Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
trackback
Bagian 21
Customers Are Not Always Right, but They Are Still Important!
Jumat, 19 September 2008 | 00:22 WIB
Rule #2: If the customer is wrong, please re-read rule number one!
Itulah slogan yang sangat klasik di kalangan marketers. Slogan ini pun dipakai di mana-mana dan sudah
menjadi semacam pelajaran pertama dalam “Customer 101”. Slogan tersebut mulai dipakai di toko-toko ritel
sejak awal abad ke-20. Tidak terlalu jelas, siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
Kalau di Amerika, yang pertama kali menggunakannya adalah toko serba ada atau toserba (department
store) Marshall Field di Chicago yang didirikan pada akhir abad ke-19. Sementara kalau di Inggris, Harry
Gordon Selfridge Sr.-lah yang mempopulerkannya. Ia memakainya untuk toserba Selfridge-nya yang ada di
Selfridge sendiri, yang orang Amerika, sebelumnya pernah bekerja di Marshall Field. Jadi, kemungkinan
salah satu di antara Field atau Selfridge-lah yang menciptakan slogan tadi. Sebenarnya, ada lagi pernyataan
yang mirip yang berasal dari pebisnis hotel asal Perancis, César Ritz. Pada tahun 1908 ia mengatakan “Le
Terlepas dari siapa yang pertama kali mengatakannya, sebenarnya pernyataan tersebut ingin mengatakan
bahwa “customer is important”. Tapi, hal ini salah diterjemahkan orang. Banyak yang secara letterlijk (literal)
Pernyataan itu bukan berarti bahwa pelanggan selalu benar. Ungkapan tersebut lebih merupakan filosofi
bagaimana cara melayani pelanggan dengan menempatkan pelanggan sebagai prioritas utama. Buat saya,
Di Singapore Airlines, mereka tidak setuju pendapat “customer is always right”karena kenyataannya
memang begitu. Namun, siapa yang bisa menyangkal kualitas layanan ala Singapore Girl yang legendaris
tersebut? Ini membuktikan bahwa slogan tadi tidak harus ditelan secara mentah-mentah begitu saja.
Singapore Airlines menempatkan penumpang sebagai yang terpenting, namun bukan berarti bahwa
Terlebih di zaman New Wave Marketing ini, belum tentu semua pelanggan bisa bersikap fair dan jujur. Saat
ini orang bisa komplain tentang kita dengan memakai nama samaran dan media apapun. Bukan cuma lewat
media konvensional seperti surat pembaca di koran. Tapi juga bisa lewat e-mail atau blog atau forum-forum
diskusi online.
Jadi, mau tidak mau para marketers sekarang harus rajin-rajin membuka Internet dan meng-
googling berita-berita terbaru yang berkaitan dengan merek atau perusahaannya. Karena, kalau ada
pelanggan yang komplain dan nggak dijawab dengan sopan bisa meluas ke mana-mana.
Ada satu contoh menarik bagaimana penanganan customer complaint secara keliru bisa tersebar luas lewat
Internet. Pada tahun 2006, ada seorang blogger asal New York yang namanya Vincent Ferrari. Usianya
Ferrari ini ingin membatalkan langganan AOL-nya, karena sejak setahun sebelumnya ia sebenarnya sudah
tidak menggunakan layanan AOL lagi. Ia lalu meneleponcustomer service AOL, dan diterima oleh seseorang
yang bernama John. John ini tidak serta-merta menuruti permintaan Ferrari, karena catatan yang ada di
AOL menunjukkan bahwa Ferrari masih menggunakan layanan AOL sampai saat Ferrari menelepon itu.
Namun, Ferrari merasa bahwa catatan yang ada di AOL itu tidak benar. Ketika Ferrari bersikeras, John pun
minta untuk bicara dengan ayah Ferrari, yang tercatat sebagai nama pelanggan di AOL. Ferrari tidak mau.
Percakapan ini berlangsung semakin sengit, karena masing-masing pihak merasa benar. Sampai-sampai
Serunya, percakapan ini ternyata direkam oleh Ferrari dan dimuat di blog-nya pada 13 Juni 2006. Tak pelak,
rekaman ini pun tersebar luas dan bahkan sempat ditayangkan di stasiun TV CNBC. AOL kemudian memecat
John, dan menyatakan permintaan maaf kepada Ferrari secara terbuka. Inilah salah satu contoh bahwa
Lihat saja, belum tentu Ferrari ini benar, karena catatan AOL menunjukkan bahwa ia masih menggunakan
layanan AOL. Namun, nama AOL sudah terlanjur tercemar. Di era New Wave Marketing, kesalahpahaman
yang tidak diselesaikan dengan segera seperti ini bisa melebar kemana-mana, merambah tidak terkendali,
Jadi, kalau pelanggan yang salah, memang harus ditanggapi dengan cepat secarahumble,. Tapi tidak perlu
minta maaf dan memberikan recovery kalau memang Anda tidak salah. Lantas, bagaimana kalau Anda yang
salah? Wah, harus cepat-cepat minta maaf, memberikan recovery dan janji bahwa hal seperti itu tidak akan
terulang kembali.
Bagian 22
MENGAPA pria berbohong dan wanita menangis? Itulah yang ditanyakan Allan Pease dan Barbara Pease,
dan sekaligus menjadi judul salah satu buku laris mereka. Selain buku itu, keduanya juga menulis buku-
buku laris lainnya yang judulnya “serupa tapi tak sama”, seperti: Why Men Don’t Have a Clue and Women
Always Need More Shoes, Why Men Can Only Do One Thing at a Time and Women Never Stop
Talking, dan Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps.
Nah, dari judulnya saja sudah ketahuan kalau kedua penulis jelas-jelas ingin memperlihatkan adanya
perbedaan mendasar antara pria dan wanita. Sebagaimarketers, kita memang harus bisa memperhatikan
dengan cermat karakter pria dan wanita ini. Merekalah pelanggan kita. Kalau sampai salah membacanya,
akan sulit bagi kita untuk menjual produk kita kepada mereka.
Kembali ke judul di atas. Memang ada pernyataan yang bernada guyon, wanita itu sering menangis ketika
mengetahui pasangan prianya bohong. Tapi sebaliknya, pria terpaksa bohong karena takut pasangan
wanitanya malah menangis dan jadi emosional tidak karuan kalau diceritakan kenyataan yang
Wanita memang dianggap lebih emosional ketimbang pria. Namun jangan salah, di era New Wave
Marketing ini, pria pun jadi lebih emosional. Seperti sudah saya uraikan dalam buku Marketing in Venus,
pria memang diuntungkan dengan kemajuan teknologi saat ini. Pria dulu dikenal sulit untuk
mengekspresikan perasaannya; bukan karena mereka tidak memiliki emosi, tetapi karena pria kadang tidak
Bagi kaum pria, merangkai kata-kata dan mengungkapkan perasaan bukanlah pekerjaan gampang.
Dibutuhkan ketrampilan khusus untuk melakukan hal itu. Mereka lebih mudah mengungkapkan emosi
Nah, dengan adanya teknologi seperti SMS yang memungkinkan pengungkapan isi hati tanpa perlu bertatap
muka, kaum pria jadi lebih mudah mengungkapkan emosi dan perasaannya. Selain itu, secara biologis, pria
memang lebih fokus. Pria sulit untuk memecah-mecah pikiran dan ngobrol dengan beberapa orang
Namun, berkat adanya teknologi chatting, saat ini pria sudah bisa ngobrol dengan beberapa orang sekaligus
dengan hanya terfokus kepada satu layar saja. Pria jadi lebih mampu berbagi cerita dengan orang lain. Dan
tak hanya itu, teknologi chattingini juga memungkinkan pria memperhatikan detail pembicaraan. Mereka
Singkatnya, kaum pria jadi semakin seperti wanita. Mengapa demikian? Karena pria lebih mengandalkan
mata. Dengan percakapan di dunia maya yang dikomunikasikan lewat mata, mereka menjadi terakomodasi
dalam menangkap banyak informasi. Sejumlah penghalang untuk berkomunikasi dan mengungkapkan
emosi pada pria kini telah diakomodasi oleh teknologi sehingga pria tidak lagi menghadapi kesulitan untuk
mengekspresikan emosinya.
Kecanggihan teknologi juga mempermudah pria untuk melakukan berbagai pekerjaan sekaligus, tanpa
kehilangan fokusnya. Semua itu juga menjadikan insting pria pun lebih terasah. Pria seperti inilah yang
Pria metroseksual ini bukan berarti mereka gay atau kecewek-cewekan. Mereka masih tetap pria
heteroseksual dan tetap macho. Hanya saja sosok macho bagi pria metroseksual mengalami redefinisi,
bukan lagi seperti Charles Bronson, Arnold Schwarzenegger, atau Sylvester Stallone, tapi sosok-sosok
Pria metroseksual ini juga punya kemampuan berkomunikasi dan interpersonal skillsyang sangat baik.
Mereka juga introspektif dan punya intuisi yang lebih tajam ketimbang pria kebanyakan.
Sekarang ini sudah banyak pria yang tidak malu-malu lagi disebut metroseksual. Saya sendiri contohnya.
Saya nggak malu disebut metroseksual, karena itu berarti menunjukkan kalau saya bisa lebih sensitif
terhadap situasi.
Saya selalu menangis ketika menonton pertunjukan teater The Phantom of the Opera. Terutama pada
adegan-adegan terakhir ketika tokoh Erik, si “hantu”, akan meninggal dunia. Padahal, saya sudah nonton
pertunjukan ini tiga kali, yaitu ketika di New York, London, dan Singapura.
Jadi, bisa Anda lihat bahwa pria dan wanita saat ini sudah sangat jauh berbeda dibanding sekian tahun lalu.
Konklusinya, sebagai marketers Anda memang harus benar-benar mengerti pelanggan Anda sedalam-
dalamnya. Meminjam judul lagu Bee Gees, how deep is your love to your customers?
Bagian 23
ANDA tahu film “What Women Want”? Ini salah satu film favorit saya. Ceritanya berkisar pada Nick
Marshall, account executive sebuah biro iklan. Nick yang diperankan oleh Mel Gibson ini orangnya ganteng,
gagah, punya karir yang bagus, dan masih bujangan. Pendeknya, tipe pria yang menjadi idaman para
wanita.
Suatu hari, ketika sedang di kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya denganhairdryer, Nick terpeleset
dan jatuh ke bathtub yang berisi air. Tak pelak, ia pun kesetrum dan jatuh pingsan. Ketika siuman, entah
bagaimana, Nick bisa mendengar apa-apa yang ada di pikiran wanita. Semua wanita yang ditemuinya bisa
didengar pikirannya. Kadang malah ada dua suara sekaligus yang didengarnya dari satu wanita yang sama;
satu ucapan lisan yang keluar dari mulut si wanita, satu lagi “ucapan” dari pikiran si wanita.
Nick pun bingung dan mengira otaknya terganggu. Ketika Nick menemui seorang terapis, terapis ini malah
ngomong supaya Nick tidak perlu risau. Terapis ini bilang kalau inilah anugerah terbaik yang pernah
diberikan Tuhan kepada Nick. “If Men are from Mars and Women are from Venus, and you can speak
Sadar akan hal ini, Nick lantas memanfaatkan “bakat” barunya ini untuk kepentingannya sendiri, termasuk
untuk memenangkan pitching iklan yang diikutinya. Ia pun memanfaatkannya untuk kepentingan menjalin
relasi dengan seorang wanita teman kerjanya dan juga untuk memperbaiki hubungannya dengan anaknya.
Nah, inilah salah satu contoh customer insight. Film ini bisa menjadi inspirasi bagi
semua marketers. Marketers harus bisa menjadi seperti Nick Marshall tadi, yang bisa benar-benar
memahami orang lain (baca: pelanggan) secara luar-dalam. Bukan hanya yang diucapkan secara lisan,
namun juga yang tidak diungkapkan. Karena apa yang ada di pikiran seseorang tidak jarang sangat berbeda
Customer insight seperti ini bukan hanya ada di film. Di Indonesia sendiri malah sudah pernah ada contoh
nyata “customer insight” yang lebih dramatis. Pada tahun 1974, ada seorang wanita antropolog dan jurnalis
asal Amerika bernama Wyn Sargent. Ia pergi ke Lembah Baliem di Papua untuk meneliti kehidupan
Sargent yang saat itu berusia sekitar 46 tahun ini bukan sekadar ingin menjadi peneliti “dari luar” saja. Ia
benar-benar ingin “immerse”, ingin “masuk” dan menjadi bagian dari suku tersebut. Sargent pun tinggal
bersama-sama suku Dani tersebut, dan bahkan sempat menikah dengan kepala sukunya yang bernama
Obaharok!
Inilah yang saya kira merupakan upaya “customer insight” yang paling fenomenal sampai saat ini. Kisah ini
sempat heboh saat itu. Sargent kemudian memang kembali ke Amerika. Ia pun menuliskannya dalam buku
berjudul People of the Valley. Sebelum pergi ke Papua tadi, Sargent juga sempat meneliti suku Dayak di
Kalimantan dan menuliskan pengalamannya dalam buku berjudul My Life with the Headhunters. Bisa kita
lihat bagaimana gigihnya Sargent ini dalam upayanya memahami sosial-budaya masyarakat setempat.
Nah, dalam konteks marketing, apa yang dilakukan Sargent ini menunjukkan bahwa aspek sosial-budaya
merupakan aspek yang paling penting—dan juga paling sulit—dalam upaya memahami pelanggan.
Masyarakat yang tinggal di satu tempat tertentu menganut keyakinan (belief) dan nilai-nilai (values) yang
berbeda dengan masyarakat di tempat lain. Keyakinan dan nilai-nilai ini sudah terserap secara tidak sadar
dan berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi. Karena itu, terbentuklah karakter masing-masing
Di Indonesia, sebagai marketers kita harus benar-benar mencermati aspek sosial-budaya ini karena
Indonesia memiliki banyak etnis, bahasa, agama, dan adat yang berbeda-beda. Perubahan gaya hidup dan
perilaku harus benar-benar diamati karena sifat perubahan sosial-budaya ini bersifat inkremental dan
“halus”, sehingga kadang tidak terdeteksi. Beda misalnya dengan perubahan dalam aspek politik-legal yang
Apalagi, seperti juga pernah saya bahas, Indonesia sudah sangat berbeda dengan zaman Orde Baru dulu.
Otonomi daerah yang ada membuat sosial-budaya Indonesia yang dulunya cenderung homogen (alias
Karena itu, perusahaan nasional harus mendalami masalah sosial-budaya pelanggan di tiap-tiap daerah. Di
era New Wave Marketing ini, kantor pusat di Jakarta tidak bisa lagi menyusun kebijakan yang sama untuk
semua kantor cabang-kantor cabang di daerah-daerah, karena memang pelanggan di tiap-tiap daerah
tersebut berbeda-beda.
Bagian 24
PERNAH lihat video klip yang judulnya “Evolution of Dance”? Kalau belum, coba sekarang juga Anda buka
situs YouTube dan ketik judul video klip tadi di kotak pencarian.
Sudah ketemu? Ya, inilah video klip yang menjadi fenomena di YouTube. Video klip ini tercatat disaksikan
sebanyak hampir 100 juta kali! Video klip ini menjadi video klip nomor dua paling populer di YouTube
Sebelumnya, selama lebih dari 2 tahun sejak di-upload di YouTube pada 6 April 2006, “Evolution of Dance”
ini merupakan video klip nomor satu paling populer di YouTube. Pada masa-masa awal, video klip ini
bahkan disaksikan sebanyak lebih dari 10 juta orang hanya dalam jangka waktu kurang dari dua minggu!
Di video klip sepanjang sekitar 6 menit ini, komedian dari Amerika yang bernama Judson Laipply
memperagakan kemahirannya menari sambil diiringi sejumlah lagu dari berbagai penyanyi dari berbagai era.
Laipply dengan sangat persis menirukan gaya yang ditampilkan para penyanyi tersebut di video klip mereka.
Laipply dengan sangat persis menirukan gaya Elvis Presley di era 1950-an ketika diputar lagu “Hound Dog”.
Begitu juga gaya The Village People di era 1980-an pada lagu “Y.M.C.A.”, tarian Vanilla Ice pada lagu “Ice
Ice Baby” dan MC Hammer pada lagu “U Can’t Touch This” di awal 1990-an, sampai gaya Eminem ketika
membawakan lagu “Lose Yourself” di awal tahun 2000-an. Video klip ini akhirnya juga masuk ke
dunia offline, dan dipublikasikan di sejumlah mainstream mediaterkenal seperti CNN, E!, dan USA Today.
Laipply sendiri sempat menjadi bintang tamu pada acara talk-show yang sangat populer, Oprah.
Inilah tipikal video klip yang berpeluang besar untuk bisa populer di YouTube: lucu, konyol, pendek, serta
sekaligus cerdas. Kalau sudah bisa seperti itu, orang pun akan dengan serta-merta menyaksikannya dengan
penuh antusias.
Nah, kisah kesuksesan di dunia online seperti ini bukan milik Laipply semata. Masih banyak orang yang
dengan cerdas bisa memanfaatkan Web 2.0 ini. Selain YouTube, situs MySpace juga sudah lebih dulu
mereka. MySpace ini memang sangat populer di kalangan musisi karena memiliki fitur yang memungkinkan
Sejumlah grup band yang saat ini populer di kalangan anak muda Indonesia seperti The Changcuters,
Mocca, Sore, Everybody Loves Irene, Zeke and the Popo, dan Goodnight Electric juga punya account di
MySpace. Bahkan, kelompok White Shoes and the Couples Company sempat dinobatkan menjadi salah satu
dari 25 band terbaik di MySpace versi majalah musik terkemuka, Rolling Stone, pada Desember 2006 lalu.
Memang, situs seperti MySpace memungkinkan para band tadi untuk melakukan promosi dengan biaya
rendah. Banyak keuntungan yang bisa langsung didapat. Misalnya pesanan album, kontrak dari label
rekaman, rilis album secara digital lewat Internet, dan tawaran manggung yang bukan hanya datang dari
Lebih enaknya lagi, promosi tadi tidak perlu dilakukan sendiri oleh para musisi tersebut. Tapi, lewat jaringan
pertemanan yang ada di situs MySpace tadi, semua penggemar bisa ikut menyebarluaskan promosi tentang
musik-musik mereka. Ini menunjukkan bahwa di New Wave Landscape, sekali pelanggan itu merasa excited,
recommend, me-rating, mem-vote, men-submit, dan berbagai istilah lainnya yang ada di Web 2.0 saat ini.
Jangan lupakan juga kisah sukses yang fenomenal dari film “Ayat-ayat Cinta” pada awal tahun 2008 ini. Film
yang diangkat dari buku dengan judul sama karya Habiburrahman El-Shirazy yang juga sangat laris ini buzz-
nya sudah ada jauh sebelum penayangan filmnya. Mulai dari lika-liku kisah di balik layarnya yang dimuat di
blog sutradaranya, Hanung Bramantyo, sampai beredarnya film versi unedited-nya di Internet.
Selain itu, setelah film “Ayat-ayat Cinta” ini diputar di bioskop, banyak penonton yang merasa sangat
tersentuh, dan akhirnya mereka menuangkannya di Internet lewat blog, milis, dan forum-forum diskusi.
Promosi yang ada menjadi berlipat ganda. Bahkan, ketika belum sampai satu bulan rilis di bioskop, film ini
telah mampu menyedot sekitar 2,4 juta penonton! Saking ramainya pemberitaan yang ada saat itu, sampai-
sampai Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyempatkan diri menonton film ini.
Nah, semua ini menunjukkan bahwa kesuksesan yang ada di online juga bisa menjalar ke offline. Selain itu
juga menunjukkan betapa pentingnya peranan pelanggan yang sudah sangat excited. Di era New Wave
Marketing ini, pelanggan memang jauh lebih sensitif. Kalau sudah marah, ya marah sekali. Tapi sebaliknya,
“Life in the Fast Lane” adalah tema iklan satu halaman di koran The Straits Timesdari Singapura. Huruf-
huruf “Fast Lane”-nya dibuat dari karakter bendera start-nya lomba Formula One (F1) yang dikombinasikan
dengan ikon “forward” (segitiga dengan ujung menghadap ke kanan) yang biasa terdapat pada produk-
produk elektronik. Sementara model yang memeragakan adalah anak muda dengan jas eksekutif yang
Anda bisa menebak, iklan apa ini? Ternyata, iklan ini merupakan promosi dari toko ritel ternama, TANGS, di
Vivo City dan Orchard Road, dua kawasan belanja yang populer di Singapura. Nampaknya yang
menjadi primary target market-nya adalah wanita, karena disebutkan adanya diskon sebesar 20% jika
berbelanja perlengkapan wanita. Selain itu, ada juga program yang diberi nama “TANGS Pitstop” yang
memberikan layanan manikur, pijat kepala dan bahu, serta penataan rambut secara cepat.
Lantas, apa yang istimewa dari iklan ini? Saya melihat ini sebagai upaya mati-matian dari sebuah toko ritel
untuk memahami kebutuhan pelanggannya. TANGS juga dengan cerdik memanfaatkan momentum F1
Singapura pada akhir September ini yang pastinya akan menarik minat jutaan orang, terutama para F1-
mania.
Para F1-mania ini memang punya karakteristik tersendiri. Coba saja Anda perhatikan, mereka memang
sangat antusias melihat mobil F1 yang melaju dengan kecepatan sangat kencang di lintasan balap. Namun,
lebih dari itu, buat saya hal ini seolah merupakan indikasi bahwa para F1-mania ini memang senang terpacu
untuk berkompetisi dengan kecepatan tinggi seperti itu. Memang, kalau dianalisis lebih lanjut, ada orang-
orang tertentu yang terobsesi dengan kecepatan. Orang-orang seperti ini punya kebutuhan psikologi yang
Sebuah artikel di Discovery Channel yang berjudul “If you want to understand the need for speed, take a
look at your genes!” menguraikan bahwa orang-orang yang senang balapan memang secara biologis punya
gen yang berbeda. Gen ini membuat orang-orang tersebut punya toleransi yang lebih tinggi terhadap
tingkat stres, risiko, dan kecemasan yang biasanya diasosiasikan dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Jadi, orang-orang seperti para F1-mania ini nyatanya memang berbeda. Dengan memahami pelanggan luar-
dalam seperti ini, maka para marketers pun bisa menyusun strategi pemasarannya sesuai dengan karakter
Ajang balapan F1 tadi misalnya, dimanfaatkan oleh banyak merek yang punya brand personality yang
sesuai dengan kepribadian para F1-mania.Contohnya seperti Intel T-Mobile yang menjadi sponsor tim BMW
Sauber. Tentu merek prosesor ini ingin diasosiasikan memiliki kecepatan pengolahan data seperti kecepatan
laju mobil-mobil F1. Atau Vodafone yang menjadi sponsor tim Ferrari dan Mercedes-Benz. Operator seluler
global ini tentu ingin diasosiasikan memiliki kecepatan pengiriman data untuk layanan 3G-nya secepat laju
Dengan pemahaman seperti inilah, maka para sponsor tadi tidak segan-segan membelanjakan jutaan dollar
uangnya di arena F1. Mereka yakin bahwa exposuremereknya akan mendapatkan hasil yang maksimal.
Bagaimana tidak, rata-rata ada sekitar 55 juta orang dari seluruh penjuru dunia yang menyaksikan balapan
Sekali lagi ini menunjukkan pentingnya memahami pelanggan kita luar-dalam. Bukan sekadar yang berupa
angka statistik, namun juga pemahaman akan nilai-nilai dan kepribadian pelanggan. Tanpa pemahaman
yang dalam, bisa-bisa kita membuat strategi pemasaran yang salah atau membidik pelanggan yang tidak
tepat.
Ada satu hal lagi yang tidak kalah penting. Lomba balap F1 ini juga memberikan inspirasi bahwa di era New
Bill Gates sudah pernah menguraikan panjang-lebar soal ini sekitar 10 tahun lalu dalam bukunya Business @
the Speed of Thought. Menurut Bill Gates, karena pesatnya perkembangan teknologi, kecepatan bisnis pun
terus meningkat dengan amat pesat. Dan, untuk bisa bertahan, perusahaan harus membangun sebuah
infrastruktur yang mampu mengalirkan informasi dengan cepat untuk bisa segera direspons.
Bill Gates menamakan infrastruktur seperti ini sebagai “sistem saraf digital” atau “digital nervous system.”
Jadi, layaknya sistem saraf manusia, sebuah bisnis harus bisa merespons dengan seketika saat
Dalam konteks pelanggan, ini berarti marketers harus bisa “membaca” dan memahami pelanggan bukan
hanya dengan tepat, tapi juga cepat. Karena kemajuan teknologi di era New Wave Marketing ini membuat
FILM Sex and the City dan Desperate Housewives adalah dua contoh pentingnya penggunaan customer
insight. Kedua serial TV itu berhasil menyajikan sebuah tontonan yang menarik secara komersial dan juga
berkualitas tinggi. Karena itu, tidak heran jika keduanya punya banyak penggemar serta memenangkan
sejumlah penghargaan bergengsi, seperti Emmy Award dan Golden Globe Award. Sex and the City malah
Lantas, kenapa kedua serial TV ini bisa begitu sukses? Mari kita lihat dulu Sex and the City. Serial TV ini
mengisahkan kehidupan sehari-hari empat wanita yang merupakan bagian dari kaum elite di New York.
Walaupun usia mereka sudah menginjak kepala tiga dan empat, mereka masih sangat fashionable, sering
gonta-ganti busana.
Keempat sahabat wanita ini saling ngobrol secara jujur dan terbuka tentang kehidupan mereka, terutama
dalam soal cinta. Tak jarang mereka menceritakan fantasi-fantasi seksualnya. Selain isu-isu yang
menyangkut seks seperti soal penyakit seks menular, safe sex, atau seks bebas, serial ini juga banyak
membahas bagaimana seharusnya peranan wanita di tengah masyarakat kota besar seperti di New York.
Salah satu tokohnya, Samantha Jones, yang kebetulan berusia paling tua, malah menyebut dirinya sendiri
sebagai try-sexual! Maksudnya, ia berani melakukan hubungan seksual dengan banyak pria tanpa merasa
harus terikat.
Lalu, bagaimana dengan Desperate Housewives? Serial televisi ini bercerita tentang lima wanita bertetangga
yang hidup di satu jalan yang bernama Wisteria Lane. Walaupun kehidupan di situ kelihatannya baik-baik
saja, tapi ternyata ada berbagai kisah dan misteri yang cukup seru di balik permukaan.
Ada yang sedang berjuang untuk menyelamatkan pernikahannya. Yang lain berjuang mengatasi masalah
dengan anak-anaknya. Tokoh yang lain berebut pria dengan tetangga. Satunya lagi berselingkuh dengan
tukang kebunnya. Ramai sekali bukan? Nah, karena ceritanya tersebut, kedua serial TV ini kerap
menimbulkan kontroversi. Walaupun begitu, kontroversi yang ada justru membuat kedua serial TV ini
semakin populer.
Sekarang, coba bayangkan diri Anda sebagai seorang market researcher dengan responden wanita yang
berumur antara tiga puluhan sampai empat puluhan seperti profil para tokoh di kedua serial TV tadi.
Maaf sebelumnya kalau Anda menanyakan secara langsung kepada responden Anda tersebut, mungkin
tidak akan ada yang pernah mengaku bahwa sebagian memang ada yang sex mania seperti karakter
Samantha Jones di Sex and the City. Juga, maaf sekali lagi, mungkin enggak ada yang
mau ngomong secara terbuka kalau banyak yang terpaksa mempertahankan perkawinan walaupun
kuantitatif. Bisa kita lihat bagaimana peranan customer insight menemukan hal-hal yang sangat sensitif tadi.
Sebenarnya kisah seperti Sex and the City dan Desperate Housewives bukan hanya ada di Amerika. Anda
ingat film Arisan!? Nah, film ini pun sukses luar biasa dengan cerita yang tidak biasa. Walaupun di
permukaan tampaknya kehidupan para karakternya berjalan sempurna, namun ternyata mereka menyimpan
berbagai persoalan. Ada karakter gay yang masih bingung menentukan jati dirinya, ada pula karakter istri-
Saya sendiri sangat terkesan dengan film Arisan! ini. Karena itu, saya pernah mengundang Nia Dinata,
sutradara, produser, dan salah seorang penulis film ini, menjadi narasumber di acara workshop MarkPlus.
Nah, kisah Sex and the City, Desperate Housewives, maupun Arisan! menunjukkan bahwa survei kualitatif
bisa lebih valid ketimbang survei kuantitatif. Hal ini karena orang itu akan enggan memberikan jawaban-
jawaban yang jujur terhadap pertanyaan-pertanyaan survei kuantitatif yang bagi mereka termasuk sensitif.
Orang itu jika ditanyai secara langsung terkadang hanya bersedia menunjukkan sisi baik dirinya atau
Jadi, sekali lagi saya tekankan, Anda harus bisa memahami konsumen luar-dalam. Anda harus mampu
Sebagai penutup, saya terlintas hal yang cukup menarik. Kalau kedua judul serial TV di atas tadi digabung,
jadinya malah nyambung juga: Desperate Sex and the City Housewives. Banyak yang mengalami desperate
sex, dan sebagian di antaranya, maaf, mungkin adalah the city housewives. Nah, pas kan?
Bagian 27
SUDAH nonton film “Die Hard 4.0”? Saya sudah nonton film ini karena kebetulan disuruh oleh Dirjen Aplikasi
Cerita film ini memang sangat berkaitan dengan bidang pekerjaan Pak Cahyana. Di film ini, sang jagoan
bernama John McClane yang diperankan aktor berkepala plontos Bruce Willis bertarung mati-matian
Kelompok cyber terrorist ini meng-hack sistem jaringan komputer Amerika dan menguasai seluruh sistem
infrastruktur nasional yang ada. Mereka berhasil melumpuhkan sistem transportasi nasional, membuat pasar
saham jadi crash, memadamkan pembangkit listrik yang ada di wilayah Pantai Timur Amerika, dan juga
Hebatnya, semua itu dilakukan secara online lewat komputer saja. McClane pun dalam aksinya kali ini
dibantu oleh seorang hacker muda. Pada akhirnya, tentu saja, kombinasi antara ketangguhan fisik McClane
Inilah contoh penyalahgunaan teknologi New Wave oleh orang-orang yang punya pikiran jahat. Maka, tentu
perlu dibuat seperangkat aturan dan juga melatih paralaw enforcer agar mampu menghadapi cyber
Pak Cahyana sendiri adalah orang yang mempelopori dan mengawal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sampai akhirnya disetujui oleh DPR RI. Inilah undang-
undang di Indonesia yang pertama kalinya mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan Internet serta
pencegahan penyalahgunaannya.
Kalau Anda masih ingat tulisan saya tentang persaingan yang membagi tiga jenis persaingan menjadi
Traditional Boxing, Thai Boxing, dan American Wrestling, di era New Wave Marketing ini pelanggan pun ada
tiga tipe, yaitu: Active Customer, Passive Customer, dan Rebel Customer.
“Rebel Customer” adalah “Ugly Customer”. Anda harus berhati-hati dengan pelanggan seperti ini. Mereka
bisa membobol bank Anda atau account kartu kredit nasabah Anda. Mereka juga mungkin saja bisa
membobol sistem infrastruktur nasional seperti dalam film “Die Hard 4.0” tadi.
Bahkan, dalam buku The World is Flat-nya Thomas L. Friedman disebutkan bahwa Al-Qaeda sangat
mengandalkan Internet dalam merencanakan dan mengoordinasikan serangan 11 September tahun 2001.
Di buku itu disebutkan laporan dari Gabriel Wiemann, profesor komunikasi dari Universitas Haifa, Israel. Ia
melakukan studi mendalam tentang penggunaan Internet oleh para teroris, yang dipublikasikan pada Maret
2004 oleh United States Institute of Peace dan dikutip di YaleGlobal Online pada 26 April 2004.
Hasil studi sepanjang enam tahun itu menunjukkan bahwa para teroris memanfaatkan Internet bukan
hanya untuk mencari data, namun juga untuk merekrut pendukung, mengumpulkan dana, melakukan
publikasi, dan melakukannetworking. Bahkan, organisasi teroris yang semula bersifat vertikal dengan
adanya pimpinan tunggal beralih menjadi organisasi yang lebih bersifat horisontal berbentuk sel-sel semi-
Bisa kita lihat apa yang bisa terjadi jika Internet dimanfaatkan oleh “Rebel Customer” ini. Tapi, di lain pihak,
ada juga “Active Customer” yang memanfaatkan teknologi New Wave ini secara positif. “Active Customer”
adalah “Good Customer”; mereka mencari-cari tahu sendiri dan mau mencoba berbagai fitur yang ada di
Contohnya ya orang-orang yang sudah mau membeli barang secara online, misalnya saja membeli buku
lewat Amazon.com. Atau orang-orang yang melakukan transaksi keuangan lewat Internet, misalnya saja
mentransfer uang lewat PayPal. “Active Customer” seperti ini berani melakukannya walaupun mungkin saat
itu aspek keamanannya belum terjamin 100% dan juga belum ada UU No. 11 Tahun 2008 tadi.
Nah yang di tengah adalah “Passive Customer”. Mereka ini orang-orang yang pragmatis. Mereka biasanya
menunggu dulu, bagaimana hasilnya. Kalau memang bagus, dia akan ikut. Kadang-kadang “Passive
Customer” ini masih gagap teknologi (gaptek). Mereka juga pakai Internet hanya untuk e-mail atau mencari
informasi, tapi belum mau membeli barang atau melakukan transaksi keuangan secara online.
Bisa kita lihat perbedaan yang sangat mendasar di antara ketiga tipe pelanggan ini. Karena itu, perusahaan
Sebagai penutup, ada ilustrasi yang menarik. Anda tahu ikon tiga monyet bijak dari Jepang yang sangat
terkenal: yang pertama menutup matanya, yang kedua menutup telinganya, dan yang ketiga menutup
mulutnya? Nah, inilah“Active Customer”. Mereka “See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil.” Mereka ini
Sementara itu, “Rebel Customer” kebalikannya. Mereka selalu “Do Only Evil”. Segala cara dihalalkan untuk
FILM mahakarya George Lucas yang satu ini memang favorit saya dari dulu. Ketika seri terakhirnya, “Star
Wars Episode III: Revenge of the Sith”, dirilis tahun 2005 lalu, saya sampai bela-belain menonton lagi
Film Star Wars memang bukan film biasa. Dari urutannya saja sudah terlihat unik. Film pertama yang
diproduksi adalah seri film yang keempat. George Lucas bilang, hal ini karena pada pertengahan 1970-an
sewaktu ia punya gagasan untuk membuat serial film ini, teknologi yang ada saat itu belum memungkinkan
Jadinya, trilogi bagian akhir keseluruhan cerita Star Wars (Episode IV-VI), justru dibuat lebih dahulu pada
pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Sedangkan cerita-cerita awalnya (Episode I-III) baru dibuatkan
Dari sini saja sudah ketahuan, bagaimana kreatifnya si George Lucas itu. Tak heran, film ini sukses sangat
luar biasa. Keenam film Star Wars berhasil meraup pendapatan sekitar 4,3 milyar dollar AS dari seluruh
dunia!
Dan yang lebih penting, Star Wars ini sudah menjadi salah satu fenomena budaya yang penting dalam abad
ke-20. Film ini bukan hanya mempengaruhi jagat hiburan dan seni, tapi juga merambah ke dunia politik.
Ingat program pengembangan senjata nuklirnya Presiden Ronald Reagan dulu yang dijuluki “Star
Wars”? Reagan bahkan menyebut Uni Sovyet kala itu sebagai “Evil Empire”, yang diambil dari nama entitas
Nah, film Star Wars ini sedikit banyak bisa memberikan ilustrasi tentang lanskap bisnis masa depan yang
sangat cepat berubah dari waktu ke waktu di era New Wave Marketing.
Lihat saja perjalanan para tokohnya di galaksi yang tak terbatas itu. Mulai dari Planet Tatooine yang kering
dan tandus serta punya dua matahari, Planet Dagobah yang penuh rawa-rawa tempat tinggal Master Yoda,
Death Star tempat para musuh jahat yang merupakan planet buatan, sampai ke Cloud City yang ada di atas
awan.Setting-nya selalu berubah dengan cepat dan tidak pernah sama.
Change yang terdiri dari Teknologi, Politik-Legal, Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Market juga terlihat semua di
film. Kita disuguhkan teknologi canggih yang sangat imajinatif, mulai dari karakter humanoid R2-D2 dan C-
3PO, pedang sinar (lightsaber), sampai tentunya pertempuran dengan pesawat-pesawat luar angkasa yang
sangat canggih.
Soal Politik-Legal juga terlihat pada peranan kaum pemberontak yang dipimpin Han Solo, pengaruh Dewan
Jedi, sampai pertarungan kekuasaan di Senat Galaksi. Bisa dilihat bahwa individu seperti Han Solo atau
Senator Palpatine bisa lebih berpengaruh ketimbang institusi atau pemimpin formal yang ada.
Dalam Sosial-Budaya, jangan ditanya lagi. Di Star Wars inilah kita bisa melihat bukan hanya keragaman
budaya, namun juga keragaman makhluk dengan berbagai karakternya. Ada juga ucapan-ucapan Master
Yoda yang selalu bernas namun tidak mengikuti tata-bahasa yang umum. Dan yang terpenting adalah
konsep “The Force” yang sangat horisontal dan menyiratkan relasi lintas agama (interfaith).
Kemudian, dalam soal Ekonomi dan Market terutama bisa dilihat pada Star Wars Episode I: The Phantom
Menace. Di sini banyak diceritakan soal konflik dagang yang mengakibatkan penerapan blokade ke Planet
Naboo dan merupakan awal dari kisah epik Star Wars ini. Sekali lagi bisa terlihat kekuasaan yang dimiliki
oleh seorang individu seperti Jabba the Hutt yang adalah pimpinan para gangster kriminal.
Nah, dalam soal Competitor juga terlihat bahwa jumlah mereka tidak terbatas. Bisa muncul musuh-musuh
baru yang dulu tidak terlihat. Yang tadinya kawan bisa jadi musuh. Contoh paling nyata adalah pertarungan
antara Obi-Wan Kenobi melawan Anakin Skywalker alias Darth Vader muda. Padahal dulunya Obi-Wan inilah
Begitu pula dalam soal Customer. Kita harus melayani pelanggan-pelanggan kita secara mati-matian
layaknya Han Solo dalam melayani Luke Skywalker dan Princess Leia, walaupun belum tentu mereka yang
benar. Contoh menarik lainnya juga diperlihatkan Master Yoda yang membimbing Luke Skywalker dengan
telaten.
Nah, banyak pelajaran yang bisa didapat dengan mengambil metafora dari Star Wars seperti di atas.
Lanskap masa depan yang universal seperti memberikan peluang yang tidak terbatas kepada semua orang.
Untuk meraih peluang itu, tentunya kita harus mengetahui dulu lanskap bisnis kita; mulai dari Change
(Teknologi, Politik-Legal, Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Market) sampai ke soal Competitor dan Customer.
Star Wars memberikan inspirasi bahwa di lanskap New Wave hanya mereka yang berpikir secara kreatif dan
imajinatiflah yang bisa sukses. “May the Force be with all of us…”
Bagian 29
“Most companies don’t die because they are wrong; most die because they don’t commit themselves… The
Itulah yang dikatakan Andy Grove dalam bukunya, Only the Paranoid Survive. Grove ingin menggambarkan
bahwa hanya orang-orang yang paranoid-lah yang bisa bertahan di tengah pesatnya perubahan lanskap
bisnis.
Walaupun buku ini tergolong cukup lama—ditulis Grove ketika ia masih menjadi CEO Intel pada tahun
1996—namun pelajaran yang bisa dipetik masih cukup relevan di era New Wave Marketing ini. Berbagai
Change yang ada membuat sebuah perusahaan yang sebenarnya sudah cukup mapan seperti Intel mau
Intel didirikan oleh Robert Noyce dan Gordon Moore pada tahun 1968 dan merupakan salah satu perintis
Silicon Valley. Grove sendiri menjadi karyawan ketiga setelah kedua pendiri tersebut. Mereka bertiga ini
Sejak didirikan sampai awal tahun 1980-an, bisnis utama Intel adalah memory chips. Intel merupakan
penemu dynamic random access memory (DRAM) dan menguasai pasar DRAM ini. Namun, pada tahun 1983
pangsa pasarnya digerogoti perusahaan-perusahaan Jepang yang mampu membuat DRAM dengan biaya
Karena itulah, Grove yang saat itu memimpin Intel melakukan transformasi besar-besaran. Model bisnis
diubah secara mendasar dan fokus bisnis Intel berubah dari bisnis memory ke mikroprosesor. Walaupun
bisnis memory masih menyumbang pendapatan terbesar, Grove tidak segan-segan menutup sejumlah bisnis
Sebaliknya, selain “dipaksa” berubah akibat perubahan teknologi dan pasar seperti di atas, Grove juga bisa
“memaksa” pelanggan Intel untuk berubah. Pada saat itu, pembuatan mikroprosesor dilakukan oleh
beberapa perusahaan. Hal ini karena masih sering muncul masalah dalam proses pembuatan mikroprosesor
sehingga mengganggu pasokan ke pelanggan. Maka, untuk mengurangi risiko, pelanggan biasanya
memaksa bahwa produksi mikroprosesor dilakukan oleh beberapa manufaktur yang berbeda untuk
Namun, Grove berani mengambil keputusan untuk menjadi pemain tunggal dalam mikroprosesor. Ia pun
menghentikan lisensi desain mikroprosesor kepada para pesaingnya seperti Zilog dan AMD. Intel pun mulai
memproduksi mikroprosesor di tiga pabriknya sendiri, dan memberikan jaminan bahwa pelanggan tetap
awal 1990-an industri personal computer (PC)—yang salah satu komponen utamanya adalah
mikroprosesor—tumbuh pesat. Perubahan dalam industri IT seperti bisnis yang digeluti Intel ini memang
berlangsung sangat cepat. Rata-rata setiap 18 bulan bisa dibuat mikroprosesor baru dengan kapasitas dan
Grove sendiri menciptakan istilah yang nantinya sangat terkenal, “strategic inflection points”. Maknanya,
ada satu saat di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam bisnis yang digeluti suatu
perusahaan. Industri IT, yang memang sangat cepat berubah, bisa mengalami “strategic inflection points”
Nah, keberhasilan Grove menghadapi perubahan lanskap bisnis inilah yang mampu membawa sukses luar
biasa bagi Intel. Selama masa kepemimpinannya, Grove berhasil meningkatkan kapitalisasi pasar Intel dari
Setelah ditinggal Grove, Intel pun berubah lagi karena lanskap bisnisnya yang juga terus berubah. Craig
Barrett yang menggantikan Grove berupaya melakukan diversifikasi bisnis di luar mikroprosesor untuk PC.
Intel pun mulai membuat semikonduktor untuk berbagai produk seperti portable video player, TV layar
Upaya ini dilanjutkan oleh CEO berikutnya, Paul Otellini. Sejak tahun 2005 Otellini berpendapat bahwa
membuat mikroprosesor dengan kecepatan yang berlipat ganda saja tidak cukup. Intel harus merambah
bisnis di luar mikroprosesor. Otellini ingin menciptakan “platform” mikroprosesor yang mengkombinasikan
Memang, dalam lanskap bisnis New Wave saat ini kita harus siap untuk berubah setiap saat. Kita harus
benar-benar cermat memperhatikan permintaan dari pelanggan dan juga langkah-langkah pesaing. Jangan
pernah merasa nyaman. Seperti yang dikatakan Grove, “Success breeds complacency. Complacency breeds
GENERAL Electric (GE) adalah salah satu perusahaan yang dikagumi banyak orang, termasuk saya. Banyak
hal yang bisa dipelajari dari perusahaan ini. Berbagai buku tentang GE juga telah ditulis, termasuk karya
Noel Tichy dan Stratford Sherman yang menginspirasi judul tulisan ini, Control Your Destiny or Someone
Else Will.
Satu hal yang menarik diamati adalah perubahan yang terjadi di GE sejak era Jack Welch sampai Jeff
Immelt sekarang. Begitu diangkat sebagai CEO dan Chairman GE pada tahun 1981, Welch bergerak cepat.
Sepanjang dasawarsa 1980-an, Welch bekerja keras merampingkan GE dan membuatnya jadi lebih
kompetitif. Welch dikenal sangat terobsesi dengan shareholder value. Pidatonya yang berjudul “Growing
Welch mendorong para manajernya untuk bekerja lebih produktif. Ia juga memangkas birokrasi untuk
meningkatkan efisiensi. Welch juga tidak segan-segan memecat karyawan yang dianggap tidak memiliki
Hasilnya? Secara finansial GE sukses besar di bawah kepemimpinan Welch. Pada tahun 1980, sebelum era
Welch, revenue GE sekitar 26,8 milyar dollar AS. Pada tahun 2000, satu tahun sebelum Welch
Nah, setelah era Welch berakhir pada tahun 2001, giliran Jeff Immelt yang memimpin GE. Sama seperti
Welch, Immelt pun langsung melakukan transformasi. Immelt melihat bahwa GE cenderung sudah tidak
inovatif. Ia menilai bahwa obsesi GE terhadap bottom-line results dan kecenderungan untuk memecat orang
yang tidak mampu memenuhinya—warisan dari Welch—akan membuat para eksekutif GE tidak berani
mengambil risiko.
Maka, Immelt ingin agar GE lebih berani mengambil risiko, lebih memperhatikan soal pemasaran, dan yang
lebih penting, lebih berani melakukan inovasi. Beda dengan era Welch sebelumnya yang menekankan soal
efisiensi, pemotongan biaya, dan ketrampilan melakukan deal-deal bisnis. Hal ini mau tidak mau memang
harus dilakukan. Lanskap bisnis pada era Welch berbeda dengan era Immelt.
Pada era Welch, ekonomi Amerika tumbuh pesat pada tahun 1990-an saat dipimpin Bill Clinton. Sementara
Immelt harus menghadapi masa-masa pasca peristiwa serangan teroris 9/11, ekonomi domestik Amerika
yang pertumbuhannya lebih lambat di bawah kepemimpinan George W. Bush, para investor yang
lebihdemanding karena baru saja mengalami dotcom bomb, dan juga pesaing-pesaing global yang lebih
banyak.
Bisa kita lihat bagaimana perusahaan sekelas GE pun terus berubah sesuai dengan perubahan lanskap
bisnis yang dihadapi. Kebetulan MarkPlus Institute of Marketing (MIM) sendiri tahun 2007 lalu pernah
diminta untuk memberikan pelatihan bagi para eksekutif GE Asia di tiga kota sekaligus: Singapura, Shanghai,
dan Sydney. Jadi, sedikit banyak saya juga bisa belajar dari orang-orang GE sendiri.
Saya sendiri pernah menginap semalam di Kantor Pusat GE di Fairfield Connecticut, Amerika. Saya juga
pernah dua kali diundang ke Crotonville, corporate university-nya GE. Kampus yang didirikan pada tahun
1956 ini sekarang namanya John F. Welch Leadership Development Center, untuk menghormati Jack Welch
Di Crotonville inilah para karyawan GE, mulai dari karyawan baru sampai ke jajarantop management,
digembleng dengan berbagai program pendidikan. Selain Six Sigma, program penting lainnya adalah
Change Acceleration Process (CAP). CAP yang merupakan inisiatif Jack Welch ini bertujuan untuk
menyiapkan para manajer GE agar mampu mengelola proses perubahan secara lebih efektif.
Welch memang telah membangun fondasi yang kuat di Crotonville ini. Perusahaan yang kuat itu bukan
perusahaan yang ukurannya besar semata, namun perusahaan yang orang-orangnya siap berubah setiap
saat.
Untuk menghadapi perubahan eksternal, sebuah perusahaan sebelumnya harus bisa melakukan perubahan
internal. Perubahan internal ini ada tiga jenis, yaitu Political Change, Technical Change, dan Cultural Change.
Political Change adalah perubahan di tingkat manajemen puncak. Para pengambil keputusan harus benar-
benar mendukung program perubahan internal yang sedang terjadi. Technical Change merupakan
perubahan yang menyangkut aspek-aspek seperti strategi, sistem, struktur, dan sebagainya. Technical
Change ini biasanya disusun oleh sekelompok kecil orang yang memang ahli dalam bidangnya.
Sementara itu, Cultural Change adalah perubahan budaya korporat yang menyangkut seluruh karyawan
tanpa kecuali. Nilai-nilai (values) dan perilaku (behaviour) baru musti dijalankan dengan konsisten.
GE telah melakukan ketiga perubahan internal tersebut dan hasilnya bisa sama-sama kita lihat. Jadi, hanya
perusahaan yang siap berubahlah yang akan mampu bertahan di lanskap New Wave ini.
Bagian 31
“Transformation of an enterprise begins with a sense of crisis or urgency”. Itulah yang dikatakan Lou
Gerstner, orang yang berhasil melakukan corporate turnaroundpada IBM ketika raksasa komputer ini
Memang, ketika Gerstner diangkat sebagai CEO dan Chairman IBM pada April 1992, perusahaan ini sedang
di ambang kehancuran. Pada Januari 1993, IBM mengumumkan kerugian sebesar 5 milyar dollar AS selama
tahun 1992! Itulah kerugian terbesar dalam satu tahun yang pernah dialami oleh sebuah perusahaan
sepanjang sejarah Amerika. Masalah yang menimpa IBM ini menjadi perhatian banyak kalangan. Betapa
tidak, IBM sudah menjadi salah satu ikon bisnis Amerika dan dunia.
Sejarah panjang IBM dimulai saat perusahaan ini didirikan pada tahun 1896 di New York. IBM mulai tumbuh
dengan pesat sejak tahun 1935 ketika mendapat kontrak dari pemerintah untuk mengelola data pekerjaan
26 juta orang. Pada tahun 1950-an, IBM mendapat kontrak yang cukup besar dari Angkatan Udara Amerika
(USAF)
Maka, lanskap bisnis yang ada saat itu cukup menguntungkan bagi IBM. Selama masa-masa awal ini praktis
IBM tidak punya pesaing. IBM juga sudah punya pelanggan captive pada sektor pemerintahan.
Kisah sukses IBM ini berlanjut sampai tahun 1960-an. Saat itu terdapat delapan perusahaan yang
menguasai industri komputer. IBM merupakan perusahaan terbesar; pada tahun 1964 perusahaan ini
Tujuh perusahaan lainnya adalah UNIVAC, Burroughs, NCR, Control Data Corporation, General Electric, RCA,
dan Honeywell. Karena ukuran IBM yang jauh lebih besar dibanding tujuh perusahaan lainnya, maka
muncul istilah ”IBM and the Seven Dwarfs” pada industri komputer saat itu.
Pada dasawarsa 1960-an inilah IBM mulai mengukuhkan posisinya sebagai produsenmainframe
Sampai era 1980-an, IBM memproduksi sendiri hampir semua komponen mainframe computer-nya, mulai
dari prosesor, sistem operasi, peripherals, dan sebagainya. Strategi integrasi-vertikal ini berakhir ketika IBM
mulai mengalihkan pembuatan dua komponen penting ke perusahaan lain, yaitu sistem operasi ke Microsoft
danmicroprocessor ke Intel. Alasannya adalah untuk mempercepat waktu pembuatanpersonal computer (PC)
Pada akhir 1980-an ini mulai terlihat bahwa pertarungan di industri komputer saat itu adalah antara model
bisnis integrasi-vertikal seperti IBM, lawan model tersegmentasi seperti Intel (microprocessor), Microsoft
Tujuannya untuk bersaing secara lebih efektif dengan para pesaing tadi yang lebih fokus dan punya struktur
IBM mulai limbung ketika pasar komputer mulai didominasi oleh PC, bukan lagimainframe. Para pesaing IBM
seperti Compaq dan Dell yang lebih siap semakin kuat posisinya. Pertumbuhan yang ada di bisnis PC IBM
sendiri tidak mampu menutupi penurunan revenue yang terjadi pada bisnis mainframe-nya. Karena itulah,
pada akhirnya IBM mengalami kerugian yang sangat besar pada tahun 1992 seperti sudah disebutkan di
atas.
Gerstner bertindak cepat agar IBM tidak kolaps. Berbeda dengan John Akers, Gerstner mengintegrasikan
kembali divisi-divisi utama IBM untuk lebih fokus kepada servis ketimbang produk. Bisnis IBM mulai beralih
dari bisnis komponen dan hardwareke bisnis software dan servis.Langkah Gerstner ini kemudian diteruskan
Pada tahun 2002 IBM memperkuat bisnis servisnya dengan mengakuisisi divisi konsultansi dari
PricewaterhouseCoopers. Pada tahun 2004 IBM juga menjual divisi PC-nya yang rugi terus ke Lenovo Group.
Berikutnya, pada tahun 2007 IBM menjual divisi printing-nya ke Ricoh. Semua ini menunjukkan bahwa IBM
memang benar-benar ingin fokus ke bidang servis, software, dan konsultasi, bukan lagi kehardware.
Bisa kita lihat, perubahan lanskap bisnis yang tidak menentu bisa membuat perusahaan sekelas IBM hampir
tumbang. Perkembangan teknologi yang pesat pada akhir 1980-an membuat para pesaing IBM bisa
membuat PC dengan harga lebih murah sehingga bisa menjadi produk massal. Namun, IBM tidak siap dan
masih mengandalkan mainframe computer yang harganya mahal dan berukuran besar.
Inilah perbedaan antara IBM dan GE yang saya ceritakan kemarin. Keduanya sama-sama perusahaan
raksasa. Namun GE mampu melakukan “creative destruction” sebelum terlambat, sedangkan IBM sudah
Memang, kesuksesan masa lalu tidak menjamin kesuksesan di masa depan. Hanya orang-orang yang mau
berubahlah yang akan bertahan dan sukses di lanskap New Wave yang berubah sangat cepat ini.
Bagian 32
JUDUL tulisan ini memang terinspirasi dari judul bukunya Kenichi Ohmae, The Mind of the Strategist. Karena
bukunya ini, Ohmae kemudian dijuluki sebagai “Mr. Strategy”. Oleh suratkabar Financial Times ia disebut
sebagai “Japan’s only management guru.” Majalah The Economist juga memilihnya sebagai salah satu dari
Saya sendiri merasa mendapat kehormatan yang besar bisa bersama-sama tokoh sekaliber Ohmae ini
masuk dalam daftar “50 Gurus who Have Shaped the Future of Marketing” dari The Chartered Institute of
Marketing – United Kingdom (CIM-UK). Hanya saya dan Ohmae yang berasal dari Asia dalam daftar yang
Ohmae ini memang salah seorang pemikir yang saya kagumi dari dulu. Dia bukan cuma teoritisi dan peneliti,
tapi juga menjadi konsultan di McKinsey selama 23 tahun. Pengalaman menangani ratusan perusahaan dari
Ohmae bukan hanya berkecimpung di dunia bisnis. Ia juga merupakan pendiri dari “Reform of Heisei”,
sebuah gerakan sosial-politik untuk mendukung reformasi sistem politik dan administrasi di Jepang. Karena
itu tak heran jika Ohmae sering diminta pendapatnya oleh pimpinan pemerintahan di berbagai negara,
termasuk oleh Dr. Mahathir Mohammad ketika masih menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Yang menarik, Ohmae ini sebenarnya tidak memiliki latar pendidikan ekonomi atau bisnis. Ia memiliki gelar
PhD dalam bidang rekayasa nuklir dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Karena itu, sebelum
bergabung dengan McKinsey, Ohmae sempat bekerja di Hitachi sebagai Senior Design Engineer pada salah
Ohmae ini juga termasuk penulis yang berpengaruh. Saya sangat kagum padamasterpiece-nya yang
pertama tadi, The Mind of the Strategist. Dalam buku itu, Ohmae memaparkan bahwa dalam menyusun
strategi bisnis, ada tiga pemain utama yang harus diperhitungkan, yaitu: Company, Customer, dan
Competition atau 3C. Hanya dengan mengintegrasikan 3C ini maka sebuah perusahaan dapat
mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Pada dasarnya, model 3C ini merupakan kerangka untuk
Setelah buku tadi, lahir lagi buku klasik lainnya dari Ohmae, The Borderless World. Di buku ini Ohmae
menguraikan tentang adanya saling keterkaitan antara ekonomi yang ada di berbagai negara. Batasan-
batasan negara menjadi kurang relevan lagi. Perusahaan-perusahaan multinasional bisa berkembang
Nah, setelah membaca The Borderless World inilah saya jadi punya ide untuk menambahkan C yang
keempat, Change. Maka, akhirnya jadilah model 4C yang menjadi landasan untuk menganalisis lanskap
bisnis yang saya gunakan sampai sekarang. Model 4C ini juga pada akhirnya bisa diterima oleh Philip Kotler
dan selalu jadi dasar dari berbagai buku yang saya tulis, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang
berbahasa Inggris.
