Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Pepaya (Carica papaya L.)


Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8 m. Batang tak
berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup
pada ketinggian tempat 1m-1.000m dari permukaan laut dan pada suhu udara 22C-
26C (Santoso, 1991). Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang,
daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan (Warisno, 2003). Menurut Tjitrosoepomo
(2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya L.) berdasarkan taksonominya
adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Cistales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L.
Nama lokal : Pepaya

Tanaman pepaya merupakan salah satu sumber protein nabati. Pepaya (Carica
papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Buah pepaya
tergolong buah yang popular dan digemari hampir seluruh penduduk di bumi ini
(Kalie, 1988 dalam Amir, 1992). Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman
yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat
tumbuh dari dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil
pepaya antara lain kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Rika, dan lain-lain. Brazil,
India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1 Aplikasi Biji Pepaya

Biji buah pepaya hanya dibuang begitu saja setelah pepaya diambil buahnya. Padahal,
apabila biji pepaya diolah untuk diambil minyaknya akan sangat menguntungkan
(Yuniwati dan Purwanti, 2008). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan
sebagai obat cacing gelang, gangguan pencernaan, diare, penyakit kulit, kontrasepsi
pria, bahan baku obat masuk angin dan sebagai sumber untuk mendapatkan minyak
dengan kandungan asam-asam lemak tertentu (Warisno, 2003).

Menurut Chinoy (1985), ekstrak biji pepaya dapat menurunkan motilitas
spermatozoa dan laju fertilisasi pada tikus albino jantan. Dikatakan setelah
penyuntikan selama 60 hari, motilitas spermatozoa dan laju fertilisasi menurun hingga
0%. Efek tersebut bersifat sementara dan akan kembali normal setelah tiga bulan
kemudian. Di samping itu ekstrak biji pepaya tersebut dapat sebagai pengatur fertilitas
atau kesuburan secara postestikuler pada tikus jantan, karena ekstrak tersebut
memiliki efek membunuh sperma (spermisidal) terhadap spermatozoa matang di
epididimis. Demikian pula halnya suspensi bubuk biji pepaya dalam air dengan dosis
20 mg/ ekor yang diberikan secara oral pada tikus jantan selama 8 minggu,
menunjukkan penurunan kemampuan menghamili tikus-tikus betina sebesar 40 kali
(Farnsworth et al., 1982 dalam Amir 1992).


2.1.2 Kandungan Aktif Biji Pepaya

Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman ini ternyata banyak diantaranya
mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Dalam biji pepaya
mengandung senyawa-senyawa steroid. Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira
14,3 % dari keseluruhan buah pepaya (Satriasa dan Pangkahila, 2010). Kandungannya
berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati dan
Purwanti, 2008). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui
mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan
saponin (Warisno, 2003). Zat-zat aktif yang terkandung dalam biji pepaya tersebut
bisa berefek sitotoksik, anti androgen atau berefek estrogenik (Lohiya et al., 2002
dalam Satriyasa, 2007). Alkaloid salah satunya yang terkandung dalam biji pepaya
Universitas Sumatera Utara
dapat berefek sitotoksik. Efek sitotoksik tersebut akan menyebabkan gangguan
metabolisme sel spermatogenik (Arsyad, 1999 dalam Satriyasa dan Pangkahila, 2010).

Biji pepaya jangan sekali-kali termakan oleh orang yang sedang hamil muda
karena dapat mengakibatkan keguguran. Orang yang keguguran akibat memakan biji
pepaya ini biasanya sulit hamil kembali karena adanya pengeringan rahim akibat
masuknya enzim proteolitik seperti papain, chymopapain A, chymopapain B, dan
peptidase pepaya. Di samping mengandung enzim proteolitik, biji pepaya juga
mengandung senyawa kimia yang lain seperti: lemak majemuk 25 %, lemak 26 %,
protein 24,3 %, 17 % serat, karbohidrat 15,5 %, abu 8,8 %, dan air 8,2 %
(Kloppenburg-Versteegh, 1915 dalam Amir 1992).



2.2 Testosteron Undekanoat

Testosteron Undekanoat (17-hydroksil-4-androsten-3-one 17- undecanoat) terdiri dari
bahan yang mudah dicerna, suatu alifatik, ester asam lemak testosteron yang
sebagiannya diarsorbsi lewat usus yang mengandung sistem limfatikus setelah
pemberian secara oral (Kamische et al., 2002 dalam Ilyas, 2008). Testosteron
Undekanoat merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif
testosteron dihasilkan dari hidrolisasi esternya. Efek utama dari testosteron hasil
hidrolisasi TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor
spesifiknya yang membentuk komplek hormon-reseptor. Komplek hormon-reseptor
tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen
tertentu setelah terikat dengan DNA (Ilyas, 2008).

Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria
digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara
injeksi secara intramuskular, selain itu ada juga TU dalam bentuk powder yang
kadang-kadang dibungkus dengan kapsul. Testosteron undekanoat (Gambar 2.1)
dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17. TU ini merupakan
steroid dengan 19 atom karbon dengan rumus kimia C19H28O2, serta nama kimianya
adalah 17 betahydroxyandrost-4-en-3-one (Goodman and Gilman,1980).
Universitas Sumatera Utara









Gambar 2.1 Rumus bangun testosteron undekanoat (TU) (Goodman and
Gilman, 1980).



2.3 Fisiologi Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri dari sepasang testis yang dibungkus skrotum,
epididimis dan vas deferens, kelenjar aseksoris, uretra dan penis. Pada awal
pembentukan sampai menjelang kelahiran, testis mencit berada dalam rongga
abdomen, kemudian testis tersebut turun dan masuk ke dalam skrotum setelah
beberapa hari dilahirkan (Rugh, 1968). Turunnya testis ke dalam skrotum,
dimaksudkan agar suhu sekitar testis tersebut lebih rendah dari suhu rongga abdomen.
Suhu testis mamalia berkisar antara 1C - 8C lebih rendah daripada suhu rongga
abdomen. Pada mencit suhu testis 28,5 C dan suhu rongga abdomen 37,1C
(Harrison dan Weiner, 1948 dalam Amir, 1992).

Testis terbentuk dari lengkungan-lengkungan tubulus seminiferus yang
bergelung yang dindingnya merupakan tempat pembentukan spermatozoa dari sel-sel
germinativum primitif (spermatogenesis). Kedua ujung setiap lengkungan disalurkan
ke dalam jaringan duktus dikepala epididimis (Ganong, 2002). Epididimis adalah tuba
terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki (4m sampai 6m). Epididimis terletak pada
bagian dorsolateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas
sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian caput, korpus dan kauda
epididimis (Rugh, 1968). Dari tubula seminiferus testis, sperma lewat ke dalam
saluran mengulir pada epididimis. Selama perjalanan ini, sperma menjadi motil dan
mendapatkan kemampuan untuk membuahi (Campbell et al., 2004).

O
C-(CH
2
)
9
-CH
3

O
O

Universitas Sumatera Utara
2.4 Spermatozoa Mencit

Spermatozoa pada umumnya memiliki empat bagian utama, yaitu kepala, akrosom,
bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung
informasi genetik (Sherwood, 2001). Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit yang
normal terbagi atas bagian kepala yang bengkok seperti kait, bagian tengah yang
pendek dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih
0,0080 mm sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226
(122,6 mikron).

Kualitas spermatozoa meliputi beberapa aspek, yaitu motilitas spermatozoa
yang dapat dibagi menjadi tiga kriteria (motilitas baik, motilitas kurang baik dan tidak
motil), morfologi spermatozoa meliputi bentuknya (normal atau abnormal,
abnormalitas dapat terjadi pada kepala, midpiece atau ekor), konsentrasi atau jumlah
spermatozoa dan viabilitas (daya hidup) spermatozoa (Arsyad dan Hayati 1994 dalam
Asfahani et al., 2010).


2.4.1 Viabilitas Spermatozoa
Viabilitas adalah kemampuan spermatozoa untuk bertahan hidup setelah dikeluarkan
dari organ reproduksi jantan. Kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah
keluar dari testis hanya berkisar antara 1-2 menit (Effendy, 1997 dalam
Hidayaturrahmah, 2007). Penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan
urea dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit (Rustidja,
1985 dalam Hidayaturrahmah, 2007).
Menurut Yatim (1994), menyatakan bahwa viabilitas diukur dengan melihat %
motil maju/ml setelah jangka waktu tertentu. Makin lama semen yang tersimpan
makin sedikit yang motil. Penurunan motilitas normal adalah :
a. 2-3 jam sudah ejakulasi 50-60% spermatozoa motil maju/ml
b. 7 jam sudah ejakulasi : <50% spermatozoa motil maju/ml
J ika setelah 3 jam yang motil kurang dari 50% menandakan adanya gangguan
atau kelainan dalam genitalia. Spermatozoa yang motilitasnya rendah disebut
asthenozoospermia.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Morfologi Spermatozoa


Spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bengkok seperti
kait, bagian tengah yang pendek (middle piece) dan bagian ekor yang sangat
panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang
spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 (122,6 mikron) (Rugh, 1968).


Gambar 2.2 Morfologi spermatozoa mencit. (a) spermatozoa normal, (b) pengait
salah membengkok, (c) sperma melipat, (d) kepala terjepit, (e)
pengait pendek, (f) kesalahan ekor sebagai alat tambahan, (g) tidak
ada penggait, (h) sperma berekor ganda dengan kepala tidak
berbentuk, (i) kepala tidak berbentuk. Perbesaran 800x (Wyrobek
and Bruce, 1975).

Bentuk spermatozoa abnormal dapat diklasifikasikan bentuk kepala dan
ekornya (Gambar 2.2). Kelainan yang sering terjadi adalah pada tingkat spermatid
yang terjadi selama proses spermiogenesis, biasanya seperti gangguan pembentukan
ekor, kondensasi inti baik sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi. Menurut
Washington et al. (1983), bahwasannya bentuk sperma abnormal pada mencit terdiri
dari bentuk kepala seperti pisang, bentuk kepala tidak beraturan (amorphous), bentuk
kepala terlalu membengkok dan lipatan-lipatan ekor abnormal. Semakin banyak
sperma dengan bentuk abnormal, akan semakin kecil kesuburan (fertilitas). Sebagai
contoh, fertilitas menjadi sangat kecil jika bentuk sperma abnormal lebih dari 8 hingga
10% .


2.4.3 Motilitas Spermatozoa

Motilitas adalah gerak maju ke depan dari spermatozoa secara progresif. Motilitas
sperma berperan penting dalam suksesnya proses konsepsi, terutama dalam menembus
Universitas Sumatera Utara
lendir serviks (Saputri, 2007). Ada orang yang spermatozoanya lemah sekali gerak
majunya, disebut astenozoospermia, sedangkan jika semua sperma diperiksa nampak
mati, tak bergerak disebut necrozoospermia. Menurut Hidayaturrahmah (2007),
pengamatan untuk waktu motilitas spermatozoa dilakukan dengan mencatat waktu
dalam satuan detik pada 2 jenis motilitas: fast progressive (pergerakan spermatozoa
yang bergerak sangat cepat dengan arah maju kedepan) dan motilitas slow progressive
(pergerakan spermatozoa yang bergerak cepat dengan arah maju kedepan).



2.5 Spermatogenesis


Spermatogenesis adalah serangkaian proses perkembangan dan pematangan sel-sel
germinal di bagian epitel tubulus seminiferus testis, mulai dari perkembangan
spermatogonia dan akhirnya menjadi spermatozoa yang terletak di dekat lumen (Amir,
1992). Proses spermatogenesis merupakan siklus yang rumit dan teratur dalam
pembentukan spermatozoa. Proses normal spermatogenesis diatur oleh sistem hormon
(FSH, LH dan Testosteron), yang pengendaliannya melalui proses hipotalamus-
hipofisis-testis (Adimunca dan Sutyarso, 1997).

Sel germinal Primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan,
dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan
diproduksi dan masih berada didaerah ekstra gonad. Pada hari ke 9 dan 10 kehamilan
sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami proliferasi dan bahkan
bergerak (pada hari 11 dan 12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai
sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Tidak berapa lama setelah
kelahiran, sel tampak lebih besar yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada
spermatogonia dalam testis mencit sepanjang hidupnya. Ada tiga jenis spermatogonia:
tipe A, tipe intermediet dan tipe B (Rugh, 1968).

Menurut Sherwood (2001), secara umum spermatogenesis mencakup tiga
tahapan utama yaitu proliferasi mitotik, miosis dan pengemasan, dapat di uraikan
sebagai berikut :


Universitas Sumatera Utara
a). Proliferasi mitotik
Spermatogonia yang terletak dilapisan paling luar tubulus secara terus menerus
membelah secara mitosis, dengan semua sel baru membawa empat puluh enam
kromosom yang identik dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan
kontinu sel-sel germinativum baru. Setelah pembelahan mitosis spermatogonia salah
satu sel anak tetap berada di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak
berdiferensiasi, dengan demikian mempertahankan lapisan sel germinativum.
Sementara itu, sel anak lainnya mulai bergerak kearah lumen sementara mengalami
berbagai tahapan lainnya yang diperlukan untuk membentuk sperma. Sel anak yang
menghasilkan sperma membelah diri secara mitosis dua kali untuk membentuk empat
spermatosit primer yang identik. Setelah pembelahan mitosis yang terakhir,
spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi.

b). Meiosis dan pengemasan
Selama miosis, setiap spermatosit primer (dengan empat puluh enam kromosom
ganda) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan dua puluh tiga
kromosom ganda) selama pembelahan miosis pertama, yang akhirnya menghasilkan
empat spermatid (masing-masing dengan dua puluh tiga kromosom tunggal) sebagai
hasil pembelahan miosis kedua. Setelah tahapan spermatogenesis ini tidak lagi terjadi
pembelahan sel. Setiap spermatid mengalami modifikasi menjadi sebuah spermatozoa.
Setelah meiosis, secara struktural spermatid masih mirip dengan spermatogonia yang
belum berdiferensiasi, kecuali jumlah kromosomnya. Pembentukan spermatozoa yang
dapat bergerak dan bersifat sangat spesifik dari spermatid memerlukan remodeling
ekstensif atau pengemasan (packaging).


2.6 Hormon Pada Jantan

2.6.1 Testosteron


Testosteron adalah suatu hormon steroid yang berasal dari molekul prekursor
kolesterol, seperti halnya hormon seks wanita estrogen dan progesteron. Sel-sel
Leydig mengandung enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengarahkan kolesterol mengikuti jalur yang menghasilkan testosteron. Setelah
dihasilkannya, sebagian testosteron disekresikan ke dalam darah untuk di angkut
terutama dengan terikat ke protein plasma, ke jaringan sasaran. Sebagian testosteron
yang baru diproduksi mengalir ke lumen tubulus seminiferus, tempat hormon ini
memainkan peranan penting dalam spermatogenesis (Sheerwood, 2001).
Menurut Nalbandov (1990), bahwa fungsi testosteron ada 3 yaitu :
a). Mempertahankan sifat kelamin primer dan sekunder.
b). Mempertahankan proses spermatogenesis untuk memproduksi spermatozoa
dalam keadaan cukup.
c). Menjamin maturasi spermatozoa agar mampu mengadakan fertilisasi.

2.6.2 Gonadotropin

Testis dikontrol oleh dua hormon gonadotropik yang disekresikan oleh hipofisis
anterior; Luteinuizing Hormon (LH) dan Folikel Stimulating Hormon (FSH). LH
bekerja pada sel Leydig untuk mengatur sekresi testosteron, sehingga pada jantan
hormon ini juga memiliki nama Interstitial-Cell-Stimulating Hormon (ICSH). FSH
bekerja pada tubulus seminiferus, terutama di sel Sertoli untuk meningkatkan
spermatogenesis. Sebaliknya sekresi LH dan FSH dari hipofisis anterior dirangsang
oleh sebuah hormon hipotalamus, Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH)
(Sheerwood, 2001).

Testosteron menghambat sekresi LH dengan bekerja secara langsung pada
hipofisis anterior dan dengan menghambat GnRH dari hipotalamus. Sebagai respon
terhadap LH, sebagian testosteron yang disekresi dari sel Leydig membasahi epitel
seminiferus dan memberikan sel Sertoli konsentrasi lokal androgen yang tinggi yang
penting untuk spermatogenesis normal. Dalam kenyataanya bahwa androgen dapat
mempertahankan spermatogenesis pada jantan. Pada pemeriksaan histologis testis
menunjukkan bahwa LH mamalia hanya mampu menstimulasi sel-sel Leydig yang
sudah berdiferensiasi, yang ternyata sel-sel tersebut kemudian segera mengalami
kelelahan (Nalbandov, 1990). Efek akhir testosteron yang diberikan sistemik secara
umum adalah penurunan hitung sperma. Terapi testosteron pernah dianjurkan sebagai
salah satu kontrasepsi pria (Ganong, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.7 Vitamin E

2.7.1 Sifat Kimia Vitamin E

Vitamin E pertama sekali ditemukan tahun 1922 dan merupakan vitamin yang larut
dalam lemak. Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam
4 tokoferol (, , , ) dan 4 tokotrienol (, , , ). Bentuk vitamin E ini dibedakan
berdasarkan letak berbagai grup metal pada cincin fenil rantai cabang molekul dan
ketidak jenuhan rantai cabang. Bentuk paling aktif dan paling penting adalah -
tokoferol untuk aktivitas biologi tubuh, sehingga aktivitas vitamin E diukur sebagai
- tokoferol (Burton, 1994).

Gambar 2.3 Struktur bangun vitamin E (- tokoferol) (Sulistyowati, 2006)



2.7.2 Manfaat Vitamin E


Manfaat paling besar dari vitamin E adalah kemampuannya sebagai antioksidan.
Vitamin E berkolaborasi dengan oksigen menghancurkan radikal bebas. Secara
umum, manfaat dari vitamin E antara lain mencegah penyakit hati, mengurangi
kelelahan, membantu memperlambat penuaan karena oksidasi, mensuplai oksigen ke
darah, menguatkan dinding pembuluh kapiler darah dan juga membantu mencegah
sterilitas (Iswara, 2009). Vitamin ini berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi
lemak di dalam membran (Sulistyowati, 2006).

Vitamin E termasuk vitamin yang esensial untuk kehidupan sehari-hari,
penting untuk kinerja seksual. Dalam jaringan, vitamin E menekan terjadinya oksidasi
asam lemak tidak jenuh, sehingga membantu dan mempertahankan fungsi membran
sel. Sumber vitamin E adalah kacang-kacangan, minyak nabati, alpukat dan lain
sebagainya. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan kegagalan menghasilkan anak
(Anggraini, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.7.3 Vitamin E Sebagai Antioksidan

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas
dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,
protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi
kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi
berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif
(Iswara, 2009). Vitamin E telah lama dikenal sebagai senyawa antioksidan. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa vitamin E bisa membantu mencegah tersumbatnya
arteri koronaria, kanker, mempercepat konduksi saraf, mencegah katarak, menurunkan
risiko arthritis, diabetes, infertilitas pria dan wanita. Vitamin E, terutama tokoferol
bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai (chainbreaking anti-oxidants) yang
mencegah terjadinya tahap propagasi pada aktivitas radikal dengan cara kelompok
hidroksil pada cincin kromanol bereaksi dengan radikal peroksil yang membentuk
hidroperoksil dan tokoferoksil (Youngson, 2005).

Vitamin E merupakan antioksidan nonenzimatik yang melindungi membran
sel dari oksidasi oleh radikal bebas. Vitamin ini mampu mengendalikan peroksida
lemak dengan menyumbangkan hidrogen ke dalam reaksi yang mampu mengubah
radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif,
sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak dan selanjutnya melindungi sel dari
kerusakan (Hariyatmi, 2004). Vitamin ini berada di dalam lapisan fosfolipid membran
sel yang akan melindungi asam lemak jenuh dan komponen membran sel lain dari
oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul
karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas (Iswara, 2009). Maka, oleh karena
itu, -tokoferol ini mampu sebagai pemutus rantai peroksida lemak pada membran
dan Low Density Lipoprotein. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan
antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen
sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Haryatmi, 2004).

Tubuh mengandung sejumlah enzim antioksidan yang penting. Enzim
antioksidan yang paling menarik adalah Dismutase Superoksida (biasa disebut SOD),
selain itu tubuh juga memiliki dua enzim lain, yaitu katalase dan glutathione
peroksida yang memecah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Setiap sel di
Universitas Sumatera Utara
dalam tubuh mengandung instruksi untuk membuat enzim-enzim ini. Antioksidan
dapat dibagi menjadi beberapa golongan: (i) antioksidan enzimatik dan non enzimatik;
(ii) antioksidan pencegah dan pemecah rantai; (iii) antioksidan eksogen dan endogen;
dan (iv) antioksidan lipofilik dan hidrofilik. Contoh antioksidan enzimatik:
superoksida dismutase (SOD), glutathion peroksidase (GSPx), dan katalase;
antioksidan non enzimatik: vitamin C, vitamin E, dan -karoten; antioksidan
pencegah: SOD, GSPx, dan sistein; antioksidan pemutus rantai: vitamin E, vitamin C,
dan -karoten; antioksidan eksogen: vitamin E dan vitamin C; antioksidan endogen:
SOD, GSPx; antioksidan hidrofilik: SOD, katalase, GSPx, dan vitamin C. Antioksidan
digunakan sebagai pembuang radikal bebas yang akan melindungi spermatozoa
(Anggraini, 2006).


2.7.4 Senyawa Radikal Bebas dan Reaktive Oxygen Spesies (ROS)

Pada awalnya senyawa radikal bebas diketahui hanya dibentuk oleh sel netrofil dan
makrofag yaitu ketika tubuh terinvasi mikroorganisme. Efek negatif senyawa radikal
bebas dapat diredam oleh antioksidan baik yang berupa zat gizi seperti vitamin A,C,E
maupun antioksidan non gizi seperti flavonoid (Winarsi, 2007). Radikal bebas bisa
terbentuk di dalam sel tubuh dengan berbagai cara. Radiasi yang kuat, termasuk sinar
ultraviolet, sinar-X, sinar gamma dari bahan radioaktif, adalah sumber yang ampuh.
Radiasi seperti ini memecah ikatan diantara atom sehingga terjadi berbagai radikal
dengan elektron tunggal yang siap menimbulkan reaksi kerusakan berantai. Radikal
bebas berperan dalam proses perjalanan berbagai penyakit (Anggraini, 2006).
Mitokondria dan plasma adalah tempat produksi radikal bebas dalam tubuh. Proses
produksi ini melibatkan kompleks enzim. Radikal bebas menyebabkan kerusakan
DNA dan akhirnya apoptosis sel sperma (Hafiz, 2006).

Stress oksidatif merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan
peningkatan kerusakan seluler yang diinduksi oleh Reaktive Oxygen Species (ROS).
Motilitas spermatozoa yang turun disebabkan oleh kerusakan membran spermatozoa
yang kaya lemak tak jenuh oleh ROS. ROS mampu meningkatkan jumlah lipid
peroksidase yang akan menyebabkan hilangnya ATP intraseluler. Hilangnya ATP ini
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kerusakan aksonema (tubulus sentral tidak ada, mikrotubulus luar
berkurang atau tidak ada sama sekali), menurunkan viabilitas, dan meningkatkan efek
morfologi midpiece spermatozoa sehingga menurunkan kapasitasi, reaksi akrosom,
dan menghambat motilitas. Oleh karena itu digunakanlah antioksidan sebagai
pembuang radikal bebas yang akan melindungi spermatozoa (Anggraini, 2006).


2.7.5 Peranan Vitamin E Terhadap Fertilitas

Epididimis merupakan jaringan komplek yang secara anatomi dan histologi
dipisahkan menjadi 4 bagian kelompok yang berbeda, yaitu segmen awal, caput,
korpus dan cauda epididimis. Keempat bagian tersebut responsif terhadap faktor
umur. Beberapa perubahan terkait dengan umur misalnya akumulasi lipofuscin yang
distribusinya diubah menjadi sistem antioksidan. Penurunan ekpresi gen dipengaruhi
oleh pertahanan antioksidan. Kemungkinan stres oksidatif berperan dalam penuaan
epididimis. Stres oksidatif yang berkepanjangan berdampak pada proses penuaan
epididimis dan kerusakan yang semakin meluas (Dhiyaulhaq et al., 2010). Vitamin E
berfungsi sebagai faktor anti kemandulan dan penting untuk pembentukan dan
kesehatan jaringan tulang (Anggraini, 2006).

Vitamin E merupakan kelompok lipid yang mudah larut dalam lemak, dapat
memutuskan rantai ikatan radikal bebas terutama -tokoferol. Vitamin E berfungsi
sebagai antioksidan yang mencegah perkembangan lebih lanjut reaksi radikal bebas
dan selanjutnya melindungi sel dari kerusakan. Vitamin E berperan penting dalam
melawan lipid peroksidasi, radikal bebas menyerang asam lemak yang menyebabkan
kerusakan struktural pada membran dan hasilnya terbentuk malondialdehyde dan 4-
hidroxy, 2-nonenal (4-HNE). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, membuktikan
defisiensi vitamin E menyebabkan korpus epididimis mengalami peningkatan 4-HNE.
Difesiensi vitamin E pada jaringan juga berdampak meningkatnya immunoreactivity
dalam sitoplasma sepanjang epididimis (Dhiyaulhaq et al., 2010). Vitamin E tidak
menyebabkan racun, efek racun seperti pengurangan berat badan juga tidak terjadi.
Tingkat kesuburan dapat dipulihkan kembali (aktivitas antifertilitas reversible) dalam
waktu 4-6 minggu. Dalam kondisi ini, bahan aktifnya stabil terhadap panas.
Pengamatan yang sama juga terjadi pada mencit (Sukrasno dan Tim Lentera, 2004).
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai