Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN

PEMBERDAYAAN
ZAKAT
OLEH : MUKHLISIN MUZARIE

DISAMPAIKAN PADA MUDZAKARAH HUKUM ZAKAT
MUI-BAZDA KABUPATEN CIREBON 20 DESEMBER 2012

2012
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBON
KOMPLEK ISLAMIC CENTRE KABUPATEN CIREBON
JL. TUPAREV NOMOR 111 TELP/FAX 0231-231816
1/1/2012
2

MANAJEMEN PEMBERDAYAAN ZAKAT
Oleh : H. Mukhlisin Muzarie
Disampaikan pada acara Mudzakaroh Hukum Zakat
Kerjasaman BAZDA-MUI Kabupaten Cirebon
Tanggal 20 Desember 2012


I. PENDAHULUAN
Sistem sosial dalam Islam sangat kuat, karena dibangun dengan sistem
yang saling membutuhkan
1
dan saling mengokohkan.
2
Allah menciptakan
manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta memberinya mata
pencaharian yang berbeda-beda agar hidup saling membutuhkan dan saling
melengkapi. Di samping itu, Allah menciptakan derajat manusia yang berbeda-
beda sehingga tingkat kesejahteraan mereka berbeda-beda pula. Dalam setting
masyarakat manapun mesti dijumpai adanya orang kaya yang hidup
berkecukupan dan adanya orang miskin yang serba kekurangan. Menurut
Wahbah Zuhaily, inilah yang dimaksud oleh Allah bahwa Dia-lah yang
membagi-bagi rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam kehidupan
dunia.
3
Dengan adanya masyarakat yang serba cukup di satu sisi dan serba
kekurangan di sisi lain, disamping memiliki profesi yang berbeda-beda,
mengandung hikmah terwujudnya aktifitas bisnis yang dinamis. Akan tetapi
yang terjadi di masyarakat sebaliknya, menimbulkan ketegangan yang berakhir
dengan konflik dan kekacauan berkepanjangan. Islam memberikan solusi yang
kokoh dengan sistem zakat hingga hubungan masyarakat tetap harmonis.
Konsep zakat mempunyai tujuan luhur, disamping sebagai
implementasi iman kepada Allah SWT juga sebagai stabilisator sosial yang
sangat strategis. Zakat bukan hanya ibadah, tetapi juga bukti kepedulian orang

1
QS. Az-Zukhru, 43 : 32 yang artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
2
Hadits yang artinya : Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana sebuah bangunan
yang saling mengokohkan (HR Bukhari & Muslim dari Abu Musa ra). Lihat al-Fath al-Kabir, (Yusuf
bin Ismail al-Nabhani, Dar al-Arqam,Bairut, t.t.), jilid II, hal.471
3
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fie al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Dar al-Fikr al-
Muashir, Bairut, t.t.), juz 25, hal. 145-146
3

kaya terhadap orang-orang miskin yang tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan
apapun, kecuali dorongan hati nurani yang didasarkan iman kepada Allah.
4

Akan tetapi dana zakat yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar untuk
mensejahterakan kaum dhuafa (fakir dan miskin) karena tidak dikelola dengan
manajemen profesional, hasilnya belum optimal.
Pada masa klasik dan masa-masa sesudahnya manajemen zakat tampak
belum dipraktekan. Zakat pada saat itu, baik zakat fitrah maupun zakat mal
hanya dipahami sebagai ibadah semata-mata yang tidak memerlukan
pengelolaan secara profesional. Sudirman menjelaskan bahwa ada beberapa
faktor yang menyebabkan pengelolaan zakat pada masa klasik tidak maksimal.
Antara lain karena adanya sikap menyepelekan, artinya pengelolaan zakat
adalah wewenang pribadi muzaki, bukan orang orang lain. Dengan demikian
unsur-unsur manajemen yang sangat sederhanapun, seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan, tidak dilakukan. Bahkan
administrasi dan ketatalaksanaan-pun tidak dilakukan sehingga jumlah
kontribusi yang sudah dilakukan oleh orang kaya terhadap orang miskin setiap
tahun tidak terbaca.

II. LANDASAN PENGELOLAAN ZAKAT
Para ulama menetapkan bahwa pendistribusian zakat harus
direncanakan berdasarkan petunjuk QS At-Taubah, 9 : 60.
5
Dalam ayat tersebut
Allah menjelaskan sasaran zakat yang rinci meliputi delapan asnaf sebagai
berikut :
Fakir (jamaknya fuqara), yaitu orang-orang yang hidup sengsara, papa,
dan serba kekurangan. Kesengsaraan mereka disebabkan karena tidak
mempunyai harta dan atau tidak mempunyai pekerjaan. Mereka sangat
membutuhkan bantuan sehingga Al-Quran menempatkannya dalam urutan
pertama. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penyebutan asnaf fakir dalam urutan
pertama menunjukkan betapa pentingnya mereka untuk diperhatikan

4
Ali Ahmad al-Jurjawie, Hikmah Tasyri wa Falsafatuh, (Dar al-Fikr, Bairut, 1994), juz I, hal. 117
5
Yaitu artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
4

dibandingkan dengan asnaf-asnaf lainnya. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang sangat menderita dan sangat membutuhkan bantuan.
6