Change ini memang perlu diperhatikan. Tiap perusahaan harus punya sense tentang perubahan eksternal
apa yang akan terjadi berdasarkan 5 elemen Change: Teknologi, Politik-Legal, Sosial-Budaya, Ekonomi, dan
Market. Hal ini harus dilakukan supaya strategi yang dibuat bersifat future-oriented.
Kalau strategi yang dibuat tidak memperhatikan perubahan eksternal ini dan hanya berdasarkan faktor-
faktor internal perusahaan, strategi itu justru akan membelenggu organisasi perusahaan itu untuk berubah
di masa depan.
Jack Welch adalah contoh sempurna dari sosok “Mind of Strategist, Sense of Marketer”. Ia sudah melakukan
transformasi setelah merasakan sesuatu yang tidak beres. Welch tidak menunggu terjadinya krisis terlebih
dahulu. Ia langsung melakukan “creative destruction” agar GE bisa bertahan dan semakin berkembang.
Tidak seperti IBM yang terlanjur mengalami krisis. Walaupun akhirnya berhasil diselamatkan oleh Lou
Sementara Andy Grove dari Intel bisa dibilang juga merupakan sosok “Mind of Strategist, Sense of
Marketer”. Walaupun mungkin sense-nya tidak sekuat Jack Welch, Grove sudah bisa melakukan
Jadi, dalam era New Wave Marketing ini, kemampuan kita menganalisis lanskap bisnis yang terdiri dari 4C
(Change, Competitor, Customer, Company) akan menentukan langkah kita selanjutnya. Kalau tidak cermat,
hampir bisa dipastikan penyusunan strategi bisnis kita nantinya juga akan keliru. Karena itulah, kita harus
SALAH satu kisah zaman nabi-nabi yang paling terkenal, baik di kalangan Muslim maupun Nasrani, adalah
kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh. Sebelumnya mohon maaf kalau mungkin saya ada kekeliruan
Pada masa kenabian Nabi Nuh, banyak orang yang sudah tidak mematuhi perintah Tuhan lagi. Walaupun
Nabi Nuh sudah berupaya keras, namun orang-orang ini tetap tidak mau patuh. Nabi Nuh pun berdoa
Suatu ketika, Nabi Nuh mendapatkan perintah dari Tuhan untuk membuat sebuah bahtera. Nabi Nuh pun
segera mengumpulkan para pengikutnya dan mereka semua kemudian membuat bahtera tersebut di
sebuah lokasi yang jauh dari laut atau sungai. Karena itu, tak sedikit yang mencemooh dan mengejek Nabi
Nuh beserta para pengikutnya ini. Kenapa bikin bahtera kok bukan di tepi laut atau sungai?
Nabi Nuh tetap bergeming dan tidak mempedulikan olok-olokan tadi. Beliau beserta para pengikutnya terus
mengerjakan bahtera tadi sampai selesai. Ketika bahtera itu selesai, Nabi Nuh mendapat perintah dari
Tuhan agar beliau beserta para pengikutnya naik ke bahtera itu. Nabi Nuh juga diperintahkan untuk
mengangkut berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada di muka bumi saat itu.
Setelah semua penumpang tadi ada di bahtera, seketika datanglah hujan yang sangat lebat selama lebih
dari seratus hari. Terjadilah banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi. Kaum yang menentang
Nabi Nuh tadi pun meninggal semua, tenggelam ditelan banjir. Pada akhirnya, banjir pun surut. Bahtera tadi
berlabuh di daratan yang sudah bebas banjir, dan Nabi Nuh beserta para pengikut setianya bisa memulai
Lantas, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Bahtera Nabi Nuh (the Ark of Noah) ini? Kisah ini
memberikan inspirasi bahwa perusahaan itu harus siap sebelum terjadi krisis. Walaupun orang lain tidak—
atau mungkin belum—merasakan adanya bahaya, namun perusahaan yang sudah punya sense yang kuat
akan tetap membangun “bahtera”. Perusahaan seperti ini mungkin malah sudah punya “early warning
Kita pun mengenal istilah Murphy’s Law, “If anything can go wrong, it will.” Ini menunjukkan bahwa kalau
kita sudah merasakan bakal terjadi masalah, biasanya masalah itu akan benar-benar terjadi.
Seperti saya uraikan dalam tulisan sebelumnya, hanya mereka yang punya “Mind of Strategist & Sense of
Marketer”-lah yang akan mampu bertahan. Orang-orang seperti ini sudah punya sense bahwa akan terjadi
perubahan, dan mereka bisa menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan tersebut. Ada satu contoh yang
bagus tentang perusahaan yang sudah punya “Mind of Strategist & Sense of Marketer” ini.
Pada awal tahun 2007 Honda Prospect Motor yang menjadi ATPM mobil Honda di Indonesia pernah
melakukan penarikan (recall) sekitar 15 ribu unit mobilnya dari pasar. Penarikan ini dilakukan untuk
Langkah penarikan ini merupakan langkah proaktif Honda sebelum timbul masalah yang lebih besar. Saat
itu sendiri sebenarnya keluhan dari konsumen relatif tidak berarti. Publikasi secara terbuka tentang langkah
penarikan ini juga bisa dimanfaatkan oleh pesaing. Namun, Honda tetap melakukannya dan terbukti
kemudian bahwa langkah ini justru membuat Honda mendapatkan publikasi yang positif dan tetap
Bisa kita lihat bahwa Honda sudah bisa merasakan bakal muncul masalah dan langsung bertindak cepat
untuk mengatasi potensi masalah tersebut. Sensing ini memang semakin diperlukan di tengah lanskap New
Wave yang semakin tidak pasti. Informasi yang melimpah-ruah bukannya membantu orang untuk lebih
Inilah yang disebut sebagai “Paradox of Choice”. Semakin banyak informasi atau pilihan yang ada justru
membuat pengambilan keputusan semakin sulit atau malah membuat orang tidak bisa mengambil
keputusan sama sekali. Seperti yang dikatakan Simon Chadwick, CEO Research International yang berbasis
di Inggris, “The more you know, the less you know how to deal with it.”
Maka, untuk menyaring informasi yang banyak ini, kita harus terus mengasah sensekita. Sense inilah yang
akan bisa memilah, mana informasi yang tepat, yang kurang tepat, atau yang salah sama sekali.
Kepekaan sense ini akan meningkat seiring dengan semakin kayanya “reservoir of wisdom” kita. “Reservoir
of wisdom” kita akan semakin kaya jika diasah dengan pengalaman demi pengalaman.
Jadi, sekali lagi saya tekankan, hanya mereka yang bisa merasakan adanya masalah dan punya kemauan
untuk berubahlah yang akan mampu mengarungi lanskap New Wave yang serba tidak pasti ini.
Bagian 34
“When a big new idea emerges that changes the way people look at the world, it’s easy to feel that every
old idea, every certainty, is under attack and then to do battle against the new insights.”
Itulah yang diucapkan Rev. Dr. Malcolm Brown dari Church of England ketika secara resmi menyampaikan
permintaan maaf kepada Charles Darwin karena telah salah memahami pendapat Darwin. Dr. Brown
menambahkan bahwa sebelumnya pihak gereja juga telah salah memahami pendapat Galileo. Pernyataan
Memang, dalam bukunya On the Origin of Species, Darwin sempat menimbulkan kontroversi dengan
pandangannya bahwa semua makhluk hidup yang ada sekarang merupakan keturunan dari makhluk hidup
sebelumnya yang hidup di masa lampau. Terjadi evolusi melalui proses seleksi alam. Jadi, tidak ada
Pandangan ini bertentangan dengan pandangan creationism yang dianut gereja saat itu. Sejumlah pihak
selain Darwin kemudian juga memanfaatkan Darwinism ini untuk menyerang gereja di Inggris, Church of
England itu. Tak pelak, sempat terjadi perdebatan yang cukup tajam antara pihak gereja dengan sejumlah
Nah, kisah ini bisa memberikan inspirasi bahwa kita harus lebih berorientasi kepada masa depan ketimbang
masa lalu. Gereja berani mengoreksi kekeliruan yang mungkin telah dilakukannya di masa lampau terhadap
Darwin dan Galileo. Pihak gereja ingin menghadapi masa depan tanpa terbelenggu oleh ‘beban’ sejarah
masa lalu. Karena itu, analisis lanskap bisnis seharusnya dilakukan dengan pendekatan Threat-Opportunity-
Kalau kita mulai mengidentifikasi Strength dan Weakness terlebih dahulu, yang merupakan faktor-faktor
internal, maka orientasinya bisa bias. Dengan mengacu ke Strength-Weakness, berarti kita mengacu kepada
Banyak perusahaan yang membangga-banggakan legacy-nya sebagai perusahaan yang sudah besar dan
punya sejarah hebat. Coba saja lihat perusahaan-perusahaan seperti Lehman Brothers, Merrill Lynch atau
American International Group (AIG). Mereka semua punya kejayaan masa lalu yang sangat kuat. Mereka
punya merek yang kuat, analis-analis yang hebat, aset besar, cakupan bisnis global, dan sebagainya.
Namun bisa kita lihat sekarang bahwa satu per satu perusahaan ini bertumbangan.
Kekuatan saat ini dan reputasi masa lalu belum tentu relevan untuk masa depan. Begitu juga kelemahan
masa kini. Misalnya saja kita tidak bisa berbahasa Inggris, belum tentu ini jadi kelemahan di masa depan
yang mungkin lebih memerlukan bahasa Mandarin karena pusat kekuatan akan bergeser ke Asia. Threat
dan Opportunity juga tidak bisa merupakan proyeksi dari masa sekarang atau masa lalu karena bisa saja
terjadi diskontinuitas.
Pada buku Rethinking Marketing yang saya tulis bersama-sama Philip Kotler, Prof. Hooi Den Huan dari
Nanyang Business School Singapura, dan Prof. Sandra Liu dari Purdue University Amerika, kami juga
menggunakan pendekatan TOWS karena bagi kami pemasaran itu berorientasi ke masa depan. Dan masa
Tapi, penentuan visi (visioning) masa depan ini juga tidak boleh terlalu panjang. Pada era New Wave yang
berubah sangat cepat ini, visioning paling panjang barangkali cukup tiga tahun saja. Karena akan susah
sekali membayangkan lanskap bisnis pada jangka waktu yang terlalu panjang.
Dari hasil visioning inilah kita mulai dengan analisis Threat dan Opportunity tadi supaya kita tetap terus
waspada. Masih ingat kisah Andy Grove yang mampu melihat ancaman dan peluang di lanskap bisnis saat
itu sehingga langsung mengubah fokus bisnis Intel dari bisnis memory ke mikroprosesor?
Nah, baru setelah itu Weakness dan Strength kita bandingkan antara posisi saat ini dengan posisi
berdasarkan visioning pada 3 tahun atau bahkan cukup 1 tahun lagi dari sekarang. Kalau Anda tidak
percaya bahwa visioning ini tidak usah terlalu panjang jangka waktunya, lihat saja lanskap bisnis selama
Harga minyak dan komoditas naik turun nggak karuan seperti roller-coaster. Indeks harga saham gabungan
(IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga turun terus selama tahun 2008 ini sampai sempat menyentuh angka di
bawah 2000, padahal di awal tahun sempat terbersit harapan bahwa IHSG bisa melampaui angka 3000.
Ini semua membuktikan bahwa visioning untuk satu tahun saja sudah sangat sulit. Jadi, di lanskap New
Wave ini, pendapat “survival of the fittest”-nya Darwin rupanya masih berlaku. Bukan yang paling kuat atau
yang paling pintarlah yang akan bertahan. Namun, yang paling bisa beradaptasi dengan perubahanlah yang
akan menang.
Bagian 35 dari 100
ANDA tahu trilogi film “Back to the Future”? Di film yang ditayangkan pertama kali pada tahun 1985 ini, dua
tokoh utamanya berkelana mengarungi waktu dengan menggunakan mesin waktu yang bentuknya cukup
unik, sebuah mobil merek De Lorean. Kedua tokoh ini sebenarnya hidup di tahun 1985, namun, karena ada
berbagai masalah, mereka pergi ke berbagai era: tahun 1955, 2015, 1885, dan kembali lagi ke tahun 1985.
Ada satu segmen di film yang cukup menarik bagi saya, yaitu tentang konsep “parallel universe”. Di situ
kira-kira diceritakan bahwa alam semesta ini punya sejumlah alternatif situasi. Jadi misalnya kita hidup di
tahun 2008 ini, terus berkelana entah ke masa depan atau masa lampau, lalu kembali ke tahun 2008, bisa
saja situasi tahun 2008 saat kita kembali jauh berbeda dibandingkan situasi tahun 2008 saat kita pergi.
Bagi saya, ini memberikan inspirasi bahwa masa depan bukanlah merupakan kelanjutan dari masa kini atau
masa lampau. Karena itu, saya juga lebih senang memakai “strategic marketing” ketimbang “strategic
planning.”
Apa beda antara kedua istilah itu? Secara garis besar, “strategic planning” yang bersifat ritual biasanya
cuma kelanjutan masa lalu. Sedangkan “strategic marketing” dibuat berdasarkan penggambaran akan masa
Kritik terhadap “strategic planning” ini diuraikan secara panjang-lebar dalam bukuThe Rise and Fall of
Strategic Planning karya Prof. Henry Mintzberg. Mintzberg berpendapat bahwa istilah “strategic planning” itu
sendiri sebenarnya sebuahoxymoron, istilah yang mengandung dua makna yang berlawanan. Strategi itu
tidak dapat direncanakan, karena perencanaan (planning) menyangkut masalah analisis sementara strategi
Perencanaan biasanya memang menyangkut pengumpulan data dan informasi masa kini dan masa lalu,
kemudian data dan informasi tersebut dianalisis untuk kemudian dibuatkan rencana ke depannya.
Sementara strategi sendiri seharusnya menyangkut langkah-langkah kreatif yang harus dilakukan untuk
menghadapi situasi di masa depan. Pendekatan yang diambil dalam strategi ini bersifat menyeluruh (sintesis)
sehingga tidak perlu terpaku kepada data dan informasi yang ada saat ini.
Inilah yang membuat “strategic planning” jadi kurang relevan, karena masa depan bukanlah proyeksi masa
kini dan masa lalu. Apalagi, “strategic planning” sudah jadi hanya semacam rencana tahunan, hanya jangka
waktunya saja yang lebih panjang. Tidak ada pemikiran strategis yang mendasari pembuatan “strategic
plannning” tersebut. Menurut Mintzberg, perencanaan sering gagal mengidentifikasi perubahan yang terjadi
yang detil, rutin, dan sistematis, orang-orangnya akan semakin terpaku kepada perencanaan tersebut.
Orang-orangnya akan semakin enggan untuk berubah dan semakin tidak fleksibel terhadap hal-hal baru.
Karena itu, “strategic planning” sudah menjadi formalitas belaka dan bisa mengesampingkan kreativitas.
“Strategic planning” mungkin cocok pada masa Legacy Marketing yang perubahannya masih bisa diprediksi.
Namun, pada era New Wave Marketing ini yang paling cocok adalah “strategic marketing.” “Strategic
marketing” ini orientasinya adalah ke masa depan, bukan masa kini atau masa lalu.
Nah, dari pemahaman tentang “strategic marketing” inilah kita bisa sekaligus mengetahui
bahwa marketing itu bukan persoalan fungsional apalagi taktikal semata. Jika sudah menyangkut masa
depan, maka dalam “strategic marketing” harus juga mempertimbangkan soal “strategic finance”.
Buat saya, arah perusahaan ditentukan oleh kedua hal tersebut, diikuti oleh masalah Operasi (yang
didukung oleh sumber daya manusia/SDM dan teknologi yang dibutuhkan). Sebab kalau kita melakukan
transformasi tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu ketiga hal itu (marketing, finance, operasi), bisa
Nokia misalnya, melakukan transformasi dari pabrik bubur kayu yang sudah berdiri sejak tahun 1865
menjadi perusahaan telekomunikasi pada akhir 1960-an. Nokia lebih melihat peluang dan tantangan yang
ada di lanskap bisnis masa depan ketimbang melihat kekuatan dan kelemahannya dalam industri bubur
kayu. Setelah itu, Nokia mempertimbangkan aspek marketing, finance, dan operasional yang mendukung
transformasinya.
Karena itu, sekali lagi saya tekankan bahwa pendekatan Threat-Opportunity-Weakness-Strength (TOWS)
yang berorientasi ke masa depan lebih cocok di era New Wave ketimbang pendekatan SWOT yang lebih
COBA, siapa yang percaya? Semua orang di seluruh dunia terkejut! Bagaimana tidak. Lehman Brothers,
bank investasi terbesar keempat di AS, akhirnya jatuh bangkrut pada 15 September 2008 lalu dengan
meninggalkan hutang sebesar 613 milyar dollar AS! Sebagian aset perusahaan ini di Amerika Utara—
termasuk gedung kantor pusatnya di New York—akhirnya dibeli oleh Barclays. Sementara divisi bank
Lehman Brothers tidak sendirian. Bank investasi terkemuka lainnya, Merrill Lynch, mengalami kerugian
sebesar 51,8 milyar dollar AS. Merrill Lynch akhirnya diakuisisi oleh Bank of Amerika sebesar 50 milyar dollar
AS. Dua bank investasi besar lainnya, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, juga akhirnya berubah status
Sementara itu, American International Group (AIG), perusahaan asuransi terkemuka dunia dan perusahaan
terbesar ke-18 di dunia dalam daftar Forbes Global 2000 tahun 2008, juga mengalami krisis likuiditas. AIG
pada 16 September lalu akhirnya ditolong oleh The Fed yang memberikan talangan (bail-out) sebesar 85
milyar dollar AS, dengan imbalan 79,9% saham AIG. Ini merupakan talangan terbesar dari pemerintah
Krisis ini juga melanda sejumlah perusahaan jasa keuangan yang walaupun namanya mungkin agak asing
bagi kita di Indonesia, namun merupakan perusahaan besar di AS. Fannie Mae dan Freddie Mac, dua
perusahaan pembiayaan perumahan terbesar di AS, juga diambil alih pemerintah karena mengalami
kesulitan keuangan. Perusahaan lainnya, Washington Mutual (WaMu), bank simpan pinjam terbesar di AS,
juga kolaps dan pada 25 September lalu dibeli oleh JPMorgan Chase dengan harga murah, ‘hanya’ sebesar
Bisa kita lihat, tsunami keuangan ini membuat sejumlah perusahaan raksasa tadi akhirnya tidak mampu lagi
bertahan. Padahal, perusahaan-perusahaan ini punya sejarah yang sangat panjang. Lehman Brothers berdiri
sejak tahun 1850, sementara Merrill Lynch sudah ada sejak tahun 1914, AIG sejak tahun 1919, dan WaMu
sejak 1889.
Reputasi mereka juga sangat baik. Lehman Brothers dan Merrill Lynch merupakan perusahaan-perusahaan
yang menjadi idaman para lulusan ivy league di AS. Dan siapa yang tidak kenal AIG, yang logonya
Ya, inilah krisis keuangan terbesar dalam sejarah sejak peristiwa depresi besar era 1930-an. Untuk
mengatasi krisis keuangan ini, Pemerintah AS sampai-sampai meluncurkan paket penyelamatan bernilai
fantastis, 700 milyar dollar AS! Bisa kita lihat, lanskap New Wave makin lama makin gampang berubah.
Perusahaan-perusahaan besar yang sudah punya sejarah panjang dan penuh dengan track record jadi tidak
berarti apa-apa kalau tidak cepat mengantisipasi perubahan dan langsung melakukan tindakan. Ini
menunjukkan bahwa yang diperlukan perusahaan saat ini adalah Sense-Interpret-Decide-Act (SIDA), bukan
Dalam bukunya Adaptive Enterprise, Stephan Haeckel menjelaskan bahwa perusahaan harus mampu
merasakan dan menanggapi (sense-and-respond) apa-apa yang sedang dan akan terjadi di pasar.
Perusahaan tidak bisa lagi sekadar membuat dan menjual (make-and-sell) produknya sesuai dengan
rencana yang telah dibuat. Paradigma “sense-and-respond” ini membuat sebuah perusahaan bisa
menjadiadaptive enterprise di tengah perubahan lanskap bisnis yang semakin tidak bisa diprediksi.
enterprise karena perubahannya masih bisa diprediksi. Di sini PDCA mungkin masih bisa berjalan karena
PDCA yang dipopulerkan oleh Dr. W. Edwards Deming ini sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kinerja
sebuah proses yang telah direncanakan, bukan melakukan perubahan secara mendasar.
Kepemimpinan dalam adaptive enterprise berupaya secara aktif mencari sinyal-sinyal perubahan dari luar.
Karena itulah, sistem yang ada merupakan sistem terbuka (open system). Sementara kepemimpinan
pada efficient enterprise cenderung mengabaikan sinyal-sinyal perubahan dari luar, karena itulah sistem
yang ada merupakan sistem tertutup (closed system). Maka, dengan semakin tingginya ketidakpastian,
maka strategi yang paling tepat adalah strategi yang membuat sebuah perusahaan bisa menjadi adaptif,
Karena itulah, sebuah perusahaan memerlukan C kelima selain Change, Competitor, Customer, dan
Company dalam menganalisis lanskap bisnis di era New Wave. C kelima ini adalah Connector. Dengan
demikian, perusahaan akan mampu dengan cepat melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Bagian 37 dari 100
SALAH satu peristiwa penting dalam sejarah penjelajahan luar angkasa adalah kisah Apollo 13. Pada era
1960-an, Amerika sedang getol-getolnya mengadakan perlombaan luar angkasa dengan Uni Sovyet. Hal ini
juga didorong oleh visi Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961 yang mencanangkan bahwa manusia
harus bisa mendarat di bulan sebelum akhir dasawarsa 1960. Cita-cita Kennedy ini akhirnya tercapai pada
20 Juli 1969, setelah misi Apollo 11 yang membawa astronot Neil Armstrong, Buzz Aldrin, dan Michael
NASA terus melanjutkan misi ke bulan ini. Kurang dari setahun setelah misi Apollo 11, tepatnya pada 11
April 1970, NASA meluncurkan misi Apollo 13. Misi kali ini membawa astronot James Lovell, Jack Swigert,
dan Fred Haise. Namun, misi kali ini tidak semulus misi-misi sebelumnya. Dua hari setelah peluncuran,
terjadi ledakan pada wahana Apollo 13 yang disebabkan adanya kerusakan pada tangki oksigen. Hal ini
antara lain mengakibatkan pasokan listrik yang ada menurun secara drastis.
Wahana Apollo 13 pun praktis lumpuh, dan terancam tidak bisa kembali ke bumi. Karena itu, Pusat Kendali
Misi NASA yang ada di Houston kemudian memutuskan untuk membatalkan misi pendaratan di bulan dan
Di luar angkasa sendiri, para astronot berjuang keras memanfaatkan modul utama wahana Apollo 13 yang
masih tetap berfungsi normal dengan menggunakan baterai. Listrik yang ada dihemat semaksimal mungkin
Dibantu oleh para insinyur NASA di darat, para astronot berupaya membawa modul utama wahana Apollo
13 kembali ke bumi. Walaupun penuh masalah, akhirnya modul ini bisa sampai di bumi dengan selamat.
Para astronotnya tidak mengalami cedera yang berarti, dan mereka disambut layaknya pahlawan oleh
seluruh warga Amerika. Inilah salah satu kisah paling dramatis tentang perjuangan hidup manusia.
Kisah ini kemudian difilmkan pada tahun 1995 dengan bintang Tom Hanks sebagai James Lovell. Kalau
Anda sudah menonton filmnya, pasti Anda tidak akan pernah melupakan adegan peluncuran Apollo 13 yang
sangat spektakuler, seakan-akan kita berada sendiri di lokasi peluncuran tersebut di Tanjung Kennedy.
Misi yang dikenal sebagai “successful failure” ini pun melahirkan ungkapan yang kemudian populer, yaitu
ucapan James Lovell ketika menyadari ada masalah di wahananya, “Houston, we have a problem.”
Nah, kisah Apollo 13 ini mirip dengan situasi yang ada di lanskap bisnis New Wave saat ini, di mana
keadaan yang tidak terduga membuat suatu perusahaan harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Mirip
dengan Apollo 13 yang berhubungan terus dengan para insinyur di darat, perusahaan juga harus terhubung
(connect) secara terus-menerus agar mampu mengatasi masalahnya. Kalau tidak, bisa-bisa ia akan “hilang
On Connection. Mengacu kepada Three Stages of Marketing yang pernah saya jelaskan dulu, Offline
Connection saja cuma bisa terjadi di zaman Pseudo Marketing. Di sini perusahaan tidak mempedulikan
lanskap, hanya mengandalkan KKN. Sementara Offline & Online Connection masih bisa diterapkan pada era
Legacy Marketing. Perusahaan bisa mengkaji lanskap secara berkala saja, tidak terus-menerus, karena
Nah, di era New Wave Marketing ini, perusahaan harus terus waspada terhadap perubahan yang ada,
karena perubahan sekecil apapun bisa mengancam keberlangsungan hidupnya; seperti kisah Apollo 13 tadi.
Dalam bukunya Always On: Advertising, Marketing, and Media in an Era of Consumer Control, Christopher
Vollmer dari Booz Allen mengatakan bahwa saat ini istilahnya bukan lagi 24/7, tapi 60/60/24/7 karena tiap
detik sudah terjadi koneksi antar orang dengan menggunakan berbagai media.
Dalam lanskap bisnis yang berubah dengan cepat inilah para marketers bisa mendapatkan return yang
tinggi kalau bisa memanfaatkan peluang yang ada dan menggunakan pendekatan yang tepat. Untuk bisa
melakukan Always-On Connection ini, perusahaan harus memperhatikan dengan cermat peranan Connector
yang menghubungkan perusahaan (Company) dengan 3C lainnya dalam lanskap bisnis, yaitu Change,
Competitor, dan Customer. Connector inilah yang membedakan antara lanskap Legacy Marketing dan New
Wave Marketing.
Connector ini sendiri secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Mobile Connector, Experiential
Connector, dan Social Connector. Pada tulisan-tulisan selanjutnya saya akan bahas satu per satu ketiga
KALAU bicara soal dunia Internet, mustahil untuk melewatkan trilogi film The Matrix. Inilah film yang
membedah masalah teknis dan filosofi dalam dunia cyber. Film garapan dua bersaudara Larry dan Andy
Wachowski ini sudah menjadi cult film bagi para geeks seperti para hacker dan cyberpunk.
Film fiksi-ilmiah ini ceritanya memang agak-agak rumit; secara garis besar berpusat tokoh jagoan utamanya,
Neo alias “The One”, yang diperankan oleh Keanu Reeves. Ia mati-matian melawan para musuhnya, baik itu
berupa mesin, manusia, dan terutama “manusia” virtual. Untuk menghadapi para musuh ini, Neo harus
Memang, dunia nyata dan dunia virtual dalam film ini keduanya digambarkan berdampingan secara paralel.
Jika ingin masuk ke dunia virtual, Neo dan rekan-rekannya harus dipasangi sebuah mesin yang
disambungkan ke otak mereka. Sementara jika mereka sedang di dunia virtual dan ingin kembali ke dunia
nyata, mereka harus mengangkat panggilan telepon yang berasal dari rekan mereka di dunia nyata.
Ketika para tokoh ini ada di dunia virtual, tubuh fisiknya tetap ada di dunia nyata (yang tersambung ke
mesin tadi), namun “roh”-nya ada di dunia virtual. Walaupun dunianya sudah terpisah, antara tubuh fisik
dan “roh” ini sebenarnya masih menyatu. Jika “roh”-nya yang sedang bertarung melawan para musuh di
dunia virtual terluka atau mati, tubuh fisiknya juga bisa terluka dan mati. Sebaliknya, jika tubuh fisiknya
Nah, The Matrix ini bisa memberikan inspirasi bahwa di era New Wave Marketing ini koneksi (connection)
antara dunia virtual (online) dan dunia nyata (offline) harus selalu tersambung tanpa jeda dan
putus, always-on connection. Koneksi ini juga harus berupa mobile connection, bukan lagi fixed connection.
Karena itu pula dibutuhkan mobile connector agar kita bisa semakin mudah mengakses perubahan-
Mobile connector ini bentuknya bisa berupa telepon seluler, laptop, smartphoneataupun perangkat lainnya
yang bisa membuat orang melakukan koneksi onlinesecara wireless, misalnya saja perangkat Kindle dari
Amazon.com.
Saat ini memang semakin banyak orang yang menjadi road warrior. Lokasi kerja tidak lagi terbatas di kantor,
tapi bisa di rumah, di kafe-kafe, di tempat klien, atau bahkan ketika sedang di jalan mengendarai mobil.
Hal ini juga didorong oleh kemajuan teknologi yang membuat perangkat mobile connector semakin nyaman
digunakan. Laptop semakin lama beratnya semakin ringan dan daya hidup baterainya juga semakin
lama. Smartphone juga semakin mudah digunakan dan fitur-fiturnya semakin mendukung akses Internet.
Pendeknya, dari sisi penawaran dan permintaan terhadap mobile connector ini sudah saling mendukung.
Berdasarkan offering-nya, mobile connector ini bisa dibagi menjadi tiga tipe, yaitu Ad-based, Content-based,
dan Reward-based. Ad-based adalah berbagai bentuk iklan yang ditawarkan melalui mobile connector kita.
Bentuknya bisa berupa teks seperti SMS, gambar, foto, atau bisa juga berupa video.
Namun, mengutip istilah Seth Godin, tentu saja sudah harus berupa permission marketing, bukan
lagi interruption marketing. Iklan-iklan yang masuk ke telepon seluler atau ke laptop saat
sedang online sedapat mungkin tidak mengganggu dan malah menguntungkan si pemakai.
Hal ini sudah dipraktikkan Virgin Mobile di Amerika tahun 2007 lalu. Operator seluler ini menawarkan
pengguna untuk memilih antara menerima iklan SMS atau melihat iklan video 45 detik
ketika browsing Internet di ponsel mereka. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan talk-time gratis selama 1
menit. Dan bagi mereka yang mau mengisi kuesioner online akan mendapatkan tambahan talk-time gratis
selama 5 menit.
Content-based merupakan layanan yang menawarkan konten kepada si pemakai. Misalnya saja yang paling
populer adalah ring back tone. Atau kalau di iPhone adalah aplikasi-aplikasi seperti iLightr yang bisa
menampilkan nyala api seperti dari korek api untuk dilambai-lambaikan saat konser musik atau Koi Pond
Sementara reward-based adalah layanan-layanan yang memberikan reward, bukan hanya kepada
pelanggan namun juga kepada merchant dalam bentuk diskon atau akumulasi poin. Program MORE (mobile
rewards exchange) dari inTouch-nya Pak Kendro Hendra merupakan contoh yang paling nyata dari reward-
based ini.
Memang, mobile connector ini telah menjadi salah satu elemen penting dalam lanskap New Wave. Mobile
connector sebagai bagian dari Connector membuat perusahaan (Company) semakin mampu mengakses
SAYA ini sebenarnya jarang keluar malam karena kesibukan yang sudah terlalu padat sepanjang hari. Tapi,
saya pernah mbela-belain keluar malam untuk urusan dugem. Waktu itu, tepatnya tanggal 23 Februari, saya
diajak oleh staf saya di MarkPlus untuk melihat event Playground Festival 2008 di Pantai Karnaval, Ancol.
Acara ini merupakan acara tahunan dari klub terkenal di Jakarta, Embassy.
Nah, sekitar pukul 11 malam pun saya meluncur ke Ancol. Sampai di sana, ternyata acaranya sudah dimulai.
Saya diberitahu seorang panitia, kira-kira ada sekitar 25 ribu orang yang datang. Mereka ini datang dari
berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa sampai eksekutif, mulai dari yang masih muda sampai ke yang
Bintang utama malam itu tentu saja Paul van Dyk, salah satu disk jockey (DJ) terkenal di dunia. Ada juga
sejumlah penampil lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Pendeknya, malam itu