KD

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang merupakan manifestasi dari
lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada
anak merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam adalah tipe
kejang yang paling sering terjadi pada anak. Walaupun telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada abad ini
kejang demam dibedakan dengan epilepsy. 1,2
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi.2 Kejang didefinisikan sebagai gangguan
fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat sebagai kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.1,2
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh
kelainan ekstrakranial (ekstrakranial : ekstra = di luar, kranium : rongga tengkorak. Ekstrakranial : di luar rongga
tengkorak).1
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang kejang
masing-masing. Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada
kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan
mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.2
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami
kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam
sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki. Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga (orang tua
atau saudara kandung) penderita kejang demam.2

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380c) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan
lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

2.2. Epidemiologi
A. Frekuensi
Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling
tidak mengalami 1 kali rekurensi.
Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di
India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.

B. Mortalitas/Morbiditas
Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%).
Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks, riwayat epilepsy atau
kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai
kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.

C. Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.

D. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.

E. Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.

2.3. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh :
infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media,
pneumonia,
gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan
kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti difenhidramin, antidepresan
trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.4

2.4. Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :11
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada anak di bawah usia 6
bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini
mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan
merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3C 41,4C.
Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu
tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat
tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering
pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan
bahwa 25 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung )
yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam
pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7

Faktor faktor lain diantaranya:
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus,
anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah.

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9%
anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi.

Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang rekuren.
o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
Usia muda saat kejang demam pertama
Suhu yang rendah saat kejang pertama
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren. Pasien tanpa faktor resiko tersebut
memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.
2.5. Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa melalui suatu proses
oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-paru.
Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.11,12,13
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran
permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran
permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium (
K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi
dapat berubah oleh adanya :

1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan11,12,13
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan
meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada
seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga
dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda,
dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini
dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang yang
rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat
suhu berapa anak tersebut akan mendapat serangan. 11,12,13
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron. 11,12,13
Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada
serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya epilepsi.
Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada beberapa faktor fisiologis
yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu
menimbulkan ledakan discharge (rabas) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas)
kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi
neurotransmiter asam amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksistasi neuron
dengan bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan
bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan
perkembangan sinaps hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis
(termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan bila
jaringan abnormal diambil secara bedah. Kejang mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada
binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal,
amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya epilepsi
pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang-ulang dari lobus
temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus kallosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu pada populasi pediatri adalah
spesifik umur (misal spasme infantil) , yang menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan
rerhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya
20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan
analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus benigna (20q),
epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik progresif (21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu
dekat dasar molekular epilepsi tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan dikenali.
Juga diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran integral pada terjadinya kejang menyeluruh. Aktivitas
kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa
pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau tidak ada aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang
imatur mengalami kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran
pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur.
Lagipula, neuron pars retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars reticulata (SNR) sensitif-asam gama
aminobutirat (GABA) memainkan peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia
abu-abu mengatur dan memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian
eksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis perambatan kejang dan
kelainan seseptor GABA.5

2.6. Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada
umur 18 bulan.
Kejang demam dibagi atas :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).5,6
Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal.
Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)5,6
Berlangsung lama (> 15 menit).
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara
bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didauhului kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.

2.7. Manifestasi Klinik
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai
30oC atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama 15 menit menunjukkan penyebab organik
seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat
anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan
mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal
dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan
otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
A. Anamnesis
v Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab
kejang di luar SSP.
v Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orang
tua).
v Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.

B. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
suhu tubuh
tanda rangsang meningkat
tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun, muntah proyektil, fontanel anterior menonj ol,
papiledema tanda infeksi di luar SSP.
Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain1

C. Pemeriksaan Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

2.8. Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi <> 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak
termasuk dalam kejang demam.

Kejang didahului oleh demam
Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
Pemeriksaan punksi lumbal normal

Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada
atau tidak adanya temuan neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa
demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit serum dan
EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi
kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena
perekaman antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi,
penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus (misal
hantaran zigomatik), sangat meningkatkan hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi
dan anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada penderita yang terkomplikasi dengan
kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman
kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi
kejang karena ia dapat secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan
perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah
dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali
dengan tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedaan
epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin
tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat
diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30%
anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali
manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus
dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan
dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan
indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses infeksi, perdarahan subaraknoid,
atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status
epileptikus.

2.9. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai
demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Lumbal pungsi :
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Meningitis dapat menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.
Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam meliputi berikut ini:
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi
Pemeriksaan saraf yang abnormal
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
- Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

B. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-Scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis Nervus VI
- Papiledema
CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam kompleks.

C. Tes lain (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun atau kejang
demam fokal.
EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan membuktikan bentuk Non-epileptik
atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik atau
pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang menetap selama
lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita
kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk
perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang demam
awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan
neurologis abnormal. Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden
1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor resiko.

2.10. Diagnosis Banding
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau ensefalitis. Adanya
sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis, dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika
maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.3
Adapun diagnosis banding kejang pada anak dan bayi adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Gangguan primer mungkin terdapat
intrakranium atau ekstrakranium. Berbagai penyakit intra serebral dan gangguan metabolik yang juga dapat
menyebabkan kejang antara lain :

1. Kelainan intrakranium
- Meningitis
- Ensefalitis
- Infeksi subdural dan epidural
- Abses otak
- Trauma kepala
- Stroke dan AVM
- Cytomegalic inclusion disease

2. Gangguan metabolik
- Hipoglikemi
- Defisiensi vitamin B-6
- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria
- Keracunan

3. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya
serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif.

MENINGITIS6
Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri patogen. Ditandai dengan peningkatan
jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan
serebrospinal.

Manifestasi klinis
a. Anamnesis
Meningitis bakterialis pada anak seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau pencernaan seperti
demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam, nyeri kepala dan meningismus dengan atau tanpa penurunan
kesadaran merupakan hal yang sangat sugestif meningitis. Banyak gejala meningitis berkaitan dengan usia; anak
berusia kurang dari tiga tahun jarang mengeluh nyeri kepala.
b. Pemeriksaan fisik
Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabel
Dapat juga ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda rangsang meningeal lain, kejang dan
defisit neurologist fokal.
Tanda rangsang meningeal mungkin tidal ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.
Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan manifetasi klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah, biakan darah.
Pungsi lumbal : jumlah sel 100-10.000/l, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear, protein 200-500mg/dl, glukosa <
40mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji resistensi, identifikasi antigen (aglutinasi latex)
Pada kasus berat pungsi lumbal harus ditunda (dengan pemberian antibiotika empiris, penundaan 2-3 hari tidak
mengubah niulai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman
Pemeriksaan CT atau MRI kepala (pada kasus berat)
Pemeriksaan eletroensefaligrafi bila ada kejang
ENSEFALITIS6
Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, misalnya bakteri, ptozoa, cacing,
spichaeta, atau virus. Penyebab yang tersering dan terpenting adalah virus. Pada banyak pasien sering terjadi
keterlibatan leptomeningeal (meningoensefalitis), sedangkan ensefalomielitis menunjukkan keterlibatan medulla
spinalis. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari demam tidak tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat,
koma, kejang dan kematian. Awitan ensefalitis dapat secara tiba-tiba atau gradual. Komplikasi yang dapat terjadi
termasuk kenaikan tekanan intrakranial, edema otak dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH)
secretion. Ensefalitis dapat menyebabkan gejala sisa neurologis seperti kejang/ epilepsi, tuli, atau buta.

Manifestasi klinis
Gejala khas berupa suhu naik mendadak, dapat sampai hiperpireksi, nyeri kapala, muntah dan perubahan tingkah
laku
Kedaran menurun
Kejang umum dan/atau fokal atau hanya twitching saja. Pada kejang fokal dicurigai penyebab virus herpes
simpleks
Gejala serebral lainnya dapat berupa ataksis, paresis, paralisis, afasia dan sebagainya.
Gerakan involunter (bila terkena ganglia basalis)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikit meningkat 50-500 per mm3, hitung jenis
didominasi sel limfosit.
Banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarang bersifat diagnostik.
Darah tepi lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atau leukositosis mononuklear.
Pemeriksaan cairan serebrospinal : biasanya cairan jernih, jumlah sel normal aqtau sedikit meningkta terutama
limfosiy, sedikit peningkatan protein, kadar gula normal atau sedikit menurun.
Biakan darah.
Elektrolit lengkap.
Pemeriksaan serologik darah.
MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan edema otak baik umum maupun fokal.
EEG biasanya menunjukkan gambaran abnormal berupa aktivitas gelombang lambat umum.

2.11. Penatalaksanaan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu
(1) pengobatan fase akut ;
(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan
(3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut
Penatalaksanaan saat kejang :
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan adalah ABC (Airway,
Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-
0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3,
rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan
dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai
12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang
intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa
dan dapat menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Antipiretik :
Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini mengurangi resiko terjadinya kejang demam
(level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,
rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per
hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulang kejang pada
30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I,
rekomendasi A)
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II,
rekomendasi E)

Pemberian obat rumat :
Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:
Kejang lama >15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,
cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelaian
neurologis tidak nyata misalkan keterlambatan perkembangan ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal
atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulang kejang (level I).
berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi
D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Dosis asam valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per
hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam
yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
(1) profilaksis intermiten saat demam dan
(2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg)
setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak tapi dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis
terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral
palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis
intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

VAKSINASI :
Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam.
Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT asalah 6-9 kasus per
100.000 anak yang divaksinasi sedangakan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. dianjurkan untuk
memberikan diazepam oral atau MMR. Beberapa dokter maka merekomendasikan parasetamol padasaat vaksinasi
hingga 3 hari kemudian.

2.12. Komplikasi10
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan kejang demam antara lain:18
o sewaktu terjadi serangan kejang demam :
trauma akibat jatuh atau terhantuk objek sekitar
mengigit tangan orang lain
aspirasi cairan ke dalam paru yang dapat menimbulkan pneumonia
o efek samping obat antikonvulsan yang digunakan seperti hiperaktivitas, iritabilitas, letargi, rash, dan penurunan
intelegensia
o komplikasi meningitis sebagai etiologi kejang demam
o kejang berulang tanpa disertai demam

2.13. Prognosis3,6,13
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis :
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan
kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
1. KematianDengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak sampai terjadi
kematian.Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya KejangKemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari
serangan pertama.
3. EpilepsiAngka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
- riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
- kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan kejang tanpa demam
adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.
4. HemiparesisBiasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam)
baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya.
Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS
mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang
sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x
lebih besar.

Kemungkinan berulangnya kejang demam :
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia < 12 bulan
3. Suhu rendah saat kejang demam
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada tahun pertama.

Faktor Resiko terjadinya epilepsi :
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan risiko epilepsi sampai 4%- 6%; kombinasi faktor risiko tersebut
meningkatkan risiko epilepsi menjadi 10%-49%. Risiko epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat/profilaksis pada kejang demam.

2.14. Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua
beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan cara antara lain:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberi informasi tentang risiko kejang berulang
4. Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang :
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama sekitar leher
3. Jika tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut
dan/atau hidung. Walaupun ada risiko lidah tergigit, jangan masukkan apapun ke dalam mulut.
4. Ukur suhu tubuh, catat lama dan bentuk/sifat kejang
5. Tetap bersama anak selama kejang
6. Berikan diazepam per rektal. Jangan diberikan jika kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang berlangsung 5 menit.

2.15. Pemantauan6
Tumbuh kembang. Walaupun secara umum benign, tapi sangat mencemaskan orang tua, akibat kejadian
berulangnya tinggi, meningkatkan kejadian epilepsy dan dapat merusak jaringan otak.
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat dirumah sakit apabila :
o Kejang demam kompleks
o Hiperpireksia
o Kejang demam pertama
o Usia dibawah 6 bulan
o Dijumpai kelainan neurologis




Bagan penatalaksanaan kejang demam pada anak :
BAB III
PENUTUP

Kejang demam adalah kejang yang terjadi saat demam (suhu rektal diatas 380c) tanpa adanya infeksi SSP atau
gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas umur 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.4
Klasifikasi dari kejang demam :
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks. 3,4,5
Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Untuk prognosis kejang demam, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian jika ditanggulangi dengan
tepat dan cepat.3 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal.



Meski tidak banyak, beberapa anak saat demam dapat mengalami kejang. Angka kejadian
kejang demam terjadi pada 2-5 persen anak antara usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang
merupakan hal paling dicemaskan oleh orangtua meski tidak membahayakan dan pada
umumnya tidak berdampak buruk pada tumbuh dan berkembangnya anak nantinya.

Dalam menyikapi masalah kejang demam ini, biasanya bukan hanya orangtua yang cemas.
Terkadang, sebagian dokter yang menangani juga terbawa arus emosi orangtua dengan
melakukan intervensi yang berlebihan khususnya dalam penanganan dan pemeriksaan.

Prosedur penanganan yang seharusnya diminimalkan, tetapi seringkali terlalu kaku dalam
menerapkan teori dan protap sehingga menimbulkan penanganan dan pemeriksaan
laboratorium yang berlebihan seperti pemeriksaan gula darah, elektrolit, pemeriksaan EEG
dan MRI.



Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38 derajat celcius) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium atau di
luar sistem susunan saraf pusat atau otak. Kejang demam biasanya terjadi pada 24 jam
awal demam atau hari pertama demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah
kejang, anak akan segera normal kembali.

Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama
lebih dari 15 menit. Kejang demam jarang terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang
karena sebab lain atau kejang yang tidak disebabkan oleh demam akan berlangsung lebih
lama, dapat terjadi pada salah satu bagian tubuh saja dan dapat terjadi berulang.


Pemeriksaan dan diagnosis



Pemeriksaan dan penegakaan diagnosis klinis kejang demam tak terlalu banyak kecuali
untuk mencari penyebab kejang atau bila terdapat kejang demam kompleks atau
komplikata. Dokter biasanya menanyakan riwayat kejang demam pada anggota keluarga.
Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab seperti darah tepi, elektrolit dan gula
darah.

Bila tak ada riwayat pengeluaran cairan seperti muntah, diare, dan tanda kekurangan cairan
lainnya sebenarnya pemeriksaan ini tidak perlu. Dalam praktek sehari-hari, sering dijumpai
anak dengan keadaan normal, makan minum baik dan tidak ada riwayat yang berpotensi
gangguan keseimbangan elektrolit dan gula darah selalu diperiksa. Pemeriksaan radiologi
atau rontgen seperti X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya
dikerjakan atas indikasi bila curiga meningitis (infeksi selaput otak), ensefalitis (infeksi otak)
atau abses otak.

Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) seperti tindakan fungsi lumbal untuk pemeriksaan
CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tak direkomendasikan, kecuali pada kejang
demam yang tidak khas misalnya kejang demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau
kejang demam fokal. Jika seorang anak yang diimunisasi lengkap sesuai jadwal bila
mengalami kejang demam sederhana, dengan cukup melakukan intervensi minimal dan
pemeriksaan minimal sebaiknya tidak harus dikhawatirkan. Pemeriksaan darah rutin dan
pungsi lumbal rutin biasanya tidak perlu, dan risiko dari prosedur neurodiagnostik
(pencitraan atau EEG), antipiretik dan antikonvulsan profilaksis jauh lebih besar daripada
manfaatnya.


Penanganan



Bila di rumah, dengan petunjuk dokter bisa saja dilakukan pemberian diazepam 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis melalui dubur atau rektal supposutoria. Saat di rumah sakit,
menghentikan kejang dengan melakukan pemberian diazepam dosis awal 0,3-0,5
mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan). Bila kejang masih belum teratasi, dapat diulang
dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya harus
segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

Hal penting lain yang harus dilakukan adalah menurunkan demam dengan pemberian obat
antipiretika seperti Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis melalui oral atau minum. Bisa juga
dengan pemberian obat jenis Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4
kali per hari. Pemberian kompres sebaiknya dilakukan dengan segera bila suhu > 39
derajat Celcius lakukan kompres dengan air hangat, bila suhu >38 derajat Celcius cukup
melakukan kompres dengan air biasa.


Pengobatan dan pencegahan



Penyebab demam pada umumnya disebabkan karena infeksi virus. Infeksi virus bisanya
akan sembuh sendiri tanpa pemberian anttibiotika. Biasanya perjalanan penyakit infeksi
virus dalam 1-2 hari awal demam akan naik turun dan pada hari ke tiga demam membaik
atau demam turun hanya teraba hangat, bila diukur dibawah 38,5 dan semakin panjang
interval demamnya. Antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya yang
dicurigai sebagai penyebab bakteri. Sebenarnya, infeksi yang disebabkan karena bakteri
relatif sangat jarang. Tetapi sebaliknya, justru dalam praktek sehari-hari pemberian
antibiotika lebih sering diberikan.

Penanganan suportif lainnya adalah meletakkan anak anda di lantai atau tempat tidur dan
jauhkan dari benda yang keras atau tajam dan membebaskan jalan nafas. Palingkan kepala
ke salah satu sisi sehingga saliva (ludah) atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut.
Jangan menaruh apapun di mulut pasien. Anak anda tidak akan menelan lidahnya sendiri.

Dalam keadaan tertentu sebaiknya hubungi dokter anak anda segera. Penanganan awal di
Rumah Sakit biasanya dilakukan pemberian oksigen hanya saat masih kejang, bila kejang
berhenti tidak perlu, menjaga keseimbangan air dan elektrolit dan mempertahankan
keseimbangan tekanan darah.

Dalam kasus kejang demam sederhana tidak ada pencegahan khusus yang bisa dilakukan.
Namun kadangkala pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana
dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak menderita
penyakit yang disertai demam.

Sedangkan pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat
15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis. Pencegahan dengan pemberian obat
antikejang lewat dubur dengan obat anti kejang rektal tidak bermanfaat, karena efek
perlindungannya hanya jangka pendek. Sedangkan pemberian kopi untuk mencegah
kejang yang selama ini diyakini oleh masyarakat awam tidak ada dasar ilmiah dan
penelitian ilmiahnya.

Pada umumnya, kejang demam tidak berdampak yang berat pada tumbuh dan
berkembangnya anak. Tetapi kasus tertentu yang bersiko terjadi gangguan hipersensitif
susunan saraf pusat, hipersensitif saluran cerna dan pada penderita alergi saluran cerna,
bila tidak ditangani dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi kejang demam
berulang, epilepsi, kelainan motorik, gangguan perilaku dan gangguan mental dan belajar.



Melihat berbagai hal tentang penanganan dan akibat kejang demam pada anak tersebut,
maka memang harus diwaspadai dan tidak harus diremehkan. Namun sebaliknya juga
jangan disikapi ketakutan berlebihan atau intervensi dan pemeriksaan berlebihan. Karena
sikap yang berlebihan dalam menangani sebuah kasus akan berdampak tindakan dan
pemeriksaan yang berlebihan yang tidak perlu. Bahkan tindakan ketakutan dan tindakan
berlebihan akan mempunyai dampak tersendiri khususnya dalam efek samping obat
pemeriksaan dan pengeluaran biaya besar yang tidak perlu.

Anda mungkin juga menyukai