Anda di halaman 1dari 8

1

SEPULUH LANGKAH MENUJU SPIP:


LANGKAH PRAKTIS IMPLEMENTASI SPIP BERBASIS ENTITY RISK MANAGEMENT
Dr. Marno Kastowo, M.E., Ak.*

Abstrak
Sudah empat tahun sejak terbitnya PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP, atau empat belas
tahun sejak tuntutan reformasi 1997/1998, pengendalian intern untuk menjamin pencapaian
kinerja dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan belum dapat dimplementasikan secara
menyeluruh pada setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Terdapat beberapa kesulitan
untuk membumikan konsep SPIP ke dalam tataran praktis. Tulisan ini menguraikan sepuluh
langkah praktis sebagai milestone untuk mengimplementasikan SPIP berbasis Entity Risk
Management.

1. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang
kurang berorientasi kepada kepentingan
publik selama Orde Baru telah menyebabkan
munculnya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Mekanisme pengendalian dan
pengawasan yang telah dibangun tidak dapat
berjalan dengan baik karena pengabaian
manajemen dan kurang efektivnya
pengawasan publik. Kondisi tersebut berujung
pada ketidakpuasan publik dan tuntutan
reformasi 1997/1998.
Undang-undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme lahir sebagai respon dari tuntutan
tersebut. Undang-undang tersebut
menetapkan Asas tertib penyelenggaraan
negara (keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara) sebagai salah satu
asas umum penyelenggaraan negara. Tiga
paket undang-undang di bidang keuangan
negara (UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No.
15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara) baru terbit 5 tahun setelah tuntutan
reformasi tersebut.
Terkait dengan sistem pengendalian
intern, UU No. 1 Tahun 2004 telah member
amanat kepada presiden selaku kepala
kemerintahan untuk mengatur dan
menyelenggarakan sistem pengendalian
intern di lingkungan pemerintahan secara
menyeluruh. Amanat tersebut direspon
dengan terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah. Dengan demikian, diperlukan
waktu sepuluh tahun dari tuntutan publik
terhadap kinerja, transparansi, dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
(reformasi 97/98) sampai dengan terbitnya PP
SPIP. Lebih memprihatinkan lagi, sampai
dengan saat ini, lebih dari empat belas tahun
sejak tuntutan reformasi 97/98, sistem
pengendalian tersebut belum
dimplementasikan secara menyeluruh oleh
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Kronologi tuntutan reformasi sampai dengan
implementasi SPI saat ini dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut:
2



Tabel 1. Kronologi Tuntutan Reformasi-Implementasi SPI
1997/1998 1999 2003/2004 2008 2012
Tuntutan publik pada
pemerintah untuk
memperbaiki kinerja,
akuntabilitas dan
transparansi.
Ketidakpuasan pada
sistem pengendalian
yang berjalan.
Lahirnya UU No. 28
Tahun 1999
Tentang
Penyelenggaraan
Negara Yang
Bersih dan Bebas
Dari KKN
Lahirnya 3 paket
undang-undang
reformasi keuangan
negara.
Amanat untuk mengatur
& melak-sanakan sistem
pengendaIian intern
Lahirnya PP 60
Tahun 2008 tentang
SPIP
SPIP belum dapat
diimplementasikan
kementerian /
lembaga / pemda
secara menyeluruh.

Sampai dengan saat ini, BPKP sebagai
pembina SPIP telah melakukan sosialisasi,
pelatihan, serta asistensi dalam rangka
implementasi SPIP. Namun demikian,
seringkali para peserta sosialiasi dan
pelatihan menyatakan bahwa SPIP secara
konseptual sangat bagus tetapi susah untuk
diimplementasikan. Konsep yang bagus jika
tidak dapat dibumikan akan cenderung
dikebumikan. Tulisan ini bertujuan untuk
menguraikan langkah-langkah praktis dalam
membumikan SPIP secara bertahap
dengan pendekatan ERM / entity risk
management.

2. Pembahasan
2.1. SPIP dan Entity Risk Management
Sistem pengendalian intern pemerintah
adalah Sistem Pengendalian Intern yang
diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. SPIP bertujuan untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi
tercapainya efektivitas dan efisiensi
pencapaian tujuan penyelenggaraan
pemerintahan, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan.
SPIP terdiri atas unsur: lingkungan
pengendalian, penilaian risiko, kegiatan
pengendalian, informasi dan komunikasi,
dan pemantauan pengendalian intern (PP
60 Tahun 2008).
PP 60 Tahun 2008 tidak mengatur
secara tegas framework penerapan SPIP.
Namun demikian, PP 60 2008 memberikan
rambu-rambu implementasi sebagai berikut:
Unsur SPIP mengacu pada unsur
sistem pengendalian intern yang telah
dipraktikkan pada sektor pemerintahan
di berbagai negara.
Penerapan unsur SPIP dilaksanakan
menyatu dan menjadi bagian integral
dari kegiatan Instansi Pemerintah.
Pengembangan unsur Sistem
Pengendalian Intern perlu
mempertimbangkan aspek biaya-
manfaat (cost and benefit), sumber daya
manusia, kejelasan kriteria pengukuran
efektivitas, dan perkembangan teknologi
informasi serta dilakukan secara
komprehensif.
Rambu-rambu tersebut menegaskan
pentingnya implementasi SPI yang built in,
3



komprehensif, mempertimbangkan biaya
manfaat, dan memperhatikan praktik di
berbagai negara.

INTOSAI (2004) menegaskan bahwa
pengendalian intern merupakan suatu upaya
menyiapkan suatu kerangka kerja konseptual
yang mendasar, dengannya suatu entitas
dapat dikelola untuk mencapai tujuan-
tujuannya (providing an overarching
conceptual framework through which an entity
can be managed to achieve its objectives).
Entity risk management dapat dianggap
sebagai evolusi alami dari model
pengendalian intern. Pengendalian intern
merupakan bagian integral dari ERM. Selain
sebagai alat untuk mengarahkan pengen-
dalian intern, kerangka kerja ERM dapat
membentuk sistematisasi yang lebih kuat agar
keputusan-keputusan entitas dapat berujung
pada misi utama dan tujuan terkait. Kerangka
kerja ERM juga menjadi sarana bagi
manajemen untuk menentukan respon yang
benar terhadap kejadian tertentu. Berdasarkan
uraian di atas, kerangka kerja ERM
sebagaimana telah dikembangkan oleh
INTOSAI dapat digunakan sebagai model
untuk mengimplementasikan SPIP secara
bertahap dan komprehensif.

2.2. Sepuluh Langkah Menuju SPIP
Berikut ini adalah sepuluh langkah praktis
untuk implementasi SPIP berdasarkan
kerangka kerja yang mempertimbangkan
Entity Risk Management.

1). Pastikan Tujuan Organisasi
Tujuan pengendalian adalah mengaman-
kan tujuan organisasi. Suatu organisasi tidak
akan termotivasi mengimplementasikan
pengendalian jika tidak terdapat tujuan yang
harus dicapai atau tidak ada implikasi yang
nyata jika tujuan organisasi tidak tercapai.
Suatu entitas bisnis yang bertujuan mencari
laba yang berkesinambungan akan berupaya
sekuat tenaga mengimplementasikan pengen-
dalian karena tidak tercapainya tujuan akan
menyebabkan kebangkrutan entitas tersebut.
Pada organisasi publik, kadang tidak terdapat
implikasi yang nyata atas kegagalan dan
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi
sehingga manajemen menjadi kurang peduli
dengan pengendalian yang diperlukan untuk
mengamankan pencapaian tujuan. Organisasi
perlu merumuskan dengan jelas tujuan yang
bersifat stratejik (mengacu pada perencanaan
strategik organisasi) maupun tujuan pada
tingkat kegiatan (dapat dikaitkan dengan
ketaatan, efisiensi, pengamanan aset, serta
pelaporan keuangan). Tujuan tersebut harus
dirumuskan dengan baik sehingga dapat
diperoleh kejelasan mengenai apa yang mau
dicapai, tingkat capaian, maupun waktu
pencapaiannya. Indikator yang tepat
diperlukan agar tidak terjadi bias dalam
menentukan keberhasilan organisasi.
Penanggung jawab pencapaian tujuan dan
konsekuensi atas kegagalan pencapaian
tujuan harus ditetapkan secara tegas agar
manajemen tergerak untuk mengimple-
mentasikan pengendalian.



4

2). Siapkan Lingkungan Pengendalian
Mini
Lingkungan pengendalian mini adalah
lingkungan pengendalian minimal agar Entity
Risk Management sebagai kerangka kerja
implementasi SPIP dapat dilaksanakan.
Komitmen untuk mengimplementasikan SPIP
berbasis ERM harus dicanangkan oleh
pimpinan dan disosialisasikan kepada seluruh
pegawai. Akan lebih efektif jika komitmen
tersebut dituangkan dalam bentuk regulasi /
aturan dalam organisasi. ERM dan SPIP
adalah hal yang relatif baru. Oleh karena,
untuk memfasilitasi implementasi manajemen
risiko perlu dibuat satgas atau unit organisasi
yang bertugas membantu pimpinan
mengembangkan konsep manajemen risiko
yang cocok untuk organisasi yang
bersangkutan. Satgas / unit tersebut harus
mampu merumuskan konsep praktis
mengenai risiko, cara mengukur probabilitas
dan dampak risiko, menentukan status risiko,
kriteria penerimaan risiko (risk acceptance)
serta panduan umum mengenai siapa yang
harus bertanggung jawab atas risiko
berdasarkan status risiko. Satgas/unit
organisasi ini juga dapat berperan untuk
membantu unit organisasi dalam proses
identifikasi dan penilaian risiko. Keberhasilan /
kegagalan penyiapan lingkungan pengen-
dalian mini akan berpengaruh besar pada
keberhasilan / kegagalan tahap identifikasi
dan analisis risiko.
3). Identifikasi Risiko dan Problem Secara
Jujur
Risiko merupakan kejadian yang mungkin
terjadi (belum terjadi saat ini) yang dapat
menyebabkan tidak tercapainya tujuan.
Sedangkan problem merupakan risiko yang
terjadi saat ini sehingga menyebabkan
hambatan pencapaian tujuan. Unit organisasi
yang bertanggung jawab atas tujuan perlu
melakukan identifikasi risiko dan problem yang
relevan dengan tujuan. Identifikasi risiko dapat
dilakukan secara retrospective (berdasarkan
sejarah keterjadian risiko/insiden sebelumnya)
maupun prospective (berdasarkan dugaan /
prediktif). Identifikasi risiko dapat dilakukan
secara mandiri (risk self assessment) oleh unit
organisasi yang bersangkutan maupun
melibatkan pihak-pihak lain yang dipandang
kompeten.
Kunci sukses dari tahap ini adalah
kejujuran setiap pihak untuk mengemukakan
semua problem dan risiko, termasuk yang
terkait dengan fraud/kecurangan. Kekha-
watiran bahwa hasil assessment akan
digunakan sebagai senjata oleh auditor
internal atau auditor eksternal untuk
menemukan masalah yang akan diangkat
menjadi temuan hasil audit dapat
menyebabkan identifikasi risiko dan problem
menjadi tidak lengkap (manajemen tidak
berani secara jujur mengungkapkan seluruh
problem dan risk). Event tree analysis pada
tujuan/kegiatan dapat dilakukan agar
identifikasi problem dan risk dapat dilakukan
secara lengkap.
Pada tahap awal, identifikasi risiko dapat
lebih difokuskan pada risiko-risiko yang
berpengaruh besar pada pencapaian tujuan.
Risiko yang telah diidentifikasi kemudian
dirumuskan dalam kalimat pernyataan risiko
(risk statement) dan dituangkan dalam daftar
5



risiko (risk register). Terhadap setiap problem
yang menimbulkan hambatan pencapaian
tujuan perlu dibuat Corrective Action Plan dan
milestone untuk memecahkannya. Implikasi
keuangan (biaya) yang timbul untuk
melaksanaan CAP tersebut harus
dianggarkan secara layak agar masalah dapat
diatasi dan tidak menimbulkan hambatan
pencapaian tujuan organisasi.

4). Analisis Risiko Secara Cermat
Analisis risiko dilakukan untuk
menentukan tingkat probabilitas keterjadian
risiko, dampak jika masalah terjadi, serta
status untuk setiap risiko. Analisis probabilitas
dan dampak dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan tingkat kecanggihan; dari cara yang
sederhana dengan skala likert yang
dirumuskan melalui curah pendapat sampai
dengan cara-cara kuantitatif yang kompleks
dengan berbagai teknik. Untuk tahap awal,
instansi tidak perlu terobsesi menerapkan
metode yang canggih tetapi tidak dikuasai
yang dapat berujung pada kebingungan dan
keputusasaan. Mulailah dengan cara
sederhana, yang penting mampu
menghasilkan status untuk setiap risiko.
Status risiko ditentukan oleh probabilitas,
dampak, dan selera risiko (risk apptit)
organisasi. Status risko dapat terus
disempurnakan secara bertahap. Berdasarkan
status risiko tersebut instansi menetapkan
tingkat penerimaan risiko (risk acceptance),
penanggung jawab risiko/risk owners
(manajemen tingkat puncak, menangah, atau
tingkat operasional), serta respon terhadap
risiko (risk respond).
5). Pilih Kegiatan Pengendalian Secara
Selektif
Kegiatan pengendalian dilaksanakan jika
respon terhadap risiko menghendaki bahwa
risiko tersebut perlu dikendalikan. Pengen-
dalian akan menimbulkan biaya / costly.
Oleh karena itu, organisasi harus memilih
kegiatan pengendalian yang betul-betul
relevan, diperkirakan efektif, dan memper-
timbangkan analis biaya manfaat (cost-benefit
analysis). Organisasi harus menjamin keter-
sediaan anggaran untuk melakukan kegiatan
pengendalian tersebut.
Kegiatan pengendalian meliputi kegiatan
yang bersifat preventif, detektif, serta mitigatif.
Pengendalian preventif ditujukan untuk
mencegah keterjadian risiko (mengurangi
probabilitas). Pengendalian detektif diperlukan
untuk memastikan berjalannya pengendalian
preventif dan mendeteksi keterjadian risiko.
Sedangkan pengendalian mitigatif diper-
siapkan untuk meminimalkan dampak yang
timbul atas keterjadian risiko. Kegiatan
pengendalian yang baik bersifat melekat (built-
in) pada kegiatan operasional yang dijalankan.
Rancangan kegiatan pengendalian perlu
diintegrasikan dengan standar operasi dan
formulir-formulir kegiatan operasional.
Kegiatan pengendalian tidak perlu dibatasi
pada 11 unsur kegiatan pengendalian pada
SPIP, yang penting dapat berjalan efektif
mengatasi risiko. Manajemen harus selalu
menyadari bahwa kegiatan pengendalian tidak
memberi jaminan absolut (absolute assu-
rance). Sisa risiko setelah pengendalian
(residual risk) atau kegagalan pengendalian
dapat saja terjadi. Oleh karena itu,
6



manajemen dapat mempersiapkan pengen-
dalian tambahan / pengendalian pengganti
(compensative control).
6). Rancang Form Operasi/Pelaporan Yang
Diperlukan
Dokumentasi dalam formulir operasional
dan pelaporan diperlukan untuk mendukung
implementasi SPIP dalam kerangka ERM.
Form operasi dan pelaporan ini akan
meningkatkan kesadaran akan pencapaian
tujuan dan pengelolaan risiko. Organisasi
perlu mendokumentasikan tujuan yang akan
dicapai, daftar dan status risiko, serta
rancangan pengendalian yang dijalankan.
Formulir/media pelaporan yang tepat harus
dirancang untuk mengetahui perkembangan
pencapaian tujuan organisasi (baik tujuan
stratejik maupun operasional) berdasarkan
data yang handal dan berkesinambungan.
Media pencatatan dan pelaporan kegagalan
pengendalian, keterjadian risiko, dan
dampaknya bagi organisasi harus didesain
dan diselenggarakan secara kontinyu. Jika
mungkin, perkembangan biaya aktual dalam
rangka pengendalian dan kerugian akibat
keterjadian risiko harus dicatat dan dilaporkan
secara kontinyu dengan media yang
dibakukan. Dokumentasi dan pelaporan
perkembangan pelaksanaan Corrective Action
Plan atas masalah-masalah yang
menghambat pencapaian tujuan organisasi
perlu dirancang secara memadai sehingga
betul-betul dapat menjamin efektivitas CAP.
7). Membangun Dukungan Komunikasi
Internal dan Eksternal
Organisasi perlu membangun sarana
komunikasi internal dan eksternal dalam
rangka memfasilitasi pelaksanaan ERM.
Sarana komunikasi tersebut antara lain
meliputi:
Sarana komunikasi untuk merumuskan
tujuan berdasarkan harapan/masukan dari
para pemangku kepentingan
(stakeholders) organisasi.
Sarana komunikasi dalam rangka
mensosialisasikan tujuan strategik dan
kegiatan diperlukan untuk menumbuhkan
komitmen dan menyatukan langkah
seluruh komponen organisasi untuk
mencapai tujuan tersebut.
Sarana Komunikasi berjenjang untuk
memfasilitasi pelaporan perkembangan
pencapaian tujuan, keterjadian risiko, dan
dampak dari keterjadian risiko.
Sarana komunikasi untuk mendukung
pengambilan putusan dan implementasi
corrective action plan.
Organisasi harus bersedia menanggung
implikasi biaya yang timbul terkait dengan
pengembangan teknologi dan SDM yang
dibutuhkan untuk mendukung proses
komunikasi tersebut.
8). Monitoring Berkelanjutan
Monitoring yang berkelanjutan diperlukan
untuk meyakini bahwa pengendalian masih
selaras dengan tujuan dan risiko saat ini.
Aktivitas on going monitoring harus dirancang
secara built in (melekat) pada kegiatan
organisasi. Jejak pengendalian aktivitas on
going monitoring harus terlihat jelas dalam
formulir operasional yang digunakan.
Separate evaluation oleh unit mandiri secara
rutin dilakukan untuk menguji jalannya on
7



going monitoring dan menilai efektivitas
pengendalian. Tujuan, risiko, desain
pengendalian, dan CAP perlu disesuaikan
dengan fakta-fakta hasil monitoring.
Konsekuensi bagi penanggung jawab
monitoring harus dinyatakan secara tegas jika
kegiatan monitoring mengalami kegagalan.
Organisasi harus memiliki mekanisme tindak
lanjut hasil monitoring dan menetapkan
konsekuensi bagi pihak-pihak yang tidak
bersedia menjalankan saran/rekomendasi
hasil monitoring.

9). Membangun Lingkungan Pengendalian
Luas
Implementasi Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah harus dilandasi kesadaran bahwa
subjek dan sebagian besar objek
pengendalian adalah manusia. SPIP harus
mempertimbangkan aspek dinamik perilaku
manusia. Manusia akan mengambil sikap dan
berreaksi pada pengendalian yang
mempengaruhi kepentingannya. Manusia
rasional akan memikirkan keuntungan dan
manfaat pengendalian bagi dirinya. Oleh
karena itu, faktor manusia memegang
peranan penting dalam SPIP. Pengembangan
SPIP yang menutup mata terhadap
kepentingan/kebutuhan individu dalam
organisasi akan menghasilkan reaksi-reaksi
negatif yang akan membuat SPIP tidak efektif.
Unsur-unsur lingkungan pengendalian dalam
arti luas seperti Integritas dan nilai etika,
komitmen terhadap kompetensi, kepe-
mimpinan yang kondusif, struktur organisasi
sesuai kebutuhan, pendelegasian wewenang
dan tanggung jawab yang tepat, penyusunan
dan penerapan kebijakan SDM yang tepat,
APIP yang efektif, dan hubungan baik antar
instansi pemerintah perlu dikembangkan
untuk mendukung efektivitas manajemen
risiko organisasi.

10). Kembangkan Pada Area Yang Lebih
Luas
Mengawali implementasi SPIP berbasis
ERM dari aktivitas/unit organisasi yang kecil
memiliki banyak manfaat. Implementasi awal
tersebut dapat digunakan sebagai sarana
pembelajaran/uji coba. Pembelajaran pada
area yang kecil akan lebih manageable
daripada implementasi pada entitas secara
menyeluruh secara langsung. Kegagalan
implementasi awal dapat dijadikan sarana
pembelajaran dan perbaikan, sedangkan
keberhasilannya dapat dijadikan sarana
percontohan dan unjuk manfaat (membuktikan
bahwa SPIP memang dapat dilaksanakan dan
berguna).
Risiko-risiko kegiatan dan strategis dapat
bersifat lintas aktivitas dan lintas unit
organisasi. Keberhasilan/kegagalan imple-
menttasi ERM pada suatu aktivitas/unit
organisasi juga dipengaruhi oleh risiko pada
entitas/aktivitas yang lain. Oleh karena itu,
implementasi awal ERM pada suatu aktivitas /
unit organisasi tertentu perlu ditindaklanjuti
dengan implementasi ERM pada aktivitas /
unit organisasi yang terkait. Implementasi
tersebut harus terus dikembangkan agar
implementasi secara penuh pada seluruh
aktivitas dan entitas organisasi dapat
diwujudkan.



8

3. Simpulan dan Saran
Lahirnya SPIP tidak lepas dari tuntutan
reformasi agar pemerintah memperbaiki
pengendalian dalam rangka meningkatkan
kinerja, akuntabilitas, dan transparansi. Sudah
lebih dari empat belas tahun sejak tuntutan
reformasi 1997/1998 tetapi pengendalian
tersebut belum diimplementasikan secara
menyeluruh oleh kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah karena terdapat beberapa
kesulitan untuk membumikan konsep SPIP ke
dalam tataran praktis.
Untuk mengimplementasikan SPIP,
kementerian/lembaga/pemerintah daerah
dapat menggunakan kerangka entity risk
management. Sepuluh langkah praktis yang
telah diuraikan dalam tulisan ini dapat
diimplementasikan untuk mempermudah
praktik membumikan SPIP secara bertahap
dalam kehidupan organisasi.

DAFTAR PUSTAKA
BPKP. 2009. Modul Diklat SPIP (Modul 1-6).
Pusdiklatwas BPKP. Ciawi
INTOSAI. 2004. Guidelines for Internal Control
Standards for the Public Sector. INTOSAI
General Secretariat. Vienna.
INTOSAI. 2004. Guidelines for Internal Control
Standards for the Public Sector Further
Information on Entity Risk Management.
INTOSAI General Secretariat. Vienna.
Republik Indonesia. 1999. UU No. 28 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi, Dan Nepotisme. Setneg. Jakarta.
Republik Indonesia. 2003. UU No. 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara. Setneg.
Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. UU No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Setneg. Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. UU No. 15 Tahun
2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Setneg. Jakarta.
Republik Indonesia. 2008. PP No. 60 Tahun
2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern
Instansi Pemerintah. Setneg. Jakarta.
The Committee of Sponsoring Organizations
of the Treadway Commission (COSO).
2009. Guidance on Monitoring Internal
Control Systems. www.cpa2biz.com
diakses tanggal 27 Juli 2011.

*Penulis adalah Widyaiswara Muda,
Pengampu Mata Diklat SPIP Pusdiklatwas BPKP,
Doktor dalam Ekonomi Terapan Universitas Padjadjaran.
email: emqast@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai