Anda di halaman 1dari 6

68 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006

umumnya sebagai usaha sampingan.


Pesatnya perkembangan industri obat
tradisional dan pasokan bahan baku yang
masih mengandalkan pada alam telah
menyebabkan terjadinya erosi genetik
sehingga 54 jenis tanaman obat menjadi
langka. Jumlah spesies tumbuhan obat
yang telah berhasil diindentifikasi sekitar
1.845 spesies, dan 95 spesies di antaranya
merupakan tumbuhan obat liar yang saat
ini dieksploitasi dalam jumlah besar
(Proyek Pengelolaan dan Pemulihan
Kerusakan Lingkungan dan Fakultas
Kehutanan IPB 2001).
Permintaan bahan baku tumbuhan
obat pada tahun 1999 mencapai 12.000 ton
bobot kering dengan produksi obat tra-
disional sekitar 8.288 ton. Pada tahun 2002,
permintaan senilai minimal Rp1 triliun dan
meningkat menjadi Rp1,40 triliun pada
tahun 2003 (Darusman 2003). Permintaan
bahan baku ini akan terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, harga obat-obatan berbahan
baku impor, dan jumlah perusahaan obat
tradisional serta adanya kecenderungan
masyarakat dunia untuk kembali ke alam
(Proyek Pengelolaan dan Pemulihan
Kerusakan Lingkungan dan Fakultas
Kehutanan IPB 2001).
Permasalahan dalam pengembangan
industri obat tradisional adalah sebagian
TEKNOLOGI PENGELOLAAN BENIH BEBERAPA
TANAMAN OBAT DI INDONESIA
Maharani Hasanah dan Devi Rusmin
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor 16111
ABSTRAK
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian besar bahan baku (80%)
berasal dari hutan atau habitat alami dan sisanya (20%) dari hasil budi daya tradisional. Penyediaan bahan baku yang
masih mengandalkan pada alam tersebut telah mengakibatkan terjadinya erosi genetik pada sedikitnya 54 jenis
tanaman obat. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta mengantisipasi permintaan
yang terus meningkat tiap tahunnya maka perlu dilakukan pengembangan usaha tani tanaman obat. Namun upaya
pengembangan tersebut menghadapi masalah kurangnya informasi tentang penggunaan benih bermutu dan terbatasnya
penelitian mengenai perbenihan, sehingga masih banyak petani yang menggunakan benih asalan yang tidak
terjamin mutunya. Akibatnya produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan masih rendah. Selain itu, benih
tanaman obat sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk benih rekalsitran yang penanganannya agak sulit. Berkaitan
dengan permasalahan tersebut, telah dilakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan teknik produksi dan
penanganan benih tanaman obat seperti penentuan waktu panen, teknik produksi benih, penanganan benih,
pengeringan, penyimpanan, dan pengemasan.
Kata kunci: Tanaman obat, pengelolaan benih
ABSTRACT
The technology in managing medicinal seed crops in Indonesia
The problems in developing traditional medicine is a large part of raw material (about 80%) come from forest or
natural habitation and the rest about 20% from traditional cultivation. Raw material supply which still depends on
nature has caused genetic erosion on at least 54 kinds of medicinal crops. To guarantee the continuous supply of
raw material of traditional medicine and also to anticipate the increasing demand in the future, it is needed to
develops medicinal crops farming. One of the problems in developing medicinal crops is lack of information about
utilizing of high quality seed and seed research activities. As a result most of farmers still use bad quality seeds and
finally it will influence the productivity and quality of the product. Besides that more than 80% of medicinal crops
are counted as recalsitrans and hard to handle. According to those problems, researches have been conducted in
relation with harvesting time, seed production, seed handling, seed drying, seed storage, and seed packaging.
Keywords: Medicinal crops, seed handling
I
ndustri obat tradisional Indonesia
berkembang pesat baik sebelum
maupun selama krisis multidimensional
melanda Indonesia. Pesatnya perkem-
bangan industri obat tercermin dari jum-
lah perusahaan pendukungnya. Pada
tahun 1981, jumlah perusahaan obat baru
mencapai 165 buah, namun pada tahun
1991 dan tahun 2000, jumlah tersebut
meningkat masing-masing menjadi 427
dan 985 perusahaan.
Sekitar 80% pasokan bahan baku
industri obat tradisional masih mengan-
dalkan hasil pemanenan dari hutan atau
habitat alami, sisanya dipasok dari hasil
budi daya secara tradisional, yang pada
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 69
besar bahan baku (sekitar 80%) masih
mengandalkan hasil pemanenan dari
hutan atau habitat alami, sisanya (20%)
berasal dari hasil budi daya secara tra-
disional. Untuk menjamin ketersediaan
bahan baku secara berkesinambungan
serta mengantisipasi peningkatan permin-
taan maka pengembangan usaha tani
tanaman obat secara komersial perlu
dilakukan. Namun, upaya pengembangan
tersebut menghadapi masalah kurangnya
informasi tentang penggunaan benih
bermutu sehingga masih banyak petani
yang menggunakan benih asalan yang
tidak terjamin mutunya. Akibatnya pro-
duktivitas dan mutu produk yang dihasil-
kan rendah.
Perbanyakan tanaman obat dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu 1)
menggunakan benih yang berasal dari biji
(true seed) seperti pada tanaman terung
KB (Solanum khasianum), sambiloto
(Andrographis paniculata), purwoceng
(Pimpinella pruatjan), mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa), selasih (Occimum
sp.), saga (Abrus precatorius), secang
(Caesalpinia sappans), dan mengkudu
(Morinda nitrifolia), 2) menggunakan
rimpang seperti jahe (Zingiber officinale),
kunyit (Curcuma domestica), kencur
(Kampheria galanga), temu lawak
(Curcuma zanthoriza), dan temu putih
(Curcuma zeodaria), 3) menggunakan
setek seperti sirih (Piper betle), katuk
(Sauropus androgynus) dan cabai jawa
(Piper cubeba), serta 4) menggunakan
anakan dan stolon seperti pada serai wangi
(Andropogon nardus) dan pegagan
(Centella asiatica).
Berdasarkan sifatnya, benih dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu benih
ortodoks dan benih rekalsitran. Benih
ortodoks adalah benih yang dapat disim-
pan lama, kadar air dapat diturunkan
sampai di bawah 10%, dan dapat disimpan
pada suhu dan kelembapan rendah. Benih
rekalsitran yaitu benih yang tidak dapat
disimpan dalam waktu lama, tidak tahan
atau mati jika disimpan pada suhu dingin,
dan tidak tahan disimpan bila kadar airnya
diturunkan sampai di bawah kadar air kritis.
Benih tanaman obat sebagian ter-
masuk dalam golongan benih ortodoks,
seperti benih terung KB, sambiloto,
selasih, secang, dan saga, dan sebagian
lain tergolong benih rekalsitran seperti
mengkudu, mahkota dewa, katuk, dan
purwoceng. Oleh karena itu, penelitian
tanaman obat dilakukan berdasarkan
pengelompokan tersebut, karena masing-
masing kelompok benih memerlukan
penanganan yang berbeda sesuai dengan
sifat dan bentuk benihnya. Permasalahan
dalam penanganan benih tanaman obat
adalah lebih dari 80% tanaman obat
menghasilkan benih rekalsitran yang
penanganannya agak sulit. Berdasarkan
permasalahan tersebut, dalam tulisan ini
dikemukakan hasil-hasil penelitian yang
berkaitan dengan penyediaan benih
tanaman obat, seperti penentuan waktu
panen, teknik produksi benih, pena-
nganan benih, pengeringan, penyim-
panan, dan pengemasan.
PENENTUAN WAKTU PANEN
Secang
Kemasakan benih penting untuk di-
ketahui agar dapat ditentukan waktu
panen yang tepat. Benih yang dibiarkan
melewati masak fisiologis akan turun
viabilitas dan vigornya. Benih bermutu
tinggi dapat diperoleh bila panen dila-
kukan pada saat masak fisiologis, karena
pada saat itu benih mempunyai bobot
kering dan vigor yang maksimum (Ha-
sanah dan Rusmin 1993).
Penelitian tingkat kemasakan benih
berdasarkan warna telah dilakukan oleh
Hasanah dan Rusmin (1993) pada benih
secang. Benih yang berwarna hijau
kekuningan menghasilkan daya berkecam-
bah tertinggi yaitu 95%, sedangkan benih
yang berwarna coklat memiliki daya ber-
kecambah kurang dari 50%. Hasanah dan
Rusmin (1993) menyimpulkan bahwa benih
secang termasuk dalam kelompok benih
yang mempunyai kulit keras sehingga
dapat menghambat perkecambahan.
Sambiloto
Penelitian mengenai fenologi bunga dan
buah pada tanaman sambiloto telah
dilakukan oleh Hasanah et al. (2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
masak fisiologis benih sambiloto dicapai
pada umur 26 hari setelah antesis. Pada
saat tersebut, bobot kering benih dalam
keadaan maksimum yaitu 14,10 x 10
-4
g
dengan kadar air 21,52%. Polong berwarna
hijau semburat ungu. Benih yang dipanen
pada saat tersebut akan memberikan
pertumbuhan tanaman yang lebih baik
serta produksinya tinggi (0,20 g/tanaman
atau 25 g/pohon) (Rusmin et al. 2006).
TEKNIK PRODUKSI BENIH
Dalam memproduksi benih berkualitas
tidak dibedakan antara benih ortodoks dan
benih rekalsitran. Persyaratan agronomis
dengan mengacu pada Good Agricultural
Practices (GAP) harus diikuti dengan
persyaratan lain seperti benih harus sudah
mencapai masak fisiologis serta seragam
agar benih yang dihasilkan berkualitas
baik.
Jahe
Produksi benih jahe dari tanaman umur 5
bulan rata-rata mencapai 23,30 t/ha,
sedangkan pada umur 6 bulan 31,90 t/ha.
Persentase serat kasar, pati, dan abu
mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya umur panen, yaitu pada
umur 5 bulan nilainya masing-masing 7,21;
39,17; dan 9,43% dan meningkat menjadi
8,06; 46,56; dan 10,46% pada umur panen
6 bulan. Untuk jahe gajah yang akan
diekspor, rimpang dianjurkan dipanen
paling lambat saat tanaman berumur 5
bulan (Januwati et al. 1989).
Produksi benih dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain pemupukan,
pengairan, kondisi lingkungan, pemeliha-
raan (termasuk membuang tanaman yang
sakit dan yang tumbuh abnormal), waktu
panen, dan perlakuan saat panen (Ha-
sanah et al. 1991). Benih harus jelas
varietasnya dan mempunyai keunggulan
pada kondisi tertentu agar tanaman dapat
berproduksi optimal (Douglas 1980).
Memproduksi benih perlu memperhatikan
aspek bahan tanaman (varietas), budi
daya (termasuk pemupukan), waktu panen
(tingkat kemasakan benih), cara panen,
penanganan benih, pengeringan, penge-
masan, penyimpanan, dan distribusi
benih.
Katuk
Perbanyakan tanaman katuk dapat
menggunakan setek yang diambil dari
pangkasan waktu panen (Puspitaningtyas
et al. 1994) atau menggunakan biji
(Rumiati et al. 1999). Untuk pengembang-
an tanaman skala komersial, disarankan
menggunakan bahan tanaman dari biji.
Menurut Yuliani dan Hasanah (2000),
setiap hektar pertanaman katuk memer-
lukan pupuk dengan kombinasi 190 kg N,
87,50 kg P, dan 87,50 kg K
2
O, serta 20 ton
pupuk kandang.
70 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
PENANGANAN BENIH
Terung KB
Benih terung KB mempunyai masa dorman
sekitar 4 bulan (Hasanah 1988). Untuk
memecahkan masalah dormansi tersebut,
Sukmadjaja dalam Rosita et al. (1993)
telah melakukan penelitian perendaman
benih dalam larutan GA3 dengan kon-
sentrasi 0, 100, 300, 500, 700, 900, 1.100,
1.300, dan 1.500 mg/l selama 6, 12, dan 24
jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
viabilitas benih terbaik diperoleh dari
perlakuan perendaman selama 24 jam
dengan konsentrasi larutan GA3 1.300 mg/
l, yaitu daya berkecambah benih 87,73%
dan benih dapat berkecambah setelah 2
minggu (Rosita et al. 1993). Sebelum diberi
perlakuan, benih dibersihkan dari lendir
dengan menggunakan air.
Pemecahan dormansi benih terung
KB dapat pula dilakukan dengan meng-
gunakan KNO
3
0,20% (Tabel 1). Pemberian
larutan KNO
3
0,20% pada substrat (kertas
saring) memberikan daya berkecambah
tertinggi (88,42%).
Saga
Dormansi benih saga dapat dipecahkan
dengan perlakuan skarifikasi (pengikisan
kulit benih). Dengan perlakuan tersebut,
daya berkecambah benih dapat mencapai
97% dibandingkan kontrol yang hanya
6%. Pengecambahan dilakukan dengan
menggunakan media kertas merang
(Hasanah et al. (1993). ZPT yang
berbahan aktif senyawa auksin dapat
digunakan untuk meningkatkan per-
tumbuhan tanaman, khususnya yang
diperbanyak dengan setek, seperti kumis
kucing dan cabai jawa.
Jahe
Untuk penyimpanan, rimpang jahe yang
telah dipanen dicuci dengan menggunakan
air lalu dikeringanginkan. Dapat pula jahe
dipanen pada saat tanah kering, sehingga
rimpang dapat langsung disortasi tanpa
harus dicuci (Hasanah et al. 2004b).
Sebelum disimpan, benih diberi
perlakuan CCC 1.250 ppm untuk meng-
hambat pertumbuhan tunas. Perlakuan
tersebut memberikan hasil lebih baik
dibandingkan dengan pemberian 2,4-D
1.000 ppm dan PEG 2000 ppm (Hasanah
et al. 1989). Menurut Darwati et al. (1993),
pertunasan benih jahe di tempat penyim-
panan dapat dihambat dengan membe-
rikan paklobutrazol 300 ppm, dan untuk
memacu pertunasan dapat digunakan
NAA 160 ppm, IBA 25% dan air kelapa
25%. Untuk memacu pertumbuhan di
lapang, senyawa nitroaromatik dengan
konsentrasi 0,50 ml/l memberikan hasil
yang baik.
Kunyit dan Kencur
Pemberian paklobutrazol 250 ppm dapat
meningkatkan jumlah anakan dan bobot
rimpang kunyit (Darwati et al. 1993).
Paklobutrazol dapat menghambat bio-
sintesis giberelin sehingga asimilat hasil
fotosintesis dapat diakumulasi pada
rimpang.
Pada tanaman kencur, penggunaan
air kelapa muda dengan konsentrasi 25%
memberikan pertumbuhan yang lebih baik.
Air kelapa telah lama diketahui mengan-
dung ZPT antara lain sitokinin alami.
Sitokinin selain berperan dalam proses
pembelahan sel juga dapat merangsang
diferensiasi jaringan.
Temu Lawak
Pada tanaman temu lawak, penggunaan
0,65% nitroaromatik yang dikombinasikan
dengan penutup tanah (mulsa plastik
hitam) dapat memecahkan dormansi
rimpang dan memacu pertunasan (Darwati
et al. 1993). Penggunaan nitroaromatik
0,65% (2 ml/l) dengan waktu perendaman
30 menit memberikan pertunasan yang
lebih cepat (34 hari) dan pertumbuhan
yang lebih baik pada media yang diberi
mulsa. Nitroaromatik 0,65% mudah diserap
oleh daun, batang, bunga, serta akar atau
rimpang.
PENGERINGAN BENIH
Aerasi akan menurunkan suhu, dan
pemberian aerasi yang tepat dapat
mencegah kerusakan benih akibat
berpindahnya kelembapan. Benih yang
dipanen dengan kadar air di atas 1516%
perlu dikeringkan. Pengeringan perlu
dilakukan segera setelah benih dipanen,
karena makin lama penundaan penge-
ringan, kualitas benih yang dihasilkan
makin menurun (Hasanah 1987).
Untuk benih ortodoks seperti benih
terung KB, pengeringan dilakukan dengan
cara membuang lendirnya terlebih dahulu.
Selanjutnya benih yang telah bersih dike-
ringkan di bawah sinar matahari selama 3
hari.
Untuk benih jahe, pengeringan
rimpang dilakukan sampai kulit rimpang
mengering tetapi bagian dalamnya masih
tetap segar. Pada benih jahe yang cukup
tua (10 bulan), pengeringan dapat dila-
kukan dengan penjemuran pada pagi hari
(pukul 07.0010.00) dengan suhu 2532
C selama 34 hari. Bila rimpang jahe
dipanen pada umur 8 bulan, pengering-
an cukup dilakukan selama 12 hari.
Sebelum disimpan, rimpang dibersihkan
lalu dikeringanginkan selama 23 hari
tergantung lokasi tanam dan kondisi tanah
pada saat panen. Di Bengkulu, rimpang
perlu dijemur 34 hari, sedangkan di
Sukabumi, jika panen dilakukan pada saat
kondisi tanah kering, rimpang cukup
dikeringanginkan (Hasanah et al. 2004a).
PENYIMPANAN BENIH
Benih berkualitas tinggi memiliki daya
simpan yang lebih lama daripada benih
berkualitas rendah. Kualitas benih tidak
dapat diperbaiki dengan perlakuan pe-
nyimpanan, karena penyimpanan hanya
bertujuan untuk mempertahankan kualitas
benih (Hasanah 1987).
Selama penyimpanan, benih diiden-
tifikasi dengan tepat dan kondisi ruang
penyimpanan diperhatikan agar daya
berkecambah benih dapat dipertahankan.
Ruang untuk menyimpan bahan tanaman
Tabel 1. Daya berkecambah terung KB dengan perlakuan KNO
3
0,20%.
Perlakuan Daya berkecambah (%)
Substrat (kertas saring) dibasahi dengan KNO
3
0,20% 88,42
Benih direndam 10 menit dalam KNO
3
0,20% 81,89
Benih direndam 24 jam dalam KNO
3
0,20% 72,53
Benih direndam 48 jam dalam KNO
3
0,20% 69,75
Kontrol 26,64
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 71
hendaknya memiliki sirkulasi udara yang
baik, kelembapan relatif udara rendah
(7080%), suhu ruangan 2025
o
C, cukup
cahaya, dan atap tidak bocor. Tumpukan
benih dapat diberi abu dapur untuk
menghindari tumbuhnya jamur atau
kapang (Hasanah et al. 2004b).
Sambiloto
Hasanah et al. (2006) melaporkan bahwa
suhu ruangan berpengaruh terhadap daya
berkecambah benih sambiloto selama
penyimpanan. Sampai penyimpanan 3
bulan, daya berkecambah benih yang
disimpan pada suhu ruang mencapai
79,33%, sedangkan bila benih disimpan
dalam ruangan dingin maka daya ber-
kecambah benih makin menurun hingga
hanya 17,78% (Tabel 2). Hal ini disebabkan
benih sambiloto mempunyai masa dor-
mansi 45 bulan. Dengan menyimpan
benih pada suhu dingin maka dormansi
benih makin meningkat. Oleh karena itu,
untuk memecahkan dormansi benih
sebaiknya benih disimpan pada suhu
ruang.
Mempertahankan kualitas benih
melalui tahap-tahap tersebut memerlu-
kan pengetahuan, keterampilan, dan
dedikasi yang tinggi. Pengusaha benih
sebagai titik awal perlu memiliki ke-
pedulian tinggi terhadap mutu benih.
Pengusahaan benih secara besar-besaran
memerlukan tenaga spesialis untuk
pengendalian mutu sejak proses produksi
hingga distribusi. Hal ini menyangkut
semua aspek teknis dan administrasi
yang harus dilakukan secara tepat, benar
dan pada waktunya.
Temu-temuan
Penyimpanan benih dalam bentuk rimpang
bertujuan untuk mempertahankan mutu
fisiologis benih sampai musim tanam
berikutnya. Penelitian penyimpanan benih
jahe, kunyit, dan temu lawak telah dila-
kukan, namun informasi yang didapat
masih terbatas.
Jahe
Hasil penelitian Sukarman et al. (2005)
tentang cara penyimpanan benih jahe
besar klon Sukabumi dan Sumedang
menunjukkan bahwa klon Sumedang
mempunyai viabilitas yang lebih baik
dibandingkan klon Sukabumi, tetapi
kandungan pati, kadar serat, abu, atsiri,
dan sari rimpang klon Sukabumi lebih
tinggi. Viabilitas benih setelah 3 bulan
penyimpanan masih tinggi sekitar 78%.
Berbagai cara penyimpanan, seperti penu-
tupan benih dengan abu, pengasapan
dengan interval 1 minggu, dan pengering-
an dengan sinar matahari (pukul 08.00
12.00 selama 1 hari) tidak mempengaruhi
viabilitas benih selama penyimpanan.
Hasil penelitian Melati et al. (2005)
tentang pengaruh asal benih dan cara
penyimpanan terhadap mutu rimpang
jahe memperlihatkan bahwa rimpang jahe
asal petani binaan mempunyai kadar pati
lebih tinggi (47,42%) dan serat lebih
rendah (7,15%) dibandingkan dengan
rimpang yang dihasilkan petani non-
binaan dengan kandungan pati yang lebih
rendah (42,40%) dan serat lebih tinggi
(9,47%). Benih dari petani binaan mem-
punyai susut bobot rimpang lebih rendah
(32,02%) dibandingkan dengan benih dari
petani nonbinaan (37,07%). Setelah 4
bulan penyimpanan, kadar air rimpang jahe
masih 86%, rimpang dalam keadaan segar,
tidak keriput dan bertunas. Berbagai cara
penyimpanan, seperti menghamparkan
benih di atas tanah dengan alas bata
merah, pemberian paklobutrazol 500 ppm,
penyusunan benih pada rak bambu, dan
penutupan benih dengan jerami, tidak
berpengaruh terhadap viabilitas benih
jahe.
Sukarman et al. (2005) telah meneliti
beberapa cara penyimpanan rimpang jahe
dengan perlakuan sebagai berikut: 1)
penyimpanan benih pada ruangan dingin
dengan kelembapan 7080%, 2) penyim-
panan di dalam tanah, 3) pengeringan
dengan fresh drier, dan 4) iradiasi dengan
sinar dengan dosis 5, 10, 15, 20, 25 kRad.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah disimpan selama 2 bulan, kadar air
rimpang masih tinggi yaitu > 76,66%, se-
hingga rimpang tetap segar dan tidak
keriput. Penyusutan bobot rimpang
tertinggi terdapat pada perlakuan iradiasi
25 kRad (27,11%), dan penyusutan
terendah pada perlakuan penyimpanan
dingin (4,76%) dan penyimpanan dalam
tanah (10,70%). Setelah 2 bulan penyim-
panan, persentase rimpang bertunas pada
perlakuan penyimpanan dalam fresh drier
meningkat menjadi 86,25%. Pada perlakuan
iradiasi 10 dan 15 kRad, persentase benih
yang bertunas menurun, sedangkan pada
iradiasi 20 dan 25 kRad, sampai penyim-
panan 2 bulan rimpang belum bertunas.
Temu Lawak
Penelitian penyimpanan rimpang temu
lawak telah dilakukan oleh Sukarman et
al. (2005) dengan perlakuan sebagai
berikut: 1) penyimpanan pada ruangan
dingin dengan kelembapan tinggi (cold
storage, RH 7080%), 2) penyimpanan di
dalam tanah, 3) pengeringan dengan fresh
drier, dan 4) iradiasi dengan sinar
dengan dosis 5, 10, 15, 20, 25 kRad. Dari
beberapa perlakuan tersebut, setelah
disimpan 2 bulan kadar air rimpang temu
lawak masih tinggi (> 70%). Penyusutan
bobot rimpang tertinggi terdapat pada
perlakuan iradiasi 10 kRad (16,80%),
diikuti oleh kontrol (16,31%) dan iradiasi
3 kRad (15,34%). Penyusutan bobot rim-
pang yang terendah terdapat pada
perlakuan fresh drier (2,81%), diikuti oleh
cold storage (9,03%) dan disimpan dalam
tanah (10,70%).
Tabel 2. Daya berkecambah benih sambiloto setelah disimpan dengan
beberapa perlakuan.
Perlakuan
Daya berkecambah (%) pada penyimpanan
1 bulan 2 bulan 3 bulan
Ruang simpan
Ruang laboratorium 47,11 66 79,33
Ruang dingin (10
o
C, 37,78 25,11 17,78
RH 5060%)
Kemasan
Plastik 42,67 47,33 44,33
Alumunium foil 31,67 59 49,67
Kertas sampul 53 30,33 51,67
KK (%) 24,98 12,42 17,26
72 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Pada pengamatan 2 bulan penyim-
panan, persentase rimpang bertunas pada
perlakuan penyimpanan dalam tanah
meningkat menjadi 81%, sedangkan
dengan perlakuan iradiasi persentase
rimpang bertunas cenderung menurun
karena tunas banyak yang mengering
dan mati. Tunas yang tidak mengering
tumbuh menjadi tunas yang abnormal
dengan bentuk memendek dan membesar,
tetapi rapuh dan mudah patah.
PENGEMASAN BENIH
Benih dapat dikemas dalam kantong
plastik, alumunium foil, karung goni, atau
kotak kayu, tergantung jenis benih. Bahan
kemasan tersebut dapat dipergunakan
sebelum benih dikirim. Untuk jahe,
pengiriman dapat dilakukan dengan
menggunakan peti yang tidak rapat atau
karung goni. Selama pengiriman, benih
diusahakan tidak terkena hujan dan
kondisinya tetap kering (Hasanah et al.
2004b).
KESIMPULAN
Sebagian besar (lebih dari 80%) benih
tanaman obat termasuk benih rekalsitran
dan sisanya termasuk benih ortodoks.
Dari sembilan benih tanaman obat yang
diteliti, benih terung KB, secang, saga, dan
sambiloto tergolong benih ortodoks,
sedangkan jahe, kencur, kunyit, temu
lawak, dan katuk termasuk benih
rekalsitran.
Benih secang mencapai masak
fisiologis dengan ciri kulit benih berwarna
hijau kekuningan. Benih sambiloto
mencapai masak fisiologis pada saat
polong berwarna hijau semburat ke-
unguan. Benih, jahe sebaiknya dipanen
pada umur 10 bulan.
Benih sambiloto sebelum pecah
dormansinya, hanya perlu disimpan dalam
suhu ruang. Penyimpanan benih jahe,
kunyit, dan temu lawak dapat dilakukan
dengan meletakkan benih di atas rak-rak
bambu setelah pengeringan.
Pada benih terung KB, larutan KNO
3
0,20% sebagai pembasah substrat dapat
meningkatkan daya berkecambah benih
sampai 88,42%. Untuk benih saga, per-
lakuan skarifikasi (pengikiran kulit benih)
dapat menghasilkan daya berkecambah
tertinggi. Perendaman benih dalam larutan
CCC 1.250 ppm atau paklobutrazol 300
ppm dapat menghambat pertumbuhan
tunas jahe selama penyimpanan.
Pengeringan benih jahe dan saga
dapat dilakukan dengan penjemuran
selama 34 hari. Pada benih kencur dan
kunyit, pemberian paklobutrazol 250 ppm
dapat meningkatkan jumlah anakan dan
bobot rimpang. Pada benih temu lawak
penggunaan nitroaromatik 0,65% dapat
memacu pertunasan rimpang.
Pengemasan benih bergantung pada
bentuk benih. Benih dapat dikemas dalam
kantong plastik, alumunium foil atau
karung goni.
DAFTAR PUSTAKA
Darusman, L.K. 2003. Strategi pengembangan
biofarmaka Indonesia. Makalah dalam
Musyawarah Nasional Pekan Biofarmaka,
Surakarta, 10 September 2003. Departemen
Pertanian, Jakarta. 18 hlm.
Darwati, I., S.M.D. Rosita, dan I. Mariska. 1993.
Temu-temuan. Perkembangan penelitian zat
pengatur tumbuh untuk tanaman rempah dan
obat. Edisi Khusus Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat IX(1): 3950.
Douglas, E.J. 1980. Successful seed programs: A
planning and management guide. Westview
Press, Boulder, Colorado. 302 pp.
Hasanah, M. 1987. Faktorfaktor prapanen dan
pascapanen yang mempengaruhi mutu benih.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat II(2): 914.
Hasanah, M. 1988. Studi mengenai benih terung
KB. Buletin Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat III(1): 1820.
Hasanah, M., R. Satyastuti, and G. Panggabean.
1989. Effect of some inhibitors on the
growth of ginger shoot. Industrial Crops
Research Journal 1(2): 3745.
Hasanah, M., H. Moko, dan D. Sitepu. 1991.
Persyaratan bibit jahe. Perkembangan
penelitian tanaman jahe. Edisi Khusus Peneli-
tian Tanaman Rempah dan Obat VII(1): 1
6.
Hasanah, M. dan D. Rusmin. 1993. Pengaruh
tingkat kemasakan terhadap viabilitas benih
secang. Buletin Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat VIII(2): 9498.
Hasanah, M., E.M. Rachmat, dan M.I. Wahab.
1993. Studi pematahan dormansi pada benih
saga (Abrus precatorius L.). Prosiding
Seminar Saga Manis dan Tempuyung, Bogor,
1314 Januari 1993. Bagian I. Saga manis,
Abrus precatorius Linn. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Hasanah, M., Sukarman, Supriadi, N.M. Januwati,
dan R. Balfas. 2004a. Keragaan perbenihan
jahe di Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri 10(3):
118125.
Hasanah, M., Sukarman, dan D. Rusmin. 2004b.
Teknologi produksi benih jahe. Plasma nutfah
dan perbenihan tanaman rempah dan obat.
Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah
dan Obat XVI(1): 916.
Hasanah, M., D. Rusmin, Melati, dan S. Wahyuni.
2006. Pengaruh cara produksi dan pena-
nganan benih sambiloto. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat, Bogor.
Januwati, N.M., N. Nurdjanah, dan M. Hasanah.
1989. Pengaruh faktor iklim terhadap
produksi dan mutu jahe badak di KP
Sukamulya, Sukabumi. Prosiding Seminar
Sehari Peningkatan Pemanfaatan Agro-
meteorologi dalam Pembangunan Hutan
Tanaman Industri dan Pengembangan
Perkebunan. Kerja Sama Perhimpi dengan
Badan Penelitian Kehutanan dan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
hlm. 217223.
Melati, Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah.
2005. Pengaruh asal benih dan cara penyim-
panan terhadap mutu rimpang jahe. Jurnal
Ilmiah Pertanian Gakuryoku Persada XI(2):
186189.
Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan
Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB.
2001. Rancangan strategi konservasi tum-
buhan obat Indonesia. Executive Summary.
Kerja Sama Proyek Pengelolaan dan Pe-
mulihan Kerusakan Lingkungan dengan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
48 hlm.
Puspitaningtyas, D.M., Sutrisno, dan S.B.
Susetyo. 1994. Usaha tani katuk di Desa
Cilebut Barat, Bogor. Makalah Pokjanas TOI
VIII. Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret, Surakarta 1012 Agustus
1994.
Rosita, S.M.D., M. Hasanah, H. Moko, dan I.
Mariska. 1993. Terung KB dan pacing.
Perkembangan penelitian zat pengatur
tumbuh untuk tanaman rempah dan obat.
Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat IX(1): 3037.
Rumiati, S., D. Rusmin, dan D.D. Tarigan. 1999.
Studi pertumbuhan dan potensi hasil tanaman
katuk (Saoropus androgynus) L. Merr).
Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Persada
V(2): 115121.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 73
Rusmin, D., Melati, S. Wahyuni, dan M. Hasanah.
2006. Pengaruh stadia umur panen benih
terhadap viabilitas dan produksi terna
sambiloto (A. paniculata). Laporan Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Bogor. 10 hlm.
Sukarman, M. Hasanah, D. Rusmin, dan Melati.
2005. Viabilitas dua klon jahe besar (Zingiber
officinale L.) pada cara penyimpanan yang
berbeda. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku
Persada XI(2): 181185.
Yuliani, S. dan M. Hasanah 2000. Peluang
pengembangan katuk (Saoropus androgynus
L. Merr) sebagai pelancar ASI. Warta Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri 6(1): 13.

Anda mungkin juga menyukai