Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Perinatal asfiksia masih merupakan masalah baik di negara berkembang
maupun di negara maju dan menyebabkan kematian sebesar 20% dari bayi baru lahir.
Keadaan hipoksia dan iskemia yang terjadi akibat afiksia akan menimbulkan
gangguan pada berbagai fungsi organ. Proses terjadinya gangguan bergantung pada
berat dan lamanya hipoksia terjadi dan berkaitan dengan proses reoksigenisasi
jaringan setelah proses hipoksia tersebut berlangsung. Faktor risiko terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir terdiri dari faktor ibu, faktor janin dan faktor persalinan /
kelahiran. Hal ini penting, karena dengan pengenalan faktor risiko tersebut maka
persiapan resusitasi bayi dapat dilakukan. Beberapa organ tubuh yang akan
mengalami disfungsi akibat asfiksia perinatal adalah otak, paru, hati, ginjal, saluran
cerna dan sistem darah.
1

Perinatal asfiksia paling sering terjadi akibat hipotensi pada sang ibu ketika
proses melahirkan sehingga aliran darah menuju janin menjadi berkurang dan
terjadilah hipoksia atau adanya penyebab lain yang menyebabkan gangguan sirkulasi
darah ke otak bayi ketika dilahirkan. Secara global, perinatal asfiksia terjadi pada 1
dari 1000 neonatus dengan masa gestasi normal, dan angka kejadiannya meningkat di
negara berkembang dan pada bayi yang lahir prematur.
2,3
Pada tulisan ini akan dibahas secara lengkap hubungan antara perinatal
asfiksia dengan kerusakan sistem saraf pusat.



2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Asfiksia
Asfiksia didefinisikan sebagai kondisi yang buruk di mana terdapat defisit
suplai oksigen ke berbagai macam organ tubuh dikarenakan pernapasan yang
abnormal. Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya asfiksia, semuanya
memiliki karakteristik yang sama yaitu ketidakmampuan seseorang untuk
mendapatkan suplai oksigen yang cukup melalui proses pernapasan untuk waktu yang
cukup lama. Beberapa penyebab terjadinya asfiksia antara lain adalah; konstriksi atau
obstruksi saluran pernapasan dan lingkungan di mana oksigen tidak tersedia atau
minim. Asfiksia dapat menyebabkan koma, kerusakan organ, bahkan kematian.

2. Perinatal Asfiksia
a. Definisi
Perinatal asfiksia atau neonatal asfiksia adalah suatu kondisi medis karena
kurang tersedianya oksigen (hipoksia) dalam waktu yang cukup lama pada janin
atau bayi yang baru terlahir sehingga menyebabkan komplikasi yang merugikan,
khususnya sistem saraf pusat. Perinatal asfiksia dapat menyebabkan kerusakan di
berbagai macam organ seperti jantung, paru, liver, saluran cerna, dan ginjal.
Namun, kerusakan pada sistem saraf pusat (otak) merupakan fokus utama karena
memiliki prognosis yang terburuk, yaitu kematian. Meskipun sang bayi dapat
terselamatkan, kersakan pada otak akan memiliki efek buruk terhadap mental
pasien (perkembangan yang terlambat, retardasi) atau terhadap fisik pasien
(spastisitas).
2
3


b. Etiologi
Perinatal asfiksia dapat disebabkan oleh karena berbagai macam penyebab,
salah satunya adalah berkurangnya kadar oksigen pada sang ibu sebelum saat
melahirkan atau penyebab lain yang menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
otak bayi ketika dilahirkan. Berikut ini adalah daftar macam-macam penyebab
perinatal asfiksia yang diketahui:
4
Tetralogi of Fallot
Patent ductus arteriosus
Distosia
Ruptur uterus
Atonia uterus
Prolaps korda umbilikalis
Lahir prematur
Insufisiensi placenta
Diabetes gestational
Epidural anesthesia
Oligohydramnion
Polyhydramnion
Vasa previa
Neonatal abstinence syndrome
Plasenta previa
Fraktur pelvis


4

Gambar 2.1 Penurunan Aliran Darah Otak Akibat Asfiksia Perinatal



c. Patofisiologi
Perinatal asfiksia akan menyebabkan gangguan pada berbagai macam organ di
tubuh manusia, khususnya otak, karena sel-sel otak memerlukan suplai oksigen
jauh melebihi sel-sel pada organ tubuh yang lainnya. Perinatal asfiksia akan
menyebabkan suatu kondisi pada otak yang disebut hypoxic-ischemic
encephalopathy (HIE), yaitu defisit suplai oksigen otak akibat hipoksia yang akan
mengakibatkan sel-sel otak mengalami iskemia yang berujung pada kerusakan.
Pada keadaan hipoksemia akan terjadi redistribusi aliran darah menuju organ-
organ vital, diantaranya adalah otak. Hal tersebut akan menyebabkan aliran darah
5

ke otak meningkat, dan akan mengkompensasi keadaan hipoksemia. Namun,
keadaaan hipoksemia yang terus menerus akan menyebabkan penumpukan kadar
CO
2
(hiperkapnia) dan asam laktat (asidosis), sehingga tekanan darah akan
mengalami penurunan, lalu aliran darah ke otak juga akan kembali turun
(Gambar 2.1).
2
Turunnya aliran darah ke otak akan mengakibatkan perubahan
metabolisme energi dari metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob,
menyebabkan penurunan produksi ATP, akumulasi laktat, penurunan kadar pH,
dan terjadinya pembentukan stress oxidative yang berujung pada kerusakan sel-sel
otak.
5

Sel-sel otak pada neonatus memiliki konsentrasi asam lemak tak jenuh yang
tinggi, tingkat konsumsi oksigen yang tinggi, dan kadar anti-oksidan yang sangat
rendah.
6
Secara garis besar, kematian sel otak pada perinatal asfiksia terjadi
melalui mekanisme nekrosis dan apoptosis sel. Kematian sel otak melalui
mekanisme nekrosis adalah kematian sel yang terjadi dengan cepat (hitungan
menit). Mekanisme nekrosis terjadi di region sel otak dengan aliran darah otak di
bawah 10-12 mL/100g/menit, di mana kadar oksigen pada sel sangatlah sedikit
(iskemik).
7
Hal tersebut akan mengakibatkan deplesi ATP yang akan
menyebabkan gangguan pada pompa ATP-dependent-Na+-K+, sehingga akan
terjadi influks ion Na+, Cl-, dan cairan ke dalam sel yang selanjutnya akan
membuat sel otak mengalami pembengkakan, lisis, dan akhirnya nekrosis.
5

Pada region sel otak yang mengalami penumbra yaitu region sel otak dengan
aliran darah otak di bawah 20 mL/100g/menit, di mana kadar oksigen masih ada
meskipun sedikit (hipoksia), penurunan produksi ATP akan menyebabkan
gangguan homeostasis ion yang menyebabkan hilangnya kemampuan depolarisasi
dan meningkatnya konsentrasi glutamate ekstraselular (excitotoxicity).
7

6

Excitotoxicity akan menyebabkan aktivasi berlebihan pada reseptor ionotropik
NMDA (N-methyl-D-aspartic acid) AMPA/KA (Alpha-amino acid-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid / Kainic acid) dan reseptor metabotropik
glutamate (mGluR), yang selanjutnya akan menginduksi influx ion Ca
2+
ke dalam
sel-sel otak. Peningkatan kadar Ca
2+
dalam sel akan mengaktivasi enzim-enzim
protease, lipase, endonuclease, dan nitric oxide synthase, yang akan mendegradasi
sitoskeleton dan matriks protein ekstraselular, yang berakibat pada terjadinya
pembentukan stress oxidative membran lipid, peroxynitrites, dan radikal bebas
yang lainnya. Selanjutnya, radikal-radikal bebas akan mengakibatkan serangkaian
proses kaskade intraselular yang melibatkan berbagai protein proapoptosis seperti
Bcl-2, BAX, BAD, dan caspase-3, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan
dan kematian sel otak melalui mekanisme apoptosis dalam hitungan jam hingga
hari.
5


d. Epidemiologi
Angka kejadian perinatal asfiksia berkisar antara 1 hingga 8 kasus per 1000
kelahiran. Perinatal asfiksia merupakan penyebab utama kematian neonatus di
secara global, 23% kematian neonatus disebabkan oleh karenanya. Meskipun data
yang ada sangatlah terbatas, tapi diperkirakan terdapat 920 ribu kematian neonatus
yang disebabkan karena asfiksia perinatal di setiap tahunnya.
8

