Anda di halaman 1dari 25

1

LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RINITIS ALERGI




Disusun oleh:
Koas Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorok
Ani Kusumadewi Akbar 10-2010-061/11-2013-234
Pembimbing:
Dr. Andriana, Sp. THT, MSi Med

KEPANITERAAN KLINIK RS PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG
PERIODE 28 JULI 2014 30 AGUSTUS 2014
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKART


2

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : ...............................
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG

Nama : Ani Kusumadewi Akbar Tanda Tangan
NIM : 102010061/112013234
.............................
Dr. Pembimbing/Penguji : Dr. Andriana, Sp. THT, MSi Med

............................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. E Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 36 thn Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Jodipati barat no.4 , krobokan Status : Sudah menikah



ANAMNESA
Diambil secara : autoanamnesa
Pada tanggal : 14 Agustus 2014 Jam : 11.30 WIB
3


Keluhan utama:
Pasien mengeluh sering bersin berulang kali pada pagi hari sejak 2 minggu SMRS.

Keluhan tambahan :
Pasien mengaku sering keluar ingus encer dari hidung dan kadang hidung dirasakan
tersumbat.

Riwayat penyakit sekarang:
Pasien laki-laki Tn.E datang ke poliklinik THT RSPWDC Semarang pada tanggal 14
Agustus 2014 dengan keluhan sering bersin pada pagi hari sejak 2 minggu SMRS. Pasien
mengaku keluhan tersebut hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu, namun memberat sejak 2
minggu SMRS. Pasien mengaku, keluhan ini muncul sekitar 3-4 hari dalam seminggu. Pada
saat serangan, pasien mengaku bersin lebih dari 4 kali pada pagi hari , kemudian akan
berkurang atau bahkan tidak bersin sama sekali pada sore sampai malam hari. Bersin dapat
disertai dengan ingus encer, bening , tidak berbau dan kadang hidung dirasakan tersumbat.
Pasien juga mengeluh hidung tersumbat pada kedua hidung sifatnya hilang timbul lebih
sering pada pagi hari . Selain itu pasien juga mengeluh sering bersin apabila sedang
membersihkan rumah.
2 minggu SMRS pasien meminum obat rhinovet tetapi tidak menunjukkan perbaikan.
Batuk , nyeri pada wajah ,ingus berbau , nyeri tenggorokan ,gangguan pendengaran dan post
nasal drip disangkal pasien. Pasien tidak demam saat datang ke poli, tetapi 2 minggu SMRS
muncul demam dan nyeri tenggorokan yang sudah membaik setelah minum obat
paracetamol.

Riwayat penyakit dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat nyeri tenggorok 2
minggu lalu yang sudah membaik setelah minum obat.Terdapat riwayat hipertensi. Riwayat
Diabetes mellitus,alergi , asma, dan ispa disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
4


PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital:
Tensi : tidak dilakukan
Nadi : 75 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : Teraba normal

Status Lokalis
1. Pemeriksaan telinga







Dextra Sinistra
Bentuk Daun Telinga

Bentuk normal, benjolan(-), tanda
radang(-),
Fistula(-), Abses(-)
Bentuk normal,benjolan(-),
tanda radang(-),
Fistula(-), Abses(-)

Kelainan Kongenital
(-) (-)
Radang , Tumor

(-) (-)
Nyeri Tekan Tragus

(-) (-)
Kelainan Preaurikuer dan
Retroaurikuler
(-) (-)
5


Regio Mastoid

Tidak tampak kelainan Tidak tampak kelainan
Liang Telinga

CAE lapang, hiperemis
(-), serumen (-)
CAE lapang, hiperemis
(-), serumen (-)
Membran Timpani

Dalam batas normal, MT Intak,
hiperemi(-), kesuraman(-
),retraksi(-),refleks cahaya (+)
jam 5
Dalam batas normal, MT
Intak, hiperemi(-),
kesuraman(-),retraksi(-
),refleks cahaya (+) jam 7


Pemeriksaan penala
Dextra Sinistra
Rinne (+) (+)
Weber Tidak Ada Lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama Dengan Pemeriksa Sama Dengan Pemeriksa
Penala yang Dipakai 512 Hz 512 Hz


2. Pemeriksaan hidung dan sinus paranasal






Bentuk : Normal
Vestibulum : Normal, hiperemis (-) ,
Tanda peradangan : tidak ada
Daerah sinus : nyeri tekan (-)
6

Cavum nasi :Lapang ,mukosa pucat (+),sekret encer(+), sekret jernih
(+), massa(-)
Konka inferior kanan/kiri : hipertrofi(-) hiperemis (-), kesan pucat(+)
Meatus nasi inferior kanan : Sekret (-), polip (-)
Meatus nasi inferior kiri : sekret (-), polip(-)
Konka medius kanan/kiri : Oedem (-) hiperemis (-),kesan pucat(+)
Meatus nasi medius kanan : sekret(-), polip(-)
Meatus nasi medius kiri : sekret(-), polip(-)
Septum nasi : Tidak tampak adanya deviasi septum , perdarahan (-),
ulkus (-)




Pemeriksaan Rhynopharynx

Koana : Tidak diperiksa
Septum nasi posterior : Tidak diperiksa
Muara tuba eustachius : Tidak diperiksa
Tuba eustachius : Tidak diperiksa
Torus tubarius : Tidak diperiksa
Post nasal drip : Tidak diperiksa

Pemeriksaan transiluminasi

Sinus frontalis kanan, grade : tidak dilakukan
Sinus fontalis kiri, grade : tidak dilakukan
7

Sinus maxillaris kanan, grade : tidak dilakukan
Sinus maxillaris kiri, grade : tidak dilakukan


3. Pemeriksaan tenggorok











1. Faring
Dinding pharynx : mukosa hiperemis (-), tidak tampak benjolan, post nasal drip
(-)
Tonsil : T1/T1, simetris, Kripta (-), Detritus (-), hiperemis (-), abses (-)
Uvula : Posisi di tengah, hiperemis (-), edema (-)
Gigi geligi : Lengkap, Karies (-)
Lain-lain : radang gingiva (-), sariawan (-)

2. Laring
Epiglotis : tidak diperiksa
Plica aryepiglotis : tidak diperiksa
Arytenoids : tidak diperiksa
Ventricular band : tidak diperiksa
Pita suara : tidak diperiksa
Rima glotidis : tidak diperiksa
Cincin, trachea : tidak diperiksa
Sinus piriformis : tidak diperiksa
8


Resume
Pasien laki-laki Tn.E datang ke poliklinik THT RSPWDC Semarang pada tanggal 14 Agustus
2014 dengan keluhan sering bersin pada pagi hari sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengaku
keluhan tersebut hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu, namun memberat sejak 2 minggu
SMRS. Pasien mengaku, keluhan ini muncul sekitar 3-4 hari dalam seminggu. Pada saat
serangan, pasien mengaku bersin 4-5 kali pada pagi hari. Bersin dapat disertai dengan ingus
encer, bening , dan kadang hidung dirasakan tersumbat. Pasien juga mengeluh hidung
tersumbat pada kedua hidung sifatnya hilang timbul lebih sering pada pagi hari . Selain itu
pasien juga mengeluh sering bersin apabila sedang membersihkan rumah. 2 minggu SMRS
pasien meminum obat rinoced tetapi tidak menunjukkan perbaikan. Tetapi 2 minggu SMRS
muncul demam dan nyeri tenggorokan yang sudah membaik setelah minum obat
paracetamol.
Dari pemeriksaan didapatkan pada :
1. Telinga :
Tidak tampak adanya kelainan pada telinga kanan dan kiri.
Tidak ada gangguan pendengaran
2. Hidung : Pada pemeriksaan endoskopi hidung didapatkan mukosa tampak basah,
berwarna pucat atau livid diserati adanya sekret encer berwarna jernih.
Cavum nasi :Lapang ,mukosa pucat (+),sekret encer(+), sekret jernih
(+), massa(-)
Konka inferior kanan/kiri : kesan pucat(+)
Konka medius kanan/kiri : kesan pucat(+)
3. Tenggorokan : Tidak tampak ada kelainan

Diagnosis kerja
Rhinitis Alergi persisten
Diagnosis Banding :
- Rinitis vasomotor
- Rhinitis simpleks


9

Pemeriksaan anjuran
- Pemeriksaan darah lengkap
- Pemeriksaan IgE
- Tes cukit kulit

Rencana terapi
- Edukasi untuk menghindari allergen
- Hentikan rhinofed
- Antihistamin H 1 : klorfeniramin maleate 4 mg 1x1 tablet jika timbul gejala

Prognosis : dubia ad bonam















10

Tinjauan pustaka
Anatomi hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela
adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior
dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.
1,4
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari Sepasang os nasalis ( tulang hidung ), Prosesus frontalis
os maksila dan Prosesus nasalis os frontalis Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian
dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan
11

tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior. Meatus medius
merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan
dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian
anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke
fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla. Dasar cavum nasi
dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit
yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada
bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang
mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan
kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
1,4


Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis
eksterna.
12

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-
vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernesus.

Persyarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama
arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi
cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari
nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus
Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.


13

Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan
paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis
semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Fungsi hidung terbagi
atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3)
Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu
proses bicara,(7) Reflek nasal.
1,3,4

Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi de- ngan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi
menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
ketainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
A. Klasifikasi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
1.
Rinitis alergika
diperkirakan menyerang sekitar 10% populasi umum

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebab- nya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit Ini timbul intermiten
atau tenis-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
14

anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
diban- dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
1,4


WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya, menjadi
1
:
1. Intermiten : bila gejala lebih dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari perminggu dan lebih dari 4 minggu
Klasifikasi berdasarkan berat ringannya penyakit rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

B. Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh imunoglobulin E (IgE) dan dimediasi reaksi terhadap
berbagai alergen di mukosa hidung. Alergen yang paling umum adalah tungau debu,
danders hewan peliharaan, kecoa, jamur, serbuk sari dan cuaca yang dingin. Berdasarkan
cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu
rumah (D. pteronyssihus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass ) serta jamur (Aspergillus,
Attemaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikkan atau tusukkan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
1




15

C. Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung secara kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau reaksi tipe lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatility Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) ang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E. IgE di
sirkulasi diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastoid atau basofil (sel mediiator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi terpapar dengan alergen yanng sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan newly formed mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Pletelet Activating Factor (PAF), dan berbagai sitokin (IL 3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulosyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
1,2,4
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vadianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan
kelenjar mukosa dans el globet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akan vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan akumulasi
16

sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditanndai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta penningkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte macrophag colony stimulating factor (GM-CSF)
dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
eosinophilic derivated protein (EDP), major basic protein (MBP), dan eosinophilicc
peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
1,2,4,5

D. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gambaran khusus dari rhinitis alergika adalah gejala yang cocok yang tampak atau
memburuk sebagai respons terhadap pajanan allergen khusus. Anamnesis sangat penting
karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriskan. Hampir 50% diagnosis
dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri. Bersin ini terutama merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya
histamine.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat yang
bisa menjadi keluhan utama juga dari pasien akibat dari edema basah membrane mukosa.
Seringkali mukosa yang berlebihan ditumpuk pada dasar hidung. Hidung dan mata gatal
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar(lakrimasi) juga menjadi
gejala klinik rintis alergika.
Rinitis alergika secara khas menimbulkan gejala-gejala kongesti atau sumbatan
hidung, bersin, mata berair dan gatal dan post nasal drip yang kadang-kadang disertai
anosmia
2,3.
Pemeriksaan fisik pada penderita memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sklera
dan konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita, pembengkakan sedang sampai berat
dari konka nasalis inferior yang berwarna kepucatan, sekret hidung encer jernih. Temuan
laboratorium yang sesuai dengan dengan reaksi imunologik termasuk kadar eosinofil
17

yang meninggi
2.
Kadar eosinofil normal dalam darah adalah 4-11%
.
Pada rinoskoi anterior
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang
benyak. Bila gejala persisten mukosa inferior tampak hipertrofi.
1,2,3
Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi arena statis vena sekuder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shinner, selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena
gatal dengan punggun tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelaman akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah , yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka
dengan lengkung langit-langit yang tinggi , sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuha gigi-geligi. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema , serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta.
Pemeriksaan penunjang untuk menentukan alergen penyebab dapat melalui metode in
vivo dan in vitro. Metode in vivo dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intraadermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET) dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi dan tingkat kepekaan
1.
Alergen
berinteraksi dengan antibodi reaginik yang melekat pada sel pelepas zat mediator
sehingga terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera. Untuk alergi makanan, uji
kulit yang akhir-akhirnya ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative
Dilutional Food Test (IPDFT),namun sebagai baku mas dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Challene Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu padaChallenge Test , makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah terpantang selama 5 hari . selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi , jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengna meniadakan suatu jenis makanan.
1,4
Sementara itu uji in vitro yang dapat dilakukan adalah hitung eosinofil dalam darah
tepi yang mungkin normal atau meningkat.demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-
paper radio immunosobent test) seringklai menunjukkan nilai normal , kecuali bial tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Yang lebih spesifik adalah uji radioalegosorben
(RAST) untuk menghitung kuantifikasi Ig E spesifik dan pengukuran mediator histamin.
Namun sejauh ini uji kulit merupakan peneraan yang paling peka untuk reaksi-reaksi
yang diperantarai Ig E. Pemeriksaan radiologik sinus paranasal memperlihatkan
gambaran edema ringan sampai sedang dan biasanya tidak disertai adanya cairan.
1,4,5
18


E. Diagnosis banding
1. Rhinitis vasomotor
Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosa hormonal dan pajanan obat obatnya seperti
aspirin, b blocker, aspirin, dan obat topical hidng dikongestan. Rhinitis ini digolongkan
menjadi non alergi bila adanya alergi spesifik tidak dapat diidentifikasikan dengan
peneriksaan alergi IgE yang sesuai, kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan
rhinitis alegi namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat , bergantian kiri dan
kanan, tergantung pada posisi paisen, gejala dapat memburuk pada pai hari 1 ribu dengna
tidur oleh karena adanya juga oleh karena asap rokok dan sebagainya, bersin,ronore dan
tersumbat juga masuk dalam tinitis vasomotor. Gambaran yang khas adalah berupa
edema , mukasa hidung , konka berwarna gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat.
Permukaan konka berbenjol udah hpertrofi. Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip
dengan rinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian
kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Penyumbatan diperberat oleh perubahan
lingkungan seperti suhu atau kelembapan dan oleh paparan terhadap iritan seperti asap
tembakau. Selain itu, terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai
dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya. Rhinitis vasomotor menggambarkan suatu gangguan yang sangat kurang
dimengerti ,diduga akibat dari ketidakseimbangan sistem pengendalian saraf autonom
terhadap vaskularisaasi muksa dan kelenjar mukosa dimana gejala gejalanya member
kesan rhinitis alergika namun penyebab alerginya tidak diketahui. Penderita tidak
mempunyai eosinofil pada secret hidungnya.
2. Rinitis simpleks
Penyakit ini merupakan penyamit virus yang paling sering ditemukan pada manusia.
Sering disenut juga sebagai selesma, common cold. Penyebabnya iakah beberpaa jenis
virus dan yang paling penitng ialah rhinovirus, coxsackie dan virus ECHO. Penyakit ini
sangat menular dan gejala dapa ttimbul sebagai akibat tidak adanya kekebalam atau
menurunnya daya tahan tubuh.
Pada stadium prodormal didapatkan rasa panas,kering,gatal di dalam hiudng. Kemudian
akan timbul bersin berulang ,hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai
dengan demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak membengkak.bila terjadi infeksi
19

sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen. Tidak ada terapi spesifik , selain istirahat
dan pemberian obat-obatan simtomatis, seperti analgetika, antipiretika dan obat
dekongestan. Antibiotic hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri.
1,3,4
F. Komplikasi
Rhinitis alergika jarang langusng menjadi sumber gejala yang mendadak tetapi obstruksi
parsial hidung yang menetap dapat menimbulkan komplikasi yang tidak mnyenagkan seperti
bernapas melalui mulut,dengan akibat pasien mengeluh karena mendengkur dan rasa kering
pada orofaring.
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung.
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung,berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Beberapa
peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media refusi terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Namun sinusitis dapat
menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intracranial,serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
1,4

E. Terapi
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.
20

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1
(klasik) dan generasi 2 (non sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik, anti-adrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek
kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein
sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen
(bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat
proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
2
Kortikosteroid intranasal juga
berguna dalam menekan gejala primer rhinitis alergika dan lebih ditujukan terutama
untuk rhinitis alergika musiman yang sangat berat.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
21

efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast
/ montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
1,4
2. Bedah
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgN0
3
25% atau triklor asetat.
1
3. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sub-lingual.
1,4
4. Edukasi
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen.Tindakan untuk menghindari pemaparan terhadap allergen adalah sukar atau
tidak praktis tetapi banyak yang dapat dilakukan untuk melenyapkan pemaparan
terhadap faktor hirupan dalam rumah seperti debut rumah, ketombe,dan jamur. Jika
mengalami demam debu, maka berpotensi terkena alergi ketika alergen udara sedang
tinggi sebaiknya tinggal saja di dalam rumah, dan jika mungkin, tutup semua
jendela,gunakan AC,segera ganti pakaian dengan yang (relatif) bebas debu setelah
berpergian ke luar rumah. Pengendalian debu rumah dengan perhatian khusus pada
tempat tidur anak , sering memperbaiki gejala pada ana yang alergi debu. Apabila
sensitive terhadap jamur, hindari ruang bawah tanah yang lembab.
1,4,5








22

Diskusi kasus

Dilaporkan suatu kasus Rinitis alergi ditegakkan dari hasil anamnesis serta
pemeriksaan fisik pada pasien laki-laki Tn.E dengan keluhan sering bersin pada pagi hari
sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengaku keluhan tersebut hilang timbul sejak 1 tahun yang
lalu, namun memberat sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengaku, keluhan ini muncul sekitar 3-
4 hari dalam seminggu. Pada saat serangan, pasien mengaku bersin lebih dari 4 kali pada
pagi hari.. Bersin dapat disertai dengan ingus encer, bening , dan hidung dirasakan tersumbat.
Pasien juga mengeluh hidung tersumbat pada kedua hidung sifatnya hilang timbul lebih
sering pada pagi hari . Selain itu pasien juga mengeluh sering bersin apabila sedang
membersihkan rumah. 2 minggu SMRS pasien meminum obat rhinoved tetapi tidak
menunjukkan perbaikan. 2 minggu SMRS muncul demam dan nyeri tenggorokan yang sudah
membaik setelah minum obat paracetamol. Riwayat penyakit dahulu didapat riwayat
hipertensi. Pada pemeriksaan hidung didapatkan mukosa berwarna pucat , dan terdapat sekret
encer berwarna jernih.

Diagnosis kerja : Rinitis alergi persisten
Dasar diagnosis :
1. Hal yang mendukung dalam diagnosis rhinitis alergi adalah gejala bersin berulang
lebih dari 4 kali pada pagi hari. Bersin disertai dengan rinore dan hidung
tersumbat pada kedua hidung. Bersin juga timbul berulang kali pada saat
membersihkan rumah (terpapar allergen). Tidak ada riwayat pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan mukosa hidung
tampak pucat atau livide , terdapat sekret cair dan bening.
2. Hal yang tidak mendukung adalah terdapat demam 2 minggu SMRS.








23

Diagnosis banding : Rinitis vasomotor dan rinitis simpleks
Rinitis vasomotor
Dasar diagnosis :
1. hal yang mendukung adalah keluhan hidung tersumbat pada pagi hari.
2. Hal yang tidak mendukung adalah hidung tersumbat pada kedua hidung, tersumbat
tidak bergantung pada posisi pasien dan tidak ada riwayat pemakaian obat tetes
hidung lama.
Rinitis simpleks
Dasar diagnosis :
1. Hal yang mendukung adalah bersin berulang, hidung tersumbat, ingus encer , demam
2 minggu SMRS.
2. Hal yang tidak mendukung adalah bersin hanya pada pagi hari atau jika terpapar
allergen, dan mukosa hidung tampak pucat

Anjuran pemeriksaan
Dalam kasus ini , pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah :
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan IgE
3. Uji cukit kulit.

Penatalaksanaan
Pada pasien rinitis alergi , bentuk pencegahan yang paling utama adalah hindari alergen dan
diberi pengobatan antialergi.
1. Medikamentosa berupa antihistamin golongan antagonis H 1 yaitu klorfeniramin 4
mg dengan dosis minum 1 kali sehari. Pengobatan ini akan dievaluasi apabila hasilnya
tidak membaik maka perlu dipertimbangkan untuk diberikan kortikosteroid.
2. Edukasi
- Hindari faktor pencetus seperti debu, dingin, dan alergen lain




24

Kesimpulan
Pasien Tn.E umur 36 tahun datang dengan keluhan bersin berulang pada pagi har ii
didiagnosis rhinitis alergi berdasarkan dasar diagnosis. Dasar diagnosis diambil berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terapi yang diberikan adalah antihistamin serta edukasi
yang tepat. Allergen merupakan faktor pencetus paling utama dalam penyakit alergi.
Akan tetapi terapi akan dievaluasi sehingga akan mengetahui apakah keadaan
membaik atau tidak dan dapat dipikirkan tindakan selanjutnya seperti pemberian steroid dan
konkotomi.















25

Daftar pustaka
1. Irawati N, Kasakeyen E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku kuliah ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.3-5,128-42.
2. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses penyakit. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2006.h.168-175.
3. Bickley.LS.Bates Guide to physical Examination and history taking.ed 10
th
.Wolters
Kluwer:China;2009.h.228-9.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH.Boeis buku ajar penyakit THT.edisi 6.Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2012.h.193-8.
5. Richard E Behrman, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Ilmu kesehatan anak Nelson.Vol
1.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2000..h.774-775.

Anda mungkin juga menyukai