Miskin (jamaknya masakin), yaitu orang atau orang-orang yang hidup
serba kekurangan. Mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
disebabkan karena tidak mempunyai harta yang cukup dan atau tidak
mempunyai pekerjaan tetap yang hasilnya relatif kecil. Keadaan mereka sedikit
lebih baik jika dibandingkan dengan orang-orang fakir. Ibnu al-Jauzie
menjelaskan perbedaan pandangan para ulama dalam memberikan kategori-
kategori fakir dan kategori-kategori miskin. Yaitu (1) pendapat Ibnu Abbas, Al-
Hasan, Mujahid, Jabir bin Zaid, Az-Zuhri dan lain-lainnya, mengatakan bahwa
fakir adalah orang yang hidup serba kekurangan, tetapi tidak meminta-minta,
sedangkan miskin adalah orang yang hidup serba kekurangan dan meminta-
minta sekedar untuk mengisi perutnya. (2) pendapat Imam Qatadah, fakir
adalah orang papa yang permanen yang sangat membutuhkan bantuan,
sedangkan miskin adalah orang yang sangat membutuhkan bantuan tetapi tidak
permanen. (3) pendapat Adh-Dhahaq Ibnu Muzahim dan An-Nakhie, yaitu
fakir adalah orang papa yang sudah berhijrah, sedangkan miskin belum
berhijrah. (4) pendapat Imam Ikrimah, fakir adalah orang-orang papa yang
beragama Islam, sedangkan miskin orang-orang non Islam. (5) pendapat Abu
Hanifah, Yunus bin Habib, Yaqub bin al-Sukayyit dan Ibnu Qutaibah bahwa
fakir adalah orang yang mempunai persediaan sedikit, sedangkan miskin orang
yang tidak mempunyai persediaan sedikitpun. (6) pendapat Ahmad Ibnu
Hanbal, Ahmad Ibnu Ubaid, dan Al-Ashmuie bahwa fakir adalah lebih buruk
nasibnya dibandingkan dengan miskin. Mereka mengemukkan alasan bahwa
kata faqir berarti hancurnya tulang belakang (inkisar al-faqar). Secara
etimologi kata faqir berasal dari kata mafqur, yang artinya tercabut persendian
tulang belakangnya. Maka orang fakir seolah-olah orang yang tercabut tulang
punggungnya karena membanting tulang terus menerus (kerja keras) tetapi
tidak menghasilkan harta yang mencukupi hidupnya. Sementara kata miskin
berasal dari kata al-maskanah yang berarti tenang dan tenteram. Dengan

6
Ibnu Katsir, Ismail, Imaduddin Abu Al-Fida, Al-Hafidh, Tafsir Al-Quran Al-Adhiem (Bairut,
Dar al-Fikr, 1970), jld. 3, hlm. 411-412
5

demikian orang-orang miskin relatif lebih baik nasibnya dibandingkan dengan
orang-orang fakir.
7

Amilin, yaitu orang-orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. Mereka diberi bagian zakat sesuai dengan tugas dan
pekerjaannya. Di Indonesia, pekerjaan amil atau pengelola zakat pada zaman
klasik dan beberapa periode sesudahnya ditanangi oleh muzaki sendiri. Setelah
hasil produksi semakin besar, zakat ditangani oleh semacam panitia yang
bertanggungjawab untuk menghimpun dan menyalurkan zakat secara kolektif.
Dan setelah timbul beberpa permasalahan dalam praktek, zakat diintervensi
oleh pemerintah (regulasi). Tujuannya selain untuk meningkatkan efektiftas
dan efesiensi pelayanan juga untuk meningkatkan manfaat zakat dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (UU
No.23 Tahun 2011 pasal 3).
Muallaf, yaitu kelompok orang yang dipandang lemah imannya atau
perlu dibujuk hatinya agar tidak berbuat makar. Muallaf terdiri atas orang-
orang muslim dan kafir. Muallaf orang-orang muslim terdiri atas orang-orang
yang masih lemah imannya (seperti Uyainah bin Hishn dan Aqra) dan orang-
orang yang sudah baik imannya (seperti Adi bin Hatim) tetapi dikhawatirkan
akan berubah. Mereka diberi bagian zakat untuk memantapkan imannya,
terutama apabila sangat dihormati oleh kaumnya. Nabi SAW pernah
memberikan dana zakat kepada Abu Sufyan bin Harb dan Al-Zabarqan bin
Badar karena kduanya adalah pemuka suku yang sangat disegani. Adapun
muallaf orang-orang kafir ialah orang-orang yang suka membuat makar atau
menindas orang-orang muslim seperti Amir bin Thufail, atau orang-orang yang
sudah condong kepada Islam, seperti Shafwan bin Umayah. Mereka diberi
bagian zakat agar tidak berbuat makar dan tidak menindas orang-orang muslim
atau dapat diharapkan akan masuk Islam.
8

Riqab, maksudnya memerdekakan budak; yaitu budak yang telah
dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan dengan cara menebus diri.

7
Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj, Abdurrahman, Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir (Damasqus, al-
Maktabah al-Islami, 1965), juz 3, hlm. 455-456
8
Lihat : Wahbah Al-Zuhaily, Al-Tafsir Al-Munir fie Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj
(Bairut, Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), juz 10, hlm. 269-270; dan lihat : Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj,
Abdurrahman, Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir (Damasqus, al-Maktabah al-Islami, 1965), juz 3, hlm. 457
6

Mereka diberi dana zakat untuk menebus dirinya itu. Imam Abu Hanifah dan
para pendukung madzhabnya mengatakan bahwa budak tidak boleh diberi dana
zakat secara penuh untuk menebus dirinya, tetapi diberi bantuan dana zakat
untuk membantu meringankan beban mereka. Alasannya bahwa kata wa fie
al-riqab mengandung arti musyarakah antara muzaki dengan budak yang akan
membebaskan diri dengan cara membayar uang tebusan tersebut, bukan
membebaskan budak dalam arti penuh. Sementara ulama Malikiyah
memandang bahwa dana zakat dapat digunakan untuk membeli budak
kemudian dimerdekakan. Alasannya karena yang dimaksud budak dalam ayat
di atas adalah membebaskan budak murni. Oleh karena itu, pembebasan budak
menjadi tanggungjawab lembaga pengelola zakat (baitul mal).
9

Gharimin, yaitu orang atau orang-orang yang mempunyai hutang yang
tidak sanggup membayar. Imam Qatadah mensyaratkan bahwa yang
bersangkutan bukan orang yang suka menghambur-hamburkan harta atau
pemboros. Alasannya karena orang yang suka menghambur-hamburkan harta
kemudian mempunyai sejumlah hutang hingga tidak sanggup membayar,
apabila diberi dana zakat untuk membayarnya ia akan mengulangi lagi untuk
berbuat hutang.
10
Namun ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
orang yang berhutang adakalanya untuk dirinya sendiri dan adakalanya untuk
orang lain. Apabila berhutang untuk dirinya sendiri, maka orang tersebut tidak
boleh dibantu dana zakat untuk melunasi hutangnya, kecuali apabila yang
bersangkutan termasuk kategori orang fakir. Ulama Hanafiyah memberi
batasan gharim yang boleh dibantu dengan dana zakat ialah gharim yang
apabila hutangnya dibayar, maka sisa hartanya tidak mencapai satu nisab. Akan
tetapi apabila berhutang untuk kepentingan orang lain seperti membantu orang
yang dijatuhi hukuman mati, atau dirampok, atau kebakaran dan kebanjiran,
maka ia diberi bagian zakat untuk menutupi hutangnya itu.
11
Sedangkan
menurut Ibnu al-Jauzi, orang kaya yang tidak boleh menerima zakat adalah
orang yang sesudah membayar hutangnya sisa uang sebanyak 50 dirham atau
emas senilai itu, baik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau tidak. Atau

9
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Tafsir Al-Munir fie Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj (Bairut,
Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), juz 10, hlm. 271
10
Lihat : Ibnu al-Jauzie, hlm. 458
11
Lihat : Wahbah Al-Zuhaily, hlm. 272
7

memiliki pekerjaan yang penghasilannya dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya, baik dari gaji atau hasil sewa tanah atau dagangan yang
keuntungannya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, orang-orang tersebut
tidak boleh diberi zakat.
Sabilillah, yaitu relawan perang dan relawan yang berjaga-jaga di
markas. Menurut Imam Asy-Syafiie mereka diberi zakat baik orang kaya
maupun miskin. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah relawan perang tidak
boleh diberi zakat, kecuali apabila ia miskin. Sementara Imam Ahmad, Imam
Hasan dan Ishaq berpendapat bahwa orang yang pergi haji dapat diberi dana
zakat. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa seseorang tidak boleh pergi haji
dengan menggunakan dana zakatnya sendiri, demikian pula menghajikan orang
lain, tidak boleh menggunakan dana zakat yang seharusnya dikeluarkan dari
hartanya. Dari ketentuan ini, maka seseorang tidak boleh pergi berperang
dengan menggunakan dana zakat dari hartanya sendiri.
12
Imam Abu Yusuf,
seperti dijelaskan oleh Al-Alusi Al-Baghdadi dalam Ruh al-Maani, mengatakan
bahwa yang dimaksud sabilillah ialah relawan perang yang kehabisan biaya
(munqathiu al-ghuzat), dan menurut Imam Muhammad termasuk jamaah haji
yang kehabisan biaya. Sebagian mufassir, seperti dikemukakan oleh Al-Alusi,
memasukkan orang-orang yang memperdalam ilmu, guru agama, dan penyuluh
agama Islam yang bekerja dan berusaha untuk tegaknya agama Islam dalam
pengertian sabilillah.
13
Bahkan Sayid Quthub dalam tafsirnya Fie Dhilal al-
Quran menjelaskan bahwa sabilillah mempunyai makna yang luas mencakup
semua kemaslahatan umat.
14
Seorang mufassir kenamaan, Ahmad Musthofa Al-
Maraghie, menegaskan bahwa makna yang tepat (al-haqq) dalam mengartikan
sabilillah mencakup kemaslahatan kaum muslim secara umum yang dapat
menegakkan agama dan negara. misalnya menyiapkan sarana yang menjamin
keamanan jamaah haji, menyediakan air, makanan dan obat-obatan untuk
menjaga kesehatan jamaah haji dan sebagainya apabila tidak ada dana dari
anggaran yang lain. Yang perlu ditegaskan di sini, bukan untuk kepentingan

12
Lihat : Ibnu al-Jauzie, hlm. 458 dan lihat : Wahbah Al-Zuhaily, hlm. 273
13
Lihat : Al-Alusi Al-Baghdadi, Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Adhim wa al-Sabu al-
Matsani (Bairut, Dar al-Turats `al-Arabi, 1985), juuz 10, hlm. 123
14
Lihat : Sayid Quthub,Fie Dhilal al-Quran (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1976), jld. 4,
hlm. 245
8

perorangan, karena ibadah haji diwajibkan bagi yang sudah mampu.
15
Imam Al-
Fakhr al-Razie, seperti dikutif Yusuf Qardhawie, mengatakan bahwa
memperhatikan ungkapan kalimat sabilillah, seharusnya tidak terbatas pada
relawan perang (al-ghuzat), oleh karena itu Imam Qafal melansir pendapat
sebagian ulama fikih bahwa mereka membolehkan pendistribusian dana zakat
kepada suluruh kebaikan, termasuk didalamnya penyediaan kain kafan,
membangun gidung dan atau membiayai operaonal masjid. Yusuf Qardhawie
mempertanyakan siapa sebenarnya ulama fikih yang dimaksud oleh Imam Al-
Qafal. Tetapi menurut hemat saya Imam Ar-Razie yang melansir pendapat
tersebut ternyata tidak mempersoalkan sama sekali, sehingga dapat diduga
bahwa Imam Ar-Razie tidak meragukan kredibilitas Imam Al-Qafal sebagai
seorang ulama yang dapat diterima riwayatnya. Selanjutnya dapat ditegaskan
bahwa yang dimaksud ulama dalam hal ini, seperti dijelaskan oleh para peneliti
(muhaqqiqin), adalah para mujtahid.
16

Ibnu Sabil, orang yang sedang dalam perjalanan yang mengalami
kesulitan biaya perjalanannya. Adapun orang yang hendak melakukan
perjalanan, maka menurut Imam Asy-Syafiie dan Ahmad bin Hanbal boleh
diberi bantuan dari dana zakat, sementara yang lain mengatakan tidak boleh.
Ibnu al-Jauzi menjelaskan dalam Tafsirnya bahwa yang dimaksud Ibnu Sabil
ada tiga pengertian, pertama, menurut Said bin Zuber, Adh-Dhahaq, Muqatil,
Al-Farra, Ibu Qutaibah dan Az-Zajjaj bahwa Ibnu Sabil adalah tamu; kedua
menurut Rabi bin Anas, Mujahid dan Qatadah, ibnu sabil adalah musafir; dan
ketiga menurut Imam Mawardi dengan melansir pendapat Imam Asy-Syafiie
bahwa orang yang hendak melakukan perjalanan tetapi tidak mempunyai dana
yang cukup, dapat diberi dana zakat dari asnaf Ibnu Sabil.
17


III. LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT
Para ulama memperdebatkan tentang pengelolaan zakat, apakah hak
muzaki (perorangan) ataukah lembaga pemerintah. Sebagian mereka

15
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghie (T.Tp, TP, Tt.), jld.4, hlm.145
16
Lihat : Yusuf Qardhawie, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa falsafatiha fi
Dhau al-Quran (Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 644-645
17
Lihat :
17
Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj, Abdurrahman, Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir (Damasqus,
al-Maktabah al-Islami, 1965), juz 1, hlm. 456179
9

mengatakan bahwa pengelolaan zakat adalah hak dan wewenang muzaki
sepenuhnya, sementara yang lain mengatakan hak dan wewenang pemerintah.
Selanjutnya mereka membagi obyek zakat menjadi dua bagian, pertama berupa
harta yang nampak (al-amwal al-dhahirah), kedua berupa harta yang tidak
nampak (al-amwal al-bathinah). Harta yang nampak ialah harta yang
wujudnya dapat diketahui oleh orang lain seperti hasil pertanian, perkebunan
dan peternakan, sedangkan harta yang tidak tampak adalah harta yang tidak
mudah diketahui oleh selain pemiliknya seperti uang tabungan, perhiasan dan
harta dagangan. Menurut ulama Hanafiyah obyek zakat yang berupa harta yang
nampak adalah menjadi hak dan wewenang pemerintah, sedangkan harta yang
tidak nampak menjadi hak dan wewenang muzaki.
Sementara itu ulama Malikiyah mengatakan bahwa pengelolaan harta
zakat semua menjadi hak dan wewenang pemerintah. Selanjutnya mereka
memperdebatkan bagaimana seandainya pemerintahnya tidak adil, sebagian
mereka mengatakan tetap wajib diserahkan kepada pemerintah melalui petugas
pemungut. Adapun apabila mereka menyelewengkan dana zakat, maka mereka
bertanggungjawab sendiri, muzaki sudah bebas karena sudah membayar.
Sementara yang lain mengatakan tidak wajib diserahkan kepada pemerintah
yang tidak adil sehingga apabila menyerahkan kepada mereka dan ternyata
tidak disalurkan, muzaki harus membayarnya lagi. Ulama Syafiiyah
berpendapat boleh dikelola sendiri oleh muzaki, tetapi menurut qaul qodim
tidak boleh dikelola sendiri, melainkan harus diserahkan kepada pemerintah.
18

Perselisihan ulama fikih dalam masalah tersebut berpengaruh terhadap
perjalanan sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Hasil survey yang dilakukan
oleh Public Interest Research and Advocasy Centre (PIRAC) pada tahun 2000,
menunjukkan bahwa sebahagian besar para wajib zakat (muzaki) lebih suka
menyalurkan zakatnya sendiri atau melalui panita (amil) yang ada disekitar
rumahnya (94%), hanya sedikit saja para wajib zakat yang menyalurkan
zakatnya melalui lembaga resmi, BAZ atau LAZ (6%)
19
.


18
Yusuf Qardhawie, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa falsafatiha fi Dhau al-
Quran (Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 644-645
19
Kurniawati, Kesermawanan Kaum Muslimin (Jakarta, Piramedia, 2004), hlm.28
10

IV. PEMBERDAYAAN MUSTAHIK
Hasil Kajian Asian Development Bank (ADB) menyatakan potensi zakat
di Indonesia mencapai 100 triliun, sementara yang terkumpul di Baznas masih
sangat kecil. Dana zakat yang terkumpul di Baznas pada tahun 2007 hanya
mencapai 450 milyar, pada tahun 2008 meningkat menjadi 920 milyar, pada
tahun 2009 bertambah menjadi 1,2 triliun, dan pada tahun 2010 bertambah lagi
mencapai 1,5 triliun. Hasil penelitian Baznas terbaru, bekerjasama dengan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor menjelaskan
potensi zakat Nasional tahun 2011 mencapai 217 trilyun. Terdiri atas potensi
zakat Rumah Tangga sebesar 82,7 trilyun, potensi zakat Industri Swasta
Nasional 114,89 trilyun, potensi Zakat BUMN 2,4 trilyun dan potensi zakat
Tabungan 17 trilyun. Potensi zakat nasional ini setara dengan 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Akan tetapi dari jumlah tersebut
yang terkumpul baru 1% saja.
Sementara zakat di Jawa Barat, menurut ketuanya, Muhammad Suryani
Ichsan, pada tahun 2012 potensi zakat mencapai 8 trilyun. Akan tetapi pada
tahun 2011 yang terkumpul baru 176 milyar. Pada tahun 2012, seperti
diharapkan oleh Baznas, ditargetkan sebesar 190 milyar, tetapi hasilnya sampai
dengan bulan Oktober belum tercapai. Adapun potensi zakat di Kabupaten
Cirebon brdasarkan hasil penelitian tahun 2005 jumlahnya mencapai 60
milyar, sementara yang terhimpun baru dari zakat profesi, yaitu pada tahun
2011 terkumpul 960 juta dari potensi zakat 8 milyar. Sementara zakat fitrah
dari potensi sebesar 35 milyar, yang terkumpul baru 3,3 milyar. Pada tahun
2013 Bazda Kabupaten Cirebon merencanakan bekerjasama dengan lembaga
perguruan tinggi untuk mengadakan penelitian tentang potensi Zakat di
Kabupaten Cirebon, karena data yang ada sudah tidak relevan. Berapa potensi
zakat dari sektor produksi dan dari sektor industri dan jasa masih belum
diketahui dengan pasti. Demikian pula data kaum dhuafa (fakir dan miskin)
yang menjadi sasaran zakat belum diketahui secara rinci. Oleh karena itu perlu
penelitian sehingga program pengumpulan dan pendayagunaan zakat dapat
direncanakan dengan tepat.


11

1. Pemberdayaan Fakir Miskin
Pendistribusian zakat, baik yang bersumber dari zakat fitrah maupun
dari zakat mal tidak dipisahkan. Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu
menjelaskan bahwa pada prinsipnya madzhab Syafiie tidak memisahkan antara
pendistribusian zakat fitrah dengan pendistribusian zakat mal. Zakat fitrah
didistribusikan kepada delapan asnaf sebagaimana zakat mal didistribusikan
kepada delapan asnaf.
20
Demikian pula Ibnai Qudamah (Muwaffiquddin dan
Syamsuddin) mengatakan dalam kitabnya Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir,
bahwa sasaran zakat fitrah adalah sama dengan sasaran zakat mal. Alasannya
karena kedua-duanya adalah zakat atau shadaqah yang disebutkan secara
umum didalam Al-Quran.
21

Ulama fikih periode klasik telah mendiskusikan pengelolaan zakat yang
efektif. Mereka memperbincangkan seberapa jauh dana zakat dapat
didistribusikan kepada kaum fakir dan miskin agar mereka berdaya. Sebagian
ulama mengatakan agar diberi dana zakat hingga cukup untuk satu tahun, dan
sebagian lagi hingga cukup untuk seumur hidup.
22
An-Nawawi menjelaskan
bahwa ulama Syafiiyah wilayah Irak dan kebanyakan ulama Syafiiyah wilayah
Kharasan menetapkan bahwa untuk kaum fakir dan miskin diberikan dana
zakat yang mencukupi hidupny. Tujuannya agar kaum fakir dan miskin yang
menggantungkan hidupnya pada orang lain dapat berubah menjadi kaum yang
mampu mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun.
An-Nawawi menegaskan bahwa pendapat yang demikian berasal dari Imam
Asy-Syafiie. Mereka beralasan dengan hadits Qabishah bin al-Mukhariq, bahwa
Nabi SAW bersabda :


20
Lihat : An-Nawawie, Kitab Al-Majmu, juz 6, hlm. 112
21
Lihat : Ibnai Qudamah, Muwaffiquddin dan Syamsuddin, Al-Mughni wa Syarah al-Kabir
(Bairut, Dar al-Fikr, Tt), juz 2, hlm. 709
22
Lihat : Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fi
Dlau al-Quran wa al-Sunnah (Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 564
12


Artinya Tidak boleh meminta-minta kecuali tiga hal, yaitu : (1) seseorang
yang hidup susah (menanggung beban berat), maka boleh meminta-minta
sekedar menutupi kebutuhan hidupnya kemudian berhenti; (2) seseorang
yang tertimpa bencana hingga hartanya habis, maka ia boleh meminta-minta
hingga penghidupannya dapat berdiri atau penghidupannya terpenuhi; dan
(3) seseorang yang jatuh miskin yang dinyatakan sekurang-kurangnya oleh
tiga orang ahli bahwa yang bersangkutan jatuh miskin, maka yang
bersangkutan boleh meminta-minta hingga penghidupannya dapat berdiri
atau penghidupannya terpenuhi. Adapun selain tiga orang tersebut, maka
apabila meminta-minta berdosa hai Qabishah, berarti makan haram (HR
Muslim)
Teks hadits menyebutkan kategori-kategori fakir dan kategori-kategori
miskin sekurang-kurangnya direkomendasikan oleh tiga orang ahli yang dapat
dipercaya. Namun menurut ulama Syafiiyah, seperti dikemukakan oleh An-
Nawawi, bahwa rekomendasi dari tiga orang ahli tersebut hanyalah sebagai
kesaksian publik belaka, bukan sebagai persyaratan untuk memperoleh hak dari
dana zakat. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa apabila yang bersangkutan
memiliki keahlian atau keterampilan kerja, maka kaum fakir dan miskin diberi
modal yang cukup dari dana zakat, termasuk untuk membeli alat-alat kerja
hingga memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Para ulama memperkirakan apabila tukang sayur cukup diberi modal 5-10
dirham, apabila pedagang emas atau permata diberi modal hingga 10.000
dirham, apabila pedagang kain atau pedagang roti atau pedagang minyak
wangi, maka diberi modal sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dan
apabila yang bersangkutan mempunyai profesi sebagai tukang jahit atau tukang
kayu atau tukang batu maka diberi modal yang mencukupi untuk membeli
peralatan kerja mereka. Bahkan apabila yang bersangkutan adalah petani, maka
13

boleh diberikan dana zakat yang cukup untuk membeli tanah kemudian diolah
dan hasilnya dapat menutupi kebutuhan bertahun-tahun.
23

Sementara itu ulama Syafiiyah mempersoalkan bagaimana bentuk
pemberdayaan mustahik apabila yang bersangkutan tidak mempunyai
keterampilan apa-apa. Sebagian ulama mengatakan boleh diberi dana zakat
yang cukup untuk seumur hidup. Tetapi Imam Al-Mutawali mengatakan agar
dibelikan tanah pertanian untuk digarap sendiri dan hasilnya dapat memenuhi
kebutuhan hidup bertahun-tahun. Sementara Imam Ar-Rafiie berpendapat
agar yang bersangkutan diberi dana zakat yang cukup untuk hidup bertahun-
tahun. Imam An-Nawawie setuju dengan pendapat pertama yang menyatakan
boleh dibelikan tanah untuk digarap sehingga hasilnya dapat menghidupi
bertahun-tahun, karena bersifat produktif, bukan konsumtif. Namun Imam Al-
Baghawi dan Al-Ghazali dengan mengutip pendapat ulama Kharasan
mengatakan bahwa yang bersangkutan hanya boleh diberi dana zakat yang
cukup untuk satu tahun saja, tidak boleh lebih dari itu. Alasannya karena dana
zakat dianggarkan setiap tahun, maka pendistribusian juga menjangkau
tahunan.
24

Lebih lanjut para ulama memperbincangkan pemberdayaan kaum fakir
dan miskin hingga menjangkau biaya pendidikan dan perkawinan. Yusuf
Qardlawi melansir beberapa pendapat ulama fikih tentang apakah orang yang
menghabiskan waktunya untuk ibadah sama dengan orang yang menhabiskan
waktunya untuk memperdalam ilmu. Jawabannya tidak sama, mereka
mengatakan bahwa orang yang menghabiskan waktunya untuk memperdalam
ilmu boleh diberi dana zakat, sementara orang yang menghabiskan waktunya
untuk beribadah tidak boleh diberi dana zakat. Alasannya karena untuk ibadah
tidak membutuhkan waktu yang lama, sementara memperdalam ilmu
memerlukan waktu yang lama. Alasan lain dapat dikemukakan bahwa ibadah
hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, sedangkan memperdalam ilmu
bermanfaat untuk dirinya dan untuk orang lain.

23
An-Nawawie, Abu Zakaria, Muhyiddin bin Syaraf, Kitab al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab li
Al-Syairazie (T.Tp., Dar Ihya al-Turats, 1995), juz 6, hlm. 175
24
Ibid, hlm. 176
14

Adapaun mengenai biaya perkawinan, ulama fikih, seperti dikutif Yusuf
Qardlawi, untuk membayar maskawin dan lain-lain boleh diberi dana zakat
dengan catatan yang bersangkutan belum mempunyai isteri. Namun sebagian
ulama mengatakan bahwa bagi orang hiper sex yang tidak cukup dengan satu
orang isteri padahal ia tidak mampu membayar maskawinnya, boleh diberi
dana zakat untuk biaya perkawinan yang keduanya. Mereka beralasan bahwa
Islam melarang untuk melajang (tidak menikah) dan melarang usaha untuk
mematikan syahwat (dikebiri) serta memerintahkan untuk menikah. Oleh
karena itu Umar bin Abdul Aziz ketika masyarakatnya telah makmur, pada
setiap hari mengumumkan : Dimanakah orang-orang miskin, dimanakah
orang-orang yang terjerat hutang, dan dimanakah orang-orang yang ingin
menikah tetapi tidak mempunyai biaya? Seruan tersebut bertujuan untuk
menyalurkan dana zakat yang tersimpan di Baitul Mal.
25


2. Pemberdayaan Muallaf
Muallaf, sebagaimana telah diterangkan di atas, didefinisikan sebagai
orang atau orang-orang yang imannya lemah dan perlu dibujuk agar menjadi
kuat, atau orang-orang kafir yang dapat diharapkan masuk Islam atau ditakuti
akan berbuat makar, diberi dana zakat agar menjadi jinak. Dari sini dapat
diketahui bahwa Islam tidak hanya memperhatikan kehidupan individu
(ekonomi mikro), melainkan juga memperhatikan kehidupan masyarakat yang
lebih luas (ekonomi makro). Imam Az-Zuhri pernah ditanya tentang yang
dimksud muallaf, beliau menjawab : yaitu orang-orang yang baru memeluk
Islam dari kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian beliau ditanya lagi tentang
apakah muallaf yang kaya dapat diberi dana zakat? Jawabnya ya, muallaf yang
kaya diberi bagian zakat.
26

Pemberdayaan asnaf muallaf ternyata lebih luas, karena tidak hanya
memberdayakan kaum muslim yang lemah imannya, tetapi juga meredam
gejolak sosial yang dipicu oleh orang-orang kafir. Orang-orang kafir yang dapat
diharapkan masuk Islam atau dikhawatirkan dapat memicu konflik seperti

25
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fi Dlau al-Quran
wa al-Sunnah (Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 568-570
26
Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir, Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran (Bairut, Dar
al-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 113
15

Shafwan bin Umayah dapat diberi dana zakat. Nabi pernah memberikan
sejumlah besar unta kepada Shafwan ketika fathu Makkah padahal yang
bersangkutan adalah orang kaya. Akhirnya Shafwan berkata : Demi Allah
bahwa Nabi SAW telah memberikan sejumlah unta kepadaku padahal dia
adalah orang paling aku benci. Tetapi karena beliau selalu memberi aku, maka
bagiku beliau adalah orang yang paling aku cintai. Demikian pula orang-orang
kafir yang sangat membenci Islam dan suka melakukan tindak kekerasan
terhadap kaum muslim, dapat diberi dana zakat dengan tujuan untuk meredam
gejolak yang akan timbul dari kebencian tersebut.
27
Nabi SAW pernah
memberikan dana zakat kepada Abu Sufyan bin Harb, Al-Aqra bin Habis dan
Uyainah bin Hishn masing-masing 100 unta padahal mereka adalah orang-
orang kafir yang suka bertindak kasar terhadap kaum muslim. Namun
demkianlah Nabi SAW memperlakukan mereka dengan harapan agar mereka
berhenti menghasut kaumnya untuk tidak berbuat kerusakan terhadap kaum
muslim.
28

Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan 11 tokoh
Quraisy yang mendapat perhatian dari asnaf muallaf, yaitu (1) Abu Sufyan bin
Harb, dari Bani Umayah, (2) Al-Hats bin Hisyam dan Abdurrahman bin Yarbu,
dari Bani Makhzum, (3) Shofwan bin Umayah, dari Bani Jamh, (4) Suhel bin
Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza, dari Bani Amir bin Luay, (5) Hakim bin
Hizam, dari Bani Asad bin Abdul Uzza, (6) Sufyan bin al-Harts bin Abdul
Muthalib, dari Bani Hasyim, (7) Uyainah bin Hishn bin Badar, dari Bani
Fazarah, (8) Al-Aqra bin Habis, dari Bani Tamim, (9) Malik bin Auf, dari Bani
Nashr, (10) Al-Abbas bin Mardas, dari Bani Salim, dan (11) Al-Ala bin Haritsah,
dari Bani Tsaqif. Nabi SAW memberikan dana zakat kepada mereka masing-
masing 100 ekor unta, kecuali Abdurrahman bin Yarbu dan Khuwaithib bin
Abdul Uzza, masing-masing dari keduanya diberi 50 ekor.
29




27
Lihat : Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fi
Dlau al-Quran wa al-Sunnah (Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 596
28
Lihat : Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Bairut, Dar al-Fikr, 1977), juz 1, hlm. 329-330
29
Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir, Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran (Bairut, Dar
al-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 112
16

3. Pemberdayaan Ghorim
Ghorim adalah orang atau orang-orang yang mempunyai hutang tetapi
tidak mampu membayar. Abu Hanifah, seperti disebutkan di atas, ghorim
adalah orang yang memiliki sejumlah hutang dan apabila hutangnya dibayar
sisa hartanya tidak mencapai satu nisab. Lebih lanjut Imam Malik, Syafiie dan
Ahmad membagi ghorim menjai dua macam, ghorim yang berhutang untuk
memenuhi kepentingan pribadi dan ghorim yang berhutang untuk memenuhi
kepentingan masyarakat. Yang dimaksud hutang untuk memenuhi kepentingan
pribadi ialah hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memberi
nafkah, membeli pakaian, perabotan rumah tangga, membayar biaya
pengobatan, dan sebagainya. Sedangkan hutang untuk kepentingan umum ialah
hutang untuk menanggung biaya perdamaian kasus persengketaan antara dua
suku, atau menanggung biaya untuk membayar diat saudaranya, atau untuk
membangun panti jompo, dar al-aitam, rumah sakit tempat berobat orang-
orang miskin dan membangun masjid atau madrasah dan lainnya.
30

Baik ghorim yang berhutang untuk memenuhi kepentingan pribadi
maupun untuk memenuhi kepentingan umum jika tidak mampu membayar,
dapat diberi dana zakat untuk membayar hutangnya. Kiranya perlu ditegaskan
disini bahwa ghorimin yang memiliki uang yang cukup untuk membayar
hutang-hutangnya tidak boleh diberi dana zakat. Oleh karena itu
pendisitribusian dana zakat kepada ghorimin harus disesuaikan dengan
kepentingan untuk membayar hutangnya, yaitu (1) hutang tersebut sudah jatuh
tempo, (2) bukan hutang untuk maksiat, dan (3) hanya untuk membayar sisa
hutang yang tidak terbayar.
31


4. Pemberdayaan Dana Sabilillah
Pemberdayan dana sabilillah, seperti telah disebutkan di atas,
diperdebatkan para ulama, baik klasik maupun modern. Sebagian besar mereka
menetapkan bahwa asnaf sabilillah adalah relawan perang. Sementara yang lain
memasukan sarana dan prasarana yang digunakan untuk peperangan termasuk
sabilillah. Selanjutnya Imam Ahmad memperluas pengertian sabilillah hingga

30
Lihat : Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, juz 2, hlm. 623 & 630
31
Ibid, hlm. 626
17

mencakup perjalanan haji, karena Nabi SAW pernah menyamakan haji dengan
jihad fi sabilillah. Sebelumnya Umar bin Abdul Aziz memberikan dana zakat
untuk biaya-biaya perkawinan. Dengan demikian ungkapan kalimat sabilillah
dapat ditafsirkan secara luas. Beberapa ulama kontemporer seperti Musthofa
Al-Maraghi, Sayid Quthub dan lain-lain memperluas pengertian sabilillah
hingga menjangkau berbagai sektor kebajikan. Sayid Shadiq Hasan Khan,
seperti dikutif Yusuf Qardhawi, memberikan penjelasan yang ekstrim, bahwa
pengertian sabilillah mencakup jalan-jalan menuju Allah dan jihad. Lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa mendistribusikan dana zakat kepada para ulama
yang bekerja mengurus kepentingan kaum muslim dan menegakkan agama
Allah adalah termasuk sabilillah.
32
Rasyid Ridha dan Syaltut memberikan
penjelasan yang lebih ekstrim lagi, bahwa sabilillah adalah kemaslahatan umat
Islam secara umum, yaitu yang terkait dengan penegakkan agama dan negara,
bukan bersifat perorangan.
33


5. Pemberdayan Amilin
Selanjutnya ulama mempersoalkan seberapa banyak asnaf amilin dapat
memperoleh hak agar dapat bekerja dan berdaya, sebagian mereka mengatakan
hak amilin sebanyak seperdelapan dari dana zakat yang berhasil dikumpulkan,
dan sebagian lain mengatakan bahwa hak mereka disesuaikan dengan tugas dan
fungsi pekerjaannya. Adh-Dhahaq, Mujahid dan Asy-Syafiie berpendapat
bahwa amilin berhak mendapat bagian seperdelapan dengan alasan mereka
adalah salah satu asnaf dari delapan asnaf yang disebutkan dalam ayat di atas.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pendukung madzhabnya yang
dipandang kuat oleh Abu Jafar, berpendapat bahwa amilin mendapatkan hak
dari dana zakat sesuai dengan tugas dan fungsinya, bukan seperdelapan.
Mereka berpedoman pada petunjuk Abdullah bin Amru bin Ash bahwa dana
zakat adalah hak orang-orang pincang, orang-orang juling, orang-orang tuli dan
orang-orang yang tidak mampu bekerja. Adapun para mujahidin dan amilin,

32
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat, juz 2, hlm. 647
33
Ibid, hlm. 648
18

mereka boleh mengambil haknya sekedar memberi imbalan atas pekerjaannya
itu.
34


V. PROGRAM PRIORITAS
Skala perioritas penyaluran zakat sesuai dengan ketentuan yang tertuang
dalam QS At-Taubat, 9 : 60, ialah : fakir, miskin, amilin, muallaf, riqab,
gharimin, sabilillah dan ibnu sabil, tetapi BAZ Kabupaten Cirebonmenentukan
urutan perioritas untuk asnaf fakir, miskin dan sabilillah. Kemudian asnaf
amilin dengan menitikberatkan pada biaya operional, bukan pada
kesejahteraan. Adapun asnaf muallaf, ibnu sabil dan gharimin diberi alokasi
sangat kecil. Sedangkan asnaf riqab hanya untuk perhatian saja (up). Rincian
prosentase pengalokasian dana ZIS untuk masing-masing asnaf, sesuai
Keputusan Dewan Pertimbangan yang mengacu pada Keputusan Gubernur,
adalah : fakir 35%, miskin 25%, amilin 12,5%, muallaf, 1%, riqab 0%, gharimin
0,5%, sabilillah 25,5% dan ibnu Sabil 0,5%
Penyaluran hasil pengumpulan dana zakat setiap tahun dilaksanakan
berdasarkan Keputusan Rapat Pleno Tahunan yang dihadiri oleh semua unsur,
yaitu unsur Dewan Pertimbangan yang anggota-anggotanya terdiri dari para
pejabat dan ulama, unsur pengawas, dan unsur Dewan Pelaksana. Dalam tiga
tahun terakhir dana zakat, terutama yang bersumber dari zakat mal (zakat
profesi) diarahkan untuk kepentingan produktif. Pada tahun 2010 membangun
rumah tidak layak huni (Rutilahu) sebanyak 22 unit, tahun 2011 sebanyak 32
unit dan tahun 2012 sebanyak 52 unit. Besarnya biaya yang disediakan untuk
setiap unit antara 9-15 juta rupiah. Bantuan untuk Madrasah Diniyah pada
tahun 2010 sebanyak 22 madrasah, tahun 2011 sebanyak 40 madrasah dan
tahun 2012 sebanyak 52 madrasah. Besarnya bantuan antara 5-10 juta rupiah.
Pemberian bantuan stimulan kepada para siswa miskin berprestasi setiap tahun
mencapai 1600-1800 siswa, masing-masing 200-300 ribu rupiah. Pemberian
kepada guru ngaji, guru agama honorer (guru DTA), relawan penyuluh, dan
lembaga-lembaga penyantun yatim-piatu. Walaupun jumlah dan besarnya

34
Lihat : Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir, Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran
(Bairut, Dar al-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 111; dan lihat :Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin
Muhammad, Fathul Qadir Al-Jami Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min Ilm al-Tafsir (Bairut,
Maktabah Al-Ashriyah, 1995), juz 2, hlm. 463
19

bantuan tidak memadai dibandingkan dengan jumlah dan kerja para relawan,
tetapi Bazda Kabupaten Cirebon telah menyapa mereka setiap tahun.
Sesungguhnya masih banyak putra-putri miskin Kabupaten Cirebon yang
berprestasi dan terpilih untuk meneruskan studi di luar negeri seperti Jerman,
Mesir, dan lainnya yang perlu didukung dengan dana zakat, tetapi dana zakat
Kabupaten Cirebon masih terbatas.
Kiranya perlu dikemukakan di sini bahwa program pemberdayan
tersebut tidak berarti mengabaikan pendistribusian konfensional yang bersifat
konsumtif. Hasil pengumpulan zakat fitrah yang diperoleh dari jalur
masyarakat, dialokasikan untuk asnaf fakir-miskin sebesar 60% dan didistribusi
langsung di tempat pengumpul pada hari raya (100%). Dana yang dikelola di
Bazda adalah dana sabilillah yang sebagian besarnya berasal dari zakat mal
(zakat profesi). Dan dana amilin sebesar 12,5% digunakan untuk operasional di
UPZ 8%, operasional di Kecamatan 2% dan operasional di Kabupaten 2,5%.
Dana amilin di Kabupaten sebesar 2,5% digunakan untuk biaya transportasi
dan rapat-rapat. Adapun honor staf diperoleh dari APBD Kabupaten Cirebon
sebesar 100 juta rupiah.

VI. PROGRAM PEMBERDAYAAN
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Amil Zakat Daerah
(Bazda) dengan berpedoman pada keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia
yang membolehkan mentasharufkan dana zakat untuk kegiatan produktif,
investasi (istitsmar) dan untuk kemaslahatan umum
35
dan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 pasal 27 yang menyebutkan bahwa
zakat dapat digunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir
miskin dan pengangkatan kualitas umat. Selanjutnya dalam penjelasannya
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan usaha produktif ialah usaha yang
mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan masyarakat,
dan yang dimaksud dengan peningkatan umat ialah peningkatan sumber daya
manusia. Maka Baznas melakukan pemberdayaan mustahik dengan beberapa
kegiatan. Pertama pengembangan ekonomi berupa penyaluran modal kepada

35
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI (Jakarta, Erlangga, 2011), hlm. 159 & 199.
20

perorangan maupun kelompok, penyaluran bantuan kepada pengusaha mikro,
pembangunan industri dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kedua pembinaan
Sumber Daya Manusia (SDM) berupa beasiswa, diklat dan kursus keterampilan,
dan membuat lembaga pendidikan untuk fakir miskin. Ketiga layanan sosial
seperti menyediakan mobil jenazah, menyediakan angkutan kerja gratis,
angkutan sekolah gratis, biaya kesehatan dan obat-obatan, bayar SPP dan
sebagainya.

VII. PENUTUP
Zakat adalah sumber keuangan publik, memiliki kekuatan ekonomi
yang dapat mensejahterakan masyarakat. Agar dana zakat berdaya guna dan
berhasi guna, harus diarahkan bukan hanya untuk menutupi kebutuhan
konsumtif individu, tetapi lebih diarahkan untuk kepentingan sosial yang
produktif. Sudah saatnya umat Islam merubah paradigma, dari kerangka
berfikir bagaimana nasib fakir mikin hari ini, menuju kerangka berfikir
bagaimana nasib mereka di hari esok.
Wallahu Alam Bishshawab
















21



DATA KAUM DHUAFA



1. NASIONAL :
BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) : PENDUDUK KATEGORI MISKIN,
YANG BERPENGHASILAN DI BAWAH 280 RIBU/BULAN ATAU DI
BAWAH 2 US DOLAR/HARI PADA TAHUN 2011 : 57,14 JUTA JIWA
(22%)

Menurut Harry Hikmat, Penduduk miskin di Indonesia (baca : umat Islam) setelah
krisis moneter tahun 1997 meningkat hingga tiga kali lipat. Jumlahnya pada bulan
Agustus 1998 mencapai 39,1% atau 79,4 juta orang dibandingkan dengan sebelumnya
pada awal Repelita VI hanya 25,9 juta orang, bahkan menurun hingga 22,6 juta orang
atau 11,3%.
Dampak lain dari krisis moneter menimbulkan peningkatan angka pengangguran
dan anak jalanan (street children) yang cukup besar.
36
Meningkatnya
kemiskinan dan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis moneter tersebut
merupakan masalah nasional yang perlu ditangani secara masif. Sungguhpun
pemerintah telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, seperti Gerakan
Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (Gardu Taskin), Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan
terakhir Konpensasi Bahan Bakar Minyak (Konpensasi BBM) atau Bantuan
Langsung Tunai (BLT) tetapi hasilnya belum tuntas. Dalam kondisi masyarakat
yang demikian, seharusnya lembaga wakaf dapat menjadi instrumen yang
kontributif terhadap pemecahan problem sosial tersebut, bukan sebaliknya,
malah membebani masyarakat dengan sumbangan-sumbangan dan patungan

36
Lihat
36
R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung, Humaniora Utama Press, 2004),
hlm.122
22

2. REGIONAL JAWA BARAT :
GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI JAWA BARAT SETIAP
MEMASUKI BULAN RAMADHAN NAIK 60-70%

3. LOKAL KABUPATEN CIREBON (DATA DARI DINSOS) :
1) RUTILAHU : 16.923 UNIT
2) RTM : 96.971
3) PENGEMIS : 505 ORANG
4) GELANDANGAN : 219 ORANG
















DAFTAR ISI



I. PENDAHULUAN 1
II. LANDASAN PENGELOLAAN 2
III. PENGELOLA ZAKAT 5
IV. PEMBERDAYAAN MUSTAHIK 6
23

1. Pemberdayaan Fakir Miskin 7
2. Pemberdayaan Muallaf 9
3. Pemberdayaan Ghorimin 10
4. Pemberdayaan Dana Sabilillah 10
5. Pemberdayan Amilin 11
V. PROGRAM PRIORITAS 11
VI. PROGRAM PEMBERDAYAAN 12
VII. PENUTUP 12

Anda mungkin juga menyukai