Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kebonpete 1/2 Polobogo Getasan
No RM : 064920
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 6 September 2014

A. ANAMNESIS
Dilakukan secara autonanmnesis.
Keluhan Utama : BAB cair, lendir dan darah
Riwayat Penyakit Sekarang
1 hari SMRS, Pasien tiba-tiba mengeluh BAB cair (+) , lendir (+), darah (+). Diare
diawali dengan BAB cair (+) sebanyak 2 kali pada siang hari, menjelang sore hari pasien
mengeluh diare cair (+), disertai darah (+) dan lendir (+) sebanyak 5 kali. Pasien mengeluh
BAB cair. Lendir dan darah seperti kecipirit dan tidak bisa ditahan. Pasien juga mengeluh
nyeri perut dan demam bersamaan sejak keluhan dirasakan. Mual (-), muntah (-), BAK tidak
ada keluhan, nafsu makan normal, minum baik. pasien mengaku terakhir kali makan nasi dan
sayur asam yang dimasak sendiri dan dikeluarga tidak ada yang mengalami hal serupa. Pasien
juga mengaku memiliki riwayat kencing manis dan mengkonsumsi obat glimepiride tiap pagi
sebelum makan.

Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat keganasan atau tumor : Disangkal
2

Riwayat batuk lama : Disangkal
Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit serupa dengan pasien. Disangkal adanya
riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, batuk lama.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan ketiga
anaknya. Biaya kesehatan ditanggung oleh BPJS Non PBI.
Riwayat Kebiasaan
Mengolah makanan sendiri : diakui
Makan sembarang : disangkal
Riwayat minum obat-obatan : disangkal
Kebiasaan makan pedas : disangkal
Kebiasaan makan asam : disangkal
Kebiasaan minum alkohol : disangkal
Kebiasaan merokok : disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 6 September 2014)
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesan status gizi baik
Kesadaran compos mentis, GCS: E4V5M6
Tanda Vital : T : 105/95 mmHg
N : 90x/mnt
RR : 24x/mnt
S : 38,4
o
C
Kulit : Turgor kulit baik
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut.

Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera
3

ikterik -/-, pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya
+/+, reflek kornea +/+
Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang, deviasi (-)
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada peningkatan JVP, kaku kuduk (-)
Dada : Pulmo : I = Normochest, dinding dada simetris
P = Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dinding
dada simetris
P = Sonor di kedua lapang paru
A = Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : I = Tidak tampak ictus cordis
P = Iktus cordis tidak teraba
P = Batas atas ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri ICS VI linea midklavicula sinistra
Batas kanan ICS IV linea stemalis dextra
A = BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : I = Supel
P = Dinding perut supel, turgor kulit baik
Hepar Lien tidah teraba membesar, nyeri
tekan (+)
P = Timpani seluruh lapang abdomen
A = Bising usus (+)
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), atrofi otot (-), capillary refill
<2detik, akral hangat pada kedua ekstremitas atas dan
kedua ekstremitas bawah

ASSESMENT :
Disentri Amoeba dd Disentri baciller
Diabetes Mellitus tipe 2

4

PLANNING
Lab darah/ feses rutin
SGPT
Benzidin test
TERAPI
Terapi Non Farmakologis
Bedrest
Diet rendah serat, diet DM 1950 kkal
Terapi Farmakologis
Infus RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Inj. Metronidazol 500mg/8jam
Paracetamol 500mg/8jam (prn)
Glimepirid 2mg X 1 (ac)
Monitoring
Keadaan umum
Vital sign
Keluhan pasien

5

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 7 September 2014
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 11.4 (L) 11.5-14.5 g/dl
Lekosit 6.7 5.0-11 Ribu
Eritrosit 3.70 4.0-5.4 Juta
Hematokrit 33.2 (L) 37-45 %
Trombosit 107 (L) 150-400 Ribu
MCV 89.7 77-91 Mikro m3
MCH 30.8 24-30 Pg
MCHC 33.4 32-36 g/dl
RDW 12.5 10-16 %
MPV 9.5 7-11 Mikro m3
Limfosit 1.2 1.5-6.5 10^3/mikroL
Monosit 0.9 0-0.8 10^3/mikroL
Eosinofil 0.0 0-0.6 10^3/mikroL
Basofil 0.0 0-0.2 %
Neutrofil 4.5 1.8-8.0 %
Limfosit% 18.6 (L) 25-40 %
6

Monosit % 23.8 (H) 2-8 %
Eosinofil % 0.4 (L) 2-4 %
Basofil % 0.5 0-1 %
Neutrofil % 69.4 50-70 %
PCT 0.231 0.2-0.5 %
PDW 10.2 10-18 %
Kimia Klinik
SGOT 14 0-35 U/L
SGPT 19 0-35 U/L
Feses Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Warna Kuning -
Konsistensi Lembek -
Lendir Positif Negatif -
Darah Negatif Negatif -
Mikroskopis
Lekosit 4-6 /LPB
Eritrosit 2-3 0-1 /LPB
Amoeba Negatif Negatif -
Telur cacing Negatif -
Sisa makanan Positif 1+ -
Lain-lain Fat 1+ -

10 September 2014
Feses Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Warna Kuning -
7

Konsistensi Lembek -
Lendir Negatif Negatif -
Darah Negatif Negatif -
Mikroskopis
Lekosit 6-8 /LPB
Eritrosit 2-3 0-1 /LPB
Amoeba Positif Negatif -
Telur cacing Negatif -
Sisa makanan Negatif -
Lain-lain Negatif -
Benzidin test Positif

D. FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
7/9/14 BAB cair (+),
lendir (+), darah
(+)
Mual (+), muntah
(+)
nyeri perut (+)
Nyeri kepala (+)
TD : 110/70, nadi
80 x/mnt, RR 24
x/mnt, suhu 37,8
0
C
Abdomen : BU(+)
, supel, Nyeri
tekan di regio
lumbal dextra &
sinistra serta
umbilikal

- Disentri
amoeba
- DM Tipe 2
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone
1 gr/12 jam
- Inj. Ranitidin
50mg/12 jam
- Inj.
Metronidazol
500mg/8jam
- Paracetamol
500mg/8jam
(prn)
- Glimepirid 2mg
X 1 (ac)


8/9/14 BAB cair (+),
ampas (+), lendir
TD : 110/70, nadi
100 x/mnt, RR 20
- Disentri
amoeba
- Terapi lanjut
- Extra inj.
8

(+), darah (-)
Mual (+), muntah
(+)
nyeri perut (+)
Nyeri kepala (+)
Tidak bisa tidur 2
hari
x/mnt, suhu 36,5
0
C
Abdomen : BU(+)
, supel, Nyeri
tekan di regio
lumbal dextra &
sinistra serta
umbilikal

DM Tipe 2 diazepam 2mg
9/9/14 BAB cair (+),
ampas (+), lendir (-
), darah (-)
Mual (+), muntah
(-)
nyeri perut (+)
Nyeri kepala (+)
Sulit tidur 3 hari ini

TD : 110/70, nadi
100 x/mnt, RR 20
x/mnt, suhu 36,5
0
C
Abdomen : BU(+)
, supel, Nyeri
tekan di regio
lumbal dextra &
sinistra serta
umbilikal
- Disentri
amoeba
- DM Tipe 2
- Terapi Lanjut
- Cotrimoxaxol 3
X 2 tab
- Chorpromazin 3
X 50 mg
- Feces ulang
10/9/14 Nyeri perut (+)
BAB cair 1x,
ampas (+), lendir (-
), darah (-), mual
(+), muntah (-).
Nyeri kepala (-)

TD 100/70 mmHg,
nadi 60 x/mnt, RR
24 x/mnt, suhu
36,8 C.
Abdomen : BU(+)
, supel, Nyeri
tekan di regio
lumbal sinistra dan
inguinal sinistra

- Disentri
amoeba
- DM Tipe 2
- Boleh pulang


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
AMEBIASIS
A. DEFINISI
Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba) adalah penyakit infeksi usus
besar yang disebabkan oleh parasit usus Entemoeba histolytica.

