Anda di halaman 1dari 48

Lembar Pengesahan

Bandung
Pelaksana Program Program Jurusan IPA/IPS
Ketua, Pembimbing


Nandang Kunandang, Spd Eka Novianti.S.Pd










KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Laporan ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Laporan Kegiatan Studi
Lapangan SMA PLUS AL-GHIFARI

Laporan ini berisikan tentang kegiatan Studi Lapangan atau yang lebih khususnya
membahas kegiatan kegiatan yg diselenggarakan saat Studi Lapangan
Diharapkan Laporan ini dapat memberikan informasi kepada para guru tentang
kegiata kegiatan yg berlangsung saat Studi Lapangan

Kami menyadari bahwa Laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Bandung,12 Februari 2013



Penyusun




Bab I
Pendahuluan


1.1 Latar Belakang

Latar belakang dari laporan ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek sosial
dan observasi menyeluruh sesuai dengan penjurusan penjurusan siswa- siswa
yg terkait

1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya laporan adalah untuk mempresentasikan hasil observasi
kelompok dan studi lapangan ke Jogja yg diadakan pada tanggal 1 Februari
2013










1.3 Rumusan dan Pemecahan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah
Jurusan IPA:
-Matematika:Pengukuran Tinggi dan Luas Candi Borobudur
-Fisika:Menghitung gerak benda jatuh bebas
-Biologi:Mengetahui Biota Biota Laut yg berada di Parangtritis
-Kimia:Mengenal Proses penyipuhan logam
-Bahasa:Mengenal Sastra Bahasa Setempat
-Agama: Mengetahui Hubungan Agama dan Budaya setempat

Jurusan IPS:
-Sosiologi:Mengetahui keadaan Sosial masyrakat setempat
-:Geografi:Mengetahui secara pasti Letak geografis Yogyakarta
-Ekonomi:Mengetahui keadaan ekonomi setempat
-Bahasa:Mengenal Sastra Bahasa Setempat
-Agama: Mengetahui Hubungan Agama dan Budaya setempat
-Matematika:Pengukuran Tinggi dan Luas Candi Borobudur













1.3.2 Pemecahan Masalah
Jurusan IPA:
1.Mat:Ukuran Candi Borobudur:
luas dasar 123123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter
(termasuk chattra)
2.Fisika:
t:135 n
s:1/2.10.1,5
2

s:11,25
3.Biologi: Biota Laut
-Karang
-Ikan- ikan Kecil
-Ubur ubur
-Plankton
4.Kimia:Proses Penyepuhan Logam
Proses Penyepuhan adalah proses elektrolisis, yaitu proses perubahan Energi
listrik menjadi Energi kimia. Proses ini melibatkan Elektroda (logam-logam yang
dihubungkan dengan sumber listrik) dan Elektrolit (cairan tempat logam-logam
tadi dicelupkan)

5.Bahasa: Bahasa Daerah setempat
Yogyakarta memiliki beberapa dialek bahasa daerah antara lain:
dialek Pekalongan
1. dialek Kedu
2. dialek Bagelen
3. dialek Semarang
4. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
5. dialek Blora
6. dialek Surakarta
7. dialek Yogyakarta
8. dialek Madiun
6.Agama: Hubungan Agama dengan masyarakat sekitar
Agama Islam sangat kental di daerah Yogyakarta karena di DIY dulu ada
Kerajaann yg berbasis agama Islam
Jurusan IPS:
1.Sosial:
Keadaan sosial di Yogyakarta sangat stabil, dikarenakan adanya factor
wisata di provinsi tersebut

2.Geografi:
Ibu kota Yogyakarta
Koordinat
8 30' - 7 20' LS
109 40' - 111 0' BT
Luas 3.185,80 km
2


3.Ekonomi:
Yogyakarta memiliki sektor ekonomi untuk menunjang keadaan ekonomi
mereka antara lain
Penanaman modal dan industri
Perdagangan dan UKM
Pertanian dan kehutanan
ESDM
Pariwisata

4 .Mat:Ukuran Candi Borobudur:
luas dasar 123123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter
(termasuk chattra)




5 .Bahasa: Bahasa Daerah setempat
Yogyakarta memiliki beberapa dialek bahasa daerah antara lain:

1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun
6 .Agama: Hubungan Agama dengan masyarakat sekitar
Agama Islam sangat kental di daerah Yogyakarta karena di DIY dulu ada
Kerajaann yg berbasis agama Islam




















Bab III
Pembahasan

1. Borobudur

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100
km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan
40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini
didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini
terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat
tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel
relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.
[1]
Stupa utama terbesar teletak
di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha
tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci
untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[2]
Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kmadhtu (ranah hawa
nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).
Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga
dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring
melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya
pengaruh Islam.
[3]
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak
ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah
mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.
[4]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di
Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata,
Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak
dikunjungi wisatawan.
[5][6][7]

