Thursday, 05 July 2007 Dr. Anna Ulfah Rahayoe, SpJP Orok yang kelihatannya normal. Deo berlari kencang, temannya nyaris tak mampu mengejar. Dia memang bercita-cita ingin menjadi pemain sepak bola sekelas Maradona. Deo kini sudah duduk di bangku sekolah dasar, bagi yang tak tahu riwayatnya, pasti akan menganggapnya anak yang lahir normal. Padahal, Deo pernah menghadapi kondisi kritis yang nyaris merenggut nyawanya. Proses kelahirannya memang normal-normal saja, berat badan saat lahir 3.400 gram, fisik tanpa cacat dan langsung menangis. Namun keesokan harinya bibir Deo terlihat biru, menghisap ASI pun malas. Kekhawatiran mulai timbul di benak kedua orangtuanya, yang sudah menunggu kehadiran bayi mereka lebih dari lima tahun. Dokter Anak di klinik bersalin itu mulai mencurigai ada ketidak beresan pada jantung Deo. Setelah melakukan pengukuran kadar oksigen dalam darah dengan alat oximetry, kepala Deo dikerudungi box transparan yang dialiri oksigen, kemudian diikuti perubahan kadar oksigen melalui angka yang tertera pada alat itu. Wah, dari 70 hanya naik menjadi 75 persen saja, padahal saya sudah beri oksigen tinggi, dugaan ada penyakit jantung bawaan (PJB) semakin kuat, katanya. Kejadian PJB hanya 8 - 10 dari 1000 bayi yang lahir hidup, kenapa penyakit ini justru menimpa anakku? Itulah kalimat yang selalu terlontar dari orangtua bayi yang divonis menderita PJB. Deo perlu dikonsultasikan ke Dokter Spesialis Jantung Anak. Ternyata mencari Dokter Spesialis ini tidaklah mudah, konon kabarnya di Indonesia tak lebih dari 20 orang jumlahnya. Beruntung Deo lahir di Jakarta, dimana segala jenis dokter spesialis ada. Karena kadar oksigen terus merosot menjadi 50an, Deo cepat - cepat dilarikan dengan ambulans menuju Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Ketika tiba di unit gawat darurat rumah sakit ini, kembali monitor EKG dan oksigen dipasang, ternyata angka yang tertera tak lebih dari 50 bahkan kadang-kadang 40an. Nafas Deo kelihatan cepat, bibirnya semakin biru nyaris hitam. Sang ayah yang mengikuti perjalanan anaknya, tampak pasrah. Beruntun dilakukan pemeriksaan, mula-mula hanya dengan stetoskop, kemudian rekam EKG, dan seorang petugas mendorong alat rontgen mengambil foto dada Deo. Tak lama kemudian, sebuah alat ekokardiografi didorong mendekat, Dokter menempelkan transduser eko ke dada orok yang mungil itu. Tak lebih dari 30 menit, Dokter sudah sampai pada kesimpulan: Deo menderita penyakit jantung bawaan jenis Transposisi Arteri Besar (Transposition of the Great Artery = TGA).
Apa Transposisi Arteri Besar itu? Transposisi Arteri Besar adalah kondisi dimana pembuluh darah utama aorta (Ao) dan pembuluh darah paru (PA) posisinya tertukar. Aorta seharus-nya keluar dari bilik kiri (LV) yang memompa darah bersih, sedangkan pembuluh darah paru keluar dari bilik kanan (RV) yang memompa darah kotor untuk dibersihkan di paru. Pada TGA, aorta keluar dari bilik kanan sehingga darah kotor yang mengalir ke seluruh tubuh, dan PA keluar dari bilik kiri sehingga darah bersih kembali ke paru. Bayi hanya bisa hidup kalau ada hubungan antara kedua pembuluh arteri besar ini melalui pembuluh Duktus Arteriosus, atau ada hubungan antara kedua serambi melalui lubang di sekat pemisahnya. Duktus Arteriosus memang selalu ada dan terbuka ketika bayi dalam kandungan, tetapi segera menutup setelah bayi lahir. Tanpa pertolongan, bayi dengan TGA akan meninggal pada minggu pertama kehidupan ..................! Prosedur PenanganannyaDeo dipindah ke ruang ICU, diantar oleh 2 perawat dan seorang Dokter. Tempat tidur kecil dengan pemanas diatasnya telah disiapkan disana. Dokter mengatakan kondisi Deo memburuk, karena pembuluh penyelamat yakni Duktus Arteriosus hampir menutup. Agar Duktus tetap terbuka, maka harus diinfuskan obat Prostaglandin E-1 (PGE-1). Obat ini tak tersedia di pasaran, harganya dua jutaan rupiah per - ampul. Efek samping obat ini adalah henti nafas, oleh karenanya pernafasan Deo perlu dibantu dengan alat ventilator. Ajaib memang, setelah mendapat infus obat ini, kadar oksigen meningkat menjadi 70an. Tetapi ini hanya untuk sementara saja, dalam beberapa jam obat akan habis, tak mungkin memakainya terus menerus. Tindakan selanjutnya, melalui pembuluh darah di lipatan paha dimasukkan slang kecil (kateter) yang ujungnya ada balon dalam kondisi kempis. Slang didorong hingga memasuki serambi kanan (RA), melewati celah di sekat serambi dan sampailah di serambi kiri (LA). Pada saat itu, balon dikembangkan dan kemudian kateter ditarik. Balon merobek sekat serambi, dan ter-bentuklah lubang yang memungkinkan darah bersih dari serambi kiri (LA) mengalir leluasa ke serambi kanan (RA), bilik kanan (RV) dan ke aorta untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Tindakan ini disebut Balloon Atrial Septostomy (BAS). Semua prosedur ini dilakukan di ruang ICU, hanya dengan petunjuk alat ekokardiografi. Dengan terbentuknya lubang ini, maka untuk sementara kondisi Deo cukup aman. Meskipun infus PGE-1 dihentikan, kadar oksigen tetap bertahan di angka 80an. Keesokan harinya mesin bantu nafas dicabut, dan Deo bernafas sendiri, bibirnya juga sudah kelihatan merah. Namun, ini bukan akhir stress yang harus dihadapi orangtuanya. Dokter mengatakan, dua minggu lagi Deo harus dioperasi, pembuluh darah yang salah posisi harus dikembalikan ke posisi yang seharusnya. Yang mencemaskan adalah penjelasan Dokter Bedah yang mengatakan bahwa, kelainan ini tergolong kelainan yang sangat kompleks dan operasinya sulit. Terus terang dia mengatakan : baru 4 kasus yang dioperasi dengan kelainan ini, dan setengahnya gagal. Kejadian delapan tahun yang lalu ini masih lekat diingatan kedua orangtua Deo. Hari demi hari dilewati dengan penantian yang mencemaskan, meskipun perkembangan kondisi Deo sangat menggembirakan. Timbul pemikiran untuk tidak meneruskan ke tahap operasi. Tetapi menurut dokter : setelah dua minggu kondisi otot bilik kiri akan melemah, dan National Cardiovascular Center Harapan Kita http://www.pjnhk.go.id Powered by Joomla! Generated: 17 November, 2008, 07:51 tak akan kuat menghadapi beban sebagai pemompa darah keseluruh tubuh. Apa boleh buat, dalam usia 15 hari Deo harus menjalani operasi besar, namanya operasi Arterial Switch. Kedua pembuluh darah utama dipotong pada pangkal dan ditukar posisinya. Pembuluh darah koroner yang memberi makan otot jantung dan menempel di aorta harus dilepas pada muaranya, kemudian dipindah ke aorta baru yang sudah berhubungan dengan bilik kiri. Adalah Dokter Jatene, Ahli Bedah Jantung Anak dari Brazil yang pertamakali menemukan metode operasi ini. Melalui tangan para Ahli di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, nyawa Deo akhirnya terselamatkan. Deo tumbuh menjadi anak sehat, yang dicintai oleh kedua orang tuanya. Dan kini, semakin banyak bayi yang ter-tolong dari Transposisi Arteri Besar yang fatal ini. National Cardiovascular Center Harapan Kita http://www.pjnhk.go.id Powered by Joomla! Generated: 17 November, 2008, 07:51