Anda di halaman 1dari 16

1

1. HASIL PENGAMATAN

Berdasarkan percobaan didapatkan hasil surimi yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil pengamatan surimi
Kel Perlakuan WHC (mg H
2
O)
Sensoris
Kekenyalan Aroma
C1
Sukrosa 2,5%
Polifosfat 0,1%
Garam 2,5%
91515,400 + +++
C2
Sukrosa 2,5%
Polifosfat 0,1%
Garam 2,5%
77240,506 + ++
C3
Sukrosa 2,5%
Polifosfat 0,3%
Garam 2,5%
140421,941 ++ ++
C4
Sukrosa 5%
Polifosfat 0,3%
Garam 2,5%
70325,949 + +++
C5
Sukrosa 5%
Polifosfat 0,5%
Garam 2,5%
209843,882 ++ ++
C6
Sukrosa 5%
Polifosfat 0,5%
Garam 2,5%
150864,979 ++ ++
Keterangan:
Kekenyalan: Aroma:
+ : tidak kenyal + : tidak amis
++ : kenyal ++ : amis
+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis


Berdasarkan data diatas, pada perlakuan yang berbeda-beda didapatkan hasil yang
berbeda-beda juga. Pada pengukuran water holding capacity (WHC) kelompok C5
memiliki nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 209843,882 mg H
2
O. Sedangkan pada
kelompok C4 memiliki nilai WHC yang paling rendah, yaitu sebesar 70325,949 mg
H
2
O. Hasil ini menujukkan ketidakstabilan, tetapi memiliki kecenderungan bahwa
semakin besar penambahan sukrosa dan polifosfat akan menberikan hasil WHC yang
lebih besar. Sedangkan untuk uji kekenyalan sendiri dihasilkan surimi yang tidak kenyal
pada kelompok C1, C2 dan C4. Sedangkan pada kelompok C3, C5 dan C6
menghasilkan surimi yang kenyal. Untuk analisa sensori pada aroma surimi, didapatkan
2
aroma yang sangat amis pada kelompok C1 dan C4. Dan pada kelompok C2, C3, C5
dan C4 menghasilkan aroma yang amis.


3

2. PEMBAHASAN

Surimi adalah produk yang secara mekanis telah mengalami pemisahan dari tulang,
kepala, penghilangan air, dan membentuk konsentrat murni dari protein miofibrillar
yang berasal dari daging ikan. Ketika daging ikan bercampur dengan garam maka akan
membentuk fase sol, dengan viskositas yang tinggi atau kental (Sano et al, 1998). Istilah
surimi berasal dari bahasa Jepang yaitu kamabako yang berarti lumatan daging.
Sekarang ini surimi lebih dikenal dengan daging lumat yang telah mengalami proses
pencucian. Surimi juga dikenal sebagai produk antara dari pembuatan nugget, dan dapat
diolah menjadi berbagai macam produk larutan (Okada, 1992). Pengolahan surimi ini,
sekarang sangat berkembang khususnya pada Asia Selatan dan Amerika. Surimi tidak
hanya bisa diproses dengan bahan ikan saja, tetapi dapat pula dari seafood (Jafarpour et
al, 2009).

Berdasarkan jenisnya, surimi dibagi menjadi dua jenis, yaitu mu-en dan ka-en. Mu-en
adalah surimi yang dibuat tanpa penambahan garam. Daging ikan yang telah dicuci
kemudian digiling dan dicampur dengan gula serta fosfat saja. Sedangkan pada ka-en,
surimi dibuat dengan cara menghancurkan daging ikan yang telah dicuci dan kemudian
ditambahkan kedalamnya gula, garam dan fosfat. Kedua jenis surimi ini pada tahap
akhirnya mengalami proses pembekuan. Namun ada pula surimi yang tidak mengalami
pembekuan, yang dikenal dengan nama raw surimi (Suzuki, 1981).

Beberapa keunggulan dari surimi adalah proses produksinya dapat memanfatkan
berbagai jenis ikan baik yang memiliki nilai ekonomis tinggi maupun yang nilai
ekonomisnya kurang, dalam bentuk beku surimi dapat disimpan dalam waktu lama
karena kandungan protein fungsionalnya yang tinggi, serta variasi pengolahan dari
surimi sangat bervariasi (Santoso, 2009). Disamping itu sebagai produk antara
(intermediate product) surimi memiliki sifat-sifat khusus diantaranya surimi
mempunyai kemampuan untuk mengikat bahan lain dengan baik, sehingga dapat
bercampur dengan bahan lain dengan baik. Selain itu jika diberikan penambahan garam,
lalu dipanaskan, maka akan membentuk gel (Mahdiah, 2002). Mutu dari surimi sendiri
ditentukan dari elastisitas produk yang dihasilkan. Elastisitas produk ini sendiri
4
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jenis ikan, kesegaran ikan, pH,
pencucian, kadar air, waktu pemanasan, zat yang ditambahkan serta suhu (Heruwati et
al, 1995).

Ikan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ikan bawal. Ikan bawal merupakan
ikan yang memiliki kadar lemak dan protein yang cukup. Dalam 100 gram ikan
mengandung protein sebanyak 19 gram, lemak 17 gram, karbohidrat 0 gram dan energy
sebanyak 96 kkal (Irianto & Soesilo, 2007). Ikan yang cocok untuk membuat surimi
adalah ikan yang memiliki daging ikan yang putih dan kadar lemaknya rendah, dengan
begitu akan menghasilkan produk yang berkualitas baik. Selain ikan yang memiliki
daging putih dan berlemak rendah, ikan yang tidak terlalu amis dan memiliki
kemampuan pembentukan gel yang baik akan menghasilkan tekstur surimi yang baik
(Mitchell, 1985).

Metode yang dipakai pada percobaan kali ini adalah, mula-mula mencuci ikan hingga
bersih dengan air mengalir, kemudian beratnya ditimbang. Pencucian ini dimaksudkan
untuk memisahkan daging dengan beberapa bahan yang larut dalam air, lemak, serta
darah ataupun pigmen-pigmen, protein sarkoplasma, garam organic dan substansi
lainnya yang memiliki bobot molekul yang rendah. Selain itu pencucian sendiri dapat
memperbaiki flavor dan warna, disamping itu dapat meningkatkan kekuatan gel
(Toyoda et al, 1992). Selain itu, pencucian juga dapat membersihkan lemak dan
meningkatkan konsentrasi protein miofibrilar (aktomiosin), sehingga dapat membentuk
gel yang lebih baik dan mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku (Lee,
1984). Pada pembuatan surimi keberadaan protein sarkoplasma harus dihilangkan
terlebih dahulu sehingga tidak menghambat pembentukkan gel. Protein sarkoplasma itu
sendiri adalah jenis protein yang larut dalam air (miogen), maka dari itu akan larut
bersamaan dengan air bekas cucian daging (Suzuki, 1981). Metode yang dapat
digunakan untuk menghilangkan protein sarkoplasma adalah dengan mengekstrak
dengan air dingin. (Sasonto et al, 1997). Metode pencucian dan preparasi ini sesuai
dengan jurnal yang di Alfirat & Benjakul (2012), yang mengatakan bahwa ikan
kemudian secara langsung dicuci, dikeluarkan organ dalamnya, difillet, dan dilepaskan
5
kulitnya. Kemudian ikan di potong dengan mincer agar ukurannya seragam, lalu ikan di
simpan dalam es selama preparasi.

Setelah itu, daging ikan difillet sehingga hanya tersisa daging putihnya saja. Daging
ikan yang dibutuhkan sebanyak 100 gram. Lalu setelah semua daging terkumpul, daging
digiling hingga halus dengan blender. Penggilingan ini memiliki tujuan untuk memecah
dan meningkatkan keseragaman ukuran dari serabut otot dan juga jaringan ikat. Dengan
adanya keseragaman ukuran ini membuat surimi yang terbentuk bersifat lebih stabil
(Forrest et al, 1975). Selain itu, dengan penggilingan akan membuat daging menjadi
lebih mudah terekstrak nantinya, karena luas permukaannya yang bertambah
(Takinawa, 1985). Pada saat penggilingan, akan terbentuk gel. Hal ini dapat dibantu
dengan penambahan garam. Aktomiosin bersifat larut terhadap garam sehingga akan
membentuk sol yang sangat adhesif. Dan ketika sol ini dipanaskan akan terbentuk gel
dengan bentuk seperti jala dan memiliki sifat elastis pada jaringan ikan (Cheng et al,
1979).

Hasil penggilingan kemudian ditambahkan dengan es batu, agar suhu tetap rendah.
Setelah itu, daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 2 kali. Seperti yang telah
dikatakan sebelumnya, bahwa dengan pencucian dengan air dingin akan mengurangi
kandungan protein sarkoplasma. Selain itu dengan menggunakan air dingin akan
mempertahankan kandungan protein miofibril sehingga tidak terjadi denaturasi (Santoso
et al, 1997). Frekuensi pencucian surimi akan mempengaruhi kualitas surimi yang
terbentuk. Semakin banyak pencucian yang dilakukan, maka semakin banyak protein,
lemak, abu serta rendemen yang akan hilang. Tetapi daya ikat airnya dan kandungan
karbohidratnya akan meningkat. Air pencucian surimi yang terbaik adalah pada suhu
18
o
C, pada suhu ini surimi yang dihasilkan akan memiliki kekuatan gel yang lebih baik
dibanding dengan jika dicuci dengan air dingin yang suhunya <18
o
C (Mega, 2006).

Daging ikan kemudian ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% untuk kelompok 1
hingga 3 dan 5% untuk kelompok 4 hingga 6. Sukrosa disini berperan sebagai anti
denaturasi protein (krioprotektan) selama pembekuan, yang banyak dimanfaatkan
selama proses pembuatan surimi. Dengan adanya krioprotektan proses pembuatan
6
surimi akan lebih stabil dan berfungsi untuk melindungi tekstur surimi itu sendiri.
Selama pembuatan surimi, penyimpanan beku akan menyebabkan sifat fungsional dari
surimi akan menurun, dan terjadi denaturasi protein (Sultanbawa & Chan, 1998).

Sedangkan garam yang ditambahkan untuk semua kelompok adalah tetap yaitu 2,5%.
Tujuan dari penambahan garam kedalam surimi adalah untuk melepaskan miosin dari
serat-serat pada daging ikan, sehingga lebih mudah untuk terbentuk ikatan dengan aktin,
membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembuatan gel yang kuat. Selain itu,
garam dapat berperan untuk menahan air dan membentuk tekstur produk (Trout &
Schmidt, 1986). NaCl atau garam dapur memiliki kemampuan untuk mengikat air, yang
mana ion Na
+
akan menghambat terjadinya ikatan silang. Dan ion Cl
-
akan berikatan
kuat dengan filamen protein yang bermuatan positif. Dengan begitu, maka akan
terbentuklah filament protein yang bermuatan negatif dan menyebabkan penolakan
antar filament. Dari situ akan terbentuk ruang antar filament yang lebih luas dan daya
ikat air menjadi meningkat (Devidek et al, 1990). Untuk mengekstrak protein myofibril
diperlukan konsentrasi garam optimal sekitar 2-3%, dengan kondisi pH yang normal.
Tetapi jika pHnya asam maka konsentrasi penambahan garam harus lebih besar (Suzuki,
1981).

Namun penambahan polifosfat bervariasi, pada kelompok 1 dan 2 ditambahkan 0,1%,
pada kelompok 3 dan 4 ditambahkan 0,3% dan pada kelompok 5 dan 6 ditambahkan
sebanyak 0,5%. Polifosfat merupakan salah satu jenis krioprotektan yang digunakan
selama pembuatan surimi. Sukrosa, sorbitol dan polifosfat merupakan kombinasi dari
krioprotektan yang sering digunakan untuk membuat surimi beku. Terdapat batasan
dalam penggunaan polifosfat, karena polifosfat ini memiliki rasa yang agak pahit pada
kadar tertentu. Batas maksimum untuk penambahan polifosfat adalah sekitar 0,3-0,5%
(Sultanbawa & Chan, 1998). Sukrosa, sorbitol, dan polifosfat adalah senyawa
krioprotektan yang biasanya digunakan dalam proses pembuatan surimi, tetapi
masalahnya adalah akan terbentuk rasa manis dan juga terjadi peningkatan kalori. Maka
dari itu, dapat juga digunakan chitosan untuk memperbaiki kekuatan gel dari surimi
(Dey & Dora, 2011).

7
Hasil campuran ini dimasukkan kedalam plastik (wadah) dan dibekukan selama 1
malam dalam freezer. Penyimpanan suhu beku ini berfungsi untuk mempertahankan
kualitas dari surimi. Pada dasarnya surimi merupakan produk olahan yang sangat mudah
mengalami pembusukan, sehingga sangat dibutuhan pembekuan saat penyimpanan
untuk menjaga kualitas mutu dari surimi. Maka dari itu, selama proses pembuatan,
surimi tidak boleh langsung diolah menjadi produk lanjutan. Hasruslah disimpan
terlebih dahulu pada suhu beku (surimi beku) dalam waktu yang cukup lama (Lee,
1984). Setelah itu, surimi di thawing dan diukur sensorisnya baik kekenyalan dan
aroma serta WHC (Water Holding Capacity)-nya.

Berdasarkan percobaan didapatkan hasil pengukuran WHC (Water Holding Capacity)
pada kelompok C1 sebesar 91515,400 mg H
2
O, kelompok C2 sebesar 77240,506 mg
H
2
O, kelompok C3 sebesar 140421,941 mg H
2
O, kelompok C4 sebesar 70325,949 mg
H
2
O, kelompok C5 sebesar 209843,882 mg H
2
O dan kelompok C6 sebesar 150864,979
mg H
2
O. WHC ini sendiri adalah kemampuan daya ikat air yang merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam mengukur kualitas mutu surimi. Daya ikat air merupakan
kemampuan daging ikan untuk mengikat sejumlah air yang ada didalam bahan, maupun
air yang ditambahkan selama proses pengolahan. Dapat juga diartikan sebagai
kemampuan bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi proteinnya.
Semakin tinggi nilai WHC nya, maka tekstur, warna dan sifat sensorisnya yang
dihasilkan semakin baik (Zayas, 1997).

Perlakuan yang diberikan pada tiap kelompok berbeda-beda, dan didapatkan hasil yang
berbeda-beda juga. Tetapi dari hasil percobaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
semakin besar kandungan sukrosa dan polifosfat yang ditambahkan akan menyebabkan
peningkatan WHC. Hal ini terjadi karena penambahan senyawa kriprotektan semakin
meningkat. Semakin banyak sukrosa, garam maupun polifosfat yang ditambahkan akan
melindungi protein miofibrilar pada ikan selama penyimpanan beku, sehingga dapat
menjaga kemampuan daya ikat air, menjaga kestabilan surimi dan menjaga tekstur
alami surimi (Nopianti et al, 2010). Selain itu, gula sendiri memiliki fungsi untuk
mengikat air, sehingga semakin banyak gula yang ditambahkan maka semakin banyak
air yang terikat dan Aw menjadi menurun (Winarno et al, 1980).
8

Selama percobaan didapatkan pula hasil yang beragam dan ada yang nilai WHC nya
cukup rendah jika dibandingkan dengan yang lain. Penurunan nilai WHC ini terjadi
karena terdapat protein myofibril selama penyimpanan, yang menyebabkan terciptalah
ruang yang semakin sempit diantara jaringan. Sehingga menyebabkan terdapat beberapa
jumlah air terikat menjadi semakin berkurang. Karena nilai WHC yang rendah, maka
surimi akan memiliki kekuatan gel yang cukup rendah (Zayas, 1997). Hasil yang
kurang sesuai ini dapat disebabkan karena kesalahan-kesalahan teknis seperti kesalahan
penimbangan, proses penghancuran pencucian yang kurang karena dapat menyebabkan
menurunnya daya ikat air (Mega, 2006). Untuk mendapatkan hasil surimi yang
memiliki kemampuan pembentukan gel yang tinggi, dapat ditambahkan beberapa bahan
agen pereduksi. Dengan adanya agen pereduksi, akan mencegah dan memperbaiki
protein yang terdenaturasi yang disebabkan karena penyimpanan suhu rendah. Selain
itu, agen pereduksi dapat mengaktifkan transglutaminase pada jaringan, sehingga baik
untuk pengolahan surimi (Benjakul et al, 2005). Seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, bahwa chitosan dapat berkerja seperti hal nya dengan krioprotektan.
Dengan penambahan chitosan dengan berbagai kadar, akan memperbaiki karakteristik
surimi yang terbentuk. Nilai WHC, viskositas, tekstur dan organoleptik properties
menjadi lebih baik. Penambahan chitosan yang direkomendasikan adalah sebanyak
0,5% sampai dengan 1,5% (Hajidoun & Jafarpour, 2013).

Kemudian pada hasil uji sensoris terhadap kekenyalan dan aroma, menghasilkan tingkat
kekenyalan yang tidak kenyal pada kelompok C1, C2 dan C4. Sedangkan pada
kelompok C3, C5 dan C6 dihasilkan surimi yang kenyal. Dengan perlakuan yang sama,
hasil yang didapatkan seharusnya semakin banyak polifosfat yang ditambahkan
seharusnya akan meningkatkan tingkat kekenyalan dan hardness bahan semakin
meningkat. Hal ini disebabkan karena polifosfat bersifat dapat meningkatkan rendemen
produk (Sikorski, 2001). Sehingga dari teori ini, dapat dikatakan pada kelompok C3, C5
dan C6 sudah sesuai dengan teori yang ada, begitu pula pada kelompok C1 dan C2.

Lain hal dengan hasil uji sensori pada aroma, pada kelompok C1 dan C4 didapatkan
surimi yang sangat amis. Dan pada kelompok C2, C3, C5 dan C6 dihasilkan surimi
9
yang aromanya amis. Berdasarkan karakteristik ikan bawal sendiri, ikan ini memiliki
aroma yang tidak terlalu amis, tidak berbau lumpur, berdaging putih, serta mempunyai
kemampuan pemebentukan gel yang baik (Mitchell, 1985). Sehingga hasil yang paling
mendekati adalah pada kelompok C2, C3, C5 dan C6. Sedangkan pada kelompok C1
dan C4 didapatkan hasil yang sangat amis, hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada.
Hasil sensori ini bergantung pada panelis dan dapat bersifat subjektif.






10

3. KESIMPULAN

Surimi adalah produk olahan ikan berupa konsentrat yang kaya akan protein
myofibril yang distabilkan melaui proses penggilingan, pencucian, penambahan
bahan, dan pembekuan.
Faktor yang berpengaruh pada produk surimi adalah penambahan krioprotektan,
yang merupakan bahan anti denaturasi protein pada suhu beku.
Senyawa krioprotektan adalah gula (sukrosa), garam, polifosfat serta sorbitol,
dan juga chitosan.
Semakin besar kadar dari bahan krioprotektan maka hasil surimi yang paling
baik.
Semakin banyak polifosfat yang ditambahkan akan menyebabkan surimi akan
semakin kenyal.
Semakin banyak gula yang ditambahkan, akan menyebabkan surimi memiliki
kadar air yang rendah, sehingga WHC dari surimi menjadi meningkat.



Semarang, 12 September 2014
Asisten Dosen,





Anastasia Lamtara Dea Nathania
12.70.0108
11

4. DAFTAR PUSTAKA

Benjakul, S. and Y. A. Arfat. (2012). Gelling characteristic of surimi from yellow stripe
trevally (Selaroides leptolepis). International Aquatic Research. Vol 4:5.

Benjakul, S; Thongkaew, C.;Wonnop, V. (2005). Effect of reducing agents on
physicochemical properties and gel-forming ability of surimi produced from frozen fish.
Europe Food Research Technological. Vol 220: 316-321.

Cheng, C.S.; Hamann, D.D.; Webb, N.B. and Sidwell V. (1979). Effect of species and
storage time in mince fish gel texture. International Journal Food Science. 44 (4): 1087-
1092.

Devidek, J.; J. Velisek and J. Pokorny. (1990). Chemical Changes during Food
Processing. Elsevier, New York.

Dey, S. S. and K. C. Dora. (2011). Suitability of chitosan as cryoprotectant on croaker
fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. Jurnal Food Science
Technological. Vol 48(6): 699-705.

Forrest, J. C.; Aberle, E. D.; Hendrick, H. B.; Judge, M. D. and Merkel. (1975).
Principle of Meat Science. W. H. Freemen and Co. San Francisco

Hajidoun, H. A. and A. Jafarpour. (2013). The influence of chitosan on textural
properties of common carp (Cyprinus carpio) surimi. Journal Food Process
Technological. Vol 4:5.

Heruwati, E.S.; Murtini, J.T.; Rahayu, S. dan Suherman. (1995). Pengaruh jenis ikan
dan zat penambah terhadap elastisitas surimi ikan air tawar. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol 1. No. 1. Jakarta.

Irianto, H.E. dan Soesilo, I. (2007). Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan.

Jafarpour, A. and E. M. Gorezyea. (2009). Rheological characteristic and
microstructure of common crap (Cyprinus carpio) surimi and kamaboko gel. Food
Biophysics. Vol 4: 172-179.

Lee, C.M. (1984). Surimi process technology. Journal Food Technology. 38 (11): 69-80.

12
Mahdiah, E. (2002). Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karakteristik fisik
otak-otak ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Mega, O. (2006). Beberapa karakteristik fisikokimia nukimi kuda dan sapi pada
beberapa Ffrekuensi pencucian. Jurnal of Agriculture. 31 (1): 15-20.

Mitchell, C. (1985). Surimi: the American experience. Infofish. 5: 17-20.

Nopianti, R.; H. Nurul and Noryati I. (2010). Loss of Functional Properties of Proteins
During Frozen Storage and Improvement of Gel-Forming Properties of Surimi. Journal
Food Agriculture-Ind. Vol 3(06):535-547.

Okada, M. (1992). History of surimi technology in Japan. Dalam Lanier TC, Lee CM
(eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

Sano, T. (1988). Thermal gelation of fish muscle proteins. Doctoral tehsis. Laboratory
of Biochemistry. Department of Chemistry. Faculty of Science and Technology. Sophia
University,Tokyo Japan
.
Santoso, J.; Trilaksani, W.; Nurjanah dan Nurhayati, T. (1997). Perbaikan mutu gel ikan
mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses. [laporan penelitian]. Bogor: Jurusan
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Sikorski, Z. E. (2001). Chemical and functional properties of food protein. Technomic
Publishing Co.Inc, Pennysilvania.

Sultanbawa, Y and Chan, L.E.C.Y. (1998). Cryoprotective effects of sugar and polyol
blends in Ling cod surimi during frozen storage. International Journal of Food
Research. 31 (2): 87-98.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied
Science. Publishing. Ltd.

Tanikawa, E. (1985). Marine Productc In Japan. Koseisha-Koseikaku Company, Tokyo.

Toyoda, K.; Kimura, I.; Fujita, T., Noguchi, S.F.; and Lee, C.M. (1992). The surimi
manufacturing process. Dalam: Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New
York: Marcel Dekker.

13
Trout, G. R. and G. R. Schmidt. (1986). Effect phosphates on functional properties of
restructured beef rolls: the rolls of pH, ionic strength and phosphate type. International
Journal of Food Science. 51: 1416.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S dan Fardiaz, D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan.
Jakarta: PT. Gramedia.

Zayas, J.F. (1997). Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer Verlag.
14

5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Kelompok C1
a = 29 mm
La =

( )( )( )
= 9,67 x 1120
= 10830,4 mm
2

Lb =

( )( )( )()
= 9,67 x 222

= 2146,74 mm
2

Luas atas bawah = La Lb
= 10830,4 2146,74
= 8683,66 mm
2

mg H
2
O =
uas area baah-


=
-


= 91515,40

Kelompok C2
a = 25 mm
LA = (

) . 25 (50 + 4.(98) + 2.(107) + 4.(99) + 54)


= 9212,98 mm
2
LB = (

) . 25 (50 + 4.(11) + 2.(7) + 4.(16) + 54)


= 1882,58 mm
2

Luas area basah = LA - LB
= 9212,98 1882,58
= 7330,4 mm
2

mg H
2
O =


15
= 77240,506 mg

Kelompok C4
a = 2,6 cm = 26 mm / 26 kotakkecil
Luas atas =

(2,6) (5,5 + 4(8,9) + 2(9,3) + 4(8,9) + 2(5,1))


= 0,867 (5,5 + 35,6 + 18,6 + 35,6 + 10,2)
= 0,867 (105,5)
= 91,4685 cm
2
= 9146,85
Luas bawah =

(2,6) (5,5 + 4(1,2) + 2(1) + 4(1,5) + 2(5,1))


= 0,867 (5,5 + 4,8 + 2 + 6 + 10,2)
=0,867 (28,5)
= 24,7095cm
2
= 2470,95
Luas area basah= 9146,85 - 2470,95
= 6674,90
mg H20 =

70325,949

Kelompok C5
a = 4,2 cm = 42 mm
La =

( )( )( )( )
= 1,4 x (8,3 + 61,6 + 32,6 + 60,8 + 16,6)
= 1,4 x 179,9
= 251,86 cm
2

= 25186 m
2

Lb =

( )( )( )( )
= 1,4 x (8,3 + 5,2 + 0,7 + 7 + 16,6)
= 1,4 x 37,8
= 52,92 cm
2
= 5292 mm
2


Luas atas bawah = La Lb
= 25186 5292
16
= 19894 mm
2

mg H
2
O =
uas atas baah-


=
-


= 209843,882

Kelompok C6
Diketahui:
a = 3,375 cm
Luas atas (L
A
) =

( () () () ())
= 1,125 (6,5 + 54,8 + 29 + 54,8+ 13)
= 1,125 (158,1)
= 177,863 cm
2
= 17786,3 mm
2

Luas bawah (L
B
) =

( () () () ())
= 1,125 (6,5 + 5,2 + 1,4 + 4,8+ 13)
= 1,125 (30,9)
= 34,763 cm
2
= 3476,3 mm
2
Luas area basah = L
A
L
B
= 17786,3 3476,3 = 14310 mm
2

Mg H
2
O =


= 150864,979

5.2. Diagram Alir

5.3. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai