Anda di halaman 1dari 6

1

Prolog Diskusi Sabtuan INSISTS, 13 Dzulqo'idah 1433/ 29 Oktober 2012



Menguak Persoalan Di Balik Kesatuan Transenden Agama-Agama

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada
jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah
benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
(Ulil Abshar-Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Kompas, Senin, 18 November
2002)

Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan
tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan
banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis
dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap
Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari
berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik
(lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam
level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan."
(Nurcholis Madjid, Satu Tuhan Banyak Jalan, penerbit Mizan, 1999)

Hiruk pikuk kehidupan modern yang begitu gemar pada segala yang rasional dan selalu menuntut
bukti empiris telah mengantarkan manusia pada titik nadir kegersangan spiritual yang dalam.
Manusia-manusia di berbagai penjuru kota dunia telah terpojok pada rasa frustrasi yang sangat
karena kegagalan mencapai kebahagian, ketenangan jiwa, dan keselarasan hidup. Jiwa manusia di
musim globalisasi yang gersang semacam ini merindukan hal-hal spiritual, suatu pengalaman
batin tentang yang ghaib.

Namun halnya demikian, mereka telah pula mengalami trauma terhadap agama yang dianggap
kaku dan mengekang kebebasan. Agama terlalu banyak memuat aturan, perintah, dan larangan.
Sementara manusia urban yang menggeliat di berbagai megapolitan justru menginginkan
kebebasan. Yang diperlukan ialah spiritualitas, tanpa sekat-sekat agama yang padat. Toh agama,
dalam anggapan kaum urban ini, telah lama bertikai dengan akal dan sains. Karenanya agama
yang memusingkan macam itu tak perlu diungkit kembali. Cukup spiritualitasnya saja.

Di dunia yang semacam itu, lahir sebuah paham yang menenteramkan dan seolah memberi jalan
keluar bagi manusia. Sebuah ajaran mengenai Kesatuan Transenden Agama-Agama. Paham ini
mengangankan robohnya sekat-sekat antar agama, di mana semua agama dapat berdamai dan
berjalan bersama menuju keselamatan dan kebenaran yang diinginkan semua manusia. Paham ini

2
mewartakan pandangan baru tentang kebenaran, bahwa semua agama ialah jalan yang sama-sama
sah dan sama pula benarnya menuju Tuhan yang sama. Maka kebenaran dan keselamatan menjadi
begitu lumer. Setiap agama, apa pun nama dan bagaimana pun bentuk ritusnya, ialah sama-sama
jalan yang sah menuju keselamatan dan kebenaran yang diangankan sebagai abadi.

Perbedaan pada praktik-praktik peribadatan dalam berbagai agama tak lagi dianggap sebagai hal
yang mampu menyekat-nyekat kebenaran. Perbedaan semacam itu dianggap perbedaan di sisi luar
agama atau mereka namakan sebagai wilayah eksoterik agama-agama. Sementara sisi batin, sisi
yang hakikat dari semua agama, ialah sama dan mereka menyebutnya sebagai wilayah esoterik
agama-agama. Pada wilayah eksoterik agama memang berbeda, namun di wilayah eksoterik
semua agama menyatu menuju Tuhan yang Tunggal, begitu paham ini mengajarkan.

Dan Tuhan dalam ajaran ini tentu saja bukan Tuhan sebagaimana yang diajarkan Islam. Tuhan
bagi mereka ialah Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God). Nama-nama Tuhan ini
bisa berbeda. Setiap agama (dalam anggapan mereka) dapat melafalkannya dengan penyebutan
yang tak sama. Jika lah lidah menyebut-Nya dengan cara yang berbeda, dengan bunyi yang tak
sama, tetapi lah hakikat yang disebut ialah sama, kata para penganjur paham ini.

Dalam keseharian, Transendentalisme merayap begitu halus dalam kehidupan. Ia bisa menyusup
dalam berbagai peristiwa. Toleransi ialah jalur yang cukup sering mereka lalui guna menyebarkan
paham ini. Bahwa kita bersaudara dan perbedaan agama tak mesti membuat kita bertentangan,
sebab meskipun agama kita berbeda kebaikan tetaplah abadi. Tuhan kita tetap satu. Suatu
propaganda yang menarik dan kadang dikemas begitu menyentuh sisi kemanusiaan kita.

Transendentalisme pun menyentuh ilmu pengetahuan. Banyak ilmuan yang kemudian jengah
dengan ilmunya sendiri. Bahwa ilmu tidak mengantar kepada kebahagiaan. Bahwa teknologi
justru semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Pada akhirnya mereka menginginkan
sesuatu yang lebih menyentuh jiwa. Tak heran jika ada Profesor Botani bergelut dengan
Samanisme atau ilmuan nuklir yang senang pada Spiritulitas Timur. Ilmu menjadi cair dan seolah
tampil dalam wajah yang lebih ramah. Bahwa yang disebut kebenaran tak melulu ada di wilayah
akademis dengan disiplin ketat. Di masa lalu pun banyak kebijaksanaan. Di alam perdukunan pun
dapat ditemui kebenaran. Ide semacam ini nyaris mengantarkan ilmu pengetahuan pada sisi yang
amat tradisional (untuk tak menyebutnya primitif). Tata pengetahuan modern yang kental dengan
rasionalisme dan empirisme kemudian dihadapkan kenyataan-kenyataan di luar keduanya. Ufo,
Crop-Circle, Samanisme, sampai ilmu ketabiban yang bercampur dengan mitos pun digali.

Lain lagi di arena politik. Tingkah para politikus yang sudah terlalu semrawut memang membuat
frustrasi banyak kalangan. Korupsi dan ugal-ugalannya mereka berebut kekuasaan mengirimkan
kejengahan tersendiri di tengah masyarakat. Maka ketika hadir seorang politikus berwajah polos,
jujur, tidak (atau belum) korupsi, mengayomi, sederhana, dan dekat dengan rakyat, berbondong

3
orang mengerubutinya. Kebaikan dan kepemimpinan tak lagi musti memperhitungkan agama
seseorang, toh kebaikan ada di setiap agama. Maka sekat-sekat agama dalam politik diam-diam
telah dilipat dan dimasukan ke dalam lemari. Sepotong ajaran Transendentalisme telah
menyelinap dalam peristiwa politik kita: Bahwa kebaikan tak memerlukan latar belakang agama,
sebab baik ada di setiap agama. Bukankah telah bergeser konsep kebaikan dalam politik itu?

Ada pula ajaran Transendentalisme yang hadir melalui pesan ramah lingkungan. Bahwa alam
sesungguhnya memberikan kebaikan dan harus selaras dengan hidup manusia. Oleh karena itu,
perlakuan manusia terhadap alam seharusnya sesuai dengan nilai universal: keselarasan hidup
antara manusia dan alam. Bukan dengan nilai-nilai agama.

Paham ini pun telah melahirkan suatu tatanan etika dan moralitas baru. Apa yang disebut Islami,
dianggap, tidak hanya terkandung dalam al-Quran atau pun hadith. Ia menyebar dalam ajaran-
ajaran agama lain. Nilai kebaikan dan ajaran sebuah agama tak lagi dipandang sebagai memiliki
hubungan yang ketat. Agama dan kebaikan justru makin meleleh. Kebaikan, kata mereka, tidak
dapat dimonopoli oleh satu agama.

Kerancuan semakin menjadi tatkala kita mendengar celoteh kaum homoseksual tentang kebaikan.
Orientasi seksual bukan ukuran baik buruk menurut mereka. Bahkan ada yang nekat merumuskan
landasan keshalehan kaum gay. Katanya, Tuhan tidak melihat orientasi seksual seseorang,
melainkan ketakwaannya.

Seruan-seruan kaum transendentalis seolah menawarkan ketenteraman jiwa, kedamaian, dan
keabadian. Kengerian pada perang yang meniscayakan terkoyaknya tubuh manusia telah membuat
paham ini menjadi tawaran menyejukan di panas jam 12 siang penuh debu serta kebisingan kota-
kota megapolitan. Di tengah kecamuk pertentangan yang merajai hari-hari mereka mengulurkan
persaudaran universal. Dalam kebingungan kita melalui hari-hari yang kering spiritualitas, mereka
menawarkan keteduhan. Namun di dalamnya terdapat ajaran yang justru kabur mengenai
kebenaran, keselamatan, dan yang terpenting ialah kerancuan mengenai konsep ketuhanan.

Seruan-seruan kaum transendentalis tak lagi menggunakan kata-kata semacam parennial atau pun
Pluralisme. Kata-kata semacam ini memang mudah terbaca oleh kaum Muslim. Tak tanggung,
MUI telah mengharamkannya beberapa tahun silam.

Kini seruan-seruan itu lebih halus disampaikan. Banyak orang yang tak terlalu mengerti
bagaimana paham ini justru turut serta mengucapkannya. Niatnya mungkin mempromosikan
perdamaian, mengajak pada pesaudaraan, atau menentang persengketaan. Sayangnya di sebalik
kata-kata tersebut kadang menyelinap ide-ide dari Transendentalisme itu.

Apa yang disebut Transendentalisme kini telah merayap di keseharian kita. Paham itu

4
berseliweran dalam berita televisi, bermacam laman internet, novel, lirik lagu, sampai promosi
kebebasan beragama. Tentulah kewaspadaan dari kaum Muslimin sangat diperlukan, sebab paham
ini mengalir seperti air sejuk menyentuh jiwa-jiwa yang gersang. Yang tak waspada, bisa jadi
terikat olehnya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memperingatkan bahaya paham ini sejak puluh tahun
lalu. Kemudian ia ejawantahkan kritiknya terhadap Transendentalisme ini dalam bukunya
Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Kritik al-Attas menjadi penting untuk ditelaah karena dua hal. Pertama beliau mengkritik dengan
tajam inti ajaran ini, yaitu kesatuan transenden agama-agama dalam level esoterik serta
problematika konsep Tuhan dalam teori transendentalis. Kedua, al-Attas bersentuhan langsung
dengan tokoh-tokoh kelas dunia pengusung paham ini. Seyyed Hosn Nasr, Marthin Ling, dan
lainnya. Oleh karena itu kritik al-Attas terhadap transendetalisme ialah kritik pakar pemikiran
Islam tingkat dunia terhadap pemikiran para tokoh transendentalis kelas dunia pula. Menelaah
pemikiran al-Attas tentang Transendentalisme diharapkan mampu memberikan bekal terhadap
kaum muslimin untuk terus waspada terhadap perkembangannya.

Mempertimbangkan hal-hal di atas, INSISTS mengadakan diskusi mengenai Transendentalisme
ini

Tema : Transendentalisme: Kritik SMN al-Attas
Pembicara : Adnin Armas, MA
Waktu : Sabtu, 13 Dzulqoidah 1433/29 September 2012 M, Pukul 10.00-12.00
Tempat : Ruang diskusi INSISTS, Jl Kalibata Utara II No 84, Jakarta Selatan.

Tulisan ini juga sekaligus undangan terbuka bagi kaum Muslimin yang berminat untuk mengikuti
diskusi ini. Konfirmasi kehadiran: Shubhi Abdillah (0856 9498 2966/0852 8240 3058)

Profil Singkat Prof Syed Muhammad Naquib, al-Attas
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas, dilahirkan di Bogor, 5
September 1931. Sejak kecil memperoleh pendidikan Islam dari orangtuanya. Ia memulai
pendidikan formalnya sekolah dasar di Johor, Malaysia. Karena adanya pendudukan Jepang di
Semenanjung, ia kemudian pindah belajar ke Madrasah al Urwatul Wutsqa, Sukabumi Jawa Barat
(1941-1945). Tahun 1946, ia kembali belajar di Johor di Bukit Zahrah School dan English College
(1946-1951). Ketika remaja itu, Alatas banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di
perpustakaan pamannya Ungku Abdul Azis. Kebetulan pamannya seorang pustakawan yang hebat
yang menyimpan berbagai manuskrip dan literatur sejarah, buku-buku agama, klasik Barat dan
lain-lain. (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Knowledge, Language, Thought and The

5
Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib al Attas, UTM, 2010).
Pemikiran Al Attas tentang sejarah dan sastra Melayu banyak mempengaruhi cendekiawan Islam
Melayu-Indonesia.

Al-Attas menempuh sarjana mudanya di Universiti Malaya. Saat masih kuliah ia berhasil
membuat buku Rangkaian Ribaiyat, yang dipublikasikan pertama kali oleh Dewan Bahasa dan
Pustaka tahun 1959. Karya klasiknya yang kedua adalah Some Aspects of Sufism as Understood
and Practical among the Malays. Ia kemudian melanjutkan studinya di McGill University, dengan
beasiswa the Canada Council Fellowship. Disitulah ia berkenalan dengan Sir Hamilton Gibb,
Fazlur Rahman, Toshihiko Isuzu dan Hossein Nasr. Di McGill itulah al-Attas memahami
pemikiran orientalis dan pembaharu, yang kemudian nanti dikritisinya dengan tajam dan akurat. Ia
menyelesaikan masternya tahun 1962 dengan tesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century
Acheh.
Setahun kemudian al-Attas melanjutkan program doktoralnya di School of Oriental and African
Studies, University of London. Di sana ia berinteraksi dengan Profesor A.J. Arberry dan Dr.
Martin Lings. Ia menyelesaikan program doktoralnya (1965) dengan karyanya yang monumental
dan klasik berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.

Tahun 1970, al-Attas dengan para sahabatnya mendirikan Universiti Kebangsaan Malaysia
(UKM) dan ia yang mengusulkan dan merancang penggunaan Bahasa Melayu untuk
menggantikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran. Ia yang merancang
konsep dasar filosofis berdirinya Faculty of Science and Islamic Studes di UKM dan kemudian ia
diangkat sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu.

Prof al-Attas telah menulis lebih dari 29 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu.
Banyak buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu: Arab, Turki, Urdu,
Malaysia, Indonesia, Albania, Persia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea dan
Albania.
Tahun 1991 Prof al-Attas merancang berdirinya ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization), termasuk lanskap, furniture, dan dekorasi interior bangunannya dengan
sentuhan arsitek bangunan Islam yang unik, tradisional dan berkarakter kosmopolitan. Rancang
bangun ISTAC karya Prof al-Attas ini, banyak mendapat pujian dari ahli-ahli arsitektur terkemuka
dan para cendekiawan* (nuim hidayat).


Adnin Armas, MA
Lahir di Medan, 2 September 1972. Menyelesaikan Pendidikan Menengah di Pondok Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo (1992). Menempuh pendidikan sarjana pada International
Islamic University Malaysia (IIUM), jurusan Filsafat dan lulus pada tahun 1998. Jenjang Magister
dilalui ayah dua orang anak ini pada International Institute of Islamic Thought and Civilizations

6
(ISTAC) jurusan Pemikiran Islam dengan tesis berjudul Fakhruddin ar-Razi on Time(2003). Saat
ini menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Gontor dan Direktur Eksekutif INSISTS
(Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations).

Anda mungkin juga menyukai