Oleh: Rachmawati Parman Abdullah Anisa Nurul Aini Ratu Enung Nurhayati Rovi Afriana
User
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
1
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Subhnah wa Ta`l yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kami, hingga kami dapat menyelesaikan penyusunan MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM dengan judul "SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM 2 : IJTIHAD, IJMA, QIYAS ". Karya sederhana ini kami susun dalam memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Pengantar Studi Islam kami, yaitu DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................. 1 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2 BAB I PEMBAHASAN ......................................................................................... 3 1.1. Acuan Teori ................................................ Error! Bookmark not defined. 1.2. Pengertian Ijtihad .......................................................................................... 3 1.2.1. Fungsi dan Tujuan Ijtihad ...................................................................... 4 1.2.2. Peranan Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam ........................... 5 1.3. Pengertian Ijma ........................................................................................... 6 1.3.1. Macam-Macam Ijma ............................................................................ 7 1.3.2. Kehujjaan Ijma ..................................................................................... 8 1.3.3. Sandaran Ijma ....................................................................................... 9 1.4. Pengertian Qiyas ......................................................................................... 10 1.4.1. Macam-Macam Qiyas.......................................................................... 10 1.4.2. Kedudukan Qiyas ................................................................................ 11 1.4.3. Rukun Qiyas ........................................................................................ 12 BAB II PENUTUP ............................................................................................... 14 2.1. Simpulan ..................................................................................................... 14 2.2. Saran ........................................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 15
3
BAB I PEMBAHASAN 1.1. Pengertian Ijtihad Ijtihad (Arab: ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Ketentuan-ketentuan hukum produk ijtihad itu bersifat dzani, karena merupakan hasil pemikiran para mujtahid yang tidak terpelihara dari berbagai kesalahan, mereka bisa benar dan juga bisa salah dengan peluang yang sama. Kendati demikian, mereka dituntut untuk melakukannya dalam rangka memberikan kejelasan makna terhadap berbagai ayat yang belum jelas dengan mempergunakan pendekatan dan metode ijtihad lafdzi serta memberikan jawabann-jawaban yang yuridis terhadap berbagai persoalan temporer yang belum jelas ketentuan-ketentuan hukumya, dengan menggunakan pendekatan dan metode ijtihad aqli. Dinamika ijtihad telah mulai terlihat sejak zaman sahabat, karena pada masa awal itu telah mulai muncul berbagai persoalan baru yang perlu segera mereka jawab. Sikap kreatif para sahabat tersebut, disamping sangat positif juga memperoleh lealitas nash, seperti yang tertuang pada surat annisa ayat 105 yang berbunyi
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. Pesan-pesan yuridis dalam wahyu yang tertulis sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, perlu dipahami dengan pendekatan kebahasaan. Dan pemahaman kebahasaan itu merupakan bagian dari kegiatan ijtihad. Disamping itu, pernyataan di atas juga mengandung konotasi lain, bahwa penetapan hukum untuk persoalan-persoalan yang tidak ditunjuk langsung secara eksplisit dalam Al- Quran, harus sesuai dengan nilai-nilai serta semangat yang dikembangkan oleh Al-Quran dan Al sunnah, baik melalui pendekatan Qiyas, maupun mashlahah. 1.1.1. Fungsi dan Tujuan Ijtihad Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah 5
perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. 1.1.2. Peranan Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam Sebagaimana Wahbah Zuhaili katakan ijtihad adalah nafasnya hukum islam. 1 Oleh sebab itu, jika ijtihad ini terhenti, maka hukum islam pun terhenti perkembangannya, dan akan terus tertinggal oleh dinamika kemajuan masyarakat. Sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumya akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya, dan gejala inipernah terjadi pada masa kejayaan pembahasan fiqh Islam, sehingga berkembang produk-produk pemikiran fiqh yang bersifat teoritis dan belum punya tempat dalam fenomena sosialnya sendiri. Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu pertama, terdapatnya nash-nash yang dzani, baik dilihat dari sudut dalalahnya yakni nash-nash yang bermakna ganda, maupun dari sudut wurudnya yaitu hadist-hadist nabi yang tidak mutawatir. Dan kedua, berkembangnya berbagai fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam. Dengan demikian, peran ijtihad dalam hukum Islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang dihadapi para mujtahid, yang dapat ditempuh melalui dua corak ijtihad yaitu ijtihad lafdzi dan ijtihad aqli. Dengan adanya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum tetap actual dalam kehidupan masyarakat, dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan social, serta khazanah hukum islamakan terus makin kaya. 1.2. Pengertian Ijma Ijmak atau Ijma' (Arab: ) adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15 yang berbunyi
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
7
1.2.1. Macam-Macam Ijma Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang meneangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma ini disebut juga Ijma qathi. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Diam di sini dianggap menyetujui. Ijma ini disebut juga ijma dzanni. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: 1. Ijma' sahabat 2. Ijma' Khalifah yang empat 3. Ijma' Abu Bakar dan Umar 4. Ijma' ulama Madinah 5. Ijma' ulama Kufah dan Basrah 6. ijma' itrah (golongan Syiah) Jika dilihat dari macam-macam ijma, maka ditinjau dari segi massanya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Zaman Khalifah yang empat, dan b. Zaman sesudahnya
Ijma sahabat yang dimaksud adalah ijma zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Ijma mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lain, sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya: (abu dawud dan lain-lain) Zaman sesudah khulafaur rasyidin, yaitu ketika Islam telah meluas dan para fuqaha sahabat banyak yang pimdah ke negeri islam yang baru dan telah timbul fuqaha tabiin yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan politik, maka pada zaman inilah susah dibayangkan dapat terjadinya ijma. Kalau sampai zaman tabiin saja , akan sulit terjadi ijma, maka terlebih zaman sekarang dimana para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok. Sedangkan syahnya ijma ialah : kebulatan pendapat untuk semuaahli ijtihad. Ringkasnya, terjadi ijma menurut konsepsi ahli ushul fiqih sesudah zaman sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak memungkinkannya ini hanya pelaksanaannya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma, meskipun dalam bentuk lain. Ijma yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan : Ijma dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama yanh mewakili segala lapisan masyarakatnya, untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai Ulil Amri atau ahlul halli wal aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat Islam untuk membidik undang-undang yang belum terdapat dalam syara. Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan sekama tidak bertentangan dengan nash syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nash syariat, maka betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal. 1.2.2. Kehujjahan Ijma Ijma itu menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil atau nash yakni Al Quran dan Al Hadist. Dan tidak menjadi ijma kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nash yang qathi (kitabullah dan hadist mutawatir). 9
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma ialah dzanni, bukan qathi. Oleh karena nilai ijma itu dzanni, maka ijma itu dapat dijadikan hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan itiqad, sebab urusan Itiqad itu mesti dengan dalil yang qathI. Kehujahan ijma itu berdasarkan Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. 1.2.3. Sandaran Ijma Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan qiyas.
1.3. Pengertian Qiyas Qiyas (Arab : )menurut bahasa, artinya mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya. Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiys (analogi) 1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya. 2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya. 3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh). 1.3.1. Macam-Macam Qiyas 1. Qiyas aulawi (lebih-lebih), adalah yang illatnya sendiri menetapkan adanya hukum, sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada ashal. 11
2. Qiyas musawi (bersamaan illatnya), adalah illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya hukum yang berhubungan dengan cabang (fari) itu, sama setingkat dengan hukum ashalnya. 3. Qiyas dilalah (menunjukan), adalah yang illatnya tidak menetapkan hukum tetapi menunjukan juga adanya hukum. Qiyas syibh (menyerupai), adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. 1.3.2. Kedudukan Qiyas Qiyas menurut para Ulama adalah hujjah syariyah yang keempat sesudah Al Quran, Hadist, dan Ijma. Mereka berpendapat demikian dengan alasan yang tercantum di Al-Quran surat Al-Hasyr ayat 2 : 2. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama [1463] . Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka- sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
1.3.3. Rukun Qiyas Rukun Qiyas ada empat; 1. Ashal (pokok), yaitu yang menjadi ukuran /tempat menyerupakan (musyabbah bih = tempat menyerupakan) 2. Far'un (cabang), yaitu yang diukur (musyabbah = yang diserupakan) 3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya 4. Hukum, yang ditetapkan pada farI sesudah tetap pada ashal Syarat ashal/pokok: 1. Hukum ashal harus masih tetap (berlaku), karena kalau sudah tidak berlaku lagi (sudah diubah/mansukh) niscaya tak mungkin farI berdiri sendiri. 2. Hukum yang berlaku pada ashal, adalah hukum syara, karena yang sedang dibahas oleh kita ini hukum syara pula. 3. Hukum pokok/ashal tidak merupakan hukum pengecualian. Seperti sahnya puasa bagi orang yang lupa, meskipun makan dan minum. 13
Syarat-syarat fari 1. Hukum fari janganlah berwujud lebih dahulu daripada hukum ashal. Misalnya mengqiyaskan wudhu pada tayamum didalam berkewajiban niat dengan alas an bahwa kedua-duanya sama-sama thaharah. 2. Illat, hendaknya menyamai illatnya ashal. 3. Hukum yang ada pada farI itu menyamai hukum ashal.
Syarat Illat 1. Hendaknya illat itu berturut-turut, artinya jika illat itu ada, maka dengan sendirinya hukumpun ada. 2. Dan sebaliknya apabila hukum ada, illatpun ada. 3. Illat jangan menyalahi nash, karena illat itu dapat mengalahkannya, maka dengan demikian tentu nash lebih dahulu mengalahkan illat.
BAB II PENUTUP 2.1. Simpulan 2.2. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA Lodo Dai, Blasius. (1998). Globalisasi, IPTEK, dan Harga Manusia. Flores : Arnoldus Ende. Salam, Burhanudin, Drs. (2000). Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta : Rineka Cipta. Suparlan, suhartono, M. Ed. (2009). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Ar-ruzz Media. Zen, M.T. (1982). Sains, Teknologi, dan Hari Depan. Jakarta : PT. Gramedia. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas filsafat UGM. (2007). Yogyakarta.