Anda di halaman 1dari 8

"Kita bicara dengan bahasa mata, namun berasa hingga hulu dada"

Kuhisap rokokku dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalananku. Mungkin sebentar lagi aku sampai
tujuanku karena berdasarkan peta yang aku bawa rumah pak Fariz tak jauh dari warung kopi ini. aku
sengaja berhenti untuk mengopi di warung ini sebelum sampai tujuan agar aku tidak seperti orang
mengantuk tiba di sana.

aku sudah sampai di pintu rumah pak Fariz. suasana sekitar rumahnya terlihat sepi, seperti komplek
perumahan yang mati dalam hatiku. lalu kucuba menekan bel rumah di dekat daun pintu. satu kali. dua
kali. dan akhirnya terdengar ada yang membukakan pintu murah.

seorang perempuan sebayaku muncul dari balik pintu. kulitnya putih dengan rambut sebahu, sorot
matanya teduh, dan mata nakalku menangkap bentuk bibirnya yang begitu indah tersenyum padaku.
beberapa saat aku lidahku gagu. manis.

"asalamualaikum" salamku setelah tersadar beberapa detik kemudian.

"ya, cari siapa mas"

"benar ini rumah pak Fariz? nama saya Raka, saya ingin memenuhi undangan beliau untuk berkunjung."
nada suaraku kubuat setenang mungkin, karena aku belum mampu menguasai detak jantungku saat
mendengar suara merdu perempuan itu.

"oh, ayah lagi keluar mas. tapi mas bisa tunggu dulu di teras luar, nanti saya hubungi dulu ponsel ayah
buat mengabarkan kedatangan mas"

"o..oh baiklah, saya tunggu diluar" jawabku setengah gagap.

perempuan itu pun masuk. aku kemudian memilih tempat duduk di teras yang menghadap halaman
rumah. bukan tak mungkin nanti perempuan tadi melihatku dari balik jendela rumah, dan aku masih
belum bisa menguasai wajah gugupku.

tak lama perempuan itu keluar membawa segelas sirup dingin. dan kembali dia tersenyum padaku. ah,
manis sekali senyumannya itu, merinding aku dibuatnya.

"silahkan minum mas" ujarnya padaku.

aku terdiam sesaat sebelum menganggukan kepalaku. pandanganku sepenuhnya tertuju pada matanya.
mata itu begitu teduh dipandang, memunculkan sesuatu yang damai dan tenang di hatiku. entahlah ada
apa denganku kali ini.

"ayah bilang mas diminta menunggu sebentar. dia akan pulang sebentar lagi. dan aku diminta
menemani mas ngobrol sampai ayah tiba" ucapnya sambil mengambil tempat duduk sehadapan
denganku, hanya dipisahkan meja teras bundar yang terbuat dari kayu.

"ehm maaf, nama adik siapa?" tanyaku memberanikan diri.

"namaku Fahrenti. tapi panggil saja saya Renti, karena itu panggilan saya sehari-hari"

"owh begitu" jawabku sekenanya. dan kemudian aku membisu beberapa saat. bingung ingin bicara apa
dengan makhluk manis di hadapanku ini.

"mas, datang dari jauh ya?" tanyanya memecah sikap diamku.

"eh iya, aku datang dari martapura. kebetulan ada kerjaan di kota palembang ini dan teringat ada janji
dengan ayahmu untuk berkunjung kesini jika aku mampir di kota ini."

"ehm begitu ya, mari mas diminum sirupnya" tegurnya mengingatkanku pada sirup yang dihidangkannya
padaku.

"ah, iya." jawabku sambil mengangkat gelas sirup dan menghabiskannya sekaligus. ya, mungkin karena
rasa gugupku berduaannya dengannya, sesuatu yang sedikit asing bagiku berduaan bicara dengan
perempuan yang baru aku kenal.

"disini sepi ya. aku tak melihat orang lalu lalang di komplek ini kecuali satpam komplek yang aku temui
saat masuk komplek ini." ujarku setelah meletakan gelas sirup itu kembali di atas neja.

perempuan itu terlihat menutup mulutnya dengan tangan. tampaknya bibirnya sedang tertawa di balik
tangannya itu.

"kenapa dik? ada yang lucu ya denganku?" tanyaku padanya heran.

"kehausan ya mas? langsung habis sekali minum sirupnya" jawabnya setelah menurunkan tangannya
kembali ke pangkuan.

"eh, iya. lumayan haus"

"mau ditambah lagi mas sirupnya"

"oh ga.. usah. cukup..cukup..." jawabku terpatah-patah.

suasana pun hening kemudian. aku curi-curi pandang ke matanya kembali. dan pada suatu detik mata
kami pun beradu pandang. lalu seperti beku kami pun saling pandang beberapa saat.

"ada apa mas? kok mandangin aku seperti itu" ujarnya sambil menundukan wajahnya.

"matamu teduh dik" tiba-tiba kata itu meluncur refleks dari mulutku.

perempuan itu kembali menutup bibirnya dengan tangan kanannya. mungkin seperti tadi, dia
menertawaiku kembali.

"oh maaf, maksud saya matamu indah dan bersih. terlihat begitu teduh, enak dipandang" ujarku
gelagapan malu.

"ehm begitu ya mas. jadi malu saya dipuji gitu" balasnya sambil tersenyum padaku.

tak lama bayangan pak Fariz muncul di depan pagar rumah. dia datang dengan menenteng sebuah
bungkusan plastik. dengan langkah lebar dia mendekatiku dan anaknya di bangku teras rumah. aku
kemudian berdiri menyambutnya.

"mas dik Raka, tadi saya ada keperluan penting ke kantor lurah" bukanya saat tepat berada di depanku.

"oh, tak apa pak. saya bisa menunggu kok." ucapku sambil menjulurkan tanganku menyalaminya.

"ini tolong dihidangkan di piring dan bawa kemari ya." ujar Pak Fariz pada Renti anaknya sambil
menyerahkan kantung plastik yang dibawanya.

Renti pun masuk ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras. pak Fariz mempersilahkan saya
duduk kembali dan dia pun mengambil tempat duduk di sebelahku.

"wah akhirnya ananda Raka datang juga. ini merupakan kejutan bagi saya." ujar pak Fariz sambil
memandang wajahku.

"ya, pak. saya memenuhi janji untuk mampir kemari. kebetulan saya ada kerjaan di kota ini sampai dua
minggu depan."

"ananda tinggal dimana di kota ini?" tanyanya kemudian.

"saya tinggal di salah satu hotel di wilayah Veteran pak."

"oh gitu. daripada tinggal di hotel nanda tinggal saja disini. kebetulan ada kamar tamu yang kosong."
tawar pak Fariz.

"ah jangan malu-malu. saya pun selama di Martapura tinggal di tempatmu." ujar pak Fariz sambil
menepuk pundakku.

ya, jika tinggal di hotel lumayan mahal bagiku. apalagi untuk lebih dari seminggu tinggal di kota ini. dan
mungkin sepertinya ini jalan Tuhan bagiku untuk lebih dekat dengan Renti, terutama menikmati
matanya yang teduh itu. aku pun kemudian menganggukan kepalaku setelah beberapa saat terdiam
sejenak mempertimbangkan.



"nah begitu dong. kapan pun pintu rumah ini terbuka buat ananda untuk tinggal jika kebetulan ananda
ada keperluan di kota ini" ujar pak fariz sambil tersenyum padaku.



-----------



Sudah seminggu aku tingal di rumah pak Fariz. setelah beberapa hari yang lalu sejak awal masuk rumah
ini aku semakin takjub dengan Renti. ada getaran aneh yang kurasakan dalam dada, seperti ada reaksi
kimia yang terjadi dalam tubuhku, reaksi yang membuatku begitu gugup saat berada dekat Renti.

"wah sudah ada pasangan belum?" tanya Renti pada suatu sore saat kami sedang duduk di teras rumah.

wah, bahaya pertanyaannya ini. seperti peluru melesak ke kepalaku ujarku dalam hati. dan aku pun
mencoba menenangkan hatiku sebelum menjawab pertanyaannya.

"aku belum menemukan pasangan yang cocok menurutku. aku belum pernah mengenal pacaran. aku
begitu takut untuk mengikat hubungan dengan wanita kecuali sebuah ikatan pernikahan" jawabku
panjang lebar.

"wah, keren itu prinsipnya. sama sepertiku, aku belum pernah pacaran sampai sekarang. mungkin
karena ayah yang melarang aku pacaran dan aku pun merasa pacaran itu sebuah hubungan yang
sifatnya hanya menguntungkan pihak lelaki saja." jawab Renti juga panjang lebar dengan pendapatnya.

"aku hanya ingin menjalin hubungan dengan wanita yang pertama dan terakhir aku cintai. selamanya."
ujarku sambil mencuri pandang ke wajah renti, terutama matanya yang memikatku beberapa waktu ini.

"ya, sama. aku pun berharap demikian." ujar Renti yang kemudian melempar pandangannya juga
padaku. dan pandangan kami akhirnya secara spontan bertemu di satu jeda waktu yang bersamaan.

seperti sama-sama terhipnotis. kami diam saling pandang dalam detik-detik yang cukup lama meski
tidak sampai dalam ukuran menit. mata kami beradu seolah saling membaca isi hati masing-masing.
namun aku kalah, Renti lebih dahulu tersadar daripadaku.

"ah, pandanganmu begitu tajam memandangku kak Raka. aku jadi merasa malu." suara Renti memecah
adu pandang itu.

"matamu itu lho. Sudah sering aku melihat mata orang lain, lawan jenisku, tapi melihat matamu aku
merasa sangat berbeda. sesuatu yang lain, berbeda" jawabku menerangkan sambil mengalihkan
padanganku ke jalan depan rumah.

"mata. lagi-lagi mata. perasaan mataku biasa saja."

"biasa menurutmu. luar biasa menurutku"

"ah, kak Raka membuatku jadi tak enak. malu tahu ga dipuji gitu" ucap Renti sambil mendorong
pundakku. dan kami pun terdiam beberapa saat.

"kamu sendiri khan sebentar lagi tamat kuliah. kenapa belum berpikir mencari pasangan dan segera
menikah"

"ah, pertanyaan bodoh. sudah dibilang aku pengennya yang langsung mikir nikah, ga pake-pake pacaran.
susah tahu mencari lelaki dewasa yang berpikir seperti itu"

"kalo aku bagaimana?" ucapku spontan. Renti pun tampak terkejut mendengar pernyataanku, wajahnya
seperti terlihat kaku saat aku ucapkan pernyataanku padanya.

"ha..ha.. kakak bercanda. kita baru kenal, baru beberapa hari, masa langsung bertanya gitu." ujar Renti
menyembunyikan keterkejutannya padaku.

"ya, aku serius. umurku hampir tiga puluh tahun, orang tuaku sudah mendesak aku menikah segera
namun aku belum menemukan seorang wanita yang bisa langsung aku ajak menikah." jawabku terus
terang sambil memandangi kembali wajahnya yang terlihat gugup kemudian.

"ah, tanya sama ayah saja kalo gitu. itukan namanya lamaran. aku sih sejak ibu meninggal menyerahkan
segala keputusan pada ayah. mana yang menurut ayah baik ya aku terima." jawab Renti yang tak berani
membalas pandanganku, membuang jauh pandangannya ke pemandangan di depan rumahnya.

"jadi jika ayahmu bilang ya berarti kamu akan mengaminkannya?" tanyaku kemudian.

"ya, mau tak mau. bagiku soal hati memang kita yang lebih berhak memilih. namun kembali apa yang
terbaik menurut orangtua pasti terbaik untuk anaknya. namun kita kembalikan lagi soal takdir kak. ada
orangtua yang menjodohkan anaknya tapi anaknya tidak mau dan akhirnya takdir tetap menjadikan
pilihan si anak menjadi jawaban akhir kemudian. sementara ada juga pilihan orangtua yang cocok
dengan anaknya, membawa hubungan itu juga bahagia kemudian" tutur Renti panjang lebar sambil tak
lepas memandang jalanan depan rumah yang senyap tanpa lalu lalang.

"ah, kalo begitu nanti malam aku lamar kamu depan pak Fariz. doakan aku berhasil ya, he..he.." ujarku
sambil tersenyum dan tertawa kecil.

"ah kakak, jangan main-main ah" ucap Renti sambil membelalakan matanya yang indahku kepadaku
menandakan keterkejutannya.

"gak, aku ga main-main. lihatlah nanti" balasku.



-------



"kamu serius ananda Raka. kamu benar-benar melamar Renti?" tanya pak Fariz meyakinkan.

"ya pak, orangtua saya memang sudah mendesak saya menikah segera. dan entah saya tertarik untuk
menikahi Renti anak bapak." jawabku berani.

"jadi orangtuamu menyerahkan padamu sepenuhnya mengenai pilihan pasangan hidup?" tanyanya
kembali.

"ya pak, sepenuhnya orangtua menyerahkan dengan saya sendiri" jawabku sesingkat mungkin.

"bapak tak menyangka tumbuh perasaan suka di antara kamu dan anak bapak Renti." pak Fariz
menghentikan ucapannya sejenak untuk meneguk kopinya. "jujur bapak senang mendengar
kejujuranmu ini. namun sekali lagi bapak tanya kesungguhanmu, benar kamu yakin dengan ucapanmu
ini" sambungnya kemudian.

"ya pak, saya serius. saya belum pernah sekalipun pacaran karena saya lebih yakin dengan hubungan
pernikahan sebagai ikatan resmi bagi dua orang yang sama-sama saling menyukai." jawabku tegas.

"wah, kalo soal ini bapak angkat tangan. kalo dari bapak sih senang bisa memiliki mantu seperti ananda.
namun bagaimana dengan Renti? jadi bapak serahkan keputusan ini dengan Renti saja." tutur pak Fariz
sambil meneguk kopinya kemudian.

"renti...renti... sini kemari nak" panggil pak Fariz setelah meletakan cangkirnya kembali ke atas meja
makan.

tak lama wajah Renti muncul. dia datang dengan wajah tertunduk. sepertinya dia mendengar
perbincangan kami dan menyimpan rapat keterkejutannya dengan keberanianku.

"sini duduk nak, ayah ingin bertanya" pinta Pak Fariz pada anaknya sambil menunjuk sebuah kursi
kosong di dekatnya.

"ini ananda Raka melamarmu. ayah tak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua selama ananda
raka disini. dia sudah berani menyatakan diri meminangmu menjadi istrinya. bagaimana jawaban
darimu?" tanya pak Fariz pada Renti sambil tak lepas memandang anak gadis semata wayangnya
tersebut.

"ehm.. ini begitu tiba-tiba ayah. aku juga sebenarnya suka dengan kepribadian kak Raka. namun hal yang
tiba-tiba ini membuatku sedikit bingung memutuskan. jadi aku kembalikan keputusannya pada ayah
saja, mana yang terbaik menurut ayah adalah terbaik buatku" jawab Renti sambil tak merubah
pandangannya, tak berani mengangkat wajahnya memandangku maupun wajah ayahnya sendiri.

"ya, kira-kira berapa lama kamu bisa memberikan jawaban? bukankah kamu bilang kamu ingin
mendapat pasangan hidup yang langsung mengajakmu ke pelaminan. ini ananda Raka langsung
menawarkan dirinya menjadi pasanganmu, suamimu." ucap pak Fariz kemudian.

"ehm, beri aku waktu dua tiga hari ini. aku coba mempertimbangkan lagi." jawabnya lepas sambil
mengangkat wajahnya memandang satu-satu wajah kami, wajah ayahnya lalu wajahku kemudian.



---------------



Tiga hari berlalu begitu cepat. kami kembali berkumpul di ruang tamu bagian dalam rumah. kebetulan
aku pulang agak cepat karena hari itu aku hanya menghadap beberapa staf pemerintahan untuk
presentasi mengenai proyek perusahaanku.

"bagaimana dengan jawabanmu Renti" ujar pak Fariz memulai pembicaraan saat kami sudah berkumpul
bersama di ruangan itu.

"ehm, jawabanku.." ucapan Renti berhenti sejenak dan memandang wajah kami satu persatu"

"aku menjawab iya, aku menerima pinangan kak raka" jawabnya dengan lancar dan deras meluncur dari
bibirnya yang kecil itu.

"alhamdulillah. baiklah jika begitu kapan orangtua ananda Raka dikabari agar kita bisa menentukan
tanggal baiknya." ujar pak Fariz sambil menyapukan pandangannya padaku.

"mungkin sesegera mungkin pak. saya kabari dulu lewat telepon, dan memang jauh lebih baik jika
mereka datang saat saya masih disini." jawabku lepas. jawaban Renti seperti memerdekakan isi hatiku,
begitu lega dan merasa bahagia aku saat itu setelah mendengar pernyataan yang meluncur dari mulut
Renti.



------------



"terima kasih sudah menerima pinanganku ya dik Renti" ucapku membuka pembicaraan.

"ya, aku pun sebenarnya suka dengan kak Raka sejak beberapa hari lalu kakak tinggal di rumah ini.
Perasaan suka itu tumbuh aneh dalam hatiku, semakin sering bertemu kakak maka semakin besar
perasaan itu menguasai hatiku." ujar Renti sambil menyembunyikan wajahnya berpaling dari wajahku.

Aku tertegun sesaat mendengarnya. Tampaknya apa yang aku rasakan juga ikut dirasakan Renti selama
ini. aku bahagia sekali, sulit terlukiskan kata=kata betapa luar biasa perasaanku malam ini.

kakak sulit menggambarkan betapa bahagia kk bisa menjadi pendampingmu. Dan rasanya kakak tidak
sabar menunggu hari itu tiba

ya, aku juga kak

Keramaian di dalam rumah mulai memuncak saat tawa keluarga besar kami pecah. Ya, malam itu
keluarga besarku dan keluarga besar pak Fariz bertemu merundingkan tanggal yang tepat untuk prosesi
penikahanku dan Renti.

aku berharap, apapun yang tumbuh dalam hati kita berdua akan terus subur dan kokoh selamanya.
Seperti yang sudah aku bilang padamu sebelumnya, aku hanya akan menyerahkan hatiku sepenuhnya
pada perempuan pertama dan terakhir yang aku cintai. Dan itu kamu. Ucapku sambil memberanikan
diri meraih tangan kiri Renti dan menggenggamnya erat.

Mata kami pun serentak saling pandang, saling menyelami ruang penglihatan kami masing-masing. Jauh
lebih lama dari sebelumnya kami saling pandang. mata kami berdua seolah menjadi empat bintang
terang yang paling bersinar malam itu.



-----------------



"Cinta tak butuh sebuah hubungan yang menghabiskan waktu cuma-cuma. Cinta itu hanya butuh satu
hubungan suci yang berawal satu kali untuk selamanya"


-----------------



"Cinta tak butuh sebuah hubungan yang menghabiskan waktu cuma-cuma. Cinta itu hanya butuh satu
hubungan suci yang berawal satu kali untuk selamanya"

Anda mungkin juga menyukai