B. EPIDEMIOLOGI
Ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui tangan) maupun tidak
langsung (melalui air minum atau makanan yang tercemar). Sebagai sumber penularan
adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju
infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi
dan di negara-negara sedang berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk.
Di negara tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju
beriklim sedang. Oleh karena itu di negara maju banyak yang asimptomatik sedangkan di
negara yang berkembang banyak dengan simptomatik. Di negara maju, prevalensi di
Amerika Serikat sekitar 1-5 %.
Di Indonesia, laporan mengenai insidensi amebiasis sampai saat ini masih belum
ada. Akan tetapi berdasarkan laporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah
sakit besar dapat diperkirakan kejadiannya cukup tinggi. Penularan dapat terjadi melalui
berbagai cara, misalnya : pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, juru masak,
vektor lalat dan kecoak, serta kontak langsung seksual oral-anal pada homoseksual.
Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi
lewat air minum yang tercemar.

C. ETIOLOGI
- E. histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme
komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat
berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan
menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
10

- Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak
dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (<10 mm)
dan patogen (>10 mm).
- Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala
penyakit. Bila seseorang diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada
pemeriksaan tinja di bawah mikroskop akan tampak trofozoit bergerak aktif dengan
pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya
terdapat butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen
yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intestinal) maupun di luar usus
(ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari
trofozoit komensal (sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya,
karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk
trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit namun cepat mati
apabila berada di luar tubuh manusia.
- Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti satu
mengandung gelembung glikogen dan badan-badan kromatid yang berbentuk batang
berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai di
dalam lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di
dalam dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus.
-
- Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di
luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam
sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus
besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. Entamoeba hystolitica oleh
beberapa penulis dibagi menjadi dua ras yaitu ras besar dan kecil bergantung pada
11

diameternya lebih besar atau lebih kecil dari 10 mm. Strain kecil ternyata tidak
patogen terhadap manusia dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu Entamoeba
hartmanni.
- Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung trofozoit dapat diketahui. Pola
enzim dapat menunjukkan patogenesis ameba (zymodene). Ameba yang didapat dari
pasien dengan gejala penyakit yang invasif menunjukkan pola zymodene.
- Imunitas terhadap ameba sampai saat ini masih belum banyak diketahui dengan pasti
perannya. Beberapa sarjana meragukan adanya peran tersebut. Karena di daerah
endemik banyak terjadi infeksi berulang dan morbiditas serta mortalitasnya
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pendapat tersebut kurang tepat karena
telah terbukti bahwa ulkus ameba dapat kambuh kembali apabila pasien menerima
tindakan yang menurunkan daya tahan tubuh misalnya splenektomi, radiasi, obat-
obatan imunosupresif dan kortikosteroid.
- Berdasarkan penyelidikan pada binatang dan manusia dapat dibuktikan bahwa E.
hystolitica dapat merangsang terbentuknya imunitas humoral dan seluler. In vivo,
imunitas humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in vitro tidak. Belum
diketahui apa sebabnya keadaan tersebut dapat terjadi. Tampaknya imunitas yang
terbentuk tidak sempurna dan hanya dapat mengurangi beratnya penyakit, tidak
mencegah terjadinya penyakit. Diduga imuntas seluler lebih besar perannya daripada
imunitas humoral. Antibodi di dalam serum (terutama klas IgG) terutama berperan
dalam uji serologik.

D. MORFOLOGI MORFOLOGI E. HYSTOLI TI CA
Sejarah :
Losch, di Rusia (1875), ditemukan pada tinja seseorang yang terkena disentri. Organisme
ini ditemukan di ulkus usus besar manusia.
Distribusi Geografik :
Terdapat di seluruh dunia.
Lebih sering di daerah tropis ataupun subtropis.
Pada sanitasi lingkungan yang buruk.
Memperbanyak diri di usus besar.
Dari sebuah kista berkembang menjadi 8 trofozoit.
12

Apabila tinja dalam usus besar padat, maka trofozoit menjadi kista & dikeluarkan
bersama tinja, sementara apabila cair, pembentukan kista akan terjadi di luar tubuh.

Stadium Entamoeba histolytica :
1. Bentuk histolytika
2. Bentuk minuta
3. Bentuk kista.



Gambar Stadium trofozoit E. histolytica

Gambar stadium Kista E. histolytica
1. Bentuk Histolitika
Bentuk histolitika & minuta disebut trofozit.
Histolika bersifat patogen & lebih besar dari minuta.
Ukuran 20 40 m, inti terdapat di dalam endoplasma.
13

Bentuk histolitika ini dapat hidup dijaringan usus besar, hati, paru, otak, kulit, &
vagina.
Ektoplasma bening homogen pada tepi sel dan terlihat nyata.
Endoplasma berbutir halus dan tidak mengandung bakteri/sisa makanan,
mengandung sel eritrosit dan inti Entamoeba.
Berkembang biak dengan pembelahan biner di jaringan dan merusak jaringan
tersebut sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba histolytica (histo = jaringan,
lisis = hancur).
2. Bentuk Minuta
Merupakan bentuk pokok, tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat
berlangsung.
Berukuran 10-20 m.
Ektoplasma tampak berbentuk pseudopodium dan tidak terlihat nyata.
Endoplasma berbutir kasar, mengandung sisa makanan/bakteri dan mengandung
inti Entamoeba yang berbutir-butir tetapi tidak mengandung eritrosit.
3. Bentuk Kista
Dibentuk di rongga usus besar.
Berbentuk bulat atau lonjong, memiliki dinding kista & ada inti entameba.
Bentuk kista ini tidak patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif.
Ukuran 10-20 m
Sebagai bentuk dorman pertahanan terhadap lingkungan, dapat hidup lama luar
tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standar di dalam
sistem air minum.
Dinding kista dibentuk oleh hialin.
Pada kista muda terdapat kromatid dan vakuola
Kista immatur : kromosom sausage-like
Kista matang 4 nukleus
Kista matang merupakan bentuk infektif Entamoeba histolytica
Bentuk diagnostiknya berupa kista berinti Entamoeba dalam tinja

14


E. PATOFISIOLOGI



Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar,
dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor
yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum
diketahui. Diduga faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) ameba,
maupun lingkungannya mempunyai peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan
kerentanan tubuh misalnya kehamilan, gizi yang kurang, penyakit keganasan, obat-obat
imunosupresif dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya.
Strain ameba di daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan
tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan
yang diduga berpengaruh misalnya suasana anaerob dan asam (pH 0,6-6,5), adanya
bakteri, virus dan diet tinggi kolesterol, tinggi karbohidrat dan rendah protein. Ameba
yang ganas dapat menghasilkan enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat
mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus.
Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil tetapi di
lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di
permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang minimal. Mukosa
usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri
basiler, dimana mukosa usus antara ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik
eksudat ulkus, tampak sel leukosit dalam jumlah banyak akan tetapi lebih sedikit jika
15

dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula Charcot leyden dan kadang-kadang
ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila
menembus lapisan muskular akan terjadi perforasi dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar tetapi berdasarkan frekuensi dan urutan tempatnya adalah
sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apensik dan ileum terminalis. Infeksi kronik
dapat menyebabkan jaringan granulasi yang disebut dengan ameboma yang sering terjadi
di daerah sekum dan sigmoid. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat
mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati.
Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru,
otak atau limpa dan menimbulkan abses di sana, akan peritiwa ini jarang terjadi.
















16


F. KLASIFIKASI
Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan, amebiasis dibagi menjadi :
carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis
intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat, disentri ameba kronik.

G. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi disentri amoeba sukar ditentukan, karena sering penderita telah mengidap
infeksi laten dengan ameba yang bersifat komensal. Manifestasi klinis dapat timbul
sewaktu-waktu oleh beberapa faktor :
Carrier
- Tidak menunjukkan gejala klinis disebabkan karena ameba yang berada di dalam
lumen usus besar tidak invasi ke dinding usus
Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan)
- Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan
- Mengeluh perut kembung
- Nyeri perut ringan yang bersifat kejang
- Diare 4-5 kali/hari, tinja bau busuk
- Tinja bercampur darah dan lendir
- Sedikit nyeri tekan di sigmoid
- Jarang nyeri tekan di epigastrium seperti ulkus peptik
- Keadaan umum pasien baik
- Demam subfebril
- Kadang-kadang disertai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan
Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang)
- Keluhan dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tapi pasien masih
mampu melakukan aktivitas sehari-hari
- Tinja disertai darah dan lendir
- Perut kram, demam, lemah badan
17

- Hepatomegali yang nyeri ringan
Disentri Ameba Berat
- Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi
- Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali/hari
- Demam tinggi (40oC-40,5oC) disertai mual dan anemia
- Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan
perforasi usus
Disentri Ameba Kronik
- Gejala menyerupai gejala pada ameba ringan, serangan diare diselingi dengan periode
normal atau tanpa gejala.
- Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
- Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia.
- Serangan diare biasanya muncul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar
dicerna.

H. DIAGNOSIS
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menilai gejala dan tanda, diagnosis
amebiasis yang akurat membutuhkan pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi bentuk
tropozoit dan kista serta mengetahui adanya eritrosit. Metode yang paling sering
digunakan adalah teknik konsentrasi dan pembuatan sediaan permanen stain. Untuk
screening cukup menggunakan sediaan basah dengan bahan saline dan diawarnai lugol
agar terlihat jelas. Pemeriksaan endoscopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis
pasien amebiasis akut.
Pemeriksaan penunjang :
- Hasil pemeriksaan tinja yaitu bau busuk, bercampur darah dan lendir, trofozoit (+).
Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru. Kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan dilakukan
sebelum penderita mendapat pengobatan. Pemeriksaan tinja yang berbentuk
(penderita tidak diare), perlu dicari bentuk kista, karena bentuk trofozoit tidak akan
ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kisata berbentuk bulat, berkilau seperti
mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromotoid yang berbentuk batang dengan
ujung tumpul, sedang inti tidak tampak. Untuk melihat intinya dibuat sediaan dengan
18

larutan lugol.
- Serologi
Pemeriksaan ini banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebic dan
epidemologis. Uji ini berhasil apabila amoeba berhasil menembus jaringan. Oleh
karena itu uji ini positif pada penderita abses hati dan disentri amoeba, dan negative
pada carrier. Indirect fluorescent antibody (IFA), enzyme linked immunosorbant assay
(ELISA) merupakan uji yang paling sensitive. Dan agar gel diffusion precipitin.
Sedang uji serologi yang cepat hasilnya adalah latex agglutination test dan cellulose
acetate diffusion.
- Sigmoidoskopi dan kolonoskopi berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan
gejala disentri terutama bila ada pemeriksaan tinja tidak ditemukan ameba Tampak
ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus
antara ulkus-ulkus tampak normal.
- Foto rontgen tidak banyak membantu karena ulkus tidak tampak pada foto polos.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi amebiasis pada intestinal dan ekstrintestinal.
1. Komplikasi Intestinal :
a. Perdarahan usus
Terjadi akibat ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak
pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.
b. Perforasi usus
Terjadi apabila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering
mengakibatkan peritonitis yang mortilitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat terjadi
akibat abses hati ameba.
c. Ameboma
Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa
jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid, sukar
dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif.
d. Intususepsi
Sering terjadi di daerah sekum.
e. Penyempitan usus (striktura)
19

Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Amebiasis hati
b. Amebiais pleuropulmonal
Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hatu. Kira-kira 10-20% abses hati
ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura, etelektasis,
pneumonia atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba
langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi fistel hepatobronkial, penderita
batuk-batuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
c. Abses otak, limpa dan organ lain
Dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun
dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
d. Amebiasis kulit
Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar, dengan membentuk
hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut. Dapat pula
terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari usus.

J. PENATALAKSANAAN
Amoeba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar
usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di semua tempat tersebut,
terutama bila dipakai tunggal. Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan
hasil pengobatan.
Amebiasis asimtomik (carrier atau cyst passer)
Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati.
Hal ini disebabkan karena amoeba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus
besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Disamping itu carrier juga
merupakan sumber infeksi utama. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa
atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya
superficial, tidak mencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan
gangguan peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat
yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya:
20

1. Diloksanid furoat (Diloxanite furoate) : Dosis : 3x500 mg sehari, selama 10 hari. Saat
ini obat ini merupakan amebesid luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi
(80-85 %), sedang efek sampingnya sangat minimal hanya berupa berupa mual dan
kembung.
2. Diyodohidroksikin(diiodohydroxyquin) : Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari.
3. Yodoklorohidroksikin (Iodochlorohydroxyquin) atau kliokinol (clioquinol) : Dosis ; 3
x 250 mg sehari, selama 10 hari. Kedua obat tesebut termasuk halogenated
hydroxyquinolin yang cukup efektif sebagai ambesid luminal. Efektivitasnya 60-70%.
Efek samping yang terjadi biasanya ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga
berat berupa subacute myelo optic neuropathy (SMON). Efek samping ini hanya
terjadi apabila dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai yang
telah ditentukan. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan kepada penderita yang
mengidap penyakit optic neuropathy dan kelenjar gondok.
4. Karbarson (carbarsone) : Dosis ; 3 x 250 mg sehari, selama 7 hari
5. Bisthmuth glycoarsanilate : Dosis ; 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari
6. Klefamid (clefamide) : Dosis ; 3 x 500 mg serhari selama 10-13 hari
7. Paromomycin : dosis ; 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari

Oleh karena ada kemungkinan invasi amoeba ke mukosa usus besar, maka walaupun
tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk menambahkan
amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang dapat dipakai adalah:
- Klorin difostat , Dosis ; 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari
- Metronidazol, Dosis ; 35-50 mg/BB atau 3 x 500 mg sehari selama 5 hari
- Tinidazol, Dosis ; 50 mg/kg BB atau 2 gram sehari selama 2 hari
- Orindazol, Dosis; 50-60 mg/kg BB atau 2 gram sehari selama 3 hari.

Disentri amoeba ringan-sedang
Pada penderita ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan
submukosa dan dapat menyebabkan gangguan peristaltik usus. Penderita akan
mengalami diare atau disentri tetapi tidak berat. Obat yang dipakai adalah metronidazil
dengan dosis 3 x 750 mg sehari selama 5-10 hari atau ornidazol atau tinidazol dengan
dosis seperti diatas.

Disentri amoeba berat
21

Penderita ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi juga memerlukan infuse
atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti disentri, amoeba ringan dan sedang perlu
ditambah juga emetin atau dehidometin. Obat ini tidak diberikan secara suntikan intra
muscular atau subkutan yang dalam. Dosis emetin 1mg/ kgBB sehari selama 3-5 hari.
Dehidroemetin 11,5 mg/kg BB sehari selama 3-5 hari.


Amebiasis ekstraintestinal dan ameboma
Penderita abses hati amoeba dapat diberi metronidazol atau obat lain golongan
nitroimidazol dengan dosis tersebut di atas atau dapat diberi klorokindifosfat dengan
dosis; 1gr sehari selama 1-2 hari; dilanjutkan dengan 500 mg sehari selam 4 minggu,
masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroematin atau emetin dengan dosis
seperti tersebut diatas selama 10 hari.

K. Pencegahan
Makanan, minuman, kesehatan lingkungan yang sesuai syarat merupakan sarana yang
tepat untuk pencegahan penyakit. Air minum sebaiknya dimasak dahulu. Selain itu,
penting sekali memperhatikan pengadaan dan kebersihan jamban keluarga.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
2. IDI. 2013. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
3. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
4. Aru, Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
5. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Silbernagl, Stefan., dan Lang, Florian. 2006. Teks dan Atlas dan Berwarna
Patofisiologi. Jakarta : EGC
7. Rasmaliah. 2003. Epidemiologi Amebiasis dan Upaya Pencegahan. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3770/1/fkm.rasmaliah.pdf
8. Brown HW. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia
9. Willmana, Freddi., dan Gan, Sulistian. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai