Anda di halaman 1dari 19

Intan Btari Dwiastuti

240210130101
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum dilakukan dengan tujuan untuk memahami cara pengawetan
dengan suhu tinggi yakni blansing serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Metode yang dilakukan pada blansing kali ini adalah dengan cara
pengukusan dan perebusan pada suhu 98,9
o
C selama beberapa waktu. Adapun
sampel yang digunakan dalam praktikum adalah sayur kubis, buncis, wortel, cabai
dan tomat yang telah disediakan oleh asisten. Lama waktu yang diperlukan dalam
melakukan blansing dibedakan berdasarkan metodenya, yakni metode rebus dan
metode uap air. Untuk metode rebus lama waktu yang dibutuhkan bagi masing-
masing bahan berturut-turut kubis 0,5menit, tomat 1 menit, cabai dan buncis 2
menit dan wortel 3 menit. Lama waktu blansing metode uap air berturut-turut
untuk kubis 1,5menit, tomat 2 menit, cabai dan buncis 3 menit dan wortel 4 menit.
Menurut Jelen (1985), waktu dan suhu pemblansingan sangat dipengaruhi
oleh komposisi kimia dan karakteristik tekstur bahan. Hal ini menyebabkan waktu
dan suhu blansing untuk setiap jenis buah berbeda-beda. Untuk buah-buahan
dengan tekstur yang keras, blansing dilakukan dengan cara mengukus atau
merebus buah dalam air mendidih selama 3-5 menit pada suhu 70
0
C (Jagtiani dkk,
1988).
Kecukupan blansing dapat dinilai dengan uji katalasi atau uji peroksidasi
yang merupakan uji-uji kimia sensitif. Karena berbagai jenis sayuran berbeda
ukuran, bentuk, konduktivitas termal, dan jumlah enzim alami yang
dikandungnya, maka perlakukan blansing untuk berbagai jenis sayuran ditetapkan
melalui percobaan(Tjahjadi dan Marta, 2014).
Masing-masing kelompok mendapat satu sampel saja, misalnya kelompok
kami mendapatkan sampel buncis. Sampel buncis dibagi menjadi dua, satu untuk
perlakuan dengan metode uap air dan sisanya untuk metode rebus. Buncis
dibersihkan ujung-ujungnya dengan menggunakan pisau. Pada komoditas lainnya
seperti tomat dan wortel dan yang tidak berwarna merah, sebaiknya bagian yang
hijau dibuang pada waktu dilakukan pemotongan dan pengupasan karena setelah
melalui proses pemanasan akan berubah menjadi warna coklat(Tjahjadi dan
Marta, 2014). Selanjutnya, buncis ditimbang menggunakan neraca analitik untuk
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
diketahui berat nya sebelum diberi perlakuan. Di bawah ini adalah data mengenai
berat sampel-sampel sebelum dilakukan blansing, tersaji dalam tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengamatan terhadap Sampel Sebelum Dilakukan Blansing
Bahan Warna Aroma Tekstur Berat Gambar
Buncis Hijau pucat Bau
buncis
Keras Uap Air: 23,63gr
Rebus: 24,12gr

Kubis Putih
kehijauan
Bau kubis Keras Uap Air: 36,4gr
Rebus: 34,5gr

Wortel Oranye Bau
wortel
Padat
dan
keras
Uap air:
109,1214gr
Rebus: 70,3583gr

Tomat Merah Bau tomat Agak
keras,
lunak,
licin
Uap air:
80,8511gr
Rebus:93,85gr

Cabai Merah
terang
Bau cabai
(pedas)
Licin,
halus
Uap air:
16,0489gr
Rebus:
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Tabel 3 menjelaskan beberapa sifat fisik dari sampel seperti warna, aroma,
tekstur dan berat sebelum diblansing. Berdasarkan tabel, tekstur sampel masih
cenderung keras, berwarna pucat dan berbau khas yang menyengat. Menurut
Andini (2011), hal ini disebabkan oleh kerapatan molekul sayuran yang masih
rapat karena kandungan air didalamnya sedikit. Setelah ditimbang, sampel yang
telah dipisahkan dua lalu di potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Kubis diiris
halus dengan lebar kira-kira 3mm, buncis dipotong dengan panjang kurang lebih
2cm, wortel dipotong menjadi bentuk dadu sedangkan sisanya tomat dan cabai
tidak dipotong. Pemotongan bertujuan untuk mengecilkan ukuran buah supaya
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
proses blansing dapat merata dan memudahkan dalam proses penghancuran buah
(Haryoto, 1998). Dalam praktikum ini alat yang digunakan untuk memotong
sampel adalah pisau dapur biasa.
Proses selanjutnya adalah melakukan blansing itu sendiri. Dalam
praktikum ini, praktikan melakukan blansing dengan dua cara yakni pengukusan
dan perebusan secara bergantian. Cara pengukusan dilakukan dengan
menggunakan dandang sedangkan perebusan dengan menggunakan panci yang
telah diisi air. Menurut Tjahjadi dan Marta (2014) yang dimaksud dengan
blansing adalah perlakuan panas pendek dengan air panas/uap panas sebelum
pengalengan, pembekuan dan pengeringan. Blansing dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu 1) dalam air mendidih, selama 1,5-12 menit, pada suhu 88
o
C 99
o
C
dan 2) dalam stim pada tekanan 1 atm dan suhu 100
o
C.
Blansing cara pengukusan dilakukan setelah suhu di dalam dandang
mencapai suhu 98,9
o
C yang diukur dengan menggunakan termometer. Setelah
dicapai suhu tersebut, sampel lalu dibungkus ke dalam kain saring dan
dimasukkan ke dalam dandang untuk dikukus. Penghitungan waktu dimulai
setelah memasukkan sampel ke dalam dandang dan mengukur ulang suhu di
dalam dandang hingga menunjukkan angka 98,9
o
C. Waktu yang diperlukan oleh
masing-masing sampel dalam pemblansingan berbeda-beda. Dalam praktikum ini,
waktu yang diperlukan sudah ditentukan dan ditampilkan pada tabel 1 dan 2.
Setelah waktu yang diperlukan untuk melakukan blansing uap air sesuai
tabel 1 dicapai, blansing dihentikan dengan mengeluarkan sampel dan
merendamnya ke dalam air es. Menurut Elizabeth dkk (2006) segera setelah
blansing selesai, sayur harus segera didinginkan secara menyeluruh untuk
menghentikan proses pemasakan. Untuk mendinginkan, celupkan sayur ke dalam
air dingin dalam jumlah besar. Mendinginkan sayuran harus dilakukan selama
waktu blansingnya. Keringkan sayur setelah didinginkan, karena uap air berlebih
dapat menyebabkan kerusakan secara kualitas saat sayur dibekukan.
Pengamatan dilanjutkan setelah memastikan sampel dalam keadaan ruang,
pengamatan terhadap sifat fisik sampel dilakukan dan ditampilkan pada tabel 4.

Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Tabel 4. Hasil Pengamatan terhadap Blansing dengan Metode Uap Air
Bahan Warna Tekstur Aroma Berat awal
Susut
bobot
Buncis Hijau
terang +
Lebih
lunak
Kebih kuat
dari
sebelumnya
25,37gr -7,36%
Kubis Hijau + Lebih
lunak
Kuat+ 9,37gr -8,15%
Wortel Lebih pucat Lebih
lunak
Lebuh kuat 105,2255gr 3,57%
Tomat Oranye Lebih
lunak
Bau tomat
agak
berkurang
80,83gr 0,026%
Cabai Oranye Lebih
keriput
Bau cabai
sedikit
berkurang
15,0904gr -0,73%
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2014)
Pengamatan dilakukan dengan memerhatikan warna, tekstur, aroma dan
bobot susut dari sampel. Sampel yang diberikan perlakuan blansing uap air
memiliki warna yang lebih cerah, bertekstur lebih lunak dan rata-rata kehilangan
sedikit bau khasnya.
Untuk beberapa sampel dapat dilihat nilai susut bobotnya ada yang
bernilai negatif maupun positif. Secara perhitungan, apabila susut bobot bernilai
negatif, mengindikasikan adanya penambahan berat pada sampel selama
perlakuan, dan sebaliknya. Hal ini karena perhitungan dari susut bobot sendiri
adalah
%Susut Bobot =


dengan A adalah berat akhir setelah perlakuan dan B adalah berat awal.




Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Tabel 5. Hasil Pengamatan terhadap Blansing dengan Metode Rebus
Bahan Warna Tekstur Aroma Berat awal
Susut
bobot
Buncis Hijau
terang++
Lunak Khas
buncis +
25,86 -9,4%
Kubis Hijau++ Lunak+ Lebih
kuat++
26,2885gr -5,4%
Tomat Lebih pucat Lunak Lebih
kuat+
93,770gr 0,047%
Wortel Lebih
terang
Lebih
lunak
Lebih
kuat+
70,5131gr 0,22%
Cabai Oranye Keriput,
lebih lunak
Lebih
Kuat+
16,4349gr -2,4%
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2014)
Melalui tabel 5, didapat hasil pengamatan terhadap blansing dengan
metode perebusan. Berdasarkan pengamatan, susut bobot dari sampel menjadi
rata-rata lebih kecil di mana berat sampel setelah dilakukan perebusan bertambah.
Aroma dari sayur yang diblansing dengan perebusan lebih kuat daripada
pengukusan diikuti tekstur yang melunak. Warna dari sampel yang melalui
blansing cara ini juga diikuti dengan perubahan warna menjadi lebih cerah.
Perbandingan dari warna sampel yang diberi diblansing dengan metode
pengukusan dan perebusan tersaji pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Perbandingan Penampakan Sampel yang Diblansing
Bahan Blansing Uap Air Blansing Rebus
Buncis

Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Bahan Blansing Uap Air Blansing Rebus
Kubis

Tomat

Wortel


Cabai

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2014)
Berdasarkan hasil pengamatan, proses blansing dapat merubah beberapa
karakteristik sayur. Misalnya, sebelum diblansing, tekstur sayur cenderung keras
namun setelah diblansing menjadi lebih lunak. Warna dari sayur pun berubah
menjadi lebih cerah ketimbang sebelumnya yang berwarna pucat.
Menurut Tjahjadi dan Marta (2014) proses blansing adalah penting bagi
sayuran yang akan diawetkan dengan cara pembekuan, karena pembekuan hanya
memperlambat aktivitas enzim tanpa menghentikannya. Jika sayur tidak
diblansing terlebih dahulu sebelum dibekukan, maka produk beku yang disimpan
berbulan-bulan lamanya akan mengalami penyimpangan flavor, diskolorasi, dan
tipe-tipe kerusakan enzimatis lainnya. Sedangkan menurut Purba dan Karo-Karo
(1997) proses blansing pada sayuran dan buah-buahan berfungsi untuk 1)
Menonaktifkan enzim 2) Mengeluarkan gas dari bahan untuk
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
mengurangi/menghilangkan bau mentah (pada beberapa sayuran hijau) 3)
Mengurangi volume dengan penceluran permukaan menjadi lebih lunak sehingga
lebih mudah tersusun 4) Untuk melayukan jaringan sehingga memudahkan
penanganan dan pengemasan.
Setelah diamati, tekstur sayuran yang diblansing cenderung menjadi lebih
lunak. Menurut Rahman (2007), hal ini disebabkan oleh aktivitas pada sel turgor.
Sel turgor merupakan komponen penting sebagai penunjuk kualitas sejumlah buah
saat dimakan. Berkurangnya turgor kerap menyebabkan kelembekkan dan
kurangnya rasa renyah serta juiciness. Air dan zat terlarut dapat masuk ke dan
keluar dari sel, konsekuensi utama adalah hilangnya nutrisi dari jaringan. Untuk
itulah mengapa sayuran yang diblansing dengan metode perebusan lebih lunak
dan memiliki susut bobot yang lebih kecil.
Hasil pengamatan terhadap beberapa sampel seperti tomat dan wortel,
ternyata memiliki persen susut bobot yang bernilai positif yang mengindikasikan
adanya pengurangan berat selama proses blansing. Ruly (2009) menjelaskan
perubahan tekstur dan berat erat hubungannya dengan penyusutan sel. Mekanisme
penyusutan yaitu, pati tergelatinisasi, membran sitoplasma berubah, dinding sel
sedikit berubah, pektin termodifikasi, protein nukleus dan sitoplasma
terdenaturasi, kloroplas dan kromoplas mengalami penurunan. Semua komponen
tersebut keluar sel sehingga beratnya berkurang.
Proses blansing yang telah kami lakukan telah berhasil mengubah warna
sayur menjadi lebih cerah dan lebih menarik. Menurut Tjahjadi dan Marta (2014),
pada umumnya pemanasan selalu menimbukan pelunakan tekstur dan hilangnya
keutuhan jaringan/sel, sehingga zat-zat kimia dalam sel akan berbaur dan
beberapa akan saling bereaksi, sehingga menimbulkan perubahan warna, flavor,
dan gizi.
Perubahan warna akibat reaksi kimia pada pigmen alami seperti klorofil,
senyawa karotenoida, antosianin dan betalain. Pemanasan dan penyimpanan selalu
mengakibatkan perubahan-perubhan pada khlorofil yang berwarna hijau menjadi
feofitin yang berwarna hijau kotor. Pada pigmen karotenoida, pemanasan dapat
menstabilkan warnanya, tetapi dapat pula memucatkan warnanya tergantung dari
jenis reaksi kimia yang terjadi(Tjahjadi dan Marta, 2014).
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Namun pada salah satu sampel yakni cabai, warna cabai yang sebelumnya
merah terang setelah diblansing menjadi oranye dan keriput. Hasil pengamatan ini
menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai perlukah cabai di beri perlakuan
blansing. Namun, Rukmana dan Yuniarsih (2005) menjelaskan perlakuan blansing
pada cabai, jika dimaksudkan untuk dijadikan produk cabai kering perlu
dilakukan. Pencelupan cabai merah ke dalam air panas (blansing) selama 6 menit
berpengaruh baik terhadap mutu cabai merah kering. Hasil penelitian meunjukkan
bahwa proses blansing pada cabai merah sebelum dikeringkan dapat
menghasilkan mutu cabai kering yang bagus dan memepercepat waktu
pengeringan 10 hari, bobot kering 19,43% dan vitamin C 159,93mg/100gr.
Praktikum macam-macam proses thermal yang kedua adalah pasteurisasi.
Dalam praktikum ini dilakukan pasteurisasi terhadap produk susu segar. Pertama-
tama peralatan pasteurisasi terutama jar dicuci dan disterilisasi. Selanjutnya
masing-masing kelompok memasukkan sampel susu segar ke dalam jar masing-
masing, sehingga didapat 5 buah jar yang akan diberi perlakuan berbeda. Susu
lalu dipasteurisasi, jar yang telah ditutup alumunum foil dimasukkan ke dalam
dandang yang berisi air yang dipanaskan di atas kompor. Lama pasteurisasi adalah
15menit terhitung sejak suhu susu di dalam jar 73
o
C. Sampel dibiarkan hingga
bersuhu ruangan. Susu yang telah dipasteurisasi lalu sebagian disimpan ke dalam
lemari es selama 5hari dan sebagian dibiarkan pada suhu ruangan dan disimpan
selama 2 hari. Sebelum dimasukkan ke dalam lemari es, susu harus didinginkan
terlebih dahulu untuk mencegah kerusakan bagi laktosa casein dan unsur lemak
(Buckle, 1987).
Selain sampel susu yang telah dipasteurisasi, sebelumnya telah disiapkan
juga kontrol yakni susu segar tanpa perlakuan apapun yang disimpan pada suhu
ruangan dan susu segar tanpa pasteurisasi yang disimpan di dalam lemari es.
Adapun hasil pengamatan terhadap sampel pada praktikum ini tersaji pada tabel 7.





Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Tabel 7. Hasil Pengamatan terhadap Perlakuan dan Tanpa Perlakuan
Pasteurisasi terhadap Susu Segar
Kel Perlakuan
Penyimpa
nan
Warna Aroma Tekstur Gambar
Susu segar - Putih Bau khas
susu
segar
Encer

Kontrol
suhu
rendah
Lemari es Putih
kekuninga
n
Asam Mengental
dan
terdapat 2
fase

7B Susu segar
dipasteuris
asi
Lemari es Putih khas
susu
Khas
susu
segar
Terdapat
sedikit
fase krim
di
permukaa
nnya
9B Susu segar
dipasteuris
asi
Lemari es Atas: putih
kekuninga
n
Bawah:
putih
Khas
susu
sehar
Terdapat
fase krim
setebal
0,5cm

10B Susu segar
dipasteuris
asi
Lemari es Putih Bau khas
susu
segar
Mengental
dan
terdapat
fase krim
permukaa
n

Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Kel Perlakuan
Penyimpa
nan
Warna Aroma Tekstur Gambar
6B Susu segar
dipasteuris
asi
Suhu
ruang
Atas: putih
susu
Bawah:
keruh
Asam Terdapat
dua fase

8B Susu segar
dipasteuris
asi
Suhu
ruang
Atas: putih
susu
Bawah:
keruh
Tengik
dan apek
Terdapat
dua fase
dengan
tebal krim
3cm.
Kontrol Suhu
ruang
Putih
kekuninga
n+
Asam
menyeng
at
Mengental
dan
terdapat 2
fase

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2014)
Berdasarkan pengamatan, susu segar sebelum dipasteurisasi berwarna
putih, beraroma gurih khas susu segar dan bertekstur encer. Menurut Buckle et al
(1987), warna putih pada susu, serta penampakannya adalah akibat penyebaran
butiran-butiran koloid lemak, kalsium kaseinat dan kalsium fosfat dan bahan
utama yang memberi warna kekuningan adalah karoten dan riboflavin.
Sampel susu yang ada lalu dipasteurisasi. Pasteurisasi adalah perlakuan
pemanasan yang lebih ringan dari sterilisasi, biasanya suhu yang digunakan di
bawah 100
o
C(Tjahjadi dan Marta, 2014). Pasteurisasi panas pada susu dilakukan
untuk mencegah penularan penyakit dan mencegah kerusakan karena
mikroorganisme dan enzim. Beberapa cara pasteurisasi dengan panas telah
dikembangkan di mana 2 cara yang umum dikenal adalah holding method dan
high temperature short time (HTST). Dalam holding method sejumlah besar susu
dipanaskan seluruhnya selama 30 menit pada suhu 65
o
C. Dalam metode HTST,
susu ditahan selama 15-16detik pada suhu 71,7
o
C dan 75
o
C dengan
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
menggunakakn alat pemanas berbentuk lempengan, suatu sistem di mana
pengawasan suhu harus dijaga sebaik mungkin(Buckle, 1987).
Setelah dipasteurisasi, didapatkan hasil pengamatan berdasarkan tempat
penyimpanannya. Susu pasteurisasi yang disimpan di dalam lemari es selama 5
hari, baik dari sampel kelompok 7B, 9B dan 10B rata-rata masih memiliki aroma
yang cukup baik yakni bau khas susu segar yang gurih. Dari segi warna, susu
pasteurisasi yang dilektakkan di dalam lemari es masih berwarna putih
kekuningan yang menurut Buckle (1987), susu memang mempunyai warna putih
kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Hanya saja, di permukaannya terdapat
sedikit gumpalan yang sangat tipis dengan ketebalan maksimal sebesar 0,5cm
saja. Gumpalan yang terdapat di permukaan susu adalah butiran-butiran lemak
pada susu yang timbul ke permukaan bagian atas yang membentuk suatu lapisan
krim yang jelas. Waktu yang diperlukan bagi naiknya krim dan tebalnya lapisan
krim tergantung pada 3 faktor yaitu banyaknya lemak, besar kecilnya butiran
lemak, dan sampai sejauh mana perlakuan dengan pemanasan dilakukan terhadap
susu. Susu yang telah terpasterurisasi selama 15detik pada suhu 71,7
o
C
mempunyai lapisan krim yang sedikit lebih tipis dan tidak jelas(Buckle, 1987).
Tujuan dari peletakkan susu pasteurisasi di dalam lemari es adalah karena
makanan yang dipasteurisasi masih mengandung mikroorganisme kira-kira
beberapa sel per ml. Oleh karena itu, daya tahan simpannya juga tidak sepanjang
makanan yang steril komersil. Mengingat hal itu maka untuk makanan
pasteurisasi selalu harus diikuti dengan cara pengawetan lain, misalnya
penyimpanan suhu rendah. Contohnya susu pasteurisasi bila disimpan dalam
lemari es tahan kira-kira 1 minggu, tetapi pada suhu ruang hanya akan tahan
beberapa jam saja(Tjahjadi dan Marta, 2014).
Susu pasteurisasi yang tidak disimpan di suhu rendah terbukti mengalami
beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan yang disimpan di dalam lemari es.
Hasil pengamatan susu pasteurisasi yang diletakkan pada suhu ruang selama 2
hari berdasarkan sampel kelompok 6B dan 8B, susu memiliki warna putih namun
dibagian bawahnya menjadi agak keruh namun cenderung bening. Aroma dari
sampel tanpa penyimpanan suhu rendah juga dominan asam dan tengik dengan
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
tekstur yang sudah mengental dengan terdapatnya dua fasa berbeda yakni fase
krim setebal hingga maksimal 3cm.
Susu sapi pada umumnya mengandung 5 komponen utama yakni lemak
sebanyak 3,9%, protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu 0,72% dan air 87,10%. Lemak
terdapat di dalam susu dalam bentuk jutaan bola kecil yang bergaris tengah antara
1-20mikron dengan garis tengah rata-rata 3mikron. Biasanya terdapat 10
9
butiran
lemak dalam setiap ml susu. Butiran ini mempertahankan keutuhannya karena,
pertama tegangan permukaan yang disebabkan oleh ukurannya yang kecil, kedua
karena adanya suatu lapisan tipis yang membungkus butiran tersebut yang terdiri
dari protein dan fosfolipid. Pembungkusan tipis ini mencegah butiran lemak untuk
bergabung dan membentuk butiran yang lebih besar. Kalau didiamkan, butiran-
butiran lemak ini biasanya akan muncul ke permukaan susu untuk membentuk
lapisan/krim(Buckle, 1987).
Kerusakan yang dapat terjadi pada lemak susu merupakan sebab dari
berbagai perkembangan flavor yang menyimpang dalam produk-produk susu,
seperti: 1) ketengikan, yang disebabkan karena hidrolisa dari gliserida dan
pelepasan asam lemak seperti butirat dan kaproat, yang mempunyai bau yang
keras, khas dan tidak menyenangkan. 2) tallowiness yan gdisebabkan karena
oksidasi asam lemak tak jenuh. 3) flavor teroksidasi yang disebabkan karena
oksidasi dan reaksi hidrolisa. Pasteurisasi dapat menjadikan enzim menjadi tidak
aktif, tetapi ketengikkan masih dapat berkembang ada susu yang sudah
dipasteurisasi karena lipase yang dihasilkan oleh pertumbuhan mikroorganisme.
Pada sampel susu pasteurisasi yang disimpan dalam suhu ruang terdapat
kecenderungan warna yang keruh namun sedikit bening pada bagian bawahnya
menyerupai lendir. Menurut Buckle et al (1987), hal ini disebabkan terjadinya
pengentalan dan pembentukan lendir sebagai akibat pengeluaran bahan seperti
kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri.
Hasil pengamatan selanjutnya adalah terhadap kontrol yakni sampel susu
yang tidak dipasteurisasi dan disimpan pada suhu ruang hingga hari pengamatan.
Berdasarkan pengamatan, kontrol berwarna putih sangat kekuningan dengan
aroma asam menyengat. Tekstur dari sampel kontrol pun sudah mengental dan
terdapat 2 fase, yakni krim dan cairan. Pengamatan ini menandakan, pasteurisasi
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
yang dilakukan terhadap susu perlu dilakukan untuk memperpanjang daya simpan
dan meminimalisir kerusakannya. Kondisi pasteurisasi dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan maksimum terhadap penyakit yang dibawa oleh susu,
dengan mengurangi seminimum mungkin kehilangan zat gizinya dan sementara
itu mempertahankan semaksimal mingkin rupa dan cita-rasa susu mentah segar.
Hal ini mengingat susu merupakan sumber zatmakanan yang baik buat kuman.
Kecuali spora Bacillus cereus, semua bibit penyakit dengan mudah dapat
dihancurkan oleh pasteurisasi panas pada susu segar mentah, Akan tetapi,
pasteruisasi merupakan pencegahan yang efektif terhadap penyakit hanya jika
susu tersebut tidak tercemar kembali susudah pasteurisasi(Buckle et al, 1987).
Uji yang dapat dilakukan untuk membuktikan apakah susu telah cukup
dimasak dengan panas, adalah dengan menguji masa aktif enzim fosfatase yang
menjadi indikator perlakukan panas. Enzim ini terdapat pada susu segar mentah
dan diinaktifkan baik oleh prosedur pasteurisasi holder maupun HTST. Holder
maupun HTST menghancurkan 90-99% bakteri yang ada dalam susu, dengan
kemungkinan kerusakan yang sangat kecil bagi laktosa casein dan unsur lemak,
akan tetapi vitamin C dapat dirusak oleh cara-cara ini(Buckle et al, 1987).
Menurut Planck (2007), pasteurisasi memang dapat menghancurkan patogen
tertentu, tetapi pasteurisasi adalah sebuah kompromi; proses ini juga
menghancurkan vitamin, bakteri yang mengungtungkan, tekstur, rasa dan enzim
yang bermanfaat. Hal serupa juga dijelaskan bahwasanya enzim sensitif terhadap
panas dan mulai terurai pada suhu 48
o
C dan pada suhu 110
o
C enzim sudah hancur
seluruhnya. Terlebih lagi, jumlah lemak yang teroksidasi meningkat lebih banyak
lagi pada suhu yang sangat tinggi dan suhu tinggi mengubah kualitas protein yang
terdapat dalam susu. Sama halnya seperti kuning telur yang lama direbus mudah
pecah, perubahan yang serupa pun terjadi pada protein susu. Laktoferin yang
sensitif terhadap panas juga rusak(Shinhya, 2007).
Dalam skala industri, proses pasteurisasi dilakukan menggunakan sebuah
alat seperti pada gambar 1.
Intan Btari Dwiastuti
240210130101

Gambar 1. Alat Pasteurisasi Skala Industri
(Anonim, 2005)
Alat ini digunakan untuk pasteurisasi susu. Diversifikasi produk olahan susu yang
berupa susu pasteurisasi, dapat meningkatkan pendapatan peternak, karena
harganya jauh lebih tinggi daripada susu segar. Kompor gas pada alat pasteurisasi
digunakan untuk memanaskan air pada tabung luar alat sedangkan tabung paling
dalam berisi susu sebanyak 10 liter. Pasteurisasi dilakukan sampai suhu susu
mencapai 75C dan selama kurang lebih 20 menit itu susu diaduk supaya
panasnya merata. Setelah ditambah gula dan bahan cita rasa, susu didinginkan
hingga suhu mencapai 25C selama 20-30 menit. Jumlah bakteri pada susu
pasteurisasi menurun dibandingkan dengan susu segar sebagai bahan dasar, yakni
menjadi 26000 CFU/ml, pH 6.5, keasaman setara laktat 0,15%, angka reduktase 6
jam 22 menit, dan uji alkohol negatif(Anonim, 2005).











Intan Btari Dwiastuti
240210130101
VI. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini antara lain
1. Metode yang dapat digunakan dalam melakukan blansing diantaranya
metode rebus dan uap air.
2. Berdasarkan hasil pengamatan, proses termal blansing dapat memperbaiki
warna, aroma dan melunakkan jaringan sampel.
3. Persen susut bobot yang didapat setelah sampel diblansing menunjukkan
blansing juga dapat memengaruhi massa bahan setelahnya, baik menyusut
ataupun bertambah.
4. Berdasarkan pengamatan, susu yang dipasteurisasi memiliki umur simpan
yang lebih panjang daripada yang tidak dipasteurisasi.
5. Susu segar yang telah dipasteurisasi dan disimpan di dalam lemari es
memiliki kerusakan yang lebih sedikit, hal ini menunjukkan susu
pasteurisasi memerlukan penyimpanan suhu rendah setelahnya.
6. Kerusakan pada susu baik dipasteurisasi maupun tidak, dapat dilihat dari
ketebalan krim nya yang kasat mata, aroma nya yang tengik dan asam
serta warnanya yang menguning.














Intan Btari Dwiastuti
240210130101
DAFTAR PUSTAKA

Andini. P. 2011. Blansing dan Pasteurisasi. Available at:
http://biologidankimia.blogspot.com/2011/01/ptp-4-blansing-dan-
pasteurisasi-nilai.html (Diakses pada 27 Maret 2014)

Anonim. 2005. Teknologi Alat Pengolahan Bahan Pangan. Available at:
http://iptek.net.id/ind/pd_alat_olah_pangan/?mnu=2&ch=alatolah&id=264
&hal=1. (Diakses pada 8 April 2014)

Buckle, K.A., Edwards R.A., Fleet, G.H., dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan,
edisi kedua, Penerjemah Haripurnomo dan Adiono. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.

Elizabeth L., Andress., Harrison J.A. 2006. How to Freeze Blanching. Available
at: http://nchfp.uga.edu/how/freeze/blanching.html (Diakses pada 26
Maret 2014)
Harris, R.S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan.
Penerbit ITB, Bandung
Haryoto. 1998. Teknologi Tepat Guna Sirup Asam. Kanisius, Yogyakarta
Jagtiani, J., Chan jr, H.T., Sakai, W.S. 1988. Tropical Fruit Processing. Academic
Press, San Diego.
Jellen, P. 1985. Introduction to Food Processing. Reston Publishing Company
Inc, Virginia
Planck, N. 2007. Real Food Hidup Bebas Penyakit degan Makanan Alami.
Penerjemah: WORD** Translation Service. Penerbit B-First, Yorgyakarta.

Purba, A dan T. Karo - karo, 1997. Pengantar Teknologi Hasil Pertanian.
(Pangan). FP - USU, Medan.

Rahman. M.S. 2007. Handbook of Food Preservation. CRC Press, FL.
Rukmana R., Yuniarsih, Y. 2005. Penanganan Pasca Panen Cabai Merah.
Kanisius, Yogyakarta

Ruly. 2009. Perubahan pada Bahan Pangan Saat Blansing. Available at:
http://dunia-mikro.blogspot.com/2009/04/perubahan-pada-bahan-pangan-
saat.html. (Dikases pada 27 Maret 2014)

Shinhya, H. 2007. The Miracle of Enzyme: Self Healing Program. Penerjemah:
Winny Prasetyowati. PT Mizan Pustaka, Bandung.

Intan Btari Dwiastuti
240210130101
Tjahjadi, C. dan Herlina Marta. 2014. Buku Ajar Pengantar Teknologi Pangan:
Volume 2. Jurusan Teknologi Industri Pangan FTIP Universitas
Padjadjaran, Jatinangor



Intan Btari Dwiastuti
240210130101
LAMPIRAN

Jawaban pertanyaan:
A. Blansing
1. Apa sebabnya menonaktifkan enzim penting dalam proses pengolahan
sayuran dan buah-buahan ?
jawab: Menonaktifkan enzim dalam proses pengolahan sayuran dan buah-
buahan sangatlah penting karena enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan
perubahan-perubahan kualitas bahan pangan, seperti pencoklatan, perubahan
warna, perubahan rasa, perubahan tekstur, dan lain-lainnya.

2. Faktor apa saja yang kiranya dapat memengaruhi lama blansing ?
jawab: Faktor-faktor yang dapat memengaruhi lama blansing adalah tipe
bahan pangan (nabati atau hewani), ukuran bahan (besar atau kecilnya),
jumlah bahan yang diblansing, suhu, metode blansing yang digunakan, dan
volume air yang digunakan.

3. Apa keuntungan dan kerugian dari blansing menggunakan medium air dan
uap air ?
jawab:
a. Blansing menggunakan medium air
Keuntungan : medium air lebih mudah untuk mencapai suhu yang
seragam, waktunya lebih cepat
Kerugian : blansing dengan medium air dapat menyebabkan terlarutnya zat
gizi, dan pigmen ke dalam air sehingga menyebabkan pengurangan gizi
pada sayur dan buah-buahan.
b. Blansing menggunakan uap air
Keuntungan : medium uap air dapat menjaga kandungan gizi sayur-
sayuran dan buah-buahan.
Kerugian : lebih sulit mencapai suhu yang seragam, waktunya lebih lama.
B. Pasteurisasi
1. Mengapa selama proses pemasakan harus dilakukan pengadukan ?
Intan Btari Dwiastuti
240210130101
jawab: Pengadukan yang dilakukan selama proses pemasakan bertujuan untuk
menjaga kestabilan emulsi susu dan menghomogenkan komponen
komponen yang terkandung di dalamnya. Pemanasan dapat menyebabkan zat
pengemulsi (emulsifier) susu, yaitu kasein (salah satu protein susu), menjadi
rusak atau pecah. Selain itu, pengadukan ini dilakukan untuk mencegah
timbulnya buih selama proses pemasakan.

2. Apa yang terjadi bila digunakan suhu lebih tinggi dan waktu yang sama ?
jawab: Akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada protein dan vitamin
yang di dalam susu. Selain itu, juga terjadi penurunan nilai gizi serta
perubahan pada warna dan aromanya.

Anda mungkin juga menyukai