Anda di halaman 1dari 13

Abdullah Suriosubroto

Abdullah Suriosubroto (Semarang, 1878 - Yogyakarta, 1941) adalah seorang pelukis Indonesia.
Dia adalah anak angkatWahidin Sudirohusodo, seorang tokoh gerakan nasional Indonesia. Dia
adalah juga ayah pelukis Indonesia terkenal Sudjono Abdullah dan Basoeki Abdullah.
Mengikuti jejak ayah angkatnya, Abdullah masuk sekolah kedokteran di Batavia (kini Jakarta).
Kemudian dia meneruskan kuliahnya di Belanda. Di sana, dia beralih ke seni lukis dan masuk
sekolah seni rupa. Sepulangnya di Indonesia, dia meneruskan karirnya sebagai pelukis.
Abdullah dipandang sebagai pelukis Indonesia yang pertama di abad ke-20. Benda lukisan
kesukaannya adalah pemandangan. Dia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki "Mooi Indie" ("Hindia
Indah").
Abdullah mulai menetap beberapa tahun di Bandung agar dekat dengan alam yang dia suka lukis.
Kemudian dia pindah ke Yogyakarta, di mana dia meninggal tahun 1941.






Affandi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di
pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan
formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO,
dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak
negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya,
dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.
Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai
pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek
karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan
ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis
Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdiserta Affandi yang
dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar
dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama
saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta
yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang
terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--
memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam
Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung
Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup
pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat
poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi
rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di
poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis
siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis
diSantiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di
India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis
lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran
keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili
orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof.
Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma
diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi
Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak
sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan
dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang
masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi
mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup
masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni
Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar.
Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot
di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan
Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang
pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang
nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan
Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana
dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai
idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih
yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu
menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu,
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan
menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi)
gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat
Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali
Gajahwong Yogyakarta.





Barli Sasmitawinata

Barli Sasmitawinata (lahir di Bandoeng, 18 Maret 1921 meninggal di Bandung, 8
Februari 2007 pada umur 85 tahun) adalah seorang pelukis realis asal Indonesia.
Ia mulai menekuni dunia seni lukis sekitar tahun 1930-an dan merupakan bagian dari "Kelompok
Lima" yang juga beranggotakanAffandi, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi. Awalnya ia menjadi
pelukis atas permintaan kakak iparnya pada tahun 1935 agar ia memulai belajar melukis di studio
milik Jos Pluimentz, pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Di sana ia banyak belajar melukis
alam benda. Setelah berguru pada pelukis Italia Luigi Nobili (juga di Bandung), pada tahun 1950-an
ia lalu melanjutkan pendidikan seni rupa di Eropa. Latar belakang pendidikan tingginya
di Belanda dan Perancis (Acadmie de la Grande Chaumire, Paris, 1950dan Rijksakademie van
beeldende kunsten, Amsterdam, 1956) terwakili dalam karya-karyanya yang menunjukkan
penguasaan teknik menggambar anatomi tubuh secara rinci.
Sasmitawinata dikenal sebagai orang menekankan pentingnya pendidikan seni rupa. Tahun 1948 ia
mendirikan studio Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Setelah menyelesaikan pendidikan di
luar negeri, ia mendirikan Sanggar Rangga Gempol di kawasanDago, Bandung pada tahun 1958. Ia
pernah mengajar seni lukis di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan adalah salah seorang perintis
jurusan seni rupa di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (kini bernama Universitas
Pendidikan Indonesia) pada tahun 1961. Barli lalu kemudian lebih banyak mengajar murid secara
informal di sanggar. Tahun 1992 ia mendirikan Museum Barli Bandung.
Antara murid-murid yang pernah dididiknya adalah Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Yusuf
Affendi, AD Pirous, Anton Huang, R Rudiyat Martadiraja, Chusin Setiadikara, Sam Bimbo, Rudi
Pranajaya.
Karya-karyanya pernah dipamerkan baik di dalam maupun luar negeri. Koleksinya juga dipamerkan
di Museum Barli Bandung. Pada tahun 2000, ia menerima penghargaanSatyalancana
Kebudayaan dari presiden.
Ia meninggalkan 2 anak kandung, 3 anak tiri, 15 cucu, dan 9 buyut. Setelah istri pertamanya, Atikah
Basari (menikah 1946) meninggal tahun 1991, ia menikah lagi dengan Nakisbandiyah tahun 1992.

Delsy Syamsumar
Delsy Syamsumar (lahir di Medan, 7 Mei 1935 meninggal di Jakarta, 21 Juni 2001 pada umur 66
tahun) adalah seorang pelukisNeoklasik Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatera Barat.
Pelukis ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu perang revolusi
keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi. Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum
bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara
pertama pada setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat.
[1]

Pada usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik sejarah dan karangannya sendiri yang ia
kirim sendiri per pos ke majalah ibukota. Karyanya seperti Komik Mawar Putih tentang Bajak Laut
Aceh dimuat di majalah Aneka telah membuat ia terkenal diseluruh Indonesia pada usia yang
amat muda.
Kalau perantau-perantau Minang umumnya cenderung mengadu nasib sebagai pedagang, maka
berbeda dengan bocah Delsy ini yang di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup.
Atas adanya kepastian itu Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan anaknya tersebut
menjadi pelukis terkenal seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. Delsy sejak di SD sudah
dibelikan cat minyak oleh ayahnya seorang yang pengukir Rumah Gadang. Meskipun Delsy dikenal
sebagai sosok seorang pelukis komik sejarah,illustrator, wartawan masmedia dan penata artistik di
berbagai banyak Film nasional,namun ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak.
Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai
pembuat kartun di beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai
Art Director senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival
Nasional dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga
membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran
tunggal Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena
gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif
dan ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam
Suara Pembaharuan)
Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun
sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan
pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil
kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan medan yang
tepat dan kuat menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy kadang-kadang filmis, karena
mungkin kehidupannya sebagai orang film mempengaruhinya. Komposisi penuangan karya-
karyanya apik dan enak dipandang bagaikan sudut pengambilan gambar lewat kamera.
Pameran tunggal Delsy pernah diadakan di Hotel Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta. Lukisan
karyanya pernah tercatat sebagai lukisan termahal yang terjual pada Pameran bersama pelukis-
pelukis (Basuki Abdullah, Affandi, Lee Man Fong dsb.) ternama Indonesia yang di Gedung Kesenian
Jakarta(Taman Ismail Mardzuki). Dan pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya saat pra
reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati
para kolektor lukisan. Pada tahun 1992 ia juga sempat melakukan pameran bersama dengan Basuki
Abdullah.
Dunia film telah membenamkan Delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art
director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain Saur Sepuh. Terlalu lama mendalami
dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy di dalam banyak lukisan yang
bertemakan legenda dan sejarah, termasuk di dalamnya merekam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam),
Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang
menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur
Umum dan karya terakhirnya pada tahun 2000 Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja" cukup
kolosal.




Hendra Gunawan
Hendra Gunawan adalah seorang pelukis dan pematung. Dia dilahirkan di Bandung, 11 Juni 1918
dan meninggal di Bali, 17 Juli 1983. Semasa hidupnya, Hendra sempat belajar melukis pada Wahdi,
seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis.
Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada
kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah
kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi
seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju.
Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut
mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia
membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah
beberapa kali mengadakan pameran bersama.
Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya.
Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya
lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan Pengantin Revolusi, disebut-sebut sebagai karya empu
dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat
juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Pada tahun 1947, ia mendirikan sanggar Pelukis Rakyat bersama temannya, Affandi. Dari sanggar
ini banyak melahirkan pelukis yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain
melukis, mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. Hasilnya, patung batu Jenderal
Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta.
Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara
tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih
terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar.
Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter
ikan yang tidak mengenal diam.
Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang teduh,
tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber
Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai
Hendra karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun
menulis puisi.
Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habis-habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat warna
alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang tenggelamnya kapal
Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan potret diri yang diserbu ikan-
ikan. Ternyata, potret itulah manifestasi dirinya berterima kasih pada ikan-ikan yang menjadi sumber
inspirasinya. Sayangnya lukisan tersebut tidak selesai dan diberi judul Terima Kasih Kembali
Protein. Karya lukisan ini merupakan pertanda terakhir Hendra Gunawan sebelum menghadap Illahi.
Ia meninggal di RSU Sanglah, Denpasar, Bali, 17 Juli 1983. Dan dimakamkan di Pemakaman
Muslimin Gang Kuburan Jalan A. Yani, Purwakarta.



Raden Saleh
Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807
[1][2]
atau 1811
[3]
- 23 April 1880) adalah
pelukis Indonesia beretnis Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia
Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu
dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas
menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19,
Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.
Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus
ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824)
dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang
membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang
romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain.
Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap
pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas
di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan
kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.


"Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh (1857).


"Penyerahan Diri Diponegoro" karya Nicolaas Pieneman (1835).
Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran
Diponegoro,
[5]
yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran
Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir
di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak
memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.
Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas Pieneman dan
dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal
di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah
perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari
sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah
lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah.
Pieneman memberi judul lukisannyaPenyerahan Diri Diponegoro, Saleh memberi
judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh Belanda di
lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.
[5]

Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah
kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman
sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro
seperti orang Arab.
[5]
Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik danblangkon yang
terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detil menarik, ia tidak melukiskan senjata
apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut terjadi pada bulanRamadhan, karena itu Pangeran dan pengikutnya datang
dengan niat baik.
Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem
III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada 1978.
Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda
pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan
dipindahtangan ke Belanda di masa lampau. Namun dari itu, lukisan Penangkapan tidak termasuk
ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak
pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan
Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.
[5]

Anda mungkin juga menyukai