Pesatnya perkembangan industri obat tradisional dan pasokan bahan baku yang masih mengandalkan pada alam telah menyebabkan terjadinya erosi genetik sehingga 54 jenis tanaman obat menjadi langka. Jumlah spesies tumbuhan obat yang telah berhasil diindentifikasi sekitar 1.845 spesies, dan 95 spesies di antaranya merupakan tumbuhan obat liar yang saat ini dieksploitasi dalam jumlah besar (Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB 2001). Permintaan bahan baku tumbuhan obat pada tahun 1999 mencapai 12.000 ton bobot kering dengan produksi obat tra- disional sekitar 8.288 ton. Pada tahun 2002, permintaan senilai minimal Rp1 triliun dan meningkat menjadi Rp1,40 triliun pada tahun 2003 (Darusman 2003). Permintaan bahan baku ini akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, harga obat-obatan berbahan baku impor, dan jumlah perusahaan obat tradisional serta adanya kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB 2001). Permasalahan dalam pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian TEKNOLOGI PENGELOLAAN BENIH BEBERAPA TANAMAN OBAT DI INDONESIA Maharani Hasanah dan Devi Rusmin Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor 16111 ABSTRAK Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian besar bahan baku (80%) berasal dari hutan atau habitat alami dan sisanya (20%) dari hasil budi daya tradisional. Penyediaan bahan baku yang masih mengandalkan pada alam tersebut telah mengakibatkan terjadinya erosi genetik pada sedikitnya 54 jenis tanaman obat. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta mengantisipasi permintaan yang terus meningkat tiap tahunnya maka perlu dilakukan pengembangan usaha tani tanaman obat. Namun upaya pengembangan tersebut menghadapi masalah kurangnya informasi tentang penggunaan benih bermutu dan terbatasnya penelitian mengenai perbenihan, sehingga masih banyak petani yang menggunakan benih asalan yang tidak terjamin mutunya. Akibatnya produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan masih rendah. Selain itu, benih tanaman obat sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk benih rekalsitran yang penanganannya agak sulit. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, telah dilakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan teknik produksi dan penanganan benih tanaman obat seperti penentuan waktu panen, teknik produksi benih, penanganan benih, pengeringan, penyimpanan, dan pengemasan. Kata kunci: Tanaman obat, pengelolaan benih ABSTRACT The technology in managing medicinal seed crops in Indonesia The problems in developing traditional medicine is a large part of raw material (about 80%) come from forest or natural habitation and the rest about 20% from traditional cultivation. Raw material supply which still depends on nature has caused genetic erosion on at least 54 kinds of medicinal crops. To guarantee the continuous supply of raw material of traditional medicine and also to anticipate the increasing demand in the future, it is needed to develops medicinal crops farming. One of the problems in developing medicinal crops is lack of information about utilizing of high quality seed and seed research activities. As a result most of farmers still use bad quality seeds and finally it will influence the productivity and quality of the product. Besides that more than 80% of medicinal crops are counted as recalsitrans and hard to handle. According to those problems, researches have been conducted in relation with harvesting time, seed production, seed handling, seed drying, seed storage, and seed packaging. Keywords: Medicinal crops, seed handling I ndustri obat tradisional Indonesia berkembang pesat baik sebelum maupun selama krisis multidimensional melanda Indonesia. Pesatnya perkem- bangan industri obat tercermin dari jum- lah perusahaan pendukungnya. Pada tahun 1981, jumlah perusahaan obat baru mencapai 165 buah, namun pada tahun 1991 dan tahun 2000, jumlah tersebut meningkat masing-masing menjadi 427 dan 985 perusahaan. Sekitar 80% pasokan bahan baku industri obat tradisional masih mengan- dalkan hasil pemanenan dari hutan atau habitat alami, sisanya dipasok dari hasil budi daya secara tradisional, yang pada Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 69 besar bahan baku (sekitar 80%) masih mengandalkan hasil pemanenan dari hutan atau habitat alami, sisanya (20%) berasal dari hasil budi daya secara tra- disional. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta mengantisipasi peningkatan permin- taan maka pengembangan usaha tani tanaman obat secara komersial perlu dilakukan. Namun, upaya pengembangan tersebut menghadapi masalah kurangnya informasi tentang penggunaan benih bermutu sehingga masih banyak petani yang menggunakan benih asalan yang tidak terjamin mutunya. Akibatnya pro- duktivitas dan mutu produk yang dihasil- kan rendah. Perbanyakan tanaman obat dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu 1) menggunakan benih yang berasal dari biji (true seed) seperti pada tanaman terung KB (Solanum khasianum), sambiloto (Andrographis paniculata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), selasih (Occimum sp.), saga (Abrus precatorius), secang (Caesalpinia sappans), dan mengkudu (Morinda nitrifolia), 2) menggunakan rimpang seperti jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kampheria galanga), temu lawak (Curcuma zanthoriza), dan temu putih (Curcuma zeodaria), 3) menggunakan setek seperti sirih (Piper betle), katuk (Sauropus androgynus) dan cabai jawa (Piper cubeba), serta 4) menggunakan anakan dan stolon seperti pada serai wangi (Andropogon nardus) dan pegagan (Centella asiatica). Berdasarkan sifatnya, benih dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu benih ortodoks dan benih rekalsitran. Benih ortodoks adalah benih yang dapat disim- pan lama, kadar air dapat diturunkan sampai di bawah 10%, dan dapat disimpan pada suhu dan kelembapan rendah. Benih rekalsitran yaitu benih yang tidak dapat disimpan dalam waktu lama, tidak tahan atau mati jika disimpan pada suhu dingin, dan tidak tahan disimpan bila kadar airnya diturunkan sampai di bawah kadar air kritis. Benih tanaman obat sebagian ter- masuk dalam golongan benih ortodoks, seperti benih terung KB, sambiloto, selasih, secang, dan saga, dan sebagian lain tergolong benih rekalsitran seperti mengkudu, mahkota dewa, katuk, dan purwoceng. Oleh karena itu, penelitian tanaman obat dilakukan berdasarkan pengelompokan tersebut, karena masing- masing kelompok benih memerlukan penanganan yang berbeda sesuai dengan sifat dan bentuk benihnya. Permasalahan dalam penanganan benih tanaman obat adalah lebih dari 80% tanaman obat menghasilkan benih rekalsitran yang penanganannya agak sulit. Berdasarkan permasalahan tersebut, dalam tulisan ini dikemukakan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penyediaan benih tanaman obat, seperti penentuan waktu panen, teknik produksi benih, pena- nganan benih, pengeringan, penyim- panan, dan pengemasan. PENENTUAN WAKTU PANEN Secang Kemasakan benih penting untuk di- ketahui agar dapat ditentukan waktu panen yang tepat. Benih yang dibiarkan melewati masak fisiologis akan turun viabilitas dan vigornya. Benih bermutu tinggi dapat diperoleh bila panen dila- kukan pada saat masak fisiologis, karena pada saat itu benih mempunyai bobot kering dan vigor yang maksimum (Ha- sanah dan Rusmin 1993). Penelitian tingkat kemasakan benih berdasarkan warna telah dilakukan oleh Hasanah dan Rusmin (1993) pada benih secang. Benih yang berwarna hijau kekuningan menghasilkan daya berkecam- bah tertinggi yaitu 95%, sedangkan benih yang berwarna coklat memiliki daya ber- kecambah kurang dari 50%. Hasanah dan Rusmin (1993) menyimpulkan bahwa benih secang termasuk dalam kelompok benih yang mempunyai kulit keras sehingga dapat menghambat perkecambahan. Sambiloto Penelitian mengenai fenologi bunga dan buah pada tanaman sambiloto telah dilakukan oleh Hasanah et al. (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masak fisiologis benih sambiloto dicapai pada umur 26 hari setelah antesis. Pada saat tersebut, bobot kering benih dalam keadaan maksimum yaitu 14,10 x 10 -4 g dengan kadar air 21,52%. Polong berwarna hijau semburat ungu. Benih yang dipanen pada saat tersebut akan memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik serta produksinya tinggi (0,20 g/tanaman atau 25 g/pohon) (Rusmin et al. 2006). TEKNIK PRODUKSI BENIH Dalam memproduksi benih berkualitas tidak dibedakan antara benih ortodoks dan benih rekalsitran. Persyaratan agronomis dengan mengacu pada Good Agricultural Practices (GAP) harus diikuti dengan persyaratan lain seperti benih harus sudah mencapai masak fisiologis serta seragam agar benih yang dihasilkan berkualitas baik. Jahe Produksi benih jahe dari tanaman umur 5 bulan rata-rata mencapai 23,30 t/ha, sedangkan pada umur 6 bulan 31,90 t/ha. Persentase serat kasar, pati, dan abu mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur panen, yaitu pada umur 5 bulan nilainya masing-masing 7,21; 39,17; dan 9,43% dan meningkat menjadi 8,06; 46,56; dan 10,46% pada umur panen 6 bulan. Untuk jahe gajah yang akan diekspor, rimpang dianjurkan dipanen paling lambat saat tanaman berumur 5 bulan (Januwati et al. 1989). Produksi benih dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pemupukan, pengairan, kondisi lingkungan, pemeliha- raan (termasuk membuang tanaman yang sakit dan yang tumbuh abnormal), waktu panen, dan perlakuan saat panen (Ha- sanah et al. 1991). Benih harus jelas varietasnya dan mempunyai keunggulan pada kondisi tertentu agar tanaman dapat berproduksi optimal (Douglas 1980). Memproduksi benih perlu memperhatikan aspek bahan tanaman (varietas), budi daya (termasuk pemupukan), waktu panen (tingkat kemasakan benih), cara panen, penanganan benih, pengeringan, penge- masan, penyimpanan, dan distribusi benih. Katuk Perbanyakan tanaman katuk dapat menggunakan setek yang diambil dari pangkasan waktu panen (Puspitaningtyas et al. 1994) atau menggunakan biji (Rumiati et al. 1999). Untuk pengembang- an tanaman skala komersial, disarankan menggunakan bahan tanaman dari biji. Menurut Yuliani dan Hasanah (2000), setiap hektar pertanaman katuk memer- lukan pupuk dengan kombinasi 190 kg N, 87,50 kg P, dan 87,50 kg K 2 O, serta 20 ton pupuk kandang. 70 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 PENANGANAN BENIH Terung KB Benih terung KB mempunyai masa dorman sekitar 4 bulan (Hasanah 1988). Untuk memecahkan masalah dormansi tersebut, Sukmadjaja dalam Rosita et al. (1993) telah melakukan penelitian perendaman benih dalam larutan GA3 dengan kon- sentrasi 0, 100, 300, 500, 700, 900, 1.100, 1.300, dan 1.500 mg/l selama 6, 12, dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas benih terbaik diperoleh dari perlakuan perendaman selama 24 jam dengan konsentrasi larutan GA3 1.300 mg/ l, yaitu daya berkecambah benih 87,73% dan benih dapat berkecambah setelah 2 minggu (Rosita et al. 1993). Sebelum diberi perlakuan, benih dibersihkan dari lendir dengan menggunakan air. Pemecahan dormansi benih terung KB dapat pula dilakukan dengan meng- gunakan KNO 3 0,20% (Tabel 1). Pemberian larutan KNO 3 0,20% pada substrat (kertas saring) memberikan daya berkecambah tertinggi (88,42%). Saga Dormansi benih saga dapat dipecahkan dengan perlakuan skarifikasi (pengikisan kulit benih). Dengan perlakuan tersebut, daya berkecambah benih dapat mencapai 97% dibandingkan kontrol yang hanya 6%. Pengecambahan dilakukan dengan menggunakan media kertas merang (Hasanah et al. (1993). ZPT yang berbahan aktif senyawa auksin dapat digunakan untuk meningkatkan per- tumbuhan tanaman, khususnya yang diperbanyak dengan setek, seperti kumis kucing dan cabai jawa. Jahe Untuk penyimpanan, rimpang jahe yang telah dipanen dicuci dengan menggunakan air lalu dikeringanginkan. Dapat pula jahe dipanen pada saat tanah kering, sehingga rimpang dapat langsung disortasi tanpa harus dicuci (Hasanah et al. 2004b). Sebelum disimpan, benih diberi perlakuan CCC 1.250 ppm untuk meng- hambat pertumbuhan tunas. Perlakuan tersebut memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan pemberian 2,4-D 1.000 ppm dan PEG 2000 ppm (Hasanah et al. 1989). Menurut Darwati et al. (1993), pertunasan benih jahe di tempat penyim- panan dapat dihambat dengan membe- rikan paklobutrazol 300 ppm, dan untuk memacu pertunasan dapat digunakan NAA 160 ppm, IBA 25% dan air kelapa 25%. Untuk memacu pertumbuhan di lapang, senyawa nitroaromatik dengan konsentrasi 0,50 ml/l memberikan hasil yang baik. Kunyit dan Kencur Pemberian paklobutrazol 250 ppm dapat meningkatkan jumlah anakan dan bobot rimpang kunyit (Darwati et al. 1993). Paklobutrazol dapat menghambat bio- sintesis giberelin sehingga asimilat hasil fotosintesis dapat diakumulasi pada rimpang. Pada tanaman kencur, penggunaan air kelapa muda dengan konsentrasi 25% memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Air kelapa telah lama diketahui mengan- dung ZPT antara lain sitokinin alami. Sitokinin selain berperan dalam proses pembelahan sel juga dapat merangsang diferensiasi jaringan. Temu Lawak Pada tanaman temu lawak, penggunaan 0,65% nitroaromatik yang dikombinasikan dengan penutup tanah (mulsa plastik hitam) dapat memecahkan dormansi rimpang dan memacu pertunasan (Darwati et al. 1993). Penggunaan nitroaromatik 0,65% (2 ml/l) dengan waktu perendaman 30 menit memberikan pertunasan yang lebih cepat (34 hari) dan pertumbuhan yang lebih baik pada media yang diberi mulsa. Nitroaromatik 0,65% mudah diserap oleh daun, batang, bunga, serta akar atau rimpang. PENGERINGAN BENIH Aerasi akan menurunkan suhu, dan pemberian aerasi yang tepat dapat mencegah kerusakan benih akibat berpindahnya kelembapan. Benih yang dipanen dengan kadar air di atas 1516% perlu dikeringkan. Pengeringan perlu dilakukan segera setelah benih dipanen, karena makin lama penundaan penge- ringan, kualitas benih yang dihasilkan makin menurun (Hasanah 1987). Untuk benih ortodoks seperti benih terung KB, pengeringan dilakukan dengan cara membuang lendirnya terlebih dahulu. Selanjutnya benih yang telah bersih dike- ringkan di bawah sinar matahari selama 3 hari. Untuk benih jahe, pengeringan rimpang dilakukan sampai kulit rimpang mengering tetapi bagian dalamnya masih tetap segar. Pada benih jahe yang cukup tua (10 bulan), pengeringan dapat dila- kukan dengan penjemuran pada pagi hari (pukul 07.0010.00) dengan suhu 2532 C selama 34 hari. Bila rimpang jahe dipanen pada umur 8 bulan, pengering- an cukup dilakukan selama 12 hari. Sebelum disimpan, rimpang dibersihkan lalu dikeringanginkan selama 23 hari tergantung lokasi tanam dan kondisi tanah pada saat panen. Di Bengkulu, rimpang perlu dijemur 34 hari, sedangkan di Sukabumi, jika panen dilakukan pada saat kondisi tanah kering, rimpang cukup dikeringanginkan (Hasanah et al. 2004a). PENYIMPANAN BENIH Benih berkualitas tinggi memiliki daya simpan yang lebih lama daripada benih berkualitas rendah. Kualitas benih tidak dapat diperbaiki dengan perlakuan pe- nyimpanan, karena penyimpanan hanya bertujuan untuk mempertahankan kualitas benih (Hasanah 1987). Selama penyimpanan, benih diiden- tifikasi dengan tepat dan kondisi ruang penyimpanan diperhatikan agar daya berkecambah benih dapat dipertahankan. Ruang untuk menyimpan bahan tanaman Tabel 1. Daya berkecambah terung KB dengan perlakuan KNO 3 0,20%. Perlakuan Daya berkecambah (%) Substrat (kertas saring) dibasahi dengan KNO 3 0,20% 88,42 Benih direndam 10 menit dalam KNO 3 0,20% 81,89 Benih direndam 24 jam dalam KNO 3 0,20% 72,53 Benih direndam 48 jam dalam KNO 3 0,20% 69,75 Kontrol 26,64 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 71 hendaknya memiliki sirkulasi udara yang baik, kelembapan relatif udara rendah (7080%), suhu ruangan 2025 o C, cukup cahaya, dan atap tidak bocor. Tumpukan benih dapat diberi abu dapur untuk menghindari tumbuhnya jamur atau kapang (Hasanah et al. 2004b). Sambiloto Hasanah et al. (2006) melaporkan bahwa suhu ruangan berpengaruh terhadap daya berkecambah benih sambiloto selama penyimpanan. Sampai penyimpanan 3 bulan, daya berkecambah benih yang disimpan pada suhu ruang mencapai 79,33%, sedangkan bila benih disimpan dalam ruangan dingin maka daya ber- kecambah benih makin menurun hingga hanya 17,78% (Tabel 2). Hal ini disebabkan benih sambiloto mempunyai masa dor- mansi 45 bulan. Dengan menyimpan benih pada suhu dingin maka dormansi benih makin meningkat. Oleh karena itu, untuk memecahkan dormansi benih sebaiknya benih disimpan pada suhu ruang. Mempertahankan kualitas benih melalui tahap-tahap tersebut memerlu- kan pengetahuan, keterampilan, dan dedikasi yang tinggi. Pengusaha benih sebagai titik awal perlu memiliki ke- pedulian tinggi terhadap mutu benih. Pengusahaan benih secara besar-besaran memerlukan tenaga spesialis untuk pengendalian mutu sejak proses produksi hingga distribusi. Hal ini menyangkut semua aspek teknis dan administrasi yang harus dilakukan secara tepat, benar dan pada waktunya. Temu-temuan Penyimpanan benih dalam bentuk rimpang bertujuan untuk mempertahankan mutu fisiologis benih sampai musim tanam berikutnya. Penelitian penyimpanan benih jahe, kunyit, dan temu lawak telah dila- kukan, namun informasi yang didapat masih terbatas. Jahe Hasil penelitian Sukarman et al. (2005) tentang cara penyimpanan benih jahe besar klon Sukabumi dan Sumedang menunjukkan bahwa klon Sumedang mempunyai viabilitas yang lebih baik dibandingkan klon Sukabumi, tetapi kandungan pati, kadar serat, abu, atsiri, dan sari rimpang klon Sukabumi lebih tinggi. Viabilitas benih setelah 3 bulan penyimpanan masih tinggi sekitar 78%. Berbagai cara penyimpanan, seperti penu- tupan benih dengan abu, pengasapan dengan interval 1 minggu, dan pengering- an dengan sinar matahari (pukul 08.00 12.00 selama 1 hari) tidak mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan. Hasil penelitian Melati et al. (2005) tentang pengaruh asal benih dan cara penyimpanan terhadap mutu rimpang jahe memperlihatkan bahwa rimpang jahe asal petani binaan mempunyai kadar pati lebih tinggi (47,42%) dan serat lebih rendah (7,15%) dibandingkan dengan rimpang yang dihasilkan petani non- binaan dengan kandungan pati yang lebih rendah (42,40%) dan serat lebih tinggi (9,47%). Benih dari petani binaan mem- punyai susut bobot rimpang lebih rendah (32,02%) dibandingkan dengan benih dari petani nonbinaan (37,07%). Setelah 4 bulan penyimpanan, kadar air rimpang jahe masih 86%, rimpang dalam keadaan segar, tidak keriput dan bertunas. Berbagai cara penyimpanan, seperti menghamparkan benih di atas tanah dengan alas bata merah, pemberian paklobutrazol 500 ppm, penyusunan benih pada rak bambu, dan penutupan benih dengan jerami, tidak berpengaruh terhadap viabilitas benih jahe. Sukarman et al. (2005) telah meneliti beberapa cara penyimpanan rimpang jahe dengan perlakuan sebagai berikut: 1) penyimpanan benih pada ruangan dingin dengan kelembapan 7080%, 2) penyim- panan di dalam tanah, 3) pengeringan dengan fresh drier, dan 4) iradiasi dengan sinar dengan dosis 5, 10, 15, 20, 25 kRad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah disimpan selama 2 bulan, kadar air rimpang masih tinggi yaitu > 76,66%, se- hingga rimpang tetap segar dan tidak keriput. Penyusutan bobot rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan iradiasi 25 kRad (27,11%), dan penyusutan terendah pada perlakuan penyimpanan dingin (4,76%) dan penyimpanan dalam tanah (10,70%). Setelah 2 bulan penyim- panan, persentase rimpang bertunas pada perlakuan penyimpanan dalam fresh drier meningkat menjadi 86,25%. Pada perlakuan iradiasi 10 dan 15 kRad, persentase benih yang bertunas menurun, sedangkan pada iradiasi 20 dan 25 kRad, sampai penyim- panan 2 bulan rimpang belum bertunas. Temu Lawak Penelitian penyimpanan rimpang temu lawak telah dilakukan oleh Sukarman et al. (2005) dengan perlakuan sebagai berikut: 1) penyimpanan pada ruangan dingin dengan kelembapan tinggi (cold storage, RH 7080%), 2) penyimpanan di dalam tanah, 3) pengeringan dengan fresh drier, dan 4) iradiasi dengan sinar dengan dosis 5, 10, 15, 20, 25 kRad. Dari beberapa perlakuan tersebut, setelah disimpan 2 bulan kadar air rimpang temu lawak masih tinggi (> 70%). Penyusutan bobot rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan iradiasi 10 kRad (16,80%), diikuti oleh kontrol (16,31%) dan iradiasi 3 kRad (15,34%). Penyusutan bobot rim- pang yang terendah terdapat pada perlakuan fresh drier (2,81%), diikuti oleh cold storage (9,03%) dan disimpan dalam tanah (10,70%). Tabel 2. Daya berkecambah benih sambiloto setelah disimpan dengan beberapa perlakuan. Perlakuan Daya berkecambah (%) pada penyimpanan 1 bulan 2 bulan 3 bulan Ruang simpan Ruang laboratorium 47,11 66 79,33 Ruang dingin (10 o C, 37,78 25,11 17,78 RH 5060%) Kemasan Plastik 42,67 47,33 44,33 Alumunium foil 31,67 59 49,67 Kertas sampul 53 30,33 51,67 KK (%) 24,98 12,42 17,26 72 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 Pada pengamatan 2 bulan penyim- panan, persentase rimpang bertunas pada perlakuan penyimpanan dalam tanah meningkat menjadi 81%, sedangkan dengan perlakuan iradiasi persentase rimpang bertunas cenderung menurun karena tunas banyak yang mengering dan mati. Tunas yang tidak mengering tumbuh menjadi tunas yang abnormal dengan bentuk memendek dan membesar, tetapi rapuh dan mudah patah. PENGEMASAN BENIH Benih dapat dikemas dalam kantong plastik, alumunium foil, karung goni, atau kotak kayu, tergantung jenis benih. Bahan kemasan tersebut dapat dipergunakan sebelum benih dikirim. Untuk jahe, pengiriman dapat dilakukan dengan menggunakan peti yang tidak rapat atau karung goni. Selama pengiriman, benih diusahakan tidak terkena hujan dan kondisinya tetap kering (Hasanah et al. 2004b). KESIMPULAN Sebagian besar (lebih dari 80%) benih tanaman obat termasuk benih rekalsitran dan sisanya termasuk benih ortodoks. Dari sembilan benih tanaman obat yang diteliti, benih terung KB, secang, saga, dan sambiloto tergolong benih ortodoks, sedangkan jahe, kencur, kunyit, temu lawak, dan katuk termasuk benih rekalsitran. Benih secang mencapai masak fisiologis dengan ciri kulit benih berwarna hijau kekuningan. Benih sambiloto mencapai masak fisiologis pada saat polong berwarna hijau semburat ke- unguan. Benih, jahe sebaiknya dipanen pada umur 10 bulan. Benih sambiloto sebelum pecah dormansinya, hanya perlu disimpan dalam suhu ruang. Penyimpanan benih jahe, kunyit, dan temu lawak dapat dilakukan dengan meletakkan benih di atas rak-rak bambu setelah pengeringan. Pada benih terung KB, larutan KNO 3 0,20% sebagai pembasah substrat dapat meningkatkan daya berkecambah benih sampai 88,42%. Untuk benih saga, per- lakuan skarifikasi (pengikiran kulit benih) dapat menghasilkan daya berkecambah tertinggi. Perendaman benih dalam larutan CCC 1.250 ppm atau paklobutrazol 300 ppm dapat menghambat pertumbuhan tunas jahe selama penyimpanan. Pengeringan benih jahe dan saga dapat dilakukan dengan penjemuran selama 34 hari. Pada benih kencur dan kunyit, pemberian paklobutrazol 250 ppm dapat meningkatkan jumlah anakan dan bobot rimpang. Pada benih temu lawak penggunaan nitroaromatik 0,65% dapat memacu pertunasan rimpang. Pengemasan benih bergantung pada bentuk benih. Benih dapat dikemas dalam kantong plastik, alumunium foil atau karung goni. DAFTAR PUSTAKA Darusman, L.K. 2003. Strategi pengembangan biofarmaka Indonesia. Makalah dalam Musyawarah Nasional Pekan Biofarmaka, Surakarta, 10 September 2003. Departemen Pertanian, Jakarta. 18 hlm. Darwati, I., S.M.D. Rosita, dan I. Mariska. 1993. Temu-temuan. Perkembangan penelitian zat pengatur tumbuh untuk tanaman rempah dan obat. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat IX(1): 3950. Douglas, E.J. 1980. Successful seed programs: A planning and management guide. Westview Press, Boulder, Colorado. 302 pp. Hasanah, M. 1987. Faktorfaktor prapanen dan pascapanen yang mempengaruhi mutu benih. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat II(2): 914. Hasanah, M. 1988. Studi mengenai benih terung KB. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat III(1): 1820. Hasanah, M., R. Satyastuti, and G. Panggabean. 1989. Effect of some inhibitors on the growth of ginger shoot. Industrial Crops Research Journal 1(2): 3745. Hasanah, M., H. Moko, dan D. Sitepu. 1991. Persyaratan bibit jahe. Perkembangan penelitian tanaman jahe. Edisi Khusus Peneli- tian Tanaman Rempah dan Obat VII(1): 1 6. Hasanah, M. dan D. Rusmin. 1993. Pengaruh tingkat kemasakan terhadap viabilitas benih secang. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat VIII(2): 9498. Hasanah, M., E.M. Rachmat, dan M.I. Wahab. 1993. Studi pematahan dormansi pada benih saga (Abrus precatorius L.). Prosiding Seminar Saga Manis dan Tempuyung, Bogor, 1314 Januari 1993. Bagian I. Saga manis, Abrus precatorius Linn. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hasanah, M., Sukarman, Supriadi, N.M. Januwati, dan R. Balfas. 2004a. Keragaan perbenihan jahe di Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 10(3): 118125. Hasanah, M., Sukarman, dan D. Rusmin. 2004b. Teknologi produksi benih jahe. Plasma nutfah dan perbenihan tanaman rempah dan obat. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XVI(1): 916. Hasanah, M., D. Rusmin, Melati, dan S. Wahyuni. 2006. Pengaruh cara produksi dan pena- nganan benih sambiloto. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Januwati, N.M., N. Nurdjanah, dan M. Hasanah. 1989. Pengaruh faktor iklim terhadap produksi dan mutu jahe badak di KP Sukamulya, Sukabumi. Prosiding Seminar Sehari Peningkatan Pemanfaatan Agro- meteorologi dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan. Kerja Sama Perhimpi dengan Badan Penelitian Kehutanan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm. 217223. Melati, Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah. 2005. Pengaruh asal benih dan cara penyim- panan terhadap mutu rimpang jahe. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Persada XI(2): 186189. Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB. 2001. Rancangan strategi konservasi tum- buhan obat Indonesia. Executive Summary. Kerja Sama Proyek Pengelolaan dan Pe- mulihan Kerusakan Lingkungan dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 48 hlm. Puspitaningtyas, D.M., Sutrisno, dan S.B. Susetyo. 1994. Usaha tani katuk di Desa Cilebut Barat, Bogor. Makalah Pokjanas TOI VIII. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta 1012 Agustus 1994. Rosita, S.M.D., M. Hasanah, H. Moko, dan I. Mariska. 1993. Terung KB dan pacing. Perkembangan penelitian zat pengatur tumbuh untuk tanaman rempah dan obat. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat IX(1): 3037. Rumiati, S., D. Rusmin, dan D.D. Tarigan. 1999. Studi pertumbuhan dan potensi hasil tanaman katuk (Saoropus androgynus) L. Merr). Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Persada V(2): 115121. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 73 Rusmin, D., Melati, S. Wahyuni, dan M. Hasanah. 2006. Pengaruh stadia umur panen benih terhadap viabilitas dan produksi terna sambiloto (A. paniculata). Laporan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 10 hlm. Sukarman, M. Hasanah, D. Rusmin, dan Melati. 2005. Viabilitas dua klon jahe besar (Zingiber officinale L.) pada cara penyimpanan yang berbeda. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Persada XI(2): 181185. Yuliani, S. dan M. Hasanah 2000. Peluang pengembangan katuk (Saoropus androgynus L. Merr) sebagai pelancar ASI. Warta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 6(1): 13.