Anda di halaman 1dari 23

Pengertian perusahaan

Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan barang dan


jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi. Kegiatan produksi yang dilakukan
secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya
dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian
teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan
menghasilkan barang-barang atau jasa.
Definisi yang lain menurut beberapa sumber:
1. Dalam pandangan pemerintah belanda, Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan
yang dijalankan secara tidak terputus-putus dengan terang-terangan dalam
kedudukan tertentu dan untuk mencari laba.
2. Prof. Molengraaff, Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan
secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendpatkan penghasilan, dengan
cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau
mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.
3. Menurut UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan Pasal 1b
adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap, terus menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
NKRI dengan tujuan memperoleh keuntungn atau laba.
4. Menurut UU Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-
menerus dengan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan
oleh orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.

Pengertian badan usaha
Pada umumnya orang cenderung memahami bahwa perusahaan dengan badan
usaha adalah sama. Namun jika kita menganalisis lebih mendalam, ternyata ada
perbedaan pengertian antara perusahaan dan badan usaha. Badan Usaha adalah
kesatuan yuridis dan ekonomi yang mengelola perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan. Perusahaan adalah bagian tekhnis dari kesatuan ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa. Jadi pengertian badan usaha adalah kesatuan
yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor produksi yang bertujuan mencari
keuntungan dengan memberi layanan kepada konsumen yang memerlukan.
Disebut kesatuan yuridis karena badan usaha umumnya berbadan hukum yang
melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan.
Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia merupakan bentuk-bentuk yang
mengadopsi bentuk usaha yang ada di Belanda. Adapun bentuk-bentuk badan
usaha tersebut akan diuraikan secara singkat seloagai berikut:
1. Perusahaan Perorangan/Perusahaan Dagang
2. Persekutuan Perdata/Maatschaap
3. Perseroan Firma
4. Persekutuan Komanditer (CV)
5. Perseroan Terbatas (PT)
6. Yayasan
7. Koperasi
8. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Perusahaan Perorangan/Perusahaan Dagang
Usaha Dagang atau yang dalam praktek sering disingkat dengan U D dalam
bahasa Inggris disebut dengan Sole Proprietorship, merupakan suatu cara
berbisnis secara pribadi dan sendiri (tanpa partner) tanpa mendirikan suatu badan
hukum, dan karenanya tidak ada harta khusus yang disisihkan sebagaimana badan
bhalnya dengan suatu badan hukum. Karena itu pula, jika ada tuntutan dari pihak
lain, maka tanggung jawabnya secara hukum adalah tanggung jawab pribadi dari
pemilik/pendiri dari usaha dagang tersebut. Perusahaan dagang merupakan bentuk
peralihan antara bentuk partnership dan dapat pula dimungkinkan sebagai one
man Corporation atau een manszaak. Dalam hubungan ini dapat pula
diberlakukan Pasal 6 dan Pasal 18 KUHDagang.
Persekutuan Perdata/Maatschaap
Adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk
membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Ketentuan mengenai persekutuan
perdata diatur dalam Buku III, Bab 8 Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1623
KUHPerdata.
Perseroan Firma
Yang dimaksud dengan firma (partnership) adalah suatu usaha bersama antara
dua orang atau lebih yang dimaksudkan untuk menjalankan suatu usaha di bawah
suatu nama bersama. Peruahan dalam bentuk firma ini diawal penyebutan
namanya sering disingkat dengan Fa. Misalnya, Fa. Hasan &Co.
Setiap partner dalam suatu firma dapat mengikat dan bertindak untuk mengatas
nama perusahaan, sungguhpun ke dalam mungkin ada pembagian tugas di antara
para partner. Misalnya, ada partner yang menjadi semacam managing partner.
Perseroan Firma diatur dalam KUHDagang Pasal 16 sampai dengan Pasal 35.
Perseroan Firma merupakan suatu maatschaap (persekutuan perdata) khusus
seperti yang ditetapkan oleh Pasal 1623 KUHPerdata dan juga dapat melakukan
perbuatan perusahaan. Ketentuan mengenai persekutuan perdata menurul Pasal
1618 sampai dengan Pasal 1652 KUHPerdata diberlakukan juga terhadap
perseroan firma sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan pasal dalam
KUHDagang.
Proses Pendirian Firma
Terbagi ke dalam beberapa tahap sebagai berikut:
a. Tahap Akta Otentik
Suatu firma harus didirikan dengan suatu akta otentik, dalam hal ini
dengan suatu akta notaris. Apabila suatu firma tidak didirikan dengan akta
otentik, maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap pihak ketiga.
Artinya, ketidakadaan akta otentik tersebut tidak boleh dipergunakan
sebagai alasan yang merugikan pihak ketiga.
b. Tahap Pendaftaran Akta Firma
Setelah akta firma dibuat dengan akta notaris, maka akta firma tersebut
haruslah didaftarkan dalam suatu register khusus yang tersedia di
kepaniteraan Pengadilan Negeri di wilayahnya firma tersebut mempunyai
tempat kedudukan.
c. Tahap Pengumuman dalam Berita Negara
Satu petikan akta firma harus pula diumumkan dalam Berita Negara agar
pihak ketiga mengetahuinya dan agar peruahaan firma tersebut berlaku dan
mengikat pihak ketiga.
Isi ikhtisar resmi akta pendirian firma dapat dilihat di Pasal 26 KUHD yang harus
memuat sebagai berikut:
1. Nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu firma
2. Pernyataan firmanya dengan menunjukan apakah persekutuan itu umum
ataukah terbatas pada suatu cabang khusus perusahaan tertentu dan dalam hal
terakhir dengan menunjukan cabang khusus itu
3. Penunjukan para sekutu yang tidak diperkenankan bertanda tangan atas nama
firma
4. Saat mulai berlakunya persekutuan dan saat berakhirnya
5. Dan selanjutnya, pada umumnya bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus
dipakai untuk menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para sekutu.
Pada umumnya Persekutuan Firma disebut juga sebagai perusahaan yang tidak
berbadan hukum karena firma telah memenuhi syarat/unsur materiil namun
syarat/unsur formalnya berupa pengesahan atau pengakuan dari Negara berupa
peraturan perundang-undangan belum ada. Hal inilah yang menyebabkan
Persekutuan Firma bukan merupakan persekutuan yang berbadan hukum.
Di dalam mendirikan Firma, kita harus merujuk kepada ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia, walaupun badan usaha Firma tidak
memiliki kompleksitas organ perusahaan yang tinggi.
Adapun pendirian Firma telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dengan cukup lengkap, terutama dalam Pasal 22 hingga Pasal 29 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang. Adapun pendirian Firma dalam Pasal 22 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yang menjelaskan bahwa, tiap-tiap persekutuan
Firma harus didirikan dengan akta otentik, akan tetapi ketiadaan akta demikian
tidak dapat ditemukan untuk merugikan pihak ketiga.
Ada tiga unsur penting dalam isi Pasal di atas, yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Firma harus didirikan dengan akta otentik;
2. Firma dapat didirikan tanpa akta otentik;
3. Akta yang tidak otentik tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Dapat disimpulkan, bahwa akta dalam pembentukan Firma hanyalah berfungsi
sebagai alat bukti untuk memudahkan pembuktian berdirinya suatu Firma dan
perincian hak dan kewajiban masing-masing anggota. Setelah Firma didirikan,
maka Firma harus didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat, dan
pendaftaran Firma dapat berupa petikan akta saja (Pasal 23-25 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan).
Dalam Pasal 28 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, akta Firma yang telah
didaftarkan, harus diumumkan dalam Berita Negara. Apabila akta Firma tersebut
tidak didaftarkan kepada Panitera, maka pendirian Firma tersebut hanya dianggap
sebagai persekutuan umum, didirikan tanpa batas, dianggap tidak ada sekutu yang
dikecualikan bertindak atas nama Firma (Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
Kelebihan:
- Modalnya lebih besar karena gabungan beberapa orang
- Kelangsungan hidup lebih terjamin karena dikelola oleh beberapa orang
- Bisa memanfaatkan keahlian masing-masing sekutu
Kelemahan:
- Tanggung jawab pemilik yang tidak terbatas terhadap hutang perusahaan
- Mudah terjadi perselisihan diantara sekutu perusahaan
- Apabila salah satu sekutu (firmant) melakukan kesalahan akibatnya ditanggung
oleh seluruh anggota firma.
Ciri dan Sifat Firma:
- Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi
dengan harta pribadi
- Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin
- Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota
yang lainnya.
- keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup
- seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma
- pendiriannya tidak memelukan akte pendirian
- mudah memperoleh kredit usaha

Sistem Tanggung Jawab Para Partner dalam Firma
Terhadap setiap tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama firma, maka yang
bertanggung jawab secara hukum adalah para persero itu secara renteng untuk
seluruh hutang (jointly and severally) dari firma tersebut, tanpa melihat siapakah
di antara persero tersebut yang secara riil melakukan tindakan tersebut. Ini adalah
wajar mengingat suatu firma bukanlah suatu badan hukum, sehingga tidak ada
kekayaan yang khusus disisihkan untuk berbisnis, tetapi harta yang dipergunakan
untuk berbisnis adalah harta pribadi para persero tersebut.
Pengaturan Firma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak hanya
mengatur mengenai pendirian Firma, tetapi telah mengatur hingga mengenai
pembubaran Firma. Pembubaran Firma telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang terutama di dalam Pasal 31 hingga Pasal 35, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Perubahan harus dinyatakan dengan data otentik;
2. Perubahan akta harus didaftarkan kepada Panitra Pengadilan Negri;
3. Perubahan akta harus diumumkan dalam berita negara;
4. Perubahan akta yang tidak diumumkan akan mengikat pihak ketiga;
5. Pemberesan oleh persero adalah pihak lain yang disepakati atau yang ditunjuk
oleh Pengadilan.
Perlu diketahui, bahwa sebab-sebab berakhimya Firma adalah sama seperti
maatschap dalam menangani utang-piutang Firma, yang diantaranya : dana Firma
yang digunakan Apabila kekayaan Firma tidak cukup, maka mitra harus memberi
kontribusi sesuai bagiannya. Bila kekayaan Firma tersisa setelah pembayaran
semua hutang-hutangnya, kekayaannya akan dibagikan diantara para mitra
menurut ketentuan perjanjian Firma (Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
Perlu diketahui juga, bahwa keberadaan hidup Firma tidak terjamin karena bila
ada anggota yang meninggal dunia, maka Firma bubar karena sifatnya pribadi
(personallife), maka tidak dialihkan.

Persekutuan Komanditer (CV)
Bentuk perusahaan yang disebut dengan Commanditaire Vennootschap sering
disingkat CV, merupakan suatu bentuk badan usaha yang diirikan oleh dua
orang atau lebih, dimana satu orang atau lebih dan pendirinya adalah persero aktif,
yakni yang aktif menjalankan perusahaan dan akan bertanggung jawab secara
penuh atas kekayaan pribadinya, sementara satu orang lain atau lebih merupakan
persero pasif (persero kamanditer), dimana dia bertanggung jawab sebatas uang
yang dia setor saja. Dari pengetian CV diatas, terlihat bahwa bentuk usaha
komanditer tersebut merupakan bentuk kombinasi antara perseroan terbatas
dengan perusahaan firma karena suatu CV memiliki karakteristik perseroan
terbatas (PT) dan firma sekaligus.
Persekutuan Komanditer pada dasarnya pengaturannya adalah sama dengan
perseroan firma yaitu Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 KUHDagang khususnya
Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 KUHDagang dan Pasal 1618 sampai dengan
Pasal 1652 KUHPerdata dan Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 KUHPerdata.
Perbedaan antara perseroan firma dengan CV hanya terletak pada terdapatnya
sekutu pelepas uang.
Ciri dan Sifat CV :
- sulit untuk menarik modal yang telah disetor
- modal besar karena didirikan banyak pihak
- mudah mendapatkan kridit pinjaman
- ada anggota aktif yang memiliki tanggung jawab tidak terbatas dan ada yang
pasif tinggal menunggu keuntungan
- relatif mudah untuk didirikan
- kelangsungan hidup perusahaan CV tidak menentu

Kelebihan:
- Cara pendiriannya mudah
- Modalnya relatif besar yang bersumber dari para sekutu
- Sistem pengelolaan lebih baik
- Mudah memperoleh kredit dari bank

Kelemahan:
- Sekutu aktif memikul tanggungjawab yang tidak terbatas
- kelangsungan usaha sewaktu-waktu dapat terganggu
- kesulitan untuk menarik modal yang telah disertakan
Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha
bisnis. Yang dimaksud dengan perseroan terbatas menurut hukum Indonesia
adalah suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian antara dua orang
atau lebih, untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham-saham.
Pengaturan Perseroan Terbatas (PT) dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1995.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan atas perjanjian,
melakukan kegiatan Usaha dengan modal dasar yang terbagi ke dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang (Pasal 1 ayat 1
UUPT).
Kelebihan:
- Mudah memperoleh/menambah modal dengan jalan menjual saham
- Keprofesionalan pengelola lebih bisa diandalkan
- Pemilik saham dapat sewaktu-waktu memindahtangankan atau menjualnya
kepada orang lain
- Tanggung jawab pemilik sebatas saham yang dimilikinya
- Mudah memperoleh kredit dari bank
Kelemahan:
- Proses pendirian memerlukan perijinan yang lama dan berbelit
- Spekulasi saham dibursa saham menyebabkan labilnya permodalan perusahaan
- Rahasia badan usaha kurang terjamin
Proses Pendirian Perseroan Terbatas
Terdiri dari empat tahap sebagai berikut:
a. Tahap Akta Notaris
Akta notaris tersebut diperlukan untuk merumuskan akta pendirian
perseroan yang di dalamnya terdapat anggaran dasar perseroan tersebut.
Pada saat proses pendirian di depan notaris ini, maka minimal 50% dari
modal ditempatkan sudah harus disetor. Pada saat tersebut nama perseroan
terbatas harus sudah ada dan harus di-reserve terlebih dahulu dari
departemen kehakiman.
b. Tahap Pengesahan
Akta pendirian perseroan terbatas yang dibuat oleh notaris tersebut, yang
di dalamnya terdapat anggaran dasar, haruslah diajukan kepada Menteri
Kehakiman untuk mendapatkan pengesahannya. Saat itu, maka telah
mendapat status badan hukum.
c. Tahap Pendaftaran dalam Daftar Perusahaan
Setelah pengesahan, perusahaan tersebut harus didaftarkan dalam daftar
perusahaan, yakni suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu.
d. Tahap Pengumuman dalam Bisnis Negara
Pengumuman dalam berita negara merupakan tahap terakhir dalam proses
pendirian suatu perseroan terbatas. Hal ini dilakukan untuk memenuhi
unsur keterbukaan kepada masyarakat.
Tanggung Jawab antar Para Pihak dalam Perusahaan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas memperkenalkan beberapa macam
sistem otoritas bagi para pihak dalam suatu perseroan. Perbedaan sistem otoritas
ini pula yang membedakan tanggung jawab diantara masing-masing pihak
tersebut. Sistem otoritas dalam uupt dibedakan sebagai berikut:
1

1. Sistem majelis
Seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal
mewakili suatu kelompok. Melainkan harus bertindak secara bersama-sama
(majelis). Sistem otoritas secara majelis ini ini tidak berlaku bagi direksi
perusahaan. Sistem ini hanya berlaku bagi organ komisaris seperti di tegaskan
dalam pasal 94 ayat (3) UUPT maka jika komisaris lebih dari satu orang , maka
mereka merupakan sebiuah majelis. Kemudian ditegaskan lagi dalam penjelasan
atau pasal 94 ayat (3) UUPT bahwa sebagai majelis, maka kosaris tidak dapat
bertindak sendiri-sendiri untuk mewakili perseroan. Dengan demikian sejauh
perbuatan tersebut dilakukan secara majelis, maka tanggung jawab hukumpun di
tanggung secara bersama-sama (renteng)
2. Sistem individual representatif
Sistem individual representatif memperkenalkan secara otoritas dengan mana
seseorang bertindak dengan sendiri untuk mewakili suatu kelompok. Sistem
otoritas seperti inilah yang pada prinsipnya diberlakukan oleh UUPT terhadap

1
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.74
organ direksi. Berlakunya sistem sistem individual representatif ini bagi seseorang
direktur muncul dalam dua segi sebagai berikut :
a. Dalam kewenangan untuk mewakili perseroan.
Dalam hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 83 ayat (1) UUPT bahwa jika
direktur lebih dari satu orang, maka berwenang untuk mewakili perseroan adalah
setiap anggota direksi,kecuali ditentukan lain oleh :
(1) UUPT sendiri, misalnya seperti yang dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) nya,
dan/ atau (2) Anggaran dasar.
b. Dalam hal ada kesalahan direktur
Jika seorang anggota direksi melakukan kesalahan (termasuk kelalaian) dalam
menjalankan tugasnya, maka dia akan bertanggung jawab penuh secara pribadi
(bukan tanggung jawab bersama) jadi pada prinsipnya anggota direksi yang lain
terbebas dari tanggung jawabnya. Liat pasal 85 ayat (2) UUPT.
3. Sistem kolegial
Berbeda dengan organ komisaris yang melaksanakan tui secara majelis, maka
organ direksi melaksanakan tugas-tugas perseroan secara kolegial. Lihat
penjelasan atas Pasal 83 ayat dan UUPT. lni berarti bahwa dalam hal lebih dan
seorang diri sungguhpun dibuka kemungkinan bagi seorang direktur untuk
mewakili perseroan tanpa perlu ikut direktur yang lainnya, tetapi sejauh masih
merupakan tindakan perseroan dan tidak melanggar prinsip tugas semi
Fiduciary tersebut dalam Pasal 85 UUPT, maka menurut Pasal 82 juncto Pasal
83 UUPT, direktur yang lainnya yang sebenarnya tidak ikut berbuat, juga ikut
bertanggung jawab secara bersama-sama (renteng). lnilah makna sistem
perwakilan kolegial dari direktur.
4. Prinsip Presumsi Kolegial
Prinsip ini berlaku tidak ubahnya dengan prinsip umum dan tanggung jawab
kolegial, yakni tanggung jawab renteng, misalnya di antara para direktur, jika
salah seorang direktur menyebabkan kerugian bagi orang lain sejauh hal tersebut
dilakukannya tidak dalam hal melanggar anggaran dasar, atau melanggar tugas
semi fiduciary dari direktur. Hanya saja, terhadap prinsip presumsi kolegial ini
dibuka kemungkinan pengecualiannya dengan sistem pembuktian terbalik
(ompkering van bewijst last). Artinya kepada anggota direktur diberikan
kemungkinan untuk mengelak dari tanggung jawab renteng jika dia dapat
membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
5. Prinsip Tanggung jawab Individual Non Representatif.
Pada prinsipnya seseorang harus bertanggung jawab individu atas segala tindakan
yang dilakukannya secara individu pula. lnilah yang disebut prinsip tanggung
jawab individual non representatif. Demikian juga kewenangan (diikuti dengan
tanggung jawab) yang diberikan kepada setiap pemegang saham, tanpa melihat
berapa persen saham yang diwakilinya, dapat menggugat perseroan ke Pengadilan
karena ketidakadilan atau ketidakwajaran yang dilakukan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham, direksi atau komisaris vide Pasal 54 ayat (2) UUPT.
6. Prinsip Tanggung Jawab Representatif Pengganti.
Seorang pekerja dalam hal melakukan tugasnya menerbitkan kerugian bagi orang
lain, maka dalam hal ini tidak berlaku prinsip tanggung jawab non representatif.
Karena, sungguhpun teori vicarious liability (tanggung jawab pengganti) tidak
dengan tegas dianut oleh sistem hukum kita, tetapi sudah mulai ada yurisprudensi
maupun hukum kerja yang mengarah ke sana. Karena itu pula, jika seorang
pekerja dalam melakukan tugasnya ternyata kemudian menimbulkan kerugian
kepada pihak lain, maka ada kemungkinan atasannya, termasuk direktur yang
membawahinya, atau bahkan perusahaannya yang harus menanggung beban
tanggung jawab. Dalam hal ini sudah berlaku prinsip tanggung jawab representatif
pengganti. Representatif karena pekerja tersebut bertindak untuk perusahaan
(dalam menjalankan tugasnya), dan pengganti karena atasannya atau
perusahaannya harus mengambil alih tanggung jawabnya.
7. Sistem Tanggung Jawab Kolektif Representatif
Suatu kelompok orang tertentu yang ikut terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas
perseroan dapat mewakili atau menjalankan tugas perseroan secara bersama-sama,
dengan tanggung jawab juga bersama. Sistem seperti ini dapat disebut dengan
sistem tanggung jawab secara kolektif representatif
8. Sistem Tanggung Jawab Kolektif Non Representatif.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bahwa sekelompok orang tertentu yang
merupakan pihak yang terlibat dalam perusahaan diberikan kewenangan secara
kelompok tetapi tidak untuk mewakili atau bertindak untuk dan atas nama
perseroan, dan selanjutnya kelompok tersebut juga ikut memikul tanggung jawab
secara kelompok pula. UUPT memperkenalkan sistem tanggung jawab kolektif
yang non representatif ini yang diberikan kepada pihak yang terlibat dalam
perseroan, yaitu kepada kelompok pemegang saham dan kelompok pekerja.
Implikasi Status Badan Hukum PT terhadap Tanggung Jawab Organ
Perseroan Terbatas
Dengan dimulainya status badan hukum PT, maka ada beberapa implikasi yang
timbul terhadap beberapa pihak yang terkait di dalam PT. Implikasi tersebut
berlaku terhadap pihak pihak berikut ini:
A. Pemegang Saham PT
Setelah PT berstatus sebagai badan hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat
(1) UUPT maka pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama perseroan serta tidak bertanggung jawab atas
kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dengan
demikian, pertanggungjawaban pemegang saham dalam PT itu terbatas,
pemegang saham dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian hutang PT
lebih dari bagian harta kekayaan yang ditanamkannya dalam PT. Sebaliknya,
tanggung jawab dari perusahaan (PT) itu sendiri tidak terbatas, apabila terjadi
hutang atau kerugian-kerugian dalam PT, maka hutang atau kerugian itu akan
semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam PT. Hal
tersebut dikarenakan adanya doktrin corporate separate legal personality yang
esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas
atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT
adalah bahwa perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek
hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan
tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity
dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut. Berkaitan dengan
keterbatasan tanggung jawab pemegang saham PT seperti tersebut di atas, dalam
hal-hal tertentu dapat ditembus atau diterobos, sehingga tanggung jawab
pemegang saham menjadi tidak lagi terbatas. Penerobosan atau penyingkapan
tabir keterbatasan tanggung jawab pemegang saham PT (corporate veil) itu
dikenal dengan istilah piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.
Doktrin piercing the corporate veil yang notabene merupakan doktrin hukum
perseroan di Common Law System itu telah diintegrasikan ke dalam UUPT yang
ide dasarnya dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam ketentuan tersebut
dikeahui bahwa untuk terjadinya piercing the corporate veil dipersyaratkan
beberapa hal, sebagai berikut:
1. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
2. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk
kepentingan pribadi;
3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.
Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT itu dapat diketahui bahwa tanggung
jawab pemegang saham yang sifatnya terbatas di dalam PT yang sudah berstatus
badan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi apabila pemegang saham melakukan
hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan d seperti
tersebut di atas.

B. Pendiri PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap keterbatasan tanggung
jawab dari para pendiri PT. Berdasarkan Pasal 11 UUPT, setelah PT berstatus
sebagai badan hukum maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri PT pada masa sebelum PT
disahkan sebagai badan hukum, yaitu: pertama, perbuatan hukum tersebut
mengikat PT setelah PT menjadi badan hukum, dengan persyaratan:
1. PT secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh
pendiri;
2. PT secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban
yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri walaupun perjanjian tidak
dilakukan atas nama PT; atau
3. PT mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan
atas nama PT.
Kemungkinan yang kedua, perbuatan hukum tersebut tidak diterima, tidak
diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh PT, sehingga masing-masing pendiri yang
melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas
segala akibat yang timbul. Kalau kemungkinan kedua ini yang terjadi maka
pertanggungjawaban dari pendiri terhadap PT menjadi tanggung jawab pribadi.
C. Direksi PT
Direksi PT menurut ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT adalah organ perseroan
yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT,
keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun
tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT. Hal tersebut dapat
diketahui dari Pasal 85 ayat (2) UUPT yang mengatur bahwa setiap anggota
direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara acontrario dapat diartikan
bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan
tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi.
Selama direksi menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung
jawab, maka anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang
merupakan ciri utama dari PT. Sebaliknya, oleh karena menjadi anggota direksi
adalah berarti menduduki suatu jabatan, maka orang yang menduduki jabatan itu
harus memikul tanggung jawab apabila kemudian tugas dan kewajibannya
tersebut dilalaikan atau jika wewenangnya disalahgunakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, UUPT sudah mengatur bentuk
pertanggungjawaban direksi atas kelalaian ataupun kesalahannya di dalam
menjalankan pengurusan PT, yaitu:
1. Pasal 23 UUPT, yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 belum
dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.
2. Pasal 85 ayat (2) UUPT, yang mengatur bahwa setiap anggota direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menurut Pasal 85 ayat (3) UUPT,
direksi atas kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan kerugian pada
perseroan bahkan dapat digugat di Pengadilan Negeri oleh pemegang
saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari
seluruh saham dengan hak suara sah.
3. Pasal 90 ayat (2) UUPT, yang menentukan bahwa dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka
setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
kerugian itu, kecuali apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka direksi tidak bertanggung
jawab secara tanggung renteng.
D. Komisaris PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap tanggung jawab komisaris PT.
Sebagaimana dalam Pasal 97 UUPT, komisaris bertugas mengawasi
kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat
kepadadireksi. Sesusi dengan Pasal 100 ayat (1) UUPT, di dalam Anggaran Dasar
juga dapat ditentukan tentang pemberian wewenang kepada komisaris untuk
memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu. Selain itu, menurut Pasal 100 ayat (2), berdasarkan Anggaran
Dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan
perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Dalam kondisi
demikian, maka berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan
kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga. Oleh karena itu, ketentuan
mengenai tanggung jawab terbatas direksi PT juga berlaku terhadap komisaris
tersebut. Secara implisit, tanggung jawab komisaris juga terbatas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT, bahwa atas nama perseroan, pemegang
saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh
saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri
terhadap komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada perseroan.
Pembubaran Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas dapat dibubarkan atau disebut juga dengan istilah dilikuidasi
karena alasan sebagai berikut:
a. Bubar karena keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
b. Bubar karena jangka waktu berdirinya sudah berakhir
c. Bubar karena penetapan pengadilan
Apabila suatu perseroan bubar, maka harus diangkat seorang atau lebih
likuidator yang akan membereskan pembubaran tersebut.
Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukan untuk mencapai keuntungan tertentu di bidang sosial, keagamaan
dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Pengaturannya terdapat dalam
UU No. 28 Tahun 2004.
Karena yayasan merupakan badan hukum, maka terhadap tindakan yang
dilakukan untuk dan atas nama yayasan, hanya yayasan dan sebatas harta benda
yayasanlah yang dapat dimintakan tanggung jawabnya.
Proses Pendirian Yayasan
Dapat dilakukan melalui tiga tahap sebagai berikut:
a. Tahap Surat Wasiat
b. Tahap Akta Notaris
c. Tahap Pengesahan
Koperasi
Koperasi diartikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan. Menurut UU No. 25 Tahun 1992 pasal 1
Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa konsep pokok, yaitu:
- Koperasi merupakan badan usaha
- Anggotanya terdiri dari orang seorang (koperasi primer) dan badan
hukum-badan hokum koperasi (koperasisekunder)
- Kegiatannya berlandaskan prinsip-prinsip koperasi
- Berdasar atas asas kekeluargaan
Tujuan Koperasi
Dalam peraturan koperasi disebutkan tujuan koperasi yaitu sebagai berikut:
a) memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya
b) menyejahterakan dan mencapai kemakmuran masyarakat pada umumnya
c) ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Prinsip Koperasi
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi sangat diharapkan peranannya dalam
menunjang laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, koperasi harus bekerja dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip koperasi.
a) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
b) Pengelolaan dilakukan secara demokratis
c) Pembagian sisa hasil usaha (SHU) sesuai dengan jasa usaha anggota
d) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
e) Kemandirian
Jenis Koperasi
Koperasi Indonesia dibedakan menurut lapangan usahanya dan menurut
keanggotaannya. Menurut lapangan usahanya koperasi dibedakan menjadi empat,
yaitu sebagai berikut:
a) Koperasi konsumsi, yaitu koperasi yang kegiatan usahanya menyediakan
berbagai kebutuhan konsumsi anggotanya. Contoh: Koperasi sekolah.
b) Koperasi simpan pinjam, yaitu koperasi yang kegiatan usahanya melayani
simpanan dan memberikan pinjaman kepada anggotanya.
c) Koperasi produksi, yaitu koperasi yang kegiatan usahanya memasarkan hasil
produksi para anggotanya. Contoh: Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti), dan
Koperasi Batik.
d) Koperasi serba usaha, yaitu koperasi yang kegiatan usahanya terdiri dari
bermacam-macam jenis usaha seperti melayni konsumsi, simpan pinjam,
distribusi, dan lain-lain. Contohnya: Koperasi Unit Desa (KUD)
Menurut keanggotaannya, koperasi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu sebagai
berikut:
a) Koperasi primer, yaitu koperasi yang anggotanya orang seorang atau individu.
b) Koperasi pusat, yaitu koperasi yang beranggotakan sekurang-kurangnya 5
badan hukum koperasi primer.
c) Koperasi Gabungan, yaitu koperasi yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3
badan hukum koperasi pusat.
d) Koperasi Induk, yaitu koperasi yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3
badan hukum koperasi gabungan.
Perangkat Koperasi
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, koperasi membutuhkan perangkat
organisasi yang terdiri dari rapat anggota, pengurus, dan pengawas.
Koperasi diatur dalam suatu perundang-undangan tersendiri dengan Stb. 1927 No.
91, kemudian Stb. 1949 No. 179 pada jaman Nederland Indie. Sesudah Indonesia
merdeka digunakan UU Koperasi Tahun 1958 No. 79 yang kemudian diganti
dengan UU Koperasi No. 14 Tahun 1965 dan selanjutnya pada tahun 1967 diganti
dengan UU Koperasi No. 12 Tahun 1967, dan terakhir dengan UU No 25 Tahun
1992 tentang Koperasi.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BUMN merupakan bentuk usaha di bidang-bidang tertentu yang umumnya
mengyangkut dengan kepentingan umum, di mana peran pemerintah di dalamnya
relatif besar, minimal dengan menguasai mayoritas pemegang saham. Eksistensi
dari BUMN ini adalah sebagai konsekuensi dan amanah dari konstitusi di mana
hal-hal yang penting atau cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Pendirian badan usaha milik Negara bertujuan untuk:
1) Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas
negara
2) Mengejar dan mencari keuntungan
3) Pemenuhan hajat hidup orang banyak
4) Perintis kegiatan-kegiatan usaha
5) Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah
Dalam perkembangannya suatu BUMN mengambil bentuk-bentuk sebagai
berikut:
1. Perusahaan Jawatan (Perjan)
Yang diutamakan untuk kegiatan di bidang penyediaan jasa bagi masyarakat dan
tidak mengutamakan keuntungan. Akan tetapi, dalam perkembangannya satu demi
satu Perusahaan Jawatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Perum atau bahkan
Persero. Perusahaan Negara ini didirikan dan diatur menurut ketentuan yang
termaktub dalam indonesische Bedrijvenvvet Rtb. 1927 Nomor 419 sebagaimana
yang telah beberapa kali diubah dan ditambah. Perjan sepenuhnya diatur dan
tunduk kepada hukum publik dan administrasi negara serta merupakan bagian dari
suatu departemen. Pada saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2000.
2. Perusahaan Umum (Perum)
Yang diutamakan untuk berusaha di bidang pelayanan bagi kemanfaatan umum,
di samping juga untuk mendapatkan keuntungan. Perusahaan Negara ini didirikan
dan diatur berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam UU No. 19 Prp. 1960
tentang Perusahaan Negara. Penetapan bentuk Perum ini adalah didasarkan pula
oleh UU No. 1 Prp. 1969 tentang bentuk-Ioentuk badan usaha negara di mana
terdiri atas Perusahaan atas Sero (Pesero) dan Perusahaan Umum (Perum). Pada
saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1998.
3. Perseroan
Yang lebih diutamakan untuk mendapatkan keuntungan dengan berusaha di
bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan koperasi.
Perusahaan Negara ini yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud
dalam UUPT yang seluruh sahamnya atau paling sedikit 51% sahamnya dinniliki
oleh negara melalui penyertaan modal langsung. Diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 1998.

Anda mungkin juga menyukai