Walau data yang akurat tidak tersedia, tapi diketahui bahwa angka kejadian
perinatal asfiksia sangatlah tinggi di negara berkembang. Hal ini disebabkan
karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai, dan sebagian besar bayi
yang mengalami perinatal asfiksia tidak memperoleh penanganan yang adekuat
sehingga banyak diantaranya yang meninggal.
9

7

Indoenesia mempunyai 200 juta penduduk dengan angka kelahiran 2,5%
pertahun, sehingga diperkirakan terdapat 5 juta kelahiran di setiap tahunnya. Jika
angka kejadian asfiksia di Indonesia berkisar antara rentang 3 hingga 5% dari
seluruh kelahiran, maka diperkirakan terdapat 250 ribu bayi yang mengalami
perinatal asfiksia di setiap tahunnya.
9
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM pada tahun 2000 didapatkan 6,3% bayi dengan perinatal asfiksia dari
seluruh kelahiran, 2,1% diantaranya lahir dengan asfiksia berat.
2


e. Faktor Resiko
Berbagai faktor faktor pada ibu dan bayi berperan sebagai faktor resiko
perinatal asfiksia. Penilaian perinatal terhadap faktor resiko dan penanganan yang
baik pada kehamilan resiko tinggi sangat mutlak pada perinatal asfiksia. Apabila
komplikasi perinatal asfiksia sudah terjadi, maka diperlukan pendekatan
multidisiplin untuk mencegah kerusakan yang sudah terjadi agar tiak bertambah
berat.
2

Pengenalan faktor resiko yang menyertai kelahiran bayi memungkinkan
dilakukannya persiapan resusitasi sehingga bayi akan memperoleh terapi yang
adekuat ketika lahir. Faktor resiko terjadinya perinatal asfiksia pada neonatus
terdiri dari faktor ibu, faktor janin, dan faktor persalinan.
2

Faktor resiko yang berasal dari sang ibu antara lain adalah infeksi
(korioamnioitis), pre-eklampsia atau eklampsia, penyakit kronik yang diderita
oleh sang ibu (hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru, dan
diabetes). Faktor resiko yang berasal dari janin antara lain adalah prematuritas,
bayi kecil massa kehamilan, gawat janin, bayi kembar, kelainan congenital
(tetralogi of Fallot, patent ductus arteriosus), inkompabilitas golongan darah,
8

neonatal abstinence syndrome, dan depresi susunan saraf pusat oleh obat-obatan.
Faktor resiko yang berasal dari persalinan antara lain adalah polihidramnion,
oligohidramnion, perdarahan prenatal (plasenta previa, solusio plasenta), kelainan
kontraksi terus, dan kelainan tali pusat.
2


f. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis perinatal asfiksia berdasarkan kesepakatan dari American
Academy of Paediatrics (AAP) dan American College of Obstetrics and
Gynaecology (ACOG) pada tahun 1996 adalah ditemukannya hal-hal sebagai
berikut:
10

Kelainan metabolik atau asidosis (pH <7.0) pada sampel arteri
umbilikalis neonatus (apabila pemeriksaan dapat dikerjakan)
Skor APGAR (Tabel 2.1) dengan nilai 0-3 yang persisten (lebih dari 5
menit)
Sekeuel neurologis neonatus, seperti kejang, koma, dan hipotonus
Gangguan fungsi di berbagai organ tubuh, seperti organ ginjal, paru,
hati, jantung
Secara klinis, penemuan dari hal-hal di atas disebut dengan hypoxic-ischemic
encephalopathy (HIE).
5

Tabel 2.1 Skor APGAR
Skor 0 Skor 1 Skor 2
Appearance Sianosis Sianosis akral Tidak ada sianosis
Pulse rate (-) <100 >100
Grimace Tidak ada respon Ada (lemah) jika diberi stimuli Ada jika diberi stimuli
Activity (-) Kurang aktif Aktif
Respiratory (-) Lemah, irregular Kuat,,menangis

9

Kesepakatan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM untuk mendiagnosa
perinatal asfiksia adalah bayi yang lahir dengan skor APGAR 0 hingga 3 pada
menit pertama sebagai asfiksia berat dan skor APGAR 4-6 pada menit kedua
sebagai asfiksia sedang.
2


g. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa perinatal asfiksia.
Namun, pemeriksaan penunjang akan sangat bermanfaat dalam memonitor
tatalaksana dan komplikasi akibat perinatal asfiksia. Pemeriksaan penunjang yang
biasa dilaksanakan pada kasus perinatal asfiksia antara lain adalah pemeriksaan
serum elektrolit, pemeriksaan fungsi renal, fungsi hati, enzim jantung, analisa gas
darah, saturasi gas darah, pemeriksaan vena sentral, diuresis, pemeriksaan fungsi
hemostasis, pemeriksaan pencitraan (MRI, CT-scan), dan pemeriksaan EEG.
1


h. Prognosis
Terdapat beberapa sistem penilaian yang digunakan untuk mengklasifikasikan
derajat keparahan dari HIE. Sistem klasifikasi yang diajukan oleh Sarnat pada
tahun 1976 adalah yang paling sering digunakan untuk menentukan derajat dan
prognosis HIE (Gambar 2-2). Sarnat membagi HIE menjadi tiga klasifikasi yaitu
ringan (stadium 1), sedang (stadium 2), dan berat (stadium 3). HIE stadium 1
memiliki prognosis yang baik dan angka kematian di bawah 1%, HIE stadium 2
memiliki angka kematian 25 hingga 50%, dan HIE stadium 3 memiliki angka
kematian 75%. Penilaian klasifikasi dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
EEG, dan penilaian kesadaran, fungsi neuromuskular, refleks primitif, fungsi
otonom, dan ada atau tidaknya kejang.
11
10

Gambar 2.2 Sistem Keparahan HIE Menurut Sarnat

i. Tatalaksana
Prinsip utama dalam penatalaksanaan perinatal asfiksia adalah tatalaksana
suportif. Ventilasi yang adekuat sangat diperlukan untuk mengatasi hipoksemia
dan asidosis serta untuk menghindari beban volume yang berlebihan.
2
Standar
yang digunakan saat ini adalah resusitasi dengan menggunakan konsentrasi
oksigen 100%, tujuannya adalah untuk mengatasi kondisi hipoksia secepat
mungkin. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti dari penelitian klinis dan penelitian
hewan coba yang menunjukkan bahwa resusitasi dengan menggunakan
konsentrasi oksigen yang lebih rendah dapat memberikan hasil yang sama efektif
dengan konsentrasi oksigen 100%. Juga terdapat bukti bahwa penggunaan
konsentrasi oksigen di bawah 100% dapat membatasi produksi stress oxidative
sehingga dapat meminimalisir apoptosis sel neuron. Secara sistematis, angka
mortalitas pada perinatal asifiksia akan sedikit menurun jika menggunakan
konsentrasi oksigen di bawah 100%. Akan tetapi, penggunaan konsentrasi oksigen
11

di bawah 100% masih memerlukan peninjauan dan penelitian lebih lanjut lagi
untuk benar-benar membuktikan keefektivitasannya.
12

Penggunaan inotropik seperti dopamine akan diperlukan untuk menangani
hipotensi pada pasien perinatal asfiksia. Hipotensi akan berdampak buruk
terhadap aliran darah otak, sehingga akan memperparah kerusakan sel-sel saraf.
12

Apabila terjadi kejang, maka digunakan protokol pengobatan dengan
menggunakan phenobarbital. Periksalah kadar gula pasien, untuk menyingkirkan
kejang yang disebabkan oleh karena hipoglikemia. Apabila terdapat hipoglikema,
berikan pasien dextrose 10% dengan dosis 2 mL/kgBB yang diberikan secara IV.
Untuk menangani kejang, berikan phenobarbital dengan dosis 20 mg/kgBB yang
diberikan secara IV dalam waktu 10 hingga 15 menit. Jika kejang masih berlanjut,
tambahkan dosis sebanyak 5 mg/kgBB sampai mencapai dosis penggunaan
maksimal yaitu 40 mg/kgBB. Jika pemberian phenobarbital sampai dosis 40
mg/kgBB belum dapat menghentikan kejang, lanjutkan dengan pemberian fenitoin
dengan dosis 20 mg/kgBB yang diberikan secara IV dengan kecepatan tetes 1
mg/kgBB/menit. Jika tidak terdapat respon dengan kombinasi phenobarbital dan
fenitoin, dapat ditambahkan obat golongan benzodiazepin (lorazepam, diazepam).
Obat golongan benzodiazepine memiliki onset yang cepat, dan jikalau bisa obat
golongan ini tidak dipergunakan dalam penatalaksanaan kejang pada neonatus,
karena kombinasi benzodiazepine dan phenobarbital akan meningkatkan resiko
gagal napas dan obat golongan benzodiazepine akan mengganggu kompleks
bilirubin-albumin pada neonatus.
13

Beberapa pusat kesehatan merokemendasikan untuk membatasi asupan cairan
pada pasien perinatal asfiksia. Hal ini ditujukan agar tidak memperberat edema
otak yang akan memperparah kerusakan sel-sel otak. Namun, perlu diperhatikan
12

bahwa restriksi cairan yang berlebihan akan menyebabkan pasien mengalami
dehidrasi, yang akan berujung pada hipotensi dan penurunan aliran darah ke
otak.
12

Pada penelitian preklinik, kondisi hipotermia dengan suhu 3
0
C di bawah
normal memiliki benefit dalam mengurangi kerusakan sel-sel saraf dibandingkan
dengan suhu tubuh normal. Hal ini disebabkan karena penurunan metabolisme
basal dari sel-sel otak, sehingga konsumsi ATP sel otak akan berkurang.
2
Pada
penelitian meta-analisis di tahun 2007 disebutkan bahwa mengkondisikan pasien
perinatal asfiksia dengan kondisi hipotermia akan memberikan benefit terhadap
penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat kerusakan sel-sel otak.
14

Pasien perinatal asfiksia yang mendapatkan penatalaksanaan dengan
menggunakan hiperbaric oksigen memiliki angka mortalitas dan outcome
neurologis yang jauh lebih baik daripada pasien yang tidak mendapatkan. Hal ini
ditunjukkan oleh suatu penelitian meta-analisis yang menunjukkan angka
kematian sebesar 4% berbanding 16% pada pasien yang mendapatkan hiperbaric
oksigen dengan pasien yang tidak mendapatkan.
15
Meskipun demikian, tatalaksana
dengan menggnakan hiperbaric oksigen hanya diterapkan di China, sedangkan
data di negara lain tidak diketahui.
12

Antioksidan disinyalir dapat mengurangi morbiditas akibat perinatal asfiksia,
karena dapat melawan stress oxidative sehingga dapat mengurangi apoptosis sel-
sel saraf. Allopurinol, obat untuk penyakit gout yang memiliki efek antioksidan
pada awalnya dianggap dapat mengurangi morbiditas perinatal asfiksia. Akan
tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian allopurinol tidak
memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan placebo pada tingkat
morbiditas perinatal asfiksia. Namun, penelitan-penelitian tersebut memiliki
13

tingkat kualitas metode yang rendah sehingga perlu dilakukan penilitian ulang
dengan menggunakan metode yang lebih baik. Beberapa penelitian RCT
menunjukkan bahwa antioksidan yang mempunyai fungsi untuk menghambat
excitotocity dapat memberikan outcome yang lebih baik pada pasien perinatal
asfiksia.
12
Selain itu, magnesium sulfat yang memiliki efek penghambat
excitotocity dengan cara mengantagonis reseptor NMDA juga sangat berguna
untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien perinatal
asfiksia.
16,17


3. Komplikasi Neurologis pada Perinatal Asfiksia
Telah dijelaskan bahwa perinatal asfiksia dapat menyebabkan kerusakan sel-
sel saraf, yang akan berakibat buruk terhadap fungsinya di kemudian hari karena sel-
sel saraf tidak mampu untuk beregenerasi. Perinatal asfiksia derajat berat berkorelasi
dengan kejadian cerebral palsy, retardasi mental, dan epilepsi, sedangkan perinatal
asfiksia derajat ringan-sedang berkorelasi dengan penurunan fungsi kognitif dan
perilaku (ADHD, autisme), IQ yang rendah, schizophrenia, dan timbulnya gejala-
gejala psikosis saat dewasa.
5

a. Schizophrenia dan Gejala Psikosis Lainnya
Dari suatu penelitian cohort disebutkan bahwa individu yang mengalami
perinatal hipoksia memiliki resiko lima kali lebih besar untuk mengalami
schizophrenia dibanding individu yang tidak mengalami perinatal asfiksia.
18

Beberapa pasien dengan perinatal asfiksia mengalami penurunan brain-derived
neurotrophic factor (BDNF) pada struktur sistem saraf pusat. Penurunan faktor
neurotropik tersebut dapat menyebabkan atrofi dendrite sistem saraf dan gagalnya
14

synaptogenesis, di mana kondisi yang demikian ditemukan pada pasien
schizophrenia dengan riwayat perinatal asfiksia.
19
Selain schizophrenia, suatu
penelitian cohort jangka panjang selama 19 tahun menunjukkan bahwa individu
dengan riwayat perinatal asfiksia memiliki resiko dua kali lipat untuk mengalami
gangguan psikosis dibanding individu yang tidak mengalami perinatal asfiksia.
20


b. Kecerdasan (Intelligent)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perinatal asfiksia dapat
menyebabkan rendahnya tingkat kecerdasan pada diri pasien. Individu dengan
riwayat perinatal asfiksia derajat ringan memiliki tingkat kecerdasan yang
seimbang dibandingkan dengan grup kontrol (tanpa riwayat perinatal asfiksia).
Ketika berusia 2 hingga 6 tahun, individu dengan riwayat perinatal asfiksia derajat
sedang memiliki tingkat kecerdasan dibawah grup kontrol, meskipun secara
statistik perbedaannya tidak terlalu signifikan. Akan tetapi, ketika anak dengan
riwayat perinatal asfiksia derajat sedang mulai menginjak usia 7 hingga 9 tahun
perbedaan tingkat kecerdasan mulai tampak nyata, yang ditandai dengan sulitnya
sang anak pada kemampuan membaca, pengejaan, dan matematika. Lalu, pada
individu dengan riwayat perinatal asfiksia derajat berat biasanya memiliki tingkat
kecerdasan yang jauh di bawah rata-rata.
21,22


c. ADHD, Autisme, dan Cerebral Palsy
Sirkuit sistem saraf pada hippocampus dan basal ganglia neonatus sangatlah
rentan untuk mengalami kerusakan pada kondisi hipoksia. Hippocampus berfungsi
sebagai pusat fungsi kognitif seperti memori dan atensi, sehingga kerusakan pada
15

area ini memiliki peran dalam terjadinya penyakit attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD) dan autisme.
23,24

Kerusakan basal ganglia berkorelasi dengan kejadian cerebral pasly, suatu
penyakit saraf yang ditandai dengan gangguan sistem motorik dan postur tubuh.
Suatu penelitian cohort yang memeriksa gambaran otak 175 pasien perinatal
asfiksia dengan menggunakan MRI pada minggu keenam dan tahun kedua
postnatal menunjukkan adanya korelasi antara kerusakan basal ganglia pada saat
kelahiran akibat perinatal asfiksia dengan angka kejadian cerebral palsy di
kemudian hari.
25




















16

DAFTAR PUSTAKA

1. Zanelli SA. Perinatal Asphyxia Background. Medscape. 2013 [cited Mar
2014]. Available in: http://emedicine.medscape.com/article/973501-
overview.
2. Vera MM, Idham A. Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi Asfiksia
Berat. Sari Pediatri. 2003; 5: 72-8.
3. McGuire W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid (Online). 2007; 0320.
4. Anonim. Cause of Birth Asphyxia. Right Diagnosis. 2013 [Cited Mar
2014]. Available in: http://www.rightdiagnosis.com/b/birth_asphyxia/
causes.htm.
5. Paola M, Diego B, Pablo EM, Tanya NP, Manuel AGH, Camilo AC, et al.
Pathophysiology of Perinatal Asphyxia: Can We Predict and Improve
Individual Outcomes? EPMA J. 2011; 2(2): 21130.
6. Ferriero DM. Neonatal Brain Injury. N Engl J Med 2004; 351: 1985-95.
7. Lo EH, Dalkara T, Moskowitz MA. Mechanisms, Challenges and
Opportunities in Stroke. Nat Rev Neurosci. 2003; 4(5): 399-415.
8. Zanelli SA. Perinatal Asphyxia Epidemiology. Medscape. 2013 [cited Mar
2014]. Available in: http://emedicine.medscape.com/article/973501-
overview.
9. Alisjahbana A, Hidayat S, Mintardaningsih, Primardi A, Harliany E,
Sofiatin Y, dkk. Management of Birth Asphyxia at Home and Health
Center. Paediatr Indones. 1999; 39: 88-101.
10. Committee on Fetus and Newborn American Academy of Pediatrics and
Committee on Obstetric Practice, American College of Obstetrics and
17

Gynecology. Use and abuse of the APGAR Score. Pediatr. 1996; 98: 141-
142.
11. Sarnat HB, Sarnat MS. Neonatal Encephalopathy Following Fetal Distress.
A clinical and Electroencephalographic Study. Arch Neurol. 1976; 33:
696705.
12. McGuire W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid (Online). 2007; 0320.
13. Riviello Jr JJ. Drug Therapy for Neonatal Seizures: Part 1. NeoReviews
2004; 5(5): 215-220.
14. Jacobs S, Hunt R, Tarnow-Mordi W, et al. Cooling for Newborns with
Hypoxic Ischaemic Encephalopathy. Cochrane Database Syst Rev. 2007:
17; 4.
15. Liu Z, Xiong T, Meads C. Clinical Effectiveness of Treatment with
Hyperbaric Oxygen for Neonatal Hypoxic Ischaemic Encephalopathy: a
Systematic Review of the Chinese Literature. BMJ. 2006; 333:374.
16. Geeta G, Atul K, Jagjit S, and Bharti B. Magnesium for Neuroprotection in
Birth Asphyxia. J Pediatr Neurosci. 2010; 5(2): 102104.
17. Ichiba H, Tamai H, Negishi H, Ueda T, Kim TJ, Sumiya Y, et al.
Randomized Controlled Trial of Magnesium Sulfate Infusion for Severe
Birth Asphyxia. Pediatr Int. 2002; 44(5): 505-9.
18. Cannon TD, Rosso IM, Hollister JM, Bearden CE, Sanchez LE, Hadley T.
A Prospective Cohort Study of Genetic and Perinatal Influences in the
Etiology of Schizophrenia. Schizophr Bull. 2000; 26:35166.
19. Cannon TD, Yolken R, Buka S, Torrey EF. Decreased Neurotrophic
Response to Birth Hypoxia in the Etiology of Schizophrenia. Biol
Psychiatry. 2008; 64: 797802.
18

20. Zornberg GL, Buka SL, Tsuang MT. Hypoxic-Ischemia Related
Fetal/Neonatal Complications and Risk of Schizophrenia and Other
Nonaffective Psychoses: a 19-year Longitudinal Study. Am J Psychiatr.
2000; 157: 196202.
21. Marlow N, Budge H. Prevalence, Causes, and Outcome at 2 Years of Age
of Newborn Encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005; 90:
1934.
22. Robertson CM, Finer NN, Grace MG. School Performance of Survivors of
Neonatal Encephalopathy Associated with Birth Asphyxia at Term. J
Pediatr. 1989; 114: 75360.
23. DeLong GR. Autism, Amnesia, Hippocampus, and Learning. Neurosci
Biobehav Rev. 1992; 16:6370.
24. Lou HC. Etiology and Pathogenesis of Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD): Significance of Prematurity and Perinatal Hypoxic
Haemodynamic Encephalopathy. Acta Paediatr. 1996; 85: 126671.
25. Martinez-Biarge M, Diez-Sebastian J, Rutherford MA, Cowan FM.
Outcomes After Central Grey Matter Injury in Term Perinatal Hypoxic-
Ischaemic Encephalopathy. Early Hum Dev. 2010; 86: 67582.

Anda mungkin juga menyukai