Anda di halaman 1dari 12

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi
Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of
place atau di luar dari tempatnya, dan ditujukan pada penderita dengan
penyakit yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
8,9
Bayi atopi memiliki
predisposisi herediter untuk menghasilkan antibodi IgE melawan alergen
yang berasal dari lingkungan sekitarnya dan memiliki satu atau lebih penyakit
yang berkaitan dengan atopi seperti dermatitis atopi, rinitis alergi dan asma.
8

Faktor risiko terhadap perkembangan penyakit yang berkaitan dengan atopi
adalah riwayat atopi dalam keluarga, hal ini dapat dilihat dari bayi yang baru
lahir akan dijumpai adanya peningkatan kadar IgE dari sampel darah tali
pusat.
10-12

Kelainan atopi diperkirakan terjadi pada 10% sampai 30% populasi
negara maju.
13
Di Swedia terdeteksi 1/3 anak berusia lebih dari 11 tahun
mengidap kelainan atopi.
14
Prevalens kelainan atopi juga dikatakan
meningkat di negara industri.
15
Insidens yang meningkat di negara maju
dikaitkan dengan polusi udara dan terjadinya deviasi respons imun karena
berkurangnya penyakit infeksi pada anak.
13

Etiologi atopi mencakup faktor genetik kompleks yang belum
sepenuhnya dipahami.
10,14,15
Peningkatan prevalensi ini sering dikaitkan
dengan hygiene hypothesis yang menyatakan bahwa berkurangnya
Universitas Sumatera Utara
paparan mikroba pada usia dini terutama pada mukosa usus menyebabkan
kecenderungan pergeseran profil respons sistem imun dari T helper tipe 1
(Th-1) kepada dominasi T helper tipe 2 (Th-2) yang lebih cenderung
mencetuskan respons alergi.
16,17

Penyakit yang berkaitan dengan atopi diturunkan secara genetik dan
dipengaruhi faktor lingkungan dan riwayat keluarga dijadikan sebagai
prediktor terbaik yang dihubungkan dengan penyakit yang berkaitan dengan
atopi yang akan timbul di kemudian hari.
24
Hubungan antara kelainan atopi
orang tua dan anaknya bervariasi mengikut jenis kelainan atopi yang diderita
orang tuanya.
25
Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat atopi pada
kedua orang tuanya mempunyai risiko hingga 50% sampai 80% untuk
mendapat kelainan atopi dibanding dengan anak tanpa riwayat atopi keluarga
(risiko hanya sebesar 20%). Risiko akan menjadi lebih tinggi jika kelainan
alergi diderita oleh ibu dibanding ayah.
13,25

Imunglobulin E merupakan golongan imunoglobulin yang paling akhir
ditemukan, dan baru teridentifikasi dan dipastikan sebagai bahan aktif pada
proses alergi pada tahun 1967.
16,26
IgE merupakan mediator kunci dari
penyakit alergi.
23
IgE sudah dapat dideteksi pada usia tiga bulan, sebelum
gejala klinis timbul.
20
Pembentukan IgE dimulai pada masa awal kehidupan
dimana sensitisasi sering dapat terdeteksi sebelum gejala klinis timbul.
16
Ia
merupakan suatu antibodi khusus yang diproduksi sistem imun sebagai
respons terhadap antigen tertentu.
20

Universitas Sumatera Utara
Setelah disekresikan oleh limfosit B, IgE mengikuti sirkulasi aliran
darah hingga ia berikatan dengan permukaan membran sel mast dan basofil
yang terdapat dipermukaan epitel di seluruh tubuh, misalnya pada saluran
nafas, saluran cerna dan kulit. Pada paparan ulang, alergen akan bereaksi
dengan membran yang terikat dengan IgE spesifik tersebut dan mencetuskan
pelepasan zat mediator inflamasi seperti: histamin, leukotrin, prostaglandin,
dan protease, sehingga menimbulkan tanda dan gejala alergi.
20

Atopic march, atau lebih dikenal dengan allergic march, merupakan
istilah yang menggambarkan adanya riwayat alami dari alergi atau
manifestasi atopi dengan karakteristik berupa urutan yang khas dari gejala
dan kondisi klinis yang muncul pada usia tertentu. Secara umum gambaran
klinis dermatitis atopi merupakan yang pertama kali muncul kemudian diikuti
asma dan rinitis alergi.
18,19
Atopi dapat juga bersifat asimtomatik dimana
terdapat banyak orang dengan status atopi yang mempunyai IgE spesifik
dalam tubuhnya namun tidak menunjukkan gejala klinis alergi.
10,13,20-23

2.2. Hygiene hypothesis
Seorang ahli epidemiologi pada tahun 1989 mengemukakan hygiene
hypothesis dimana beliau melaporkan suatu hubungan yang terbalik antara
jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi.
Dikemukakan juga bahwa insidens infeksi yang lebih rendah pada masa awal
kehidupan atau yang didapat sebelum lahir, mungkin menjadi penyebab
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya penyakit alergi.
27
Fasilitas peralatan rumah tangga yang lebih
baik dan standar kebersihan pribadi yang tinggi juga dikatakan mengurangi
kesempatan infeksi-silang pada keluarga, yang berakibat penyakit atopi
meningkat.
4,28

Para ahli alergi-imunologi kemudian melakukan eksplorasi lebih jauh,
didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba merupakan
faktor penyebab utama insidens atopi meningkat. Beberapa faktor yang
mungkin menyebabkan paparan terhadap mikroba berkurang antara lain air
dan makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin,
proses kelahiran. Faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari
pedesaan ke perkotaan juga menyebabkan paparan terhadap mikroba
berkurang.
28

Literatur lain menyatakan paparan terhadap lingkungan merupakan
faktor utama sensitisasi alergi terhadap alergen lingkungan sehingga muncul
penyakit alergi. Faktor lingkungan tersebut antara lain paparan yang sering
terhadap alergen, paparan terhadap binatang peliharaan dan ternak, tingkat
sosio-ekonomi, status nutrisi, dan jumlah saudara kandung. Tempat penitipan
anak, faktor gaya hidup seperti diet, pemberian ASI, dan kebiasaan merokok
pada ibu juga merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi munculnya
penyakit alergi.
29

Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek protektif
agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba terhadap
Universitas Sumatera Utara
berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal ini mencakup
infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus hepatitis A
dan Helicobacter pylori, dan flora normal usus. Endotoksin lingkungan,
produk mikroba lain di lingkungan dan kecacingan juga disebutkan memiliki
efek protektif. Pola pemaparan terhadap faktor risiko dan faktor protektif di
lingkungan akan menentukan prevalensi penyakit alergi dan atopi pada
populasi.
29


2.3. Alergen
Alergen adalah molekul antigenik yang berperan pada reaksi imun yang
menyebabkan alergi, sedangkan sensitisasi merupakan proses induksi
pertama kali dari respons IgE terhadap suatu alergen.
22
Alergen hirup atau
aero/inhallant allergen adalah merupakan alergen yang terdapat di udara
pada lingkungan sehari-hari.
21
Alergen hirup dapat dibagi dua:
23

1. Alergen hirup dalam rumah (indoor-household): kutu debu rumah,
bulu dan serpihan kulit manusia atau hewan peliharaan.
2. Alergen hirup luar rumah (outdoor): serbuk sari rumput dan spora
jamur
Anak berusia muda lebih cenderung tersensitisasi oleh alergen yang
dijumpai pada masa awal kehidupan, seperti makanan dan alergen hirup
yang terdapat di lingkungan rumah (kutu debu rumah, serpihan kulit hewan
peliharaan, kecoa dan jamur), dimana sensitisasi terhadap alergen
Universitas Sumatera Utara
lingkungan luar rumah belum terjadi. Sementara anak berusia lebih dari
empat tahun lebih cenderung menunjukkan sensitisasi terhadap serbuk
sari.
16,20,30


2.4. Hubungan tempat tinggal dengan sensitisasi alergi
Prevalensi asma dan atopi pada anak dilaporkan lebih rendah pada daerah
pedesaan daripada perkotaan. Suatu penelitian pada tahun 2000 di Kanada
mendapatkan anak yang tinggal di kota memiliki sensitisasi atopi yang lebih
tinggi (53.4%) daripada anak yang tinggal di desa (40.8%).
31
Perbedaan gaya
hidup lainnya antara perkotaan dan pedesaan dapat mempengaruhi
prevalens asma dan atopi. Anak di pedesaan biasanya memiliki saudara
kandung yang lebih banyak, kurang terpapar dengan asap rokok di rumah,
dan lebih sering memiliki hewan peliharaan atau terpapar dengan hewan
dibandingkan dengan anak di perkotaan.
2

Kebanyakan anak yang tinggal di pedesaan terpapar terhadap
ligkungan pertanian karena bertempat tinggal, bekerja, atau bermain di
daerah pertanian. Paparan tehadap pertanian yang dapat mempengaruhi
kesehatan saluran nafas dan atopi diantaranya endotoksin, debu padi,
pestisida, hewan ternak, dan patogen zoonosis. Beberapa penelitian di Eropa
dan Kanada menunjukkan anak yang tinggal di daerah pertanian memiliki
kemungkinan yang lebih kecil untuk menderita asma dan penyakit atopi
lainnya dibandingkan anak yang tinggal di daerah perkotaan.
2

Universitas Sumatera Utara
2.4. Uji Tusuk Kulit
Uji tusuk kulit adalah salah satu cara termudah untuk memeriksa kelainan
atopi dan sensitifitas terhadap alergi atas keberadaan antibodi IgE
spesifik.
23,30,32
Ia merupakan metoda pendekatan diagnostik yang tepat untuk
mendeteksi sensitisasi IgE oleh alergen hirup, makanan, bisa hewan dan
obat-obatan.
33
Uji tusuk kulit, selain murah juga menyediakan hasil yang
cepat didapat,
18,33,34
sebagai alat diagnostik pada kelainan alergi anak.
35
Uji
ini biasanya direkomendasikan sebagai sarana uji diagnostik lini pertama
untuk mendeteksi adanya reaktivitas spesifik.
23,33

Beberapa studi menunjukkan bahwa uji tusuk kulit adalah merupakan
teknik yang paling baik dan mempunyai hasil paling prediktif diantara uji
kulit.
21
Ia juga mempunyai keamanan dan sensitifitas yang baik, dengan hasil
yang dapat dipercaya karena sudah sering diteliti secara luas.
35


2.4.1 Reaksi Imunologis, Cara Kerja dan Penilaian Uji Tusuk Kulit
Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu, pemberian
sejumlah kecil alergen cair yang di tusukkan dengan jarum pada epidermis
superfisial fleksor volar lengan bawah,
20,21,34
atau punggung atas,
30
akan
menyebabkan kontak antara alergen dengan IgE spesifik yang terikat dengan
permukaan sel mast kulit.
23,30

Jika sel mast mengandung IgE terhadap alergen yang diaplikasikan,
maka sel mast tersebut akan mengalami degranulasi dan melepas mediator-
Universitas Sumatera Utara
mediator termasuk histamin,
23
lalu menyebabkan reaksi imun tipe I berupa
reaksi bengkak kemerahan pada kulit tersebut.
30,34,35
Bengkak kemerahan
tersebut biasanya akan mencapai diameter maksimal dalam 15 sampai 20
menit sesudah pemberian alergen,
18,20,21
yang dibandingkan dengan kontrol
positif (histamin 1%) dan kontrol negatif (saline).
18,20,30

Hasil uji kulit dapat dilaporkan secara subjektif dalam bentuk skala
numerik atas diameter bengkak yang diukur.
20
Terdapat beberapa sistem
skor yang berbeda yang digunakan untuk mencatat hasil reaktivitas uji kulit.
Namun hal yang terpenting adalah apakah hasil uji kulit tersebut positif atau
negatif.
21,30
Uji tusuk kulit dinyatakan positif jika suatu alergen mengakibatkan
bengkak dan kemerahan dengan indurasi > 3 mm.
34,36
Bengkak kemerahan
dengan diameter 3 mm atau lebih besar dari kontrol biasanya dinyatakan
mempunyai nilai positif.
18,21,30


2.4.2. Peralatan pada Uji Tusuk Kulit
Saat ini banyak peralatan komersial tersedia untuk melaksanakan uji tusuk
kulit, seperti jarum hipodermik, alat tusuk metal, alat tusuk bercabang, jarum
Morrow-Brown dan alat multitest.
21,30,32





Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Usia pada Pelaksanaan Uji Tusuk Kulit
Tidak terdapat batasan usia pada pelaksanaan uji tusuk kulit. Namun para
ahli jarang melaksanakan uji ini pada anak berusia dibawah enam bulan
sehubungan dengan:
30

Terbatasnya jumlah alergen yang dapat digunakan seperti: susu, kedelai,
telur dan alergen hirup dari lingkungan rumah saja.
Reaktivitas uji kulit mungkin kurang pada anak berusia sangat muda, hal
ini membuat kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) menjadi
sangat penting.
Terbatasnya jumlah uji kulit yang dapat dilaksanakan sehubungan dengan
luas permukaan tubuh yang lebih kecil.

2.4.4. Sensitifitas dan Spesifisitas Uji Tusuk Kulit
Nilai prediktif uji tusuk kulit telah dinyatakan dapat digunakan untuk
memeriksa sensitisasi alergi.
36
Uji tusuk kulit masih tetap merupakan uji untuk
memeriksa IgE spesifik yang paling sensitif dan spesifik, dan telah dinyatakan
lebih sensitif dibanding teknik radioallergo-sorbent test (RAST) dalam
mendeteksi reaktivitas IgE.
23,35

Uji tusuk kulit mempunyai korelasi yang lebih baik dengan riwayat
klinis dan hasil uji alergen provokatif dibanding uji intradermal.
30
Sampson
dkk telah menunjukkan bahwa uji tusuk kulit mempunyai nilai positif terbesar
Universitas Sumatera Utara
dibanding uji food challenge dalam suatu studi plasebo-kontrol tersamar
ganda.
dikutip dari 35

Uji tusuk kulit terutama akan membantu untuk mengeksklusikan
alergen potensial yang dicurigai menimbulkan gejala alergi, karena jarang
mempunyai hasil negatif-palsu, oleh keberadaan nilai prediksi negatifnya
yang sangat tinggi (95%). Hasil uji negatif akan menunjukkan tidak
terdapatnya reaktivitas alergi oleh mediasi IgE. Sebaliknya nilai prediksi
positifnya biasanya hanya berkisar sekitar 30% sampai 50%, sehingga hasil
uji kulit positif saja belum dapat menjadi bukti adanya reaksi terkait.
23,32,37


2.4.5. Reaksi Sistemik pada Uji Tusuk Kulit
Reaksi serius yang berhubungan dengan uji tusuk kulit jarang dijumpai.
30,38

Uji tusuk kulit merupakan suatu prosedur yang aman dan hanya mempunyai
risiko yang sangat kecil akan terjadinya reaksi sistemik.
33,38
Survei terakhir
menyatakan bahwa dari keseluruhan risiko induksi reaksi anafilaksis oleh uji
tusuk kulit adalah hanya sebesar kurang dari 0,02%.
33


2.4.6. Pasien Dengan Perlakuan Khusus
Uji tusuk kulit dapat dilaksanakan pada siapa saja yang dicurigai memiliki
reaksi yang dimediasi oleh IgE, namun terdapat beberapa situasi yang
memerlukan pertimbangan klinis, seperti pada:
30

Universitas Sumatera Utara
Pasien dengan kelainan dermatografisme akan bereaksi terhadap trauma
kulit, seperti goresan, menghasilkan hasil positif-palsu. Maka aplikasi
kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) harus dilaksanakan
dan dinilai terlebih dahulu guna memastikan apakah hasil yang valid bisa
didapat.
Pasien yang mempunyai eksim yang parah dapat meliputi permukaan kulit
yang luas sehingga tak adekuat untuk pelaksanaan uji kulit.
Antihistamin dapat menekan reaktivitas uji kulit dan akan mengganggu
terjadinya reaksi bengkak kemerahan, maka pemakaian obat tersebut
harus dihentikan sementara sebelum pelaksanaan uji kulit agar uji tersebut
tetap mendapatkan hasil yang baik.
30,38,39
Antihistamin generasi pertama
dapat dihentikan dua sampai tiga hari sebelum uji dilaksanakan, namun
antihistamin generasi kedua dapat mempengaruhi uji kulit hingga 10 hari
atau lebih.
20,40

Obat kortikosteroid sistemik, dikarenakan pengaruhnya yang lebih kecil,
cukup hanya dihentikan selama 1 hari sebelum uji kulit dilakukan.
41






Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konseptual





















Yang diamati dalam penelitian

Gambar 2.7. Kerangka konseptual penelitian





Keseimbangan
Th1 / Th2
Riw. Atopi
Vaksin dan
antibiotika
Kecacingan
Jumlah saudara
Tingkat sosio-
ekonomi
Paparan hewan
peliharaan dan
ternak
Pemberian ASI
ATOPI
Uji tusuk
kulit
Paparan alergen
dan mikroba
Sanitasi dan
higiene
Polusi udara
Pengenalan
makanan padat
Paparan asap
rokok
Status nutrisi
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai