penghasil minyak di seluruh Indonesia dan
terpisah jauh dari pulau Jawa sebagai pengguna terbesar; (c) Belum tercapainya harga
berbagai jenis produk BBM yang mencerminkan nilai keekonomiannya; (d) Masih sangat
bergantungnya penggunaan energi nasional kepada BBM; (e) Belum berjalannya
program diversifikasi dan konservasi energi secara maksimal; (f) Belum efisiennya
penggunaan energi secara umum, termasuk BBM; (g) Masih terbatasnya infrastruktur
untuk penyaluran BBM; serta (h) Masih belum tersusunnya kebijakan Energy Mix yang
sangat diperlukan sebagai acuan komposisi penggunaan energi primer. Berbagai
persoalan seputar BBM di atas secara terpisah ataupun bersinergi antara satu dengan
lainnya sangat mempengaruhi harga jual BBM, baik untuk kalangan industri, rumah
tangga, dan transportasi. Harga BBM yang mempunyai linkage yang sangat erat dan tali
temali dengan berbagai sektor lain inilah yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat
pendapatan relatif masyarakat ketika subsidi BBM dikurangi.

Sesungguhnya ada dua hal utama yang menjadi pokok persoalan saat ini, yaitu apa dan
bagaimana subsidi BBM harus disikapi serta masalah kompensasi. Kelihatannya dua
persoalan ini belum dipahami dengan baik oleh banyak kalangan, termasuk kaum
intelektual. Kedua masalah ini sering pula dipertukartempatkan atau dicampuradukkan.
Subsidi BBM telah disepakati untuk dikurangi dan dihapuskan seperti tercantum dalam
Undang-Undang No 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Sedangkan kompensasi menyangkut pengalokasian dana APBN untuk menutupi turunnya
pendapatan relatif masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM setelah
dikurangi atau dihapuskan subsidinya. Kompensasi itu sendiri akan diberikan berupa
dana kompensasi BBM untuk sektor-sektor yang sangat mempengaruhi tingkat
pengeluaran masyarakat miskin seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, bahan
makanan dan lain-lain. Ironisnya lagi, dana kompensasi tidak diberikan kepada sektor
energi sendiri yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat yang memiliki pembangkit
listrik berskala kecil di daerah terpencil, baik yang menggunakan mikro hidro ataupun
berbasis minyak diesel.

Dari uraian ringkas di atas, jelas kiranya terdapat suatu hubungan yang tidak sederhana
antara subsidi BBM dan pelaksanaan program kompensasi BBM dengan tingkat
pemahaman para intelektual. Karena itu, keberpihakan intelektual terhadap penderitaan
rakyat yang diakibatkan kenaikan harga BBM menjadi sangat penting.
Sayangnya bukan keberpihakan yang diterima masyarakat miskin, kaum intelektual
pendukung penghapusan subsidi ini malah sebaliknya sibuk menyiapkan berbagai
argumentasi untuk mempertahankan sikap mereka terhadap rentetan protes yang diajukan
masyarakat. Lihatlah pembelaan Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute yang
diterbitkan Kompas (3/3/05). Rizal dengan nada emosi malah memperluas persoalan dan
menantang para penentang kebijakan kenaikan harga BBM ini untuk mengorganisir diri
serta memasang iklan dua halaman penuh di Kompas, jika mempunyai dana tentunya.
MasyaAllah.
***
Jika menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung tahun 2004 lalu banyak
kaum intelektual berpesta (Forum,1/08/04), sekarang giliran mereka berminyak. Ah..,
kalau sudah begini: intelektual berpesta, berminyak dan berfulus apalah bedanya? Untuk
pemilik nama-nama pendukung dihapuskannya subsidi BBM dalam iklan yang menjadi
pokok persoalan, saya hanya bisa menghimbau “semoga tidak ada dusta di antara kita!”
_____
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Anda mungkin juga menyukai