Nama Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah
candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,
gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama
Borobudur tidak jelas,
[8]
meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di
Indonesia tidak diketahui.
[8]
Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku
"Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.
[9]
Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.
[8]
Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin
merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada 1365.
[10]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis
Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu
yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai
berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah
'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti
"purba" maka bermakna, "Boro purba".
[8]
Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
[11]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya
menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara,
yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.
Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur
berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula
penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks
candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama
yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri
Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru
dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan
Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas
pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamln yang
disebut Bhmisambhra.
[12]
Istilah Kamln sendiri berasal dari kata mula yang
berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa
Bhmi Sambhra Bhudhra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit
himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli
Borobudur.
[13]

Lingkungan sekitar
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur
terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar;
Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah
timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan
terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua
sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda
Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap
suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
[14]

Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini.
Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi
Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang
dalam satu garis lurus.
[15]
Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi
berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang
dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini.
Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada
kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-
Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang
berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan
ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah
proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.
[10]

Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa
peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti
periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat
beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini
disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara
candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di
sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut
Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu
dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan
tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur
dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut
dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.
[16]

Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan
arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun
di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran
Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.
[11]
Bunga teratai baik
dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai
putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha;
seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia),
menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur
Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur
melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan
Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia
Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga
melambangkan kelopak bunga teratai.
[16]
Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang
terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog;
pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang
membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi
ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan
menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.
[17]
Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan
tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar
Borobudur,
[16]
yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan
danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air
dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan
topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung
berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat
dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
[18]

Sejarah
Pembangunan
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun
Borobudur dan apa kegunaannya.
[19]
Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.
[19]
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa
puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,
[20]
yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan
waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa
pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
[21][22]

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala
itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut
agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti
Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu
Siwa.
[21]
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di
Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah
timur dari Borobudur.
[23]
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu
yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima
tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu
dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi.
[24]
Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
[24]
Petunjuk ini dipahami oleh
para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi
masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian
pula sebaliknya.
[25]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa
kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa
Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi
pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
[26]
Ketidakjelasan juga
timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang
dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa
Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,
[26]

akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
[27]

Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa
yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga
arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini
dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang.
Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti
(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami,
bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya
Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah
dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang
membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi
lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang
sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata
susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur
asli piramida berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan
stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-
stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak
ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu
pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli
sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa
Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu
berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut
diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada
bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur
terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar
stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras
melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa
induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan
struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat
dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak
ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga
pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,
penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas
gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah
lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak
belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan
sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum
diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah
yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber
menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode
ini.
[3][16]
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365,
oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu
Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai
benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam
pada abad ke-15.
[3]

Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur
beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat
tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad
Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan
monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini
merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada
Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.
[3]
Disebutkan bahwa bukit
"Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati
oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini
dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
[28]
Meskipun terdapat
tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran
datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha
yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang
Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan
Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap
sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga
dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja
yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga,
mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini
pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa
terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa
kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang
dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814,
ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat
desa Bumisegoro.
[28]
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal,
ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan
besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang
pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan
membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor,
ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan
penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa
candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat,
Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik
perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
[9]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu
meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan
telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi
daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara
khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa
utama.
[29]
Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat
Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan
sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih
terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah
berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur
diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun
kemudian.
[29]
Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi
Belanda, Isidore van Kinsbergen.
[30]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama
Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri,
penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah
bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu
berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar
kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala
inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan
reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian
dan pencurian yang marak di monumen.
[30]
Akibatnya, pemerintah menunjuk
Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas
situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan
bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan
utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya
diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan
salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand,
Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia)
menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak
penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand
antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga
dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan
di Museum Nasional di Bangkok.
[31]

Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua
Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.
[32]
Foto-foto
yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 18901891.
[33]

Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah
menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi
yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara
Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen
Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian
Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera
diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang
membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan
memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari
halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus
dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang
rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada
saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip
anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.
[34]
Tujuh bulan pertama dihabiskan
untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang
hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras
melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan
banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan
rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama,
Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi
chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena
dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar
sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan
tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan
dan kerusakan.
[34]
Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya
kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian
bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga
renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk
memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia
telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran
besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk
memulihkan Borobudur dibuat.
[35]
Pemerintah Indonesia dan UNESCO
mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.
[34]
Pondasi diperkokoh dan segenap
1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar
seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air
ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.
[36]
Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia
pada tahun 1991.
[4]
Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili
mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara
langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup,
dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya
sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".
[4]

Peristiwa kontemporer
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,
[35]

Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali
setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di
Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran,
wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai
tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari
libur nasional di Indonesia
[37]
dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi
Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon
dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
[38]

Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.
[39]
Pada
1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali
Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak
serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan
atas Candi Borobudur.
[40]
Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi
hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima
hukuman 13 tahun penjara.
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di
Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya
adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.
[6]
Angka ini
meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah
wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia
1997.
[7]
Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan
masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.
[6]
Pada 2003,
penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan
dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang
berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.
[41]

Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah
mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan
yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-
lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi,
pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar
cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi
Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan
Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban
terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.
[42]

Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban)
digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian
Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara
mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam,
dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya
Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan
gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang
sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya
Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan
Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian
Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di
bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang
hilang.
[43]
Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat
menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling
parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri
bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.
[43]
Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga
Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi,
hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi
jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap
kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam
pengawasan.
[43]












Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan
November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang
berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan
debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)
[44]
menutupi bangunan
candi kala letusan 35 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar,
dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam
dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai
9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.
[45][46]

Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO
telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan
waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di
lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
[47]
Lebih dari 55.000 blok
batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang
tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.
[48]

Arsitektur
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas
membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas
bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam
semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu
konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.
[49]

Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya.
Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur.
[32]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara
yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar
relief.
[50]
Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.
[50]

Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan
perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India
mengenai arsitektur dan tata kota.
[32]
Apapun alasan penambahan kaki ini,
penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan
mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh
tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada
bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di
sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini
memiliki volume 13.000 meter kubik.
[2]

Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi
galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia
yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan
bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan
alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk
atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca
Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.
[2]

Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling
rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan
hiasan dan ukiran relief.


Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai
berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia
sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua
teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu
teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos
tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung
Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang
disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih
lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan
patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak
patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna
dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini.
[51]
Batu ini dipotong dalam ukuran
tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur
Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling
kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-
batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain,
serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100
pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik
berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak
dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak
memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-
lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding
mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur
mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada
kuil atau candi.
[51]
Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk
memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan
dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai
rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan
tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur
asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma,
sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.
[52]
Namanya lebih berdasarkan
dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda
Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang
bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah
manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal
antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan
dikembangkan sepenuhnya.
[53]
Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit
berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian
pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang
tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur.
[53][54]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun
Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan
satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi.
Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.
[52]

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan
puncak.
[52]
Dasar berukuran 123123 m (403.5 403.5 ft) dengan tinggi 4 m
(13 kaki).
[51]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin
mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras.
Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap
tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang
barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama
yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga)
yang kini dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah
keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak
monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa.
Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan
ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui
dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus
titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di
sekitarnya.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
[55]

Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai
yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.
[56]
Relief
Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh
yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga"
yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan
kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang
lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan,
misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga
sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
[57]

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak
ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan,
busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi,
dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang
menggambarkan Kapal Borobudur.
[58]
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini
menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak
di sebelah utara Borobudur.
[59]

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam
bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah
timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jtaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah
timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi,
artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan
candi adalah sebagai berikut.




Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai
berikut :
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding
batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga
adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat
perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri
(serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai
hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap
perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya,
tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)
yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan
diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka
dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat
disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi
bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha
dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat
kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah
melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur.
Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia,
sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang
Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang
Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura,
yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan
baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang
Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka
menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap
dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan
baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi
pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun
dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab
Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka
dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang
sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura
yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana
yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan
Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460
pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha,
dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di
Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta
menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan
tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
[2]

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan
barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya.
Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung,
baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung.
Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.
[1]
Pada bagian
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-
stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32
stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa.
[1]
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah
rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini,
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum
luar negeri).
[60]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat
perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat
lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya
berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar
langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-
masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang
khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa
berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-
masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan
makna simbolisnya tersendiri.
[61]


