Buku yang tersaji dihadapan anda ini disusun dengan maksud agar dapat
dipergunakan sebagai bahan untuk mempelajari, memahami dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka
menuju konsolidasi sistem demokrasi. Buku ini merupakan hasil revisi dari buku yang
sudah pernah penulis susun, berjudul Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak
Asasi Manusia.
Judul buku ini memang sengaja penulis ubah, karena penulis menyadari bahwa
dalam sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses menuju konsolidasi sistem
demokrasi selalu diupayakan oleh setiap penyelenggara Negara. Namun demikian
sangat disayangkan, proses tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik. Hal ini
berarti konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan.
Bertitik tolak dari gambaran singkat tersebut, maka perubahan judul tersebut
dimaksudkan agar buku ini menjadi semacam inspirasi bagi penulis-penulis buku
sejenis ataupun para pihak yang tertarik dengan Hukum Tata Negara Indonesia, untuk
dapat dilengkapi dengan ide-ide atau gagasan-gagasan lain yang lebih bagus dan
lengkap.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka mulai saat itu sistem ketatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat. Di tingkat kehidupan masyarakat
dan bangsa Indonesia sendiri, perubahan tersebut menimbulkan kegagapan tersendiri.
Hal ini merupakan gejala wajar bagi suatu masyarakat dan bangsa yang sudah lama
hidup dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang otoritarian.
Perlu diketahui bahwa langkah untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi
sudah barang tentu akan melalui berbagai macam tahapan. Bahkan tidak jarang
tahapan-tahapan tersebut memunculkan kesan adanya eksperimentasi atau uji coba
sistem ketatanegaraan. Oleh sebab itu konsolidasi sistem demokrasi yang berarti suatu
langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem
ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu
tertentu. Apalagi dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang
diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai
masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional
sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009).
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi
negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi
demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti
uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal
jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi
itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi
melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural
belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni
kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di
samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life
style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan
melembaga,
Kata Pengantar — v
A. Batasan Pengertian.
1. Pengertian Hukum.
Di dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang
memahami pengertian mengenai hakikat hukum, yaitu mereka
yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang
sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut
pandang normatif yuridis. Dari sudut pandang sosiologis,
hukum dipahami sebagai salah satu dari sekian banyak nilai
yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini
berarti hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial
kemasyarakatan. Oleh sebab itu konsep-konsep teori hukum
(bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas sosial di
dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari
sudut pandang normatif yuridis, menekankan pandangannya
pada hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan tertulis
yang logis dan konsisten.1
Dalam pemahaman pengertian sosiologis tersebut, hukum
tidak mungkin dilepaskan dari lain-lain sektor kehidupan
masyarakat. Dalam hubungan ini dikenal adanya 4 (empat)
proses yang bekerja dalam masyarakat, yaitu:
a. Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. Proses penetapan tujuan/pengambilan keputusan
(goal
pursuance) yang meliputi sistem politik;
c. Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi
sosialisasi; dan
d. Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.2
2. Pengertian Negara.
Untuk mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan
Hukum Tata Negara, maka kita perlu memahami terlebih
dahulu pengertian dan hakikat negara itu sendiri. Hal ini
penting, karena Hukum Tata Negara pada intinya mengatur
perihal kehidupan organisasi yang disebut negara.
16 Bierens de Hans, dalam Hamid S. Attamimi, 1990, (Disertasi), Peranan Keputusan Presiden
RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Analisis Mengenai Keputusan
Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I - PELITA TV),
Pascasarjana UI, Jakarta, him. 53-54.
17 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 38.
1. Hubungan Horizontal.
Yang dimaksud hubungan horizontal adalah hubungan
antar alat perlengkapan negara di tingkat pusat sebagai akibat
adanya prinsip trias politika yang menghendaki adanya
pemisahan/ pembagian kekuasaan terhadap cabang-cabang
kekuasaan di dalam negara. Dengan demikian dimensi dari
hubungan ini tidak lain adalah hubungan antara pemegang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian
dalam tataran implementasi teori ketatanegaraan yang
bersumber pada prinsip negara hukum, hubungan yang
dimaksud disini tidak lain hanyalah hubungan antara
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hanya menyangkut
hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif,
karena sebagaimana telah dikemukakan terdahulu dalam
memahami negara hukum, kekuasaan yudikatif (peradilan)
diletakkan sebagai kekuasaan yang bebas dan tidak memihak.
Berdasarkan pemahaman mengenai hubungan antara kedua
alat perlengkapan negara ini, maka dapat diketahui sistem
pemerintahan yang dipergunakan di tingkat pusat. Apakah itu
sistem pemerintahan parlementer, presidensiil, campuran
ataukah sistem pemerintahan dengan mempergunakan
mekanisme Badan Pekerja (Swiss).
2. Hubungan Verikal.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu
unsur terpenting dari negara menurut Konvensi Montevideo
adalah memiliki suatu wilayah tertentu. Dengan adanya unsur
ini, maka hubungan yang bersifat vertikal dalam kajian Hukum
Tata Negara adalah mengenai kedudukan wilayah-wilayah di
dalam negara tersebut. Apakah juga berkedudukan layaknya
sebagai suatu negara, ataukah masih dalam satu ikatan negara.
Titik tolak pembahasan yang menyangkut hubungan vertikal
ini pada hakikatnya berkisar pada persoalan pemencaran
kekuasaan dari Pemerintah Pusat (Negara) sampai ke tingkat
pemerintahan yang paling rendah. Dengan demikian
pembahasan yang dimaksud menyangkut:
1. Bentuk negara ditinjau dari susunannya, yakni negara
serikat, konfederasi, dan kesatuan (dengan asas
desentralisasi ataukah sentralisasi); dan
2. Sistem Pemerintahan Daerah.
24 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Kajian HTN-UI, Jakarta, him. 23. Lihat Pula Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum
Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta, him. 1.
25 Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet H, Aksara Baru, Jakarta, him. 161.
26 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op,cit, him. 20.
27 Usep Ranawijaya, Op.cit, him. 11.
Pengertian tersebut di atas terasa membingungkan,
akan tetapi kalau dicermati lebih mendalam, maka yang
dimaksud dengan pengertian Hukum Tata Negara dalam
arti luas adalah gabungan antara Hukum Tata Negara (arti
sempit) dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan
pengertian Hukum Tata Negara sebagaimana judul dalam
buku ini tidak lain adalah Hukum Tata Negara dalam arti
sempit. Perumusan seperti ini mendasarkan pada prinsip
residu yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi itu
merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi
Hukum Tata Negara dalam arti sempit.28
Ph. Kleintjes dalam buku yang berjudul Staatinstelling van
Ned. Indiee mengatakan bahwa Hukum Tata Negara Belanda
terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata (inrichting)
Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan
kekuasaan negara (de met overheidsgezag bekleede organen) yang
harus menjalankan tugas Hindia Belanda, dan tentang
susunan (samenstelling), tata (inrichting), wewenang
(bevoegdhegen), dan perhubungan kekuasaan (onderlinge
machtverhouding) diantara alat-alat perlengkapan itu.29
Van Vollenhoven mengemukakan bahwa, Hukum Tata
Negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas
dan bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah
lingkungan, menentukan badan-badan yang berkuasa,
berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.30
Sementara itu Van Der Pot mengemukakan bahwa Hukum
Tata Negara itu merupakan peraturan-peraturan yang
menentukan berbagai badan yang demikian diperlukan,
termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antara badan-
badan itu dan antara badan-badan itu dengan para individu
serta kegiatan-kegiatannya.31 Sedangkan Wade dan Philips
mengatakan bahwa, Hukum Tata Negara merupakan
kumpulan peraturan yang dimaksud untuk
G. Hakikat Konstitusi.
Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa Hukum
Tata Negara berasal dari kata Constitutional Law. Kata ini jika
diterjemahkan secara harafiah artinya Hukum Konstitusi.
Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa pada
hakikatnya mempelajari Hukum Tata Negara juga
menyangkut pengkajian mengenai Konstitusi dari suatu
negara. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam membahas
Hukum Tata Negara perlu disampaikan pula mengenai
pengertian dan seluk-beluk konstitusi tersebut.
Dalam hal memahami konstitusi, terdapat dua kelompok
yang mempunyai pandangan berbeda antara satu dengan
yang lain. Satu pihak berpandangan bahwa Konstitusi adalah
sama dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan di pihak
yang lain memandang bahwa Konstitusi berbeda dengan
Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat semacam ini
disebabkan oleh adanya dua sudut pandang yang berbeda,
seperti halnya orang memandang pengertian dan hakikat dari
hukum. Satu sisi memandang Konstitusi dari kacamata
normatif yuridis dan di sisi lain memandang Konstitusi dari
kacamata sosiologis empiris.
Bagi pihak yang memandang Konstitusi dari kacamata
normatif yuridis akan selalu beranggapan bahwa konstitusi itu
sama dengan Undang-Undang Dasar, yakni kumpulan dari
norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum
dalam satu kitab (terkodifikasi). Sedangkan bagi pihak yang
memandang konstitusi dari kacamata
sosiologis empiris, konstitusi tidak sebatas pada norma hukum
dasar yang tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar
di dalam praktek atau konvensi ketatanegaraan. Berkaitan
dengan pandangan berdimensi sosiologis empiris tersebut,
Herman Heller mengemukakan:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische
Verfassung als gesellschafliche Wirklichkeit) dan ia belum
merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein
Rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu
masih merupakan pengertian sosiologis atau politis belum
merupakan pengertian hukum.
2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari
konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu untuk
dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka
konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die verselbstandigte
Rechtsverfassung). Tugas mencari unsur-unsur hukum
dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah
Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.48
53 Ibid, hlm. 8.
tampuk
kekuasaan negara selama lebih kurang 32 tahun. Gerakan
reformasi tersebut dipicu oleh keterpurukan Indonesia
karena krisis moneter dan mengarah kepada krisis multi
dimensional. Ketidakmampuan Indonesia untuk segera
bangkit dari keterpurukan tersebut disebabkan oleh
runtuhnya moralitas para penyelenggara negara karena
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta
keterlibatan militer dalam setiap aktifitas politik sipil di
Indonesia. Dalam skala global reformasi tersebut
sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
seperti terjadinya gelombang demokrasi di belahan dunia
lain yang mengakibatkan runtuhnya rezim otoriter seperti
Marcos di Filipina, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet,
dan tragedi Tiananmen di RRC. Faktor perkembangan
informasi dan telekomunikasi turut memberikan andil,
karena dengan adanya kecanggihan komunikasi dan
telekomunikasi semua informasi yang terjadi di belahan
dunia dapat di akses dengan cepat oleh seluruh masyarakat
dunia, termasuk masyarakat Indonesia.
2. Tahap pengukuhan rezim demokrasi. Tahapan ini telah
terjadi pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum
Tahun 1999 yang dianggap merupakan Pemilihan Umum
paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia setelah
Pemilu tahun 1955. Hasil dari Pemilihan Umum 1999
tersebut telah tersusun pemerintahan di bawah KH.
Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sebagai Presiden RI yang
kemudian dilanjutkan oleh Megawati Sukarno Putri
sebagai akibat "mosi tidak percaya" dari parlemen yang
menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000. Terlepas dari
pro dan kontra penjatuhan Presiden KH. Abdurrahman
Wahid melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2000 tersebut,
peristiwa ini tetap merupakan manifestasi dari demokrasi
yang berlangsung di Indonesia. Mengapa demikian?
Karena sejak Orde Baru sakralisasi jabatan Presiden
sungguh luar biasa besarnya. Tidak ada satupun organ
negara di Indonesia yang berani menyentuh posisi Presiden
yang begitu kuat. Sidang Istimewa MPR Tahun
2000 tersebut merupakan manifestasi desakralisasi kedudukan
presiden dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis. 3.
Tahap Pengkonsolidasian Sistem Demokrasi. Tahapan ini
mulai berlangsung ditandai dengan Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 se-
banyak 4 (empat) kali. Dalam amandemen tersebut struktur
ketatanegaraan yang demokratis mulai dibangun dan diberi
landasan konstitusional. Memang dalam rangka melakukan
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 masih diwarnai dengan
kepentingan dari kelompok atau partai-partai Politik yang
menduduki mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat,
namun amandemen tersebut telah mampu mengubah
paradigma supremasi eksekutif menjadi supremasi parlemen.
Kendatipun demikian, sampai saat ini upaya-upaya untuk
terus menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 terus dilakukan. Upaya-upaya
penyempurnaan itu antara lain:
a. Penegasan mengenai sistem Presidensiil;
b. Penguatan DPD-RI dalam sistem Keparlemenan Indo-
nesia;
c. Penegasan kembali kekuasaan kehakiman yang
meliputi
MA, MK dan KY;
d. Mekanisme Check and Balances sebagai konsekuensi
sistem
presidensiil;
e. Keberadaan calon Presiden/wk Presiden dari tokoh
independen dalam rangka mengimplementasikan Pasal
27
UUD 1945
Substansi Konstitusi.
Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi
paradigma teori ketatanegaraan yang tidak terbantahkan.
Dalam dataran paham konstitusionalisme Indonesia, prinsip
semacam ini telah ditegaskan secara eksplisit di dalam UUD
1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah menghendaki adanya perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, Pemisahan Kekuasaan,
Legalitas Pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Oleh sebab
itulah dalam rangka untuk memberikan isi atau muatan
konstitusi Indonesia, maka minimal unsur-unsur inilah yang
harus dipergunakan sebagai referensi utama. Dengan
demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut:
1. Terjaminnya Perlindungan Hak asasi manusia yang meliputi
Hak Asasi manusia dalam aspek individu (klasik) maupun
aspek sosial politik (HAM Modern). Hal ini memberikan
indikasi bahwa persoalan perlindungan Hak Asasi
Manusia di samping dituangkan di dalam sebuah Undang-
Undang, juga harus di tuangkan di dalam Konstitusi.
Perbedaannya adalah, kalau Hak asasi manusia yang
dituangkan di dalam konstitusi sifatnya adalah pokok-
pokok yang harus menjadi dasar pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia. Sedangkan yang
dituangkan di dalam Undang-Undang adalah per-
lindungan Hak asasi manusia yang sifatnya lebih
terperinci, termasuk di dalamnya adalah mekanisme
pelaksanaan untuk melakukan penegakan hukumnya.
2. Pemisahan kekuasaan. Sebelum UUD 1945 diamendemen
persoalan pemisahan kekuasaan dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia belum secara tegas dimasukkan
di dalam UUD. Balikan dalam kaitannya dengan
mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara pernah
hanya dituangkan di dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Padahal keberadaan Ketetapan
Majelis ini dulunya pernah menimbulkan perdebatan,
karena keberadaannya selalu dikaitkan dengan konvensi
ketatanegaraan. Oleh sebab itulah untuk mempertegas
unsur pemisahan kekuasaan ini, maka mekanisme
hubungan antar lembaga tinggi negara harus dimasukkan
dalam UUD. Tidak cukup hanya diatur dalam Ketetapan
MPR atau Undang-Undang.
3. Legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemerintahan (dalam arti luas) yang berdasarkan rambu-
rambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang ada. Secara
teoritis kekuasaan pemerintahan (negara) ini menyangkut
tiga cabang kekuasaan, yaitu kekiiasaan pengaturan
(legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan
(eksekutif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan
(yudikatif). Ketiga cabang kekuasaan ini harus mulai
ditegaskan mengenai kelembagaan dan mekanisme
hubungan antara satu dengan yang lain. Kerancuan-
kerancuan yang terjadi sebelum UUD 1945 diamendemen,
seperti sistem pemerintahan yang dikehendaki, apakah
presidensiil ataukan parlementer harus secara tegas
dinyatakan di dalam UUD. Kekuasaan eksekutif dalam
mengimplementasikan freiss ermessen yang menimbulkan
kebijakan-kebijakan diskresi harus mulai dibatasi, karena
secara empiris kebijakan-kebijakan yang sifatnya diskresi
ini menjadi sumber utama korupsi.
4. Peradilan yang bebas. Unsur ini sampai sekarang masih
belum menunjukkan tanda-tanda adanya jaminan
pelaksanaannya. Lembaga Peradilan masih banyak
dipengaruhi oleh cabang kekuasaan lainnya. Pengawasan
terhadap peradilan yang bebas ini juga masih perlu
diformulasikan seturut dengan prinsip akuntabilitas. Lain
daripada itu prinsip peradilan yang bebas seharusnya
tidak hanya ditujukan kepada lembaga peradilan (hakim)
semata, melainkan harus dikembangkan dalam tataran
proses peradilan. Oleh sebab itu institusi-institusi yang
terkait dengan proses peradilan harus dimandirikan
(independen). UUD harus mengakomodasi persoalan ini,
khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum
yang merupakan mata rantai dari sistem demokrasi.
A. Pendahuluan.
Pada umumnya untuk melakukan penelitian dan
pengkajian mengenai sejarah akan bersumber pada 3 (tiga)
jenis data utama, yakni peninggalan sejarah yang berupa
dokumen/arsip, benda atau prasasti, dan sumber hidup dari
pelaku sejarah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa
sumber-sumber sejarah tersebut ternyata lidak mampu
menelusuri suatu peristiwa sejarah secara obyektif. I Ini ini
disebabkan sumber-sumber data tersebut memiliki sifat
kelemahan yang cukup substansiil.
Sumber sejarah yang berwujud dokumen atau arsip mudah
rusak dan hilang sebagai akibat dari kecerobohan pengelola
sumber-sumber data yang berwujud seperti ini. Tradisi untuk
mendokumentasikan pengelolaan data-data atau sumber-
sumber secara rapi dari berbagai peristiwa sejarah masih
belum dikatakan baik. Bahkan tidak jarang sumber-sumber
sejarah yang berupa dokumen atau arsip sering dipalsukan
atau sengaja dihilangkan guna menghapus memori sejarah
yang dianggap merugikan. Contoh paling aktual adalah
menyangkut naskah SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas
Maret) yang misterius itu.
Benda atau prasasti juga relatif sulit untuk dipertahankan
keasliannya. Hal ini mengingat data atau sumber sejarah yang
berwujud seperti ini relatif tidak kuat menahan serangan alam
(hujan dan panas). Sedangkan data atau sumber sejarah yang
berasal dari pelaku sejarah juga kadang kala masih diragukan
orisinalitasnya, karena memori dan daya ingat manusia jelas
sangat terbatas.
Berdasarkan keadaan yang melingkupi sumber-sumber
atau data penelusuran sejarah tersebut, maka tidak
mengherankan jikalau wacana publik dewasa ini menghendaki
adanya penelusuran ulang sejarah perjalanan bangsa Indonesia
secara obyektif. Hal ini mengingat banyak penulisan sejarah
ditengerai telah banyak terjadi upaya penipuan sejarah yang
dilakukan penguasa. Permasalahan seperti ini juga ditambah
dengan adanya suatu pandangan yang menganggap bahwa
penulisan sejarah bangsa dan negara dengan berbagai aspek
yang terkandung di dalamnya sangat dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dari penguasa, khususnya
dalam membangun legitimasi "sang Penguasa" dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kasus yang menyangkut
peristiwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949, apakah Sri
Sultan Hamengku Buwono IX ataukah Kol. Soeharto, dan
kasus Pemberontakan G-30-S PKI dapat dipergunakan sebagai
salah satu contoh.
Lain daripada itu, penulisan kembali sejarah suatu bangsa
masih juga memunculkan wacana yang pada hakikatnya
mempersoalkan, apakah penelitian sejarah dan pengkajiannya
itu sampai pada taraf memberikan penilaian benar ataukah
salah terhadap suatu peristiwa sejarah tertentu yang ditulis
menurut versi tertentu? Menurut hemat penulis, penulisan dan
pengkajian sejarah sebenarnya hanyalah langkah untuk
menyampaikan suatu realitas perjalanan suatu kehidupan. Jadi
tidak sampai pada taraf memberikan argumentasi benar atau
salah terhadap realitas sejarah yang ada. Artinya penulisan
dalam versi apapun seharusnya tidak sampai pada
pembenaran atau penyalahan suatu peristiwa sejarah.
Penulisan sejarah dengan berbagai metode dan versinya
masing-masing pada hakikatnya hanyalah merupakan bentuk
pencatatan kejadian masa lampau tanpa ditambah ataupun
dikurangi dengan rgumentasi-argumentasi yang justru akan
mengaburkan sejarah itu sendiri.
Oleh karena penulis bukan merupakan ahli di bidang
sejarah maupun salah satu pelaku dari sejarah ketatanegaran
Indonesia, maka dalam menyusun sejarah ketatanegaraan
Indonesia - dengan berbagai konsekuensinya - penulis akan
tetap melandaskan pada dokumen-dokumen tertulis yang
pernah disampaikan oleh para penulis terdahulu, serta tidak
berusaha untuk memberikan penilaian terhadap benar atau
salah mengenai peristiwa sejarah ketatanegaraan Indonesia
yang terjadi.
Kendatipun demikian, penulisan sejarah ketatanegaraan
Indonesia ini juga tidak akan melihat dan mengkaji hal-hal
yang bersifat sosiologis, budaya maupun perjuangan revolusi
bangsa Indonesia, melainkan hanya melihat dari aspek hukum
dan perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat sejarah yang
dimaksud disini menyangkut persoalan perjalanan suatu
organisasi kekuasaan yang disebut negara yang tentunya
landasan yang dipergunakan adalah sistem hukum yang
berlangsung pada saat masing-masing sejarah itu berjalan.
56 Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 3.
Sejarahketatanegaraanlndonesiamencatatbahwa
penyimpangan-penyimpangan Konstitusi ini mencapai
Puncaknya di bidang politik dengan terjadinya
pemberontakan G 30 S PKL Catatan kelam dan misterius
menyangkut pemberontakan ini sampai sekarang masih
menjadi perdebatan. Sejarah mengenai peristiwa berdarah G
30 S PKI masih menyimpan kontroversi. Banyak ahli sejarah
dan bahkan pelaku sejarah mencoba melakukan penelusuran
kembali sejarah peristiwa tersebut, namun sayangnya banyak
dokumen yang hilang. Menurut Kol Sugondho ada 9
(sembilan) versi yang mencatat siapa dalang dibalik
pemberontakan PKI tersebut, yaitu:
1. Versi PKI;
i. Versi Cornell;
?. Versi Prof Wertheim;
4. Vers Arnold Brackman;
5. Versi Mainstream;
6. Versi Marxist;
7. Versi Dake;
8. Versi K.O.K (Kritik-Oto-Kritik) dan tripanji PKI Pasca 1
Oktober; dan
9. Versi presiden Soekarno sendiri.78
politik.
I). Pengutamaan Golongan Karya;
C. Magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif;
d. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam Lembaga-
lembaga
perwakilan rakyat; i\ Kebijakan depolitisasi khususnya
masyarakat pedesaan melalui
konsep masa mengambang (floating mass); dan
f. Kontrol Arbriter atas kehidupan pers.82
114
Bab III
A. Pengertian Sistem.
Menurut bahasa kaum awam, pengertian sistem sering
disamakan dengan cara yang akan ditempuh dalam mencapai
suatu tujuan, misalnya pertandingan Sepakbola dengan
mempergunakan sistem setengah kompetisi atau sistem gugur.
Pengertian seperti ini dalam lingkup Ilmu Hukum
Ketatanegaraan jelas tidak dapat diikuti, sebab dengan
menunjuk pada pengertian awam tersebut, maka makna yang
terkandung di dalamnya bisa ambigu dengan pengertian
metode ataupun strategi.
Menurut Cari J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan,
terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan
fungsional baik antara bagian maupun hubungan fungsional
terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan
ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika
salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan
mempengaruhi keseluruhannya itu.87 Dengan demikian
menurut bahasa Ilmu Pengetahuan sistem adalah suatu
tatanan/susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari
bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan
antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk
mencapai suatu tujuan. Apabila salah satu dari
komponen/bagian tersebut berfungsi melebihi atau kurang
dari kapasitasnya, maka akan mempengaruhi keseluruhan.
Hamid S Attamimi mengemukakan bahwa dalam kata
sistem pemerintahan, terdapat bagian-bagian dari
pemerintahan yang masing-masing mempunyai tugas dan
fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan bagian-
bagian itu merupakan satu kesatuan yang padu dan bekerja
sama secara rasional.88 Dengan mencermati argumentasi
semacam ini, maka pengertian sistem akan selalu berkaitan
dengan mekanisme dan cara kerja suatu lembaga, institusi
ataupun organ dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
B. Pengertian Pemerintahan.
Di lingkungan Ahli Hukum Tata Negara, pemahaman
mengenai kata "Pemerintahan" masih belum ada kesepahaman
yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya cara pandang
yang berbeda dalam memberikan arti dari Pemerintahan itu.
Ketidak sepahaman ini merupakan sesuatu yang lumrah di
dalam dunia akademik dan Ilmu Pengetahuan, dan tentunya
tidak perlu diperdebatkan sampai berlaurt-larut.
Jikalau kata "Pemerintahan" itu diambil dari kata
Pemerintah (yang kemudian diberi akhiran "an"), maka hal ini
87 Cari J Friedrich, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily
Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
HTN-UI, Jakarta, him. 160.
88 Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
jelas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Sebagian ada yang
D. Bentuk Negara.
Pemahaman mengenai bentuk negara seharusnya
dikaitkan dengan persoalan yang menyangkut kriteria
sebagaimana di-kemukakan oleh Leon Duguit maupun
George Jellinek, yakni menyangkut bentuk negara republik
dan monarkhi. Intinya bentuk negara itu berkisar pada pola
penentuan kepala pemerintahan dan pola pengambilan
keputusan yang dilakukan di dalam negara tersebut.
Negara dikatakan berbentuk republik, apabila mekanisme
penentuan kepala pemerintahan negara dilakukan melalui
pemilihan (langsung atau melalui suatu majelis yang
merepresentasikan rakyat) dengan periodesasi masa jabatan
yang telah ditentukan.
Sedangkan pengambilan keputusan di dalam negara yang
bentuknya Republik dilakukan dalam sebuah forum majelis
atau dewan yang mencerminkan representasi rakyat.
Sedangkan negara dikatakan berbentuk monarkhi apabila
penentuan kepala pemerintahan dilakukan berdasarkan
prinsip pewarisan alias turun temurun, dan pengambilan
keputusannya dilakukan tidak memalui suatu forum majelis
atau dewan yang merepresentasikan kepentingan rakyat.
Berdasarkan dua pemahaman bentuk negara inilah kita dapat
lebih tegas membedakan antara sistem pemerintahan negara
dengan pemahaman mengenai bangunan negara.
E. Bangunan Negara.
Membahas mengenai bangunan negara, maka kriteria
yang harus dipergunakan adalah menyangkut struktur atau
susunan negara. Dalam hal ini titik tolaknya tertuju pada
pembagian dan hubungan kekuasaan antara Central
Government (Pemerintah Pusat) dengan Local Government
(Pemerintah Lokal). Sehubungan dengan hal ini, maka pada
garis besarnya dikenal adanya tiga macam bangunan negara,
yaitu Negara Kesatuan (unitaris), negara Serikat (Federalis),
dan Serikat negara-negara (Konfederalis).
Bangunan negara kesatuan (unitaris), apabila hanya ada
satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat Undang-
Undang yang berlaktx untuk seluruh wilayah negara, yakni
Pemerintah Pusat. Sedangkan Local Government hanya
melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-Undang
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada
kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundang-
undangan di tingkat lokal, maka kewenangan itu bersumber
pada delegasi kewenangan maupun atribusi ke-wenangan.
Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan
membentuk Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah,
baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Hasil dari
delegasi kewenangan
ini berupa Peraturan pelaksana. Kewenangan delegasi ini
tidak diberikan, melainkan "diwakilkan", serta kewenangan
delegasi ini bersifat sementara dalam arti dapat
diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Sedangkan atribusi kewenangan adalah pemberian
kewenangan membentuk Peraturan perundang-undangan
kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Hasil dari
adanya kewenangan atribusi ini tidak lain adalah Peraturan
Otonom. Kewenangan ini melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai dengan batas-batas yang diberikan.89
Terkait dengan ada atau tidaknya kedua kewenangan
dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan di tingkat
lokal tersebut, maka sangat tergantung corak dari bangunan
negara kesatuan itu sendiri berdasarkan pada asas
penyelenggaraan pemerintahannya, yakni:
1. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas
desentralisasi, dimana Pemerintah Lokal dapat
membentuk Paraturan Perundang-undangan di tingkat
lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan sendiri (Otonomi) atas dasar delegasi
kewenangan ataupun atribusi kewenangan; dan
2. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas
sentralisasi, dimana Pemerintah Lokal tidak dapat
membentuk Peraturan perundang-undangan di tingkat
lokal, karena seluruh kebijakan negara sifatnya terpusat,
dan Pemerintah Lokal hanya sekedar sebagai alat dari
Pemerintah Pusat.
144
metode demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat.102
Dari pemahaman-pemahaman arti tentang demokrasi,
kecuali yang dikemukakan oleh Schumpeter, pada hakikatnya
bertitik tolak dari pengartian kata demokrasi secara harafiah,
atau dapat juga dilandasi oleh pemahaman demokrasi dalam
arti formal (dalam arti bentuknya). Intinya paham demokrasi
menghendaki adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara
dalam aktifitas penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan.
Keiikutsertaan rakyat dalam aktifitas kehidupan
ketatanegaraan ini menurut sejarah sudah dikenal sejak zaman
Yunani Kuno (Abad VI s.d XIII SM). Pada waktu itu paham
demokrasi diimplementasikan secara langsung di dalam City
State (Polis atau negara Kota). Namun demikian, implementasi
demokrasi ini masih terbatas bagi segolongan warga negara
saja. Kaum laki-laki dan para bangsawanlah yang
mengimplementasikan demokrasi, yakni hak untuk ikut serta
mengambil keputusan-keputusan politik negara. Sementara
itu bagi golongan pendatang, budak dan wanita tidak
diperkenankan untuk ikut berdemokrasi.
Di negara modern, implementasi demokrasi sebagaimana
pernah dilakukan pada zaman Yunani Kuno jelas tidak
mungkin lagi dapat dilakukan dengan baik. Hal ini
disebabkan, antara lain:
1. Jumlah penduduk negara dewasa ini sudah sedemikian
besar. Hal ini mengakibatkan implementasi demokrasi
secara langsung justru menyulitkan, khususnya dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik. Perlu diketahui
bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dengan
jumlah peserta yang demikian besar sulit untuk
dilaksanakan bila dibandingkan dengan pengambilan
keputusan dengan jumlah peserta yang relatif sedikit.
Abad Pertengahan.
a. Disebut juga abad kegelapan, karena setiap argumentasi
dan pendapat manusia harus bisa dikembalikan pada hal-
hal yang bersifat supranatural dan irrasional. Keadaan
semacam ini disebabkan munculnya agama baru di barat
yaitu agama Katolik. Dimana ideologi yang dikembangkan
pada saat itu antara lain menegaskan bahwa kekuasaan
yang
ada di dunia ini ada di tangan Tuhan dan dilaksanakan
oleh
seorang Raja atau Paus (pemimpin umat Katolik sedunia)
yang memperoleh wahyu dari Tuhan untuk melaksanakan
perintah-perintahNya, serta memimpin dunia.
b. Peran Gereja sebagai Institusi Agama di bawah
kepemimpin-
an Paus sangat besar. Bahkan Gereja membawahkan
Negara. Hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya
paham Kedaulatan Tuhan yang dalam implementasinya
dilakukan oleh seorang Paus (pemimpin tertinggi Agama
Katolik) beserta jajaran Hirarkhi Gereja sebagai wakil
Tuhan yang ada di dunia ini.
c. Dengan model seperti ini, paham demokrasi mengalami
kemunduran dalam sejarah kehidupan negara setelah
zaman Yunani Kuno. Hal ini disebabkan rakyat biasa
(kaum
awam) tidak lagi mempunyai posisi yang menentukan
dalam aktifitas kehidupan kenegaraan.
d. Banyak terjadi perebutan kekuasaan dikalangan kaum
bangsawan untuk mempengaruhi Raja maupun Paus.
e. Munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charta,
yakni
kontrak atau perjanjian antara beberapa bangsawan
dengan
Raja John dari Inggris yang antara lain menghendaki agar
raja mengikat diri dan mengakui serta menjamin hak-hak
dan privileges dari kaum bangsawan. Piagam ini jelas tidak
berlaku bagi rakyat biasa.
Renaisance.
a. Renaisance pada hakikatnya adalah suatu ajaran atau
pandangan yang berusaha untuk menghidupkan kembali
kesusasteraan dan kebudayaan pada zaman Romawi atau
Yunani yang telah tersingkir pada abad pertengahan.
b. Dengan adanya ajaran atau pandangan tersebut, maka
merangsang munculnya paham rasionalitas, yakni suatu
paham yang lebih mementingkan kebebasan manusia
untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rasional.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan gagasan:
1. Urusan agama (gereja) dengan urusan negara harus
mulai dipisahkan.
1. Meluasnya gagasan di bidang politik ketatanegaraan.
2. Kekuasaan sedapat mungkin dibatas agar tidak terjadi
absolutisme kekuasaan seperti pada zaman abad per-
tengahan.
3. Paham rasionalitas harus diterapkan dengan memper-
gunakan teori social contract. Teori ini dilandasi oleh
asumsi bahwa dunia itu dikuasai oleh hukum yang
timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-
prinsip keadilan universal, artinya berlakunya untuk
semua waktu dan semua orang. Oleh sebab itulah
untuk mengatur kehidupan bersama dan
memperhatikan rasa keadilan, perlu dilakukan
perjanjian sosial yang diselenggarakan oleh setiap orang
dalam suatu komunitas. Dari konsepsi semacam inilah
kemudian muncul pandangan bahwa negara itu
dibentuk karena adanya kontrak sosial atau perjanjian
masyarakat.
A. Pengertian Umum.
Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa
pelaksanaan paham demokrasi dewasa ini tidak mungkin lagi
dilaksanakan dengan cara langsung. Paham demokrasi, secara
formal dan pro-sedural dilaksanakan melalui mekanisme
perwakilan. Keterwakilan rakyat yang diimplementasikan
dalam Lembaga Perwakilan Rakyat tentu sangat tergantung
dari kepentingan (interst) rakyat yang diwakili. Oleh sebab
itulah, dalam dalam sistem keterwakilan rakyat ini dikenal
adanya dua sistem lembaga perwakilan rakyat, yaitu:
1. Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 1 Kamar (one
cameral system). Disebut Lembaga Perwakilan dengan 1
kamar, karena di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat ini
hanya ada satu bidang kepentingan rakyat yang akan
diperjuangkan oleh lembaga
ini. Bidang kepentingan rakyat yang yang akan diperjuangkan
tersebut pada umumnya menyangkut kepentingan politik
rakyat sebagai manifestasi hak-hak politik rakyat. Oleh sebab
itu di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 1 kamar ini
anggota-anggota yang duduk di dalamnya berasal dari wakil-
wakil partai politik peserta pemilihan umum. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945. Sebelum
UUD 1945 di amandemen, Lembaga Perwakilan Rakyat RI
hanya dianggap terdiri dari 1 kamar, karena dalam praktek
penyelenggaraannya DPR inilah yang dalam kesehariannya
memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat, khususnya
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik nasional.
Walaupun dalam struktur keanggotaan MPR juga dikenal
adanya unsur utusan golongan dan utusan daerah, namun
keberadaan dari utusan-utusan tersebut tidak serta merta
memperjuangkan kepentingan golongan maupun daerah.
Keberadaan utusan-utusan golongan dan daerah ini hanya
komplemen ketika MPR melaksanakan sidang. Bahkan
kewenangan dari utusan-utusan tersebut sama sekali tidak
nampak.
Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 2 Kamar (bicameral
system). Disebut demikian, karena di dalam struktur Lembaga
Perwakilan Rakyat dikenal adanya 2 komponen (Kamar) yang
masing-masing kamar memperjuangkan kepentingan rakyat
dalam ranah yang berbeda. Kepentingan rakyat yang
dimaksud pada umumnya adalah di bidang penentuan
kebijakan-kebijakan politik yang berskala nasional, dan di
bidang tertentu yang spesifik, apakah itu menyangkut
kepentingan golongan maupun kepentingan yang berdimensi
kewilayahan (daerah/ negara bagian) untuk dipergunakan
sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. Contoh Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 2
Kamar, misalnya: a. Di Inggris. Semula di negara ini yang
mempunyai kesempatan dalam pengambilan keputusan-
keputusan politik terhadap masalah kenegaraan adalah wakil-
wakil dari kaum bangsawan dan gereja. Hal ini minucul
sebagai konsekuensi dari adanya perjanjian antara Raja John
Lackland dengan para bangsawam dan gereja yang tertuang
di dalam Magna Charta. Akan tetapi dengan adanya
kepentingan rakyat kebanyakan (biasa), demikian pula dengan
adanya perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia, maka di
dalam Lembaga Perwakilan Rakyat muncul institusi baru
yang berisi wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung melalui
pemilihan umum. Dengan demikian di dalam Lembaga
Perwakilan Rakyat (Parlemen) Inggris dikenal adanya House of
Lord (wakil kaum bangsawan dan gereja) serta House of
Commons, yakni anggota parlemen yang dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Di Negara Serikat,
contohnya Amerika Serikat terdapat juga Lembaga Perwakilan
Rakyat dengan sistem 2 Kamar, yaitu House of Representative
yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara
langsung oleh seluruh rakyat Amerika Serikat, dan Senate
yang merupakan wakil-wakil rakyat dari masing-masing
negara bagian. House of Representative dan Senate ini bergabung
(join session) di dalam Congress dan menjalankan kekuasaan
legislatif. Menurut Article I, section 3 Konstitusi Amerika
Serikat dinyatakan bahwa anggota-anggota Senate ini harus
dipilih (chosen) oleh Lembaga Perwakilan Rakyat masing-
masing Negara Bagian. Ini berarti semula mekanisme
pemilihan anggota-anggota Senate tidak dilakukan secara
langsung, melainkan bertingkat. Rakyat masing-masing
Negara Bagian melakukan Pemilihan Umum untuk memilih
anggota Lembaga Perwakilan Rakyat Negara Bagian, kemu-
dian Lembaga ini melakukan pemilihan diantara anggota-
anggotanya untuk diutus menjadi anggota Senate di Congress.
Kemudian mekanisme ini mengalami perubahan di dalam
Amandemen XVII Konstitusi Amerika Serikat yang
menegaskan bahwa para anggota Senate tersebut
harus dipilih melalui pemilihan umum (election) oleh rakyat
masing-masing negara bagian, c. Di Negara Berbentuk
Kesatuan. Misalnya di Perancis. Menurut Pasal 24 Konstitusi
Perancis dinyatakan bahwa Parlemen Perancis terdiri dari
Nasional Assembly dan Senate. Nasional Assembly terdiri dari
wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat Perancis di dalam
pemilihan umum secara langsung sesuai dengan jumlah
penduduk warga negara. Sedangkan Senate terdiri dari wakil-
wakil rakyat yang dipilih secara tidak langsung oleh kesatuan-
kesatuan yang dinamakan Communals dan Departemens (bagian
wilayah Negara Perancis yang di Indonesia mungkin bisa
disamakan dengan Provinsi, Kabupaten/Kota).
A. Pengertian.
Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam Bab tentang
Sistem Pemerintahan Negara, bahwa titik tolak pengkajian
sistem pemerintahan dalam arti paling luas adalah
menyangkut hubungan antara negara dengan rakyat. Dengan
melandaskan pada titik tolak pengkajian inilah maka muncul
salah satu bentuk sistem pemerintahan yang disebut
demokrasi. Dengan demikian, bab ini secara spesifik akan
membahas mengenai hubungan antara negara dan rakyat
dalam konteks sistem politik demokrasi atau dalam khasanah
Hukum Tata Negara disebut sebagai Sistem Pemerintahan
Demokrasi.
Pada umumnya dalam mekanisme sistem politik yang
demokratis, selalu akan memunculkan adanya dua suasana
(fenomena) kehidupan politik yaitu:
129..............................................................Rahmat A. Prakoso,
Partisipasi Publik dalam Proses...........,Opcit, Him. 2.
130 Fauzi Ismail, et.all, 2005, Libatkan Rakyat Dalam
Pengambilan Kebijakan, Forum LSM, Yogyakarta, him 83.
B. Supra Struktur Politik.
Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan ne-
gara dari suatu negara tidaklah sama antara satu dengan yang
lain. Bahkan bagi Negara Republik Indonesia yang pernah
mempergunakan konstitusi selain UUD 1945, keberadaan alat-
alat perlengkapan negara sebagai unsur Supra Struktur Politik
juga berbeda antara konstitusi yang satu dengan lainnya.
Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara
tersebut pada hakikatnya melaksanakan fungsi kekuasaan
masing-masing. Berkaitan dengan hal ini yang dimaksud
dengan Lembaga-lembaga Negara menurut masing-masing
Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia
adalah:
1. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 sebelum
Aman-
demen meliputi:
a. Lembaga Tertinggi Negara: Majelis Permusyawaratan
Rakyat
b. Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari:
i. Dewan Perwakilan Rakyat;
ii. Presiden dan Wakil Presiden;
iii. Dewan Pertimbangan Agung;
iv. Badan Pemeriksa Keuangan; dan
v. Mahkamah Agung.
2. Lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS,
tercantum
di dalam Bab III, yakni menyangkut alat-alat perlengkapan
Negara Federal Republik Indonesia Serikat yang terdiri
dari:
a. Presiden;
b. Menteri-menteri;
c. Senat;
d. Dewan Perwakilan Rakyat;
e. Mahkamah Agung; dan
f. Dewan Pengawas Keuangan.
3. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1950, yakni alat-
alat perlengkapan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang
terdiri dari:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Meteri-menteri;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Mahkamah Agung; dan
e. Dewan Pengawas Keuangan.
4. Lembaga-Lembaga Negara menurut Amandemen UUD
1945 terdiri dari:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Dewan Perwakilan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Daerah;
d. Presiden dan Wakil Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan;
f. Mahkamah Konstitusi;
g. Mahkamah Agung;
h. Komisi Yudisiil.
C. Asas-Asas Pemilu.
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pemilu
dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan
menurut Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia ditegaskan bahwa kemauan rakyat harus menjadi
dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan
dalam pemilman-pemilihan berkala yang jujur dan yang
dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan
berkesamaan, serta dengan pemungutan suara rahasia
ataupun menuntut cara lain yang juga menjamin kebebasan
mengeluarkan suara.
D. Partai Politik.
1. Pengertian.
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan
ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni
sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang
patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses
politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat
dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan),
maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi
penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di
pihak lain.165
Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai
organisasi yang secara khusus dipergunakan untuk sarana
pengu-bung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan
Partai Politik sejalan dengan munculnya paham demokrasi
dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem
ketatanegaraan.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu
komponen Infra Struktur Politik dalam negara, di bawah ini
akan disampaikan beberapa pengertian, yakni:166
a. Cari J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia
yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin
Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan
ke-
pada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal
mau-
pun materiil.
b. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga
negara
yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai
164 Pasal 4 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
165 Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia, Jakarta, him. 159.
166 Ibid, him. 160-161.
satu
4. Sistem Kepartaian.
Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan, pada prinsipnya
dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:170
a. SistemPartai Tunggal (OMePflrii/Si/sfem).Istilahini
dipergunakan untuk Partai Politik yang benar-benar
merupakan satu-satunya partai Politik dalam suatu
negara, maupun untuk memberikan istilah partai Politik
yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
Partai Politik yang lain. Namun demikian, oleh para
sarjana hal ini dianggap merupakan bentuk penyangkalan
diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian
sistem itu sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu
unsur atau komponen. Kecenderungan untuk mengambil
sistem Partai Tunggal disebabkan, karena pemimpin
negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah,
suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan
hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman
sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang,
besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial
yang menghambat usaha-usaha pembangunan dan
menimbulkan disintegrasi.
b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Menurut Maurice
Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika).
Dalam
sistem ini Partai-partai Politik yang ada di negara dengan
jelas
dibagi menjadi Partai Politik yang berkuasa karena
menang
dalam Pemilu dan Partai Oposisi karena kalah dalam
Pemilu.
c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Pada umumnya
sistem kepartaian seperti ini muncul karena adanya
keaneka-
ragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam
negara.171
A. Peristilahan.
Keberadaan Pemerintahan Lokal di dalam suatu negara,
khususnya di Indonesia pernah menimbulkan perdebatan di
lingkungan akademis terkait dengan peristilahannya. Ada
yang mempergunakan istilah Pemerintahan di Daerah dan ada
pula yang mempergunakan istilah Pemerintahan Daerah. Bagi
kalangan awam kedua peristilahan tersebut dianggap
mengandung pengertian yang sama, padahal jika ditelaah
lebih dalam antara satu dengan yang lain terkandung
perbedaan yang bersifat prinsipiil.
Istilah Pemerintahan Daerah, lebih tepat dipergunakan
untuk menyebut satuan pemerintahan di bawah pemerintah
pusat yang memiliki wewenang pemerintahan sendiri. Dalam
konteks UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.181 Dengan demikian istilah
Pemerintahan Daerah itu dipergunakan untuk menyebut satuan
pemerintahan rendahan di bawah pemerinah Pusat (central
Government) yang berwenang untuk menyelenggarakan
pemerintahan sendiri (urusan pemerintahan sendiri) dengan
mempergunakan organ-organ yang dibentuk sendiri. Jadi
istilah Pemerintahan Daerah lebih tepat dipergunakan untuk
menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh Daerah Otonom
dalam melaksanakan urusan atau wewenang pemerintahan
sendiri.
Istilah Pemerintahan di Daerah pernah digunakan di
Indonesia pada waktu dasar penyelenggaraannya
mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Istilah ini sebenarnya lebih tepat
dipergunakan untuk menyebutkan satuan-satuan atau organ-
organ Pemerintahan Pusat yang ditempatkan di daerah dalam
rangka menyelenggarakan sistem pemerintahan dalam arti
luas. Oleh sebab itu istilah Pemerintahan di Daerah sebenarnya
bukan dalam lingkup pembicaraan mengenai Pemerintahan
Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18, Pasal 18 A,
dan Pasal 18 B UUD 1945.
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur
mengenai Pemerintahan Daerah, bukan Pemerintahan di
Daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya
merupakan unsur tata laksana penyelenggaraan Pemerintahan
Pusat sebagai cerminan dari pelaksanaan asas dekonsentrasi. 182
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa antara kedua
peristilahan tersebut mengandung makna yang berbeda antara
satu dengan lainnya.
Bertitik tolak dari adanya perbedaan istilah tersebut di
atas, di dalam buku ini Penulis mempergunakan istilah
Pemerintahan Lokal. Penggunaan istilah ini, karena
mengandung pemahaman lebih umum dan dapat
179 Pasal 1 angka 2 UU No. 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
180 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18
UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang
dipergunakan untuk mengkaji satuansatuan pemerintahan
yang lebih rendah dalam perspektif bangunan negara
manapun. Mengingat dalam bangunan negara federal,
kesatuan maupun konfederasi juga dikenal adanya satuan-
satuan pemerintahan yang lebih rendah, seperti negara bagian
di Amerika serikat, Pemerintahan Daerah di Indonesia, dan
Kanton di negara Konfederasi Swiss.
1. Asas Sentralisasi.
Yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak
dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan
pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah/wilayah) negara.
Semua kewenangan pemerintahan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat lokal berada di tangan pemerintah pusat,
kalaupun ada kewenangan yang berada di pemerintahan
lokal, hal itu semata-mata hanya menjalankan perintah dari
pemerintah pusat saja. Pemerintah Lokal termasuk pejabat-
pejabatnya di tingkat lokal hanya melaksanakan kehendak
atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal
adanya
inisiatif atau prakarsa dari pemerintahan lokal. Kondisi
semacam ini tentu mengandung kebaikan dan kelemahan,
yaitu;
a. kebaikan;
1. menjadi alat yang ampuh dari kesatuan politik,
persekutuan atau masyarakat;
2. dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah
timbulnya keinginan dari bagian-bagian negara untuk
melepaskan diri dan dapat pula dipergunakan sebagai
sarana untuk memperkuat persatuan;
3. mempercepat persamaan dalam perundang-undangan,
pemerintahan sepanjang kepentingan-kepentingan
wilayah mempunyai sifat yang sejenis;
4. lebmmengutamakankepentmgan-
kepentingankeseluruhan (nasional) di atas
kepentingan-kepentingan dari bagian-bagian;
5. sebagai sarana untuk mengumpulkan tenaga dari
masing-masing bagian yang tidak kuat menjadi suatu
kesatuan yang berarti dan dapat memperbesar
kemungkinan untuk menyelenggarakan sesuatu yang
lebih besar, baik dalam arti idiil, moril, dan
perlengkapannya; dan
6. dalam keadaan tertentu dapat memberikan efisiensi
yang lebih besar dalam organisasi pemerintahan,
walaupun hal ini belum dapat dipastikan.
b. Kelemahan:
1. mengakibatkan rentang birokrasi yang semakin
panjang dengan segala keuntungan dan kerugiannya
yang melekat;
2. karena urusan negara semakin kompleks sebagai akibat
diterapkannya prinsip welfare state, maka tugas,
wewenang, dan tanggung jawab pemerintah pusat
menjadi semakin berat. Hal ini mengingat urusan-
urusan pemerintahan yang sifatya lokal harus
ditangani juga secara terpusat. Oleh sebab itu
sentralisasi jelas akan menghambat efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan secara
umum;
3. pengambilan keputusan-keputusan untuk masalah-ma-
salah yang bersifat lokal menjadi sulit untuk segera
dipecahkan, karena harus selalu menunggu
kebijaksanaan dan keputusan dari pemerintah pusat;
4. pengambilan keputusan cenderung diseragamkan
tanpa mengindahkan karakteristik, kondisi dan
kemampuan masing-masing daerah, serta menafikan
prinsip-prinsip partisipasi;
5. terhambatnya proses demokratisasi dan pemencaran
kekuasaan (prinsip negara hukum). Hal ini mengingat
kebebasan daerah untuk menentukan kebijaksanaan
sendiri sesuai dengan keinginan rakyat masing-masing
daerah tidak diberi ruang yang cukup;
6. daerah tidak memiliki alternatif pilihan, kecuali hanya
menerima seluruh kebijaksanaan, arahan, dan
keputusan pemerintah pusat.
2. Asas Desentralisasi.
Asas ini menghendaki dalam penyelengaraan
pemerintahan, ada sebagian wewenang atau urusan
pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada
pemerintah lokal untuk diatur dan diurus sendiri sebagai
urusan rumah tangga sendiri.
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di
bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku,
yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan
semasa Pemerintahan Orde Baru, dinyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
Pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah
untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di
atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya,
yakni:
1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian
de-
sentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan
penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom.
Perumusan seperti ini mengandung makna:
a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu semata-
mata
dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan
dan
pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan
b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom.
Ini
berarti daerah otonom memang sudah terbentuk.
2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi
dititik beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan.
Hal ini berarti sifat dari yang diserahkan itu adalah sempit,
karena menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu
ketika urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka
wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan
pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata
wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya
terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan.
Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU
ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah
otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya
penyerahan urusan pemerintahan tersebut.
3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru
diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang
pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan
wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga
terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya
karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi
bercorak federalistis.
3. Asas Dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk
penghalusan dari asas sentralisasi. Dikatakan demikian,
karena di dalam penyelenggaraanya peran dan kedudukan
pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam
menentukan asas-asas (prinsip-prinsip) maupun cara
penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat daerah.
Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat
menempatkan pq'abat-pejabatnya di daerah untuk menye-
lenggarakan urusan pemerintahan pusat. Dengan demikian, di
dalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-
pejabat pemerintah pusat yang bertindak sebagai wakil dan di
tempatkan di daerah.
Menurut undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, asas
dekonsentrasi mengalami perubahan konseptual yang cukup
signifikan. Di dalam Pasal 1 huruf f UU No. 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dinyatakan
bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan yang
dirumuskan oleh undang-undang setelah reformasi, yaitu:
a. Pasal 1 huruf f UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan
Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil
Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
b. Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan
Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di
wilayah tertentu.
4. Asas Madebewind
Secara sepintas asas medebewind ini telah penulis
kemukakan ketika menyampaikan asas desentralisasi. Namun
demikian untuk lebih memperkuat pemahaman, maka disini
akan penulis ulas kembali mengenai asas medebewind tersebut.
Ketika sistem Pemerintahan Lokal di Indonesia
mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974, pengertian asas
medebewind (Tugas Pembantuan) tercantum dalam Pasal 1
huruf d yang menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah
tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya,
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan.
Sementara itu menurut Pasal 1 huruf g UU No. 22 Tahun
1999, tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
193 Bhenyamin Hoessein, dalam Syamsudin Haris dan Riza
Sihbudi (ed), 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde
Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 60-61.
kepada
Daerah dan Desa ilari dari Daerah ke Desa untuk
melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana
dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka
9 UU No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Dari ketiga UU tersebut, dapat dapat ditarik kesimpulan
bahwa di dalam pengertian tugas pembantuan tersebut yang
masih menyertakan adanya kewajiban untuk
mempertanggung jawabkan kepada pihak yang menugaskan
adalah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 tahun 1999,
sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak menyertakan
lagi aspek pertanggungjawaban dalam merumuskan
pengertian tugas pembantuan. Undang-undang yang terakhir
ini tidak menyertakan aspek pertanggungjawaban dalam
merumuskan pengertian tugas pembantuan karena, asas ini
sebenarnya merupakan langkah uji coba untuk melakukan
penyerahan secara penuh urusan-urusan pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/Kota. Pasal ini menyatakan:
(1) Urusan pemerintahan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang penyelenggaraannya
ditugaskan oleh Pemerintah ditugaskan
penyelenggaraannya kepada Pemerintahan Daerah
berdasakan asas tugas pembantuan, secara bertahap
dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan
daerah yang bersangkutan apabila pemerintah daerah
telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.
A. Pendahuluan.
Scott Davidson mengemukakan bahwa kepedulian
internasioal terhadap hak asasi manusia merupakan gejala
yang relatif baru, meskipun kita dapat merujuk pada sejumlah
traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu
kemanusiaan sebelum Perang Dunia II.227 Di Indonesia sendiri
kepedulian mengenai hak asasi manusia, dalam kurun waktu
perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, baru muncul
dipermukaan dan menjadi isu paling populer semenjak
gelombang reformasi pada tahun 1998 yang membuka katup-
katup demokratisasi di bidang kehidupan ketatanegaraan.
Sebelumnya kepedulian mengenai hak asasi manusia hanya
sebatas dibicarakan di dalam ranah akademik tanpa adanya
upaya penerapan secara konsisten. Pendek kata,
B. Sejarah Perkembangan.
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai hak asasi
manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah
peradaban umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini,
sebenarnya mulai muncul setelah manusia mampu
memikirkan tentang dirinya sendiri dalam lingkungan alam
semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia mulai
mencapai titik paling rendah setelah berkembangnya konsep
Kedaulatan Tuhan yang di dunia ini dilakukan oleh Raja atau
Paus (Pemimpin Gereja Sedunia). Inilah salah satu puncak
kegagalan Dunia Barat dalam menghargai harkat dan
martabat manusia.
Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh Raja ataupun
Paus tersebut mengakibatkan Raja atau Paus mempunyai
kekuasaan yang maha dahsyat, sehingga hak-hak atau
wewenang Raja atau Paus termasuk keturunan Raja dapat
terpenuhi secara optimal, tetapi bagi manusia kebanyakan
(rakyat jelata) sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja
ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena
menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata
adalah perintah Tuhan si empunya kedaulatan, dan
memperoleh kuasa dari Tuhan. Dalam kondisi yang demikian
233 Franz Magnis Soeseno, dalam Komnas HAM, 1997, Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. Xiii.
ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan
suatu impian dan barang komoditas yang sangat mahal
harganya, sekaligus langka keberadaannya.
390
251 Loc.cit.
"Supaya aturan kemerdekaan warga negeri
dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar dengan
seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkan dan seterusnya
dapatlah saya memajukan beberapa alasan pula, selain
daripada yang dimajukan anggota yang terhormat Drs.
Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru di atas
berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-
Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan
Republik Tiongkok. Aturan dasar tidak dihubungkan
dengan liberalisme, semata-mata suatu keharusan
perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam
Undang-Undang Dasar".252
258 Pasal 18 ayat (1) 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000
UU No. Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang
259 Pasal 18 ayat (2) Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000
260 Pasal 21 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM.
UU No.
261 Pasal 21 ayat (3)
semacam ini memberikan jaminan akuntabilitas publik
terhadap proses yang dilakukan dalam menangani perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Akan tetapi sayang dalam hal pemberian keterangan
tersebut, tidak dijumpai adanya ketentuan yang tegas
mengenai kewajiban yangbersif at sanksionistik jikalau Jaksa
Agung tidak menyampaikan keterangan secara tertulis
sebagaimana diminta oleh Komnas HAM. Penjelasan Pasal ini,
sekali lagi hanya menyatakan cukup jelas. Oleh sebab itu, untuk
lebih memberikan jaminan atas penegakan hukum dari UU
No. 39 Tahun 1999 Jo UU No. 26 Tahun 2000, maka kewajiban
Jaksa Agung untuk memberikan laporan kepada Komnas
HAM harus dituangkan dalam undang-undang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku-buku:
Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas
Konstituante 1950-1959, Grafiti, Jakarta.
Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan Dan
Ideologi), Gramedia, Jakarta.
Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana Merdeka,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan
Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ali Moertopo, 1982, Strategi Pembangnan Nasional, Cet II, CSIS,
Jakarta.
AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan Civil Society, Cetakan II,
LP3ES, Jakarta.
Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas
Luber, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dajltir Kei'iisliikiiiui - 42 I
Website:
http://www.ipcos.or.id/index2.php?option=com content&do
pdf=l&id=42.
http://www. goodgovernance-bappenas.co.id/artikel_60.htm.
INDEKS