Anda di halaman 1dari 6

1. Pengertian dan perbedaan fiqh dan ushul fiqh !

Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yakni kata Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl
dan Fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai fondasi sesuatu, baik yang bersifat
materi maupun bukan. Adapun secara etimologi, fiqh berarti: mengerti atau paham.
Ushul Fiqh ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang
dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syariat Islam dari sumbernya.
Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syariat yang berhubungan dengan
segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash
yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam.
Perbedaan ushul fiqh dan fiqh ialah ushul fiqh berkisar tentang seorang mujtahid
dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat global, apa
karateristik dan konsekuensi dari setiap dalil mana dalil yang benar dan kuat serta mana
dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa yang syarat-syaratnya.
Sedangkan pembahasan fiqh berkisar tentang hukum-hukum syari yang langsung
berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah
wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
2. Sejarah lahirnya perkembangan ushul fiqh !
Periode Sahabat
Fiqh mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah saw. sebab pada masa hidupnya Rasulullah saw, semua persoalan
hukum yang timbul diserahkan kepada beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum
yang timbul terkadang disiasati para sahabat beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir
ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan
kepada Rasulullah saw. Hal ini karena Rasulullah adalah satu-satunya pemegang
otoritas kebenaran agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum,
pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad.
Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling
awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita
kenal sekarang. Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa
Rassulullah dan masa sahabat, antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan
penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh. Misalnya
dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah dan Muaz bin Jabal,
ketika Rasulullah mengutus Muaz ke Yaman.
Sementara itu, penggunaan mashahah mursalah dapat dilihat pada kasus
pengumpulan AlQuran dalam bentuk mushaf, dimana tidak terdapat dalil yang
eksplisit didalam AlQuran maupun sunnah Rasulullah yang memerintahkan dan
atau melarang tindakan pengumpulan dan pembukuannya, tetapi secara umum,
tindakan tersebut sejalan dengan semangat memelihara tujuan syariah.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan
hukum ialah, menelusuri ayat-ayat AlQuran yang berbicara tentang masalah
tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalm AlQuran maka mereka
mencarinya di sunnah. Apabila di dalam sunnah tidak ditemukan, barulah mereka
berijtihad.
Periode Tabiin
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabiin. Pada masa
ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam
semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi
juga dari segi bahasa, peradaban ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian,
banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagainya belum dikenal
sama sekali pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus
hukum ini, lahir tokoh-tokoh hukum Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa
hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan
pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para
ahli hukum generasi tabiin, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94 H) sebagai
mufti di Madinah. Sementara di Iraq tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62 H)
dan Ibrahim an Nakhai (w.96 H), di samping para ahli hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabiin jug amenempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk
Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,
yaitu ijma ash-shahabi, ijma al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah
mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih
metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagaian ulama tabiin
ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan illah
hukum suatu nash dan kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang
tidak ada nash-nya tetapi memiliki illah yang sama. Sementara sebagaian ulama
lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi
kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip
syara. Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua
aliran besardalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-
Syafiiyyah dan aliran fuqaha atau Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di
Irak.
Periode Imam Mazhab
a. Masa Sebelum Imam asy-Syafii
Masa sebelum Imam asy-Syafii ditandai dengan munculnya Imam Abu
Hanifah bin Numan (w.150 H), pendiri mazhab Hanafi. Ia tinggal dan berkembang
di Iraq. Dibanding masa tabiin, metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin
jelas padanya. Dalam berijtihad, ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan
istihsan. Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan istihsan
dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah
mursalah. Belakangan metode mashlahah mursalah Imam Malik ini berkembang
sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama Najmuddin ath-Thufi
(657-716 H) dituduh sesat oleh sebagaian ulama lainnya, karena dipandang telah
mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal.
b. Masa Imam asy-Syafii
Masa kedua dari periode imam mazhab adalah ketika tampilnya Imam
Muhammad Idris asy-Syafii (150-204 H). Berbeda dengan masa sebelumnya,
dimana metode ushul fiqh belum tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri dan belum dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya Imam
asy-Syafii yang bernama ar-Risalah. Kitab ar-Risalah sendiri yang semula bernama
at-Kitab, banyak berisi uraian tentang metode istinbath hukum, yaitu Alquran,
sunnah, ijma, fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas. Baik juga ditegaskan, secara umum
kitab ar-Risalah asy-Syafii sangat menekankan al-qiyas sebagai metode ijtihad.
Bahkan dalam beberapa bagian dari buku tersebut ia menegaskan, al-qiyas
merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad huwa al-
qiyas (ijtihad itu tiada lain qiyas).
c. Masa Sesudah Imam asy-Syafii
Pada masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang
ushul fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-
241 H), pendiri mazhab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri
(200-270 H), pendiri mazhab azh-Zhahiri. Kitab terakhir ini merupakan antitesis
terhadap pemikiran Imam asy-Syafii yang sangat mengunggulkan qiyas dalam
berijtihad. Ayahnya, abad ketiga Hijriyyah merupakan puncak dan masa keemasan
fiqh Islam, karena pada masa itu suasana perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat
menggairahkan, sehingga bermunculan para ulama dalam bidang ini. Akan tetapi
fakta sejarah menunjukkan, suasana yang sangat menggembirakan ini tidak
berlangsung lama, karena dicemari oleh pemikiran orang-orang yang sebenarnya
tidak memiliki keahlian dalam bidang fiqh. Mereka melahirkan fatwa-fatwa hukum
yang kontroversial dan membingungkan masyarakat. Hal itu bukan saja materi
fatwa mereka yang saling bertolak belakang dengan fatwa-fatwa para ulama yang
kenamaan, tetapi juga karena fatwa mereka pada umumnya tidak dibangun diatas
landasan dalil dan metodologi yang memenuhi standar. Akibatnya pada
pertengahan abad keempat, mulai terdengar issue penutupan ijtihad. Issue
penutupan pintu ijtihad menyebabkan kemunduran dalam bidang fiqh. Dampak
kemunduran tersebut terlihat dari karya-karya yang muncul tidak lagi melahirkan
mazhab-mazhab fiqh yang baru.
3. Pengertian dan fungsi al-Hadits!
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Fungsi hadits :
Berfungsi sebagai pengokoh dan memperkuat isi kandungan Al quran yang telah
ada.
Berfungsi menjelaskan dan memerinci ayat-ayat Al quran yang masih belum
jelas pengertiannya.
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al quran,
atau dalam Al quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
4. Pengertian dan syarat mujtahid serta muqallid!
Mujtahid ialah Orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu
menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli
seperti Al-Quran dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja) bagi orang-
orang awam dan kelompok muqallid. Syarat mujtahid: baligh, berakal, memiliki bakat
kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak,
memiliki keimanan yang baik, memahami bahasa Arab, menguasai ilmu ushul fiqh,
memahami Alquran, memahami sunnah, dan memahami tujuan-tujuan pensyariatan
hukum.
Muqallid ialah orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad.
Orang yang mengikuti seorang mujtahid.
5. 3 cara penyelesaian taarudh dan contohnya !
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jamu wa al-Taufiq)
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang
diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil
tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi. Contoh Orang-orang yang meninggal
diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk
bersenang senang selama satu tahun. (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri
itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.
Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Contoh:Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah.
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah
apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara
apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada
yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang,
sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang
berbunyi:
Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari
keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.
. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu
diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu
dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil
yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil
menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu
diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari
dalil yang lain untuk diamalkan.

Anda mungkin juga menyukai