Anda di halaman 1dari 5

Kelangkaan BBM, Jokowi-JK Tekankan Subsidi Tepat Sasaran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, mengatakan permasalahan
kelangkaan Bahan` Bakar Minyak (BBM) yang melanda Indonesia sejak awal pekan lalu harus segera
dipecahkan. Pihaknya mengimbau pemerintah agar pembatasan subsidi BBM benar-benar
memperhatikan kepentingan rakyat.

Menurutnya, kepentingan rakyat jangan sampai dinomorduakan. Pihaknya ingin mendukung
pemerintah agar dengan pembatasan BBM bersubsidi tidak menghambat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu agar tidak menambah kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi akibat kemiskinan dan
pengangguran baru. Langkanya BBM juga akan berpengaruh terhadap jalur distribusi menjadi
terhambat. Akibatnya, harga kebutuhan pokok menjadi mahal.

"Harus ada solusinya. Jokowi akan bicara dengan Presiden SBY dalam waktu dekat, pasti aka nada
solusi," kata Maruarar saat dihubungi Republika, Senin (25/8).

Untuk mengantisipasi kelangkaan BBM, Maruarar mengatakan dalam pemerintahan Jokowi-JK ke depan
akan melakukan pemberantasan mafia minyak dan gas (migas) agar tidak terjadi penyelundupan BBM.
Selain itu, Jokowi-JK akan menerapkan kebijakan tidak melakukan ekspor minyak mentah dan tidak
mengimpor minyak jadi. Jokowi-JK juga akan melakukan audit keuangan secara transparan proses
pengolahan minyak dari kilang sampai menjadi minyak siap konsumsi.
Menurutnya, negara tetap harus memberi subsidi kepada rakyat terutama orang miskin. Oleh karena itu
harus ada kerjasama dengan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas mafia minyak.

"Yang pasti BBM ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga tidak bisa bicara sepotong-
sepotong. Jokowi-JK akan membangun sistem yang utuh supaya penyaluran BBM bersubsidi tepat
sasaran," kata dia.

Pada tahun ini, pemerintah melakukan pengurangan kuota BBM bersubsidi dari 48 juta KL menjadi 46
juta KL. Hal itu sesuai dengan APBN-P 2014. Akibatnya, pemerintah membatasi pasokan BBM bersubsidi
ke setiap daerah. Sehingga menyebabkan kelangkaan BBM dan antrean panjang di sejumlah besar SPBU.




Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998

Pada sekitar 1989 1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie,
Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga dilakukan oleh gerakan separatis
yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa teratasi (1976-1989) maka Pemerintah
RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada
1989. Sejak saat itu operasi militer dilakukan dengan sandi operasi Jaring Merah digelar di Aceh
dengan Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi Pelaksana. Daerah
Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur. Di
lingkungan daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk
mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi
satuan Gerakan Pengacau Kemananan Aceh Merdeka (GPK AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis
tersebar di hampir seluruh kecamatan antara lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu
Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan. Penempatan sejumlah
pos militer di sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan, dan
analisis strategi militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada tempat-tempatyang strategis dengan
menempati Rumoh Geudong (rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan
mudahnya mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak
masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pos
Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan sukses
atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 10 personil
militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang Tenaga Pembantu
Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Setelah DOM dicabut pada tanggal 7
Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya
sebagai Pos Sattis melainkan juga sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan
seperti penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan
pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh Gerakan Pengacau
Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM). Tindakan di luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan
tidak hanya laki-laki namun juga perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan
orang yang ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang
telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan mengalami tindak kekerasan
dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer. Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya
kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak
masyarakat Aceh yang menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali dihitung
mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan mengalami luka
berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama
berada di Rumoh Geudong. Tindak penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya
dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang bersangkutan atau
keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan dengan cara-cara pemukulan dengan
menggunakan kayu/senjata, disetrum, ditelanjangi dll. Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat
tidak hanya mengakibatkan luka berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh
John dan Mustakhir. Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui
makamnya ada di mana. Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan
tindakan kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga
pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak umur. Indikasi
adanya dugaan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan dan
kekerasan/pelecehan seksual oleh Aparat di Pos Sattis juga diperkuat oleh keterangan dan/atau
pengakuan saksi korban. Beberapa pihak seperti Komnas HAM (dipimpin oleh Baharuddin Lopa pada
Agustus 1998, yaitu sesaat setelah DOM dicabut), DPR RI, dan juga Pemda Pidie telah melakukan
investigasi atas peristiwa rumoh geudong. Pemda Pidie bahkan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dan
menemukan data bahwa: 1. Di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer Jaring Merah.
2. Dari sejumlah tersebut tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meningal 378 kasus,
perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298
kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus dan rumah dirusak 47 kasus. Sementara itu
nilai harta benda masyarakat yang dirampas oleh oknum aparat keamanan diperkirakan mencapai Rp.
4,2 Miliar lebih. Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara Peristiwa Simpang KKA
terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Peristiwa ini diawali dengan
isu bahwa pada 30 April 1999 ada anggota TNI Datasemen Rudal 001/Lilawangsa hilang, diduga bernama
Edityawarman ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang
diselenggarakan warga Cot Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut disikapi anggota pasukan
militer dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke tempat
aktivitas warga pada 02 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang melaksanakan kenduri untuk
peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat melakukan kekerasan yang mengakibatkan sekitar 20
(dua puluh) orang warga mengalami kekerasan; dipukul,ditendang dan diancam, bahkan 3 (tiga) warga
yang ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh terlibat dengan hilangnya Edityawarman.
Pasukan TNI masuk ke dusun Tepin mengambil masyarakat dusun tersebut. Pada 3 Mei 1999, warga
tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta
Koramil untuk membebaskan warga yang ditangkap oleh aparat. Tanpa dikomando setelah mendengar
ada orang ditangkap, maka semua ibu-ibu keluar ke jalan-jalan sehingga kerumunan massa semakin
banyak di jalan-jalan Lancang Barat dan sekitarnya. Pada saat itu ada warga yang menaruh drum minyak
tanah dipinggir jalan. Tiba-tiba masuk TNI dari Yonif 113/Jaya Sakti. Truk Reo (Ransom E. Olds Motor Car
Company) mereka menabrak drum yang ditaruh dijalan oleh massa, sehingga suasana semakin
memanas. Massa semakin marah dan menuju simpang KKA dari berbagai arah. Sehingga di simpang KKA
semakin dipenuhi oleh massa. Pada 03 Mei 1999, tepat pukul 09.00 WIB, empat truk pasukan TNI
memasuki desa Lancang Barat, Kec. Dewantara. Ditempat tersebut kemudian datang aparat Yonif
113/Jaya Sakti yang bersenjata lengkap dan berbaris di sisi kanan jalan. Pukul 12.30, salah satu aparat
yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah belakang reo sambil membawa HT dan
menembak keudara sebanyak dua kali. Ketika warga mencoba mengejar aparat tersebut, tiba-tiba dari
arah sebelah kiri (Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang reo berisikan puluhan aparat
bersenjata menembak ke arah masyarakat. Sebagian dari mereka turun dari truk dan berjalan ke arah
kerumunan massa sambil menembak secara acak dan sebagian masih tetap menembak dari atas truk.
Korban-korban yang terkena tembakan berdasarkan data yang ada, sekurang-kurangnya terdapat
sebanyak 21 orang yang meninggal dunia sebagai akibat dari peristiwa tersebut. Peristiwa Pembunuhan
Bumi Flora Aceh Timur PT. Bumi Flora adalah perusahaan perkebunan di Dusun Pelita, Desa Alur
Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur. Kamis, 9
Agustus 2001 adalah hari libur bagi karyawan PT. Bumi Flora. Namun sekitar pukul 07.30 Wib, datanglah
sekelompok orang yang tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api masuk ke
lokasi perkebunan. Kemudian kelompok ini mendatangi rumah-rumah para karyawan dan
memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk ber kumpul. Setelah itu para laki-laki dibariskan dalam
beberapa barisan dan masing-masing diminta membuka baju serta berjongkok dengan tangan di atas
paha. Setelah itu salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor Kepala Afdeling IV
yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di AfdelingIV dan kemudian
dijawab oleh bahwa di AfdelingIV ada 42 KK. Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut
menembak Samsul. Tidak lama kemudian terdengar rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan
warga laki-laki. Pada saat itu juga terjadi penembakan lainnya terhadap warga laki-laki yang masih
berada di luar barisan/sekitar lokasi kejadian. Para perempuan yang sebelumnya diperintahkan masuk
ke dalam rumah, kemudian dikumpulkan di dekat para korban yang tergeletak. Sepeninggal rombongan
berseragam loreng tersebut, warga perempuan Afdeling IV PT.Bumi Flora mencari suami mereka
masing-masing yang sebagian besar sudah menjadi mayat. Saksi sempat menghitung dan membolak-
balik mayat dan menemukan bahwa ternyata di antara para korban ada yang masih hidup sebanyak 7
(tujuh) orang dan 2 (dua) orang lainnya tidak dikenal oleh saksi. Bantuan baru datang ke lokasi kejadian
6 jam setelah kejadian, yaitu sekitar 14.00 Wib, dan langsung mengevakuasi para korban dengan
menggunakan 2 (dua) unit mobil ambulance ditambah dengan mobil PT.Bumi Flora sejenis truk yang
biasanya digunakan untuk mengangkat kelapa sawit. Pada peristiwa tersebut telah menyebabkan
korban jiwa sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang, korban hilang sebanyak 1 (satu) orang, dan korban luka
sebanyak 5 (lima) orang, serta 2 (dua) orang selamat tanpa menderita luka-luka. Peristiwa Penghilangan
Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah. Pada
akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai dengan Desember terjadi penghilangan orang
secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang Timang Gajah dan Gajah Putih). Beberapa orang
warga hilang dari desanya, yaitu Desa Reronga dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang
Gajah Putih), Desa Bumi Ayu (sekarang Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan
Desa Fajar Baru Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah).
Sampai saat ini keberadