Anda di halaman 1dari 6

.

.

.
.
.


Ilustrasi Silaturahim Idul Fitri (fitb.itb.ac.id)
dakwatuna.com - Al-Hamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT
atas perkenan-Nyalah kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat
Idul Fitri sembari kita mengumandangkan Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai
pengakuan kita akan kebesaran-Nya. Idul Fitri adalah hari raya Islam yang disebut
hari raya berbuka, setelah sebulan penuh kita berpuasa, menahan lapar dan
dahaga, kini tibalah saatnya hari berbuka.
Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW,
Nabi yang telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan kepedulian
kepada sesama. Keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah kepada beliau,
keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan kita
kecuali untuk menyembah kepada-Nya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Az-Dzariyat: 56).
Olehnya itu, jika ada manusia yang menyombongkan diri tidak mau taat dan tunduk
kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari tujuan ia diciptakan. Akibat dari
keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan dihinakan.
Ketika masih berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian kesiapan
dari manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka
bumi ini. Allah SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan mereka mengakui
Allah SWT sebagai Tuhannya dengan semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut
menjawab dengan tegas bahwa mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang
berhak mereka imani dan mereka sembah. Allah bertanya kepada ruh tersebut:


Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap
(ketauhidan) ini (QS. Al-Araf: 172)
Dalam menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut,
Allah SWT memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar menghadapkan wajahnya
kepada agama yang lurus sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana firman-Nya:


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. Ar-Rum: 30)
Fitrah adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
Namun keadaan manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga
menodai kesucian fitrah tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi
kemusyrikan, dari keimanan menjadi kekafiran. Rasulullah SAW bersabda:


Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Bukhari)
Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan tauhid,
ketundukan dan penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri sebagai hamba
Tuhan yang Maha Pengasih. Jika di penghujung Ramadhan ini kaum muslimin
merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya adalah kesiapan untuk menjadikan
momentum Ramadhan ini sebagai proses pembersihan diri dan kesadaran akan
urgensi kembali kepada fitrah. Dan hakikat kembali fitrah itu diwujudkan dalam
bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan
memelihara karakteristik terpuji.
Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan Ketauhidan
Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tilawatil
Quran, membayar zakat fitrah dan zakat harta, Itikaf, membaca dzikir dan
matsurat, hingga hari ini kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri.
Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita kepada Allah
SWT.
Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan.
Terkadang kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun
bekerja keras dan banting tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang
kita cintai. Suami menghabiskan hampir semua waktu siangnya untuk
menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan shalat Zhuhur dan
Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk
menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan
isyanya. Keadaan itu tentu menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh
jadi sampai pada titik keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut,
kita pasti akan semakin jauh dari fitrah kita.
Ramadhan adalah momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan
kita dan mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan merupakan bulan yang
disiapkan Allah SWT untuk mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali
kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang berlumur dosa untuk datang memohon
ampunan kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang lalai dari ibadahnya untuk bersimpuh
bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya. Semoga Ramadhan ini mampu kita
buktikan sebagai bulan mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap pahala) kita
kepada-Nya, sehingga kita semua mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah
SAW bersabda:


Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari
Allah), akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)
Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan tauhid kita,
yang dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah kehambaan kita yang
lurus, kita akan dijauhkan dari sikap menghinakan diri kepada makhluk. Dengan
kekuatan tauhid, orang yang kaya akan menjaga fitrah dirinya sehingga tidak
sombong dan angkuh, dengannya pula orang miskin akan tegar mengarungi ujian
hidupnya dan tidak berputus asa.
Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen
Ubudiyah
Fitrah kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen
ibadahnya. Dia dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua
ibadah-ibadah fardhu, tapi juga ibadah-ibadah sunnah. Dengan pembuktian
komitmen tersebut, setiap muslim akan mampu mengantarkan dirinya kepada
ketakwaan. Al-Quran menegaskan bahwa dibalik perintah ibadah puasa tersebut
Allah SWT menghendaki agar setiap hamba yang melaksanakannya dapat
mengantarkan dirinya ke derajat takwa.


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah:
183)
Perintah takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam kehidupan
setiap muslim, ia wajib memeliharanya hingga ia berhadapan dengan kematiannya.
Apabila seseorang memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten, akan
terangkat derajat ketaqwaannya, suatu derajat istimewa yang menjadikannya lebih
mulia dari hamba-hamba yang lain. Allah SWT berfirman: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya
kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Jika seorang muslim ingin membuktikan kesungguhannya untuk kembali kepada
fitrahnya, salah satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadahnya.
Ia memelihara shalat yang difardhukan kepadanya dan melengkapinya dengan
shalat-shalat sunnah. Ia berpuasa wajib dan melengkapinya dengan puasa-puasa
sunnah. Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya dengan infak dan sedekah.
Ia melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya dengan umrah.
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya, di
mana tujuan-tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan jiwa dan
meraih keutamaan dalam setiap ibadah. Imam As-Syathibi mengatakan bahwa asal
mula disyariatkannya ibadah shalat adalah ketundukan kepada Allah SWT dengan
mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya, bersimpuh di atas kaki kehinaan di
hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat kepada-Nya. Allah SWT
berfirman Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha: 14) Dan firman-
Nya, Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar
keutamaannya. (QS. Al-Ankabut: 45).
Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna,
seorang muslim akan terpelihara fitrah kesuciannya.
Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara Karakteristik
Terpuji
Cara lain memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah dengan menjaga karakteristik
kehambaan kita. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar
dan syukur. Apabila seseorang memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan
ketenangan dalam hidupnya. Ia tidak perlu merasa khawatir sebagaimana
khawatirnya orang yang suka berkhianat, karena takut terbongkar pengkhianatan-
nya, atau seperti pendusta yang takut terbongkar kebohongannya. Ia juga akan
terhindar dari bahaya pertengkaran dan perselisihan yang besar, karena sifat sabar
yang dimilikinya. Bahkan ia akan dicintai orang sekitarnya, karena tidak
menunjukkan sifat tamak dan rakus, disebabkan kuatnya sifat syukur dalam dirinya.
Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan
dirindukan semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang bersungguh-sungguh
memelihara fitrah kehambaanya. Semua karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu
saja, tapi melalui proses penempaan dan pelatihan. Dan salah satu sarana pelatihan
itu adalah puasa. Dengan berpuasa, seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah,
karena dalam berpuasa ia sudah melatih dirinya agar amanah memelihara puasanya
dari segala hal yang membatalkannya, meski pun orang lain tidak melihatnya. Ia
memelihara amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia mungkin bisa
berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa
membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah
SWT.
Puasa juga membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW bersabda: Puasa adalah
setengah dari kesabaran. Dengan menguatnya sifat sabar pada diri seorang
muslim, ia akan bisa menjaga diri untuk tidak terlibat dalam konflik, pertentangan,
apalagi permusuhan sekecil apa pun lingkup dan kadarnya. Dan kalau pun harus
terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa menyikapinya
dengan sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat itu
mengundang malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang
kekuatannya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah
SWT tentang hal tersebut:


Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. al-Anfal: 46)
Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan itsar
(mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti menetapkan
masuknya 1 Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan saling
membenci. Sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu yang selalu
menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa lemah dan gentar
sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati kita pun akan
kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter pemarah, egois,
dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada fitrah, padahal kita
berkumpul menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar kita kembali kepada fitrah kita.
Untuk mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan kepala kita, melupakan
kebesaran diri kita di hadapan manusia, mengakui betapa kecil dan lemahnya kita di
hadapan Allah Penggenggam langit dan bumi.


Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan
orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa nafsu yang penuh ambisi,
yang selalu mau menang sendiri dan tidak mau peduli dengan penderitaan
sesama. Jadikanlah kami hamba-hamba yang tahu mensyukuri nikmat dan karunia-
Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan rasa, yang membuat kami mampu
meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau membantunya.


Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang

.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, muminin dan muminat,
baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan doa.
Ya Allah yang Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu memikul
beban yang dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha Kaya lepaskanlah
kami dari lilitan utang dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah yang Maha Penyayang
buanglah rasa benci dan dendam yang bersemayam di dalam dada kami, Ya Allah
yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada kami rasa kasih kepada orang tua
kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami. Ya Allah yang Maha Mendengar
lagi Maha Penerima Taubat dengarlah permohonan kami dan terimalah taubat
kami. Innaka Antas Samiud Dua wa Innaka Antat Tawwabur Rahim.
Ya Allah Ya Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat mengerti
arti jasa ibu bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan tulus
menampung kami selama berbulan-bulan di dalam rahimnya dalam keadaan lemah
dan bertambah lemah, yang rela bersakit-sakit bersimbah darah ketika melahirkan
kami, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi agar kami dapat menghirup
udara kehidupan, yang bersedia terganggu tidurnya setiap malam demi agar kami
dapat tertidur lelap, yang bersedia menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar
kami dapat merasakan kenyang.
Ya Allah Ya Rabb, kami tahu keridhaan-Mu terdapat pada keridhaannya dan
kemurkaan-Mu terdapat pada kemurkaannya, maafkan kami jika selama ini khilaf
telah melukai hatinya atau membuatnya tidak ridha kepada sikap dan tingkah laku
kami. Maafkan kami ya Allah jika kami tidak mampu membalas kebaikannya. Kami
tahu bahwa yang ia butuhkan dari kami bukanlah materi dan harta tapi cinta dan
kasih sayang kami seperti ia menyayangi kami di waktu kecil. Maafkan kami jika ia
sakit kami tak menjenguknya. Jika ia butuh, kami tak di sampingnya. Jika ia
merindukan kami, kami tak datang menyapanya. Ya Allah ya Rabb Jadikanlah kami
hamba-hamba yang siap mengistimewakannya di dalam hati kami, lalu mau
membalas jasa-jasanya, meski kami sadar tidak akan mampu membalasnya.

Ya Allah Ya Rabb. Kabulkanlah permohonan orang-orang kecil bangsa kami yang
merindukan ketenangan, kestabilan dan kemakmuran. Jangan Engkau timpakan
azab kepada kami hanya karena kedurhakaan segelintir orang di antara kami.
Jadikanlah kami mulia dengan kesederhanaan kami dan janganlah Engkau hinakan
kami dengan curahan rezki yang melimpah ruah.
Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin kami yang dengan tulus
ikhlas hendak mengeluarkan kami dari keterpurukan dan kesulitan hidup, dengan
kemurahan dan kasih sayang-Mu. Agar kami dapat mengantarkan bangsa kami ini
menuju negeri yang lebih baik yaitu Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.


Ya Allah jika begitu lama kami melalaikan perintah-Mu. Jika bertahun-tahun
kami terpedaya oleh hawa nafsu kami sehingga lalai dari jalan-Mu, jika dengan
sengaja atau tidak sengaja, dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kami
telah berbuat durhaka kepada-Mu dan telah menganiaya diri kami sendiri. Maka
maafkanlah kami dan ampunilah dosa-dosa kami. Innaka Afuwwun Tuhibbul Afwa
Fafu Anna.


.



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/08/07/37711/khutbah-idul-fitri-1434-h-
hakikat-kembali-kepada-fitrah/#ixzz384PIgmKB
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai