Anda di halaman 1dari 5

Nama

NIM/Off

TUGAS MATAKULIAH MODIFIKASI PERILAKU


Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar yang paling awal dikenal.
Teori ini menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons. Teori belajar behavioristik
sangat menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku
yang dapat dilihat. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku.
Menurut teori ini, peserta didik (pelajar) sangat dipengaruhi oleh kejadian di
dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman tertentu kepadanya.
Proses interaksi antara stimulus dan respons (S-R) ini terdiri dari beberapa unsur,
yaitu:
1.
2.
3.
4.

Drive
Stimulus
Respons
Reinforcement

a. Classical Conditioning (Ivan Petrovich Pavlov)


Conditioning learning adalah peristiwa belajar melalui pengkondisian. Proses
belajar pengkondisian menitikberatkan pada belajar assosiatif, membuat suatu
asosiasi atau hubungan baru dari dua peristiwa. Prinsip dari pengkondisian klasik
adalah organisme belajar mengasosiasikan satu stimulus dengan stimulus lain
sekaligus belajar bahwa stimulus pertama merupakan kunci untuk stimulus
berikutnya.
Ada tiga parameter yang dikenalkan Pavlov melalui teori ini, yaitu
reinforcement, extinction, dan spontaneous recovery (penguatan, penghilangan,
dan pengembalian spontan). Di samping itu, dalam teori classical conditioning

dikenal juga adanya

perampatan

stimulus, yaitu

kecenderungan untuk

memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus


terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama
dengan stimulus tak terkondisi. Teori ini juga mengenal konsep diskriminasi
stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu
stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali terhadap stimulus
yang lain.
Hasil percobaan yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing adalah sebagai
berikut,
Sebelum pengkondisian

NS = bel dibunyikan

air liur tidak keluar

Selama pengkondisian

NS = bel dibunyikan
+

air liur keluar (UCR/UR)

UCS/US = daging diberikan

b. Operant Conditioning (B.F Skinner)


Sesudah pengkondisian
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses
CS = bel dibunyikan
air liur tidak keluar (CR)
penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai
dengan keinginan (Prasetyani, 2007). Skinner berpendapat setiap suatu tindakan
yang telah dibuat ada konsekuensinya, penghargaan untuk tindakan yang benar,
hukuman untuk yang salah. Tindakan yang ingin mendapat penghargaan akan
menjadi suatu kebiasaan, dan secara tidak disadari kebiasaan lama akan hilang.
Komponen belajar menurut Skinner terdiri dari stimulus yang diskriminatif
(discriminative stimulus) dan penguatan (positif dan negatif), serta hukuman
untuk menghasilkan respons (perubahan tingkah laku). Teori Skinner tidak hanya
mencakup penjelasan terhadap proses belajar sederhana, namun juga belajar

kompleks, yang dikenal dengan nama shaping (pembentukan). Teori operant


conditioning dari Skinner percaya bahwa setiap individu harus diidentifikasi
karakteristik maupun perilaku awalnya untuk suatu proses pembentukan
(shapping), pengkondisian suatu respons sangat bergantung pada penguatan yang
dilakukan berulang-ulang secara berkesinambungan.
Ada enam asumsi dasar dari teori operant conditioning, yaitu:
1. Hasil belajar adalah perilaku yang dapat diamati
2. Perubahan perilaku secara fungsional berhubungan dengan perubahan situasi
dalam lingkungan/kondisional
3. Hubungan antara perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika elemen
perilaku dan kondisi percobaan diukur secara fisik dan diamati secara ketat
4. Data yang dihasilkan dari percobaan terhadap perilaku merupakan satu-satunya
data yang dapat digunakan untuk mengkaji alasan munculnya suatu perilaku
5. Sumber daya yang paling tepat adalah perilaku dari masing-masing individu
6. Dinamika interaksi antar individu dengan lingkungan bersifat relatif sama
untuk semua jenis makhluk hidup
Contoh kasus:
Dalam satu kelas, tidak semua siswa memiliki tingkat pemahaman yang sama
terhadap materi pelajaran tertentu yang diberikan oleh pengajar

Contoh Kasus

Film Kekerasan Pengaruhi Remaja Menjadi Agresif


Gejala agresivitas remaja akhir-akhir ini semakin meningkat, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Dulu, perilaku agresif remaja bersifat musiman.
Biasanya pada awal dan akhir semester, tawuran pelajar di sejumlah tempat di
kota besar meningkat.
Ironisnya, perilaku agresif mereka seolah-olah tidak memandang waktu lagi.

Begitu ada masalah sedikit atau sepele saja, perkelahian pun terjadi. Itu tidak
serta-merta menunjukkan bahwa film kekerasan yang kerap diputar di televisi
menjadi penyebabnya.
Hal itu dikemukakan peneliti media dari Universitas Gadjah Mada, Fauzan Heru
Santhoso, dalam penelitiannya bertajuk "Minat dan Pengaruh Film Kekerasan
terhadap Perilaku Agresif Remaja" yang dipresentasikan dalam Konferensi
Linguistik Tahunan Atma Jaya di Jakarta, baru-baru ini.
"Dari segi kualitas, saya mencatat perkelahian remaja menunjukkan gejala
semakin meningkat. Korban yang jatuh tidak sekadar mengalami luka, tetapi juga
menelan korban jiwa. Hal itu tentu menimbulkan keprihatinan semua pihak, baik
keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Tidak sedikit fasilitas dan
sarana publik yang rusak akibat tawuran," ujarnya.
Melihat kondisi demikian, beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu melakukan
penelitian dan menganalisis sebab-sebab perilaku agresif tersebut. Sejumlah
peneliti seperti Rakhmad dari Universitas Indonesia pada tahun 1989, Jester dan
Stein dalam jurnal ilmiah Pikunas tahun 1976, dan Berkowits dalam jurnal
Worchel and Cooper tahun 1984 menyimpulkan bahwa pengaruh film kekerasan
di televisi sangat besar dalam membentuk karakter seorang anak untuk menyukai
kekerasan.
Namun, sebagian ahli dan peneliti lain menyatakan bukan tema-tema kekerasan di
televisi yang menyebabkan perilaku anak dan remaja menjadi agresif, melainkan
faktor lain. Mereka berpandangan bahwa justru dengan melihat tayangan
kekerasan di film, perilaku agresif dapat ditekan. Pandangan itu didasarkan pada
teori frustrasi agresi.
"Dengan demikian, tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui hubungan
antara minat terhadap film kekerasan di televisi dan perilaku agresif remaja," ujar
Fauzan.
Menurut dia, beberapa penelitian memang demikian, seperti dilakukan oleh
Fiedrich Jester dan Stein dalam penelitian terhadap murid taman kanak-kanak
lelaki dan perempuan yang melihat tayangan televisi yang ber-temakan kekerasan,
netral, dan proporsional.
Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang melihat film bertema netral dan
proporsional dapat menurun agresivitasnya, sedangkan emosi anak yang
menonton film kekerasan meningkat.
Sedangkan penelitian yang dipublikasi di Worchel and Cooper dilakukan dengan
mengambil objek penelitian dari panti anak nakal di Amerika Serikat dan Belgia.
Anak-anak yang melihat tayangan film kekerasan menunjukkan perilaku yang
lebih agresif dibanding dengan anak-anak yang melihat film bertema netral.
Penelitian Martani dan Adiyanti dari UGM dengan objek penelitian anak

prasekolah dan taman kanak-kanak di Yogyakarta hasilnya menunjukkan bahwa


tidak ada perbedaan tingkah laku agresif antara anak-anak yang suka menonton
film kekerasan dan anak-anak yang menonton film yang tidak mengandung
kekerasan.
Sedangkan peneliti lain, Eron, pada tahun 1987 yang mengambil objek penelitian
siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa semakin ba-nyak adegan kekerasan di
televisi yang ditonton, secara tidak langsung anak pun akan semakin agresif.
"Itu sejalan dengan penelitian kami yang menunjukkan bahwa hubungan antara
film kekerasan di televisi dan perilaku agresif masih belum menunjukkan hasil
yang konsisten. Tidak tergambar secara jelas bahwa film kekerasan mampu
membuat perilaku seorang anak menjadi agresif," ujarnya.
Sebab itu, beberapa waktu lalu, di masyarakat terjadi polemik yang cukup panjang
tentang pengaruh film kekerasan di televisi pada perilaku agresif remaja. Apakah
perilaku agresif remaja disebabkan oleh minat remaja terhadap tayangan film
kekerasan di televisi atau ada faktor lain yang menyebabkan meningkatnya
perilaku agresif remaja saat ini.
(http://www.yhs.net/i/resources-mainmenu-120/artikel-mainmenu-152/remajamainmenu-177/2568-film-kekerasan-pengaruhi-remaja-menjadi-agresif)

Anda mungkin juga menyukai