2.Monjali (Monumen Jogja Kembali)
Museum Monumen Yogya Kembali, adalah sebuah museum sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia yang ada di kota Yogyakarta dan dikelola oleh
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Museum yang berada di bagian utara kota ini
banyak dikunjungi oleh para pelajar dalam acara darmawisata.Museum Monumen dengan
bentuk kerucut ini terdiri dari 3 lantai dan dilengkapi dengan ruang perpustakaan serta
ruang serbaguna. Pada rana pintu masuk dituliskan sejumlah 422 nama pahlawan yang
gugur di daerah Wehrkreise III (RIS) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29
Juni 1949. Dalam 4 ruang museum di lantai 1 terdapat benda-benda koleksi: realia,
replika, foto, dokumen, heraldika, berbagai jenis senjata, bentuk evokatif dapur umum
dalam suasana perang kemerdekaan 1945-1949. Tandu dan dokar (kereta kuda) yang
pernah dipergunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman juga disimpan di sini (di
ruang museum nomor 2).






Sejarah
Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985 dengan upacara
tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan untuk mendirikan
monumen ini dilontarkan oleh kolonel Soegiarto, selaku walikotamadya Yogyakarta pada
tahun 1983. Nama Yogya Kembali dipilih dengan maksud sebagai tetenger (peringatan)
dari peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta
pada waktu itu, tanggal 29 Juni 1949. Hal ini merupakan tanda awal bebasnya bangsa
Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Belanda.
3.Keraton Ngayogyakrta (Keraton Jogjakarta)
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan
istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan
tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950,
kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan
rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini.
Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta.
Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai
koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa,
replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki
balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
[1]

Daftar isi
1 Tata ruang dan arsitektur umum
o 1.1 Tata ruang
o 1.2 Arsitektur umum
2 Kompleks depan
o 2.1 Gladhag-Pangurakan
o 2.2 Alun-alun Lor
o 2.3 Mesjid Gedhe Kasultanan
3 Kompleks inti
o 3.1 Kompleks Pagelaran
o 3.2 Siti Hinggil Ler
o 3.3 Kamandhungan Lor
o 3.4 Sri Manganti
o 3.5 Kedhaton
o 3.6 Kamagangan
o 3.7 Kamandhungan Kidul
o 3.8 Siti Hinggil Kidul
4 Kompleks belakang
o 4.1 Alun-alun Kidul
o 4.2 Plengkung Nirbaya
5 Bagian lain Keraton
o 5.1 Pracimosono
o 5.2 Roto Wijayan
o 5.3 Kawasan tertutup
o 5.4 Taman Sari
o 5.5 Kadipaten
o 5.6 Benteng Baluwerti
6 Bagian lain yang terkait
o 6.1 Tugu Golong Gilig
o 6.2 Panggung Krapyak
o 6.3 Kepatihan
o 6.4 Pathok Negoro
o 6.5 Bering Harjo
7 Warisan budaya
o 7.1 Tumplak Wajik
o 7.2 Garebeg
o 7.3 Sekaten
o 7.4 Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
8 Pusaka kerajaan
o 8.1 Regalia
o 8.2 Lambang kebesaran
o 8.3 Gamelan
o 8.4 Kereta kuda pilihan
o 8.5 Tanda jabatan
9 Pemangku adat Yogyakarta
10 Filosofi dan mitologi seputar Keraton
11 Lihat pula
12 Catatan kaki
13 Referensi
14 Pranala luar

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa
bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggarahan
[2]
yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan
Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi
keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan
Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I
berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
[3]
.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan
Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)
[4][5]
. Selain itu Keraton
Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara
maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga
merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi
menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs
Warisan Dunia UNESCO.
Tata ruang dan arsitektur umum
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh
ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II
Surakarta"
[6]
. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut
desain dasar landscape kota tua Yogyakarta
[7]
diselesaikan antara tahun 1755-
1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta
berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan
hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono
VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Tata ruang


Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di
utara sampai di Plengkung
[8]
Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton
Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks
Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan);
Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler;
Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan;
Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut
Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung
Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing
[9][10]
.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan
simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah
utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah
Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun
demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki
bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono,
Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan
Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem
Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem
pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar
dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain
Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri),
dan Pasar Beringharjo.
Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan
pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami
pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang
cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol
[11]
yang biasanya bergaya Semar
Tinandu
[12]
. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di
muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng
atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa
tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti
Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya
berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka
tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding
dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi
beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya
bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting
tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut
ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah
bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna
hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan
emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu
memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal
Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah,
Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna
emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah
kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif.
Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki
lantai utama yang lebih tinggi
[13]
. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu
persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk
kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan
yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail
ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya.
Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak
memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat
dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
[14]

Kompleks depan
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah
utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan
[15]
yang terletak persis
beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti
pertahanan yang berlapis
[16]
. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan
tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka
yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan
[17]
.
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura
Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet
[18]
. Gapura Gladhag dahulu
terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank
BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada
[19]
. Di sebelah selatannya adalah
Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang
pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi
terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari
Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang
juga masih berdiri
[20]
. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-
alun Ler.
Alun-alun Lor


Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin
Kurung-nya
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput
[21]
di bagian utara Keraton
Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh
dinding pagar yang cukup tinggi
[22]
. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi
kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya
bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal
yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili
Moraceae) dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi
pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang
dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru
[23]
.
Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem
[24]
yang boleh
melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini
pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe"
[25]
saat
Pisowanan Ageng
[26]
sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah
[27]
.
Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala
keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti
Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo
kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati
dari daerah Mancanegara Kesultanan
[28]
. Bangunan ini sekarang sudah banyak
yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat
bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan
acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah
upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan
ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai
acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye,
rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga
digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
Mesjid Gedhe Kasultanan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masjid Gedhe Kauman
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar
Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang
juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang
tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk
berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke
dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat
terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam
memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.
Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk
dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat
kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak
masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di
sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya)
terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan
di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang
berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat
upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati
Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK
Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk
kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto
[29]
pada upacara
Sekaten pada tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi
Kangjeng Kyai Pengulu
[30]
di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah
barat masjid.
Kompleks inti
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama
Tratag Rambat
[31]
. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa
kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan
untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat
keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan
barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan
latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan
barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah
dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga
digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba
[32]
. Sekarang digunakan untuk
kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat,
prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam sayap
timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk
melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief
perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah
digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak
Sumur.
[33]
.
Siti Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti
Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi
kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ.
Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan
dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan
Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus
fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal
Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro
[34]

sampai sekitar tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan
yang putus. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara.
Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para
pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di
timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu
bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk
menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau
di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil
[35]
. Bangunan
ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi
kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada
17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama
bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi.
Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau
pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan
[36]
.
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu
digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK
[37]
Guntur Madu dan
KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti
Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-
angun.
Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat.
Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang
besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan.
Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang
ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam
keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat
kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan
Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya
ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal
Ponconiti yang berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di
kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk
mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang
yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili
semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini
digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal
Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan
mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut
terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
[38]

Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler
dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan
Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada
zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan.
Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat
musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even
pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat
kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan
kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini digunakan
untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias.
Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang
mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan
waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di
tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang
mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya
berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana.
Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan
Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.
[39]

Kedhaton

Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang
menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang
arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan
Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding
penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna
[40]
.
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya
kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili
Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman
(quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian
Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para
istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian
putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya
terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang
menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini
dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara
kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang
dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana
terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang
berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya
disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-
lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow
House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang
bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya
dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap
arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri
bertempat tinggal di Keraton Kilen
[41]
. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri
satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno.
Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan.
Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur.
Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang
tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro
[42]
.
Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak
[43]
, Bangsal Mandalasana
[44]
,
Gedhong Patehan
[45]
, Gedhong Danartapura
[46]
, Gedhong Siliran
[47]
, Gedhong
Sarangbaya
[48]
, Gedhong Gangsa
[49]
, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula
sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang
memiliki tempat khusus untuk beribadat
[50]
pada zamannya tinggal para puteri raja
yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali
didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat
tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah
Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian
Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even
pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal
kuda yang dikendarai oleh Sultan.
[51]

Kamagangan
Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang
menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini
begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor
ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta
[52]
. Di sisi
selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang
menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai
(abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-
Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar
digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit
yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon
Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng
Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan
nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti
Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada
saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang
masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan
kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian
pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang
menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di
sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk
berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.
[53]

Kamandhungan Kidul
Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah
gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan
dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini
memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di
kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal
Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang
Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan
Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan
Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang
menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks
Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan
Pamengkang.
[54]

Siti Hinggil Kidul
Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil : tinggi. Siti
Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad
terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul
kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan
sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya
[55]
. Sisi timur-utara-barat dari
kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang
berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa
sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana
Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan
para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg,
tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)
[56]
[?] dan untuk
berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal
prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri.
Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan
untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.
[57]

Kompleks belakang
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari
kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan
keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun
ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi
selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura
utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna
memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga
(Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili
Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon
beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang
dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri
gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari
gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung
Nirbaya.
[58]

Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini
Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat
pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang
[59]
. Gerbang ini secara tradisi
digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke
Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan
yang sedang bertahta.
Bagian lain Keraton
Pracimosono
Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi
para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton
tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum
ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.
[60]

Roto Wijayan
Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan
memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana.
Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks
ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai
kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan
Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.
[61]

Kawasan tertutup
Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut
kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-
jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah
masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat
melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini
juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan
[62]
. Lokasi ini
tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII.
Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi
Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.
[63]

Taman Sari
Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari
(Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan
tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat
yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan
Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik
adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai
bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini
merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat
dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah
tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan
penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh.
Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.
[64]

Kadipaten
Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau
dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran
Adipati Anom". Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut
Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus
Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana
Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang
Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa
Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.
[65]

Benteng Baluwerti
Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang
melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan
atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-
1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika beliau telah
menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan sekitar 3 meter dan
tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng tersedia lima buah
pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung, dua diantaranya hingga
kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan
bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.
[66]

Bagian lain yang terkait
Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar
lingkungan Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan
yang erat dan boleh jadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Tugu Golong Gilig
Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white pole) merupakan penanda batas utara
kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig)
dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada
Washington Monument di Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak
(patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa
pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali. Namun sayangnya
dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang (Januari 2008).
Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-
kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring
penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.
[67]

Panggung Krapyak
Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar
budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari
batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya
mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di
bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian
tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut.
Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini
digunakan sebagai lokasi berburu menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga kerajaan.
Berlokasi dekat Ponpes Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah
menimba ilmu, bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota
tua Yogyakarta. Namun demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang
kemenangan, Triumph dArc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa
bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini
diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.
[68]

Kepatihan
nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence)
sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan
kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana
Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan
lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur),
Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu,
sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan
umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan
Malioboro.
[69]

Pathok Negoro
Mesjid Pathok Negoro
[70]
yang berjumlah empat buah menjadi penanda batas
wilayah ibukota (?). Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas utara),
Mlangi (batas barat), Kauman Dongkelan (batas selatan), dan Babadan (batas
timur). Pendirian masjid ini juga memiliki tujuan sebagai pusat penyiaran agama
Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid ini adalah setingkat dibawah
masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari kedudukan para imam besar/penghulu
(jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi anggota Al-Mahkamah Al-Kabirah,
badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan agama Islam,
dimana imam besar masjid raya kerajaan (Kangjeng Kyai Pengulu) menjadi ketua
mahkamah.
[71]



Bering Harjo
Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta
pada zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo
sampai saat ini menjadi salah satu pasar induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini
jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan
dibagi dalam dua sektor barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun
demikian pasar yang berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi
sebuah pasar tradisional yang merakyat.
[72]


Bab II
Kerangka Teori


1.Penjelasan mengenai Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di
Indonesia yang merupakan peleburan bekas (Negara) Kesultanan Yogyakarta dan
[Negara] Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di
bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa
Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km
2

ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki
jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan
1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per
km2
[5]
.
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang
menyebabkan sering terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI
Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering diidentikkan dengan Kota
Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya,
Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil ke dua setelah Provinsi
DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional.
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah
Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah
akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada
medio Oktober-November 2010.
2.Kondisi Geografis
DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3-
8o12 Lintang Selatan dan 110o00-110o50 Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam,
wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan
fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau Pegunungan
Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.
Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung
api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik,
meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan
lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air
daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung
Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai
daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah
Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang
alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan
cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara
tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran tinggi Wonosari). Satuan
ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan bahan induk batu
gamping dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat
jarang.Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara,
merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan
lereng curam dan potensi air tanah kecil.Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang
lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial,
membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang
berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur.
Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum
didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai
Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal
dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam
pantai.Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk,
ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta
kemajuan pembangunan antarwilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar,
seperti wilayah dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan
Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah
wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial ekonomi
berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan berkembang.Dua
daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar di DIY adalah DAS Progo di barat dan
DAS Opak-Oya di timur. Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY antara lain adalah
Sungai Serang, Sungai Progo, Sungai Bedog, Sungai Winongo, Sungai Boyong-Code,
Sungai Gajah Wong, Sungai Opak, dan Sungai Oya.




BAB IV
Simpulan dan Saran


4.1 Simpulan
Yogyakarta merupakan salah satu obyek wisata dan salah satu penggerak ekonomi
Indonesia dikarenakan memiliki Sektor sektor ekonomi yg banyak dan DIY masih
meneruskan tradisi Keraton dengan memilih peminpin melalu keturunan kerajaan

4.2 Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya laporan ini dan
dan penyusunan makalah di kesempatan kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca
yang budiman pada umumnya.









Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org
https://www.google.com
Hasil laporan saat Studi Lapangan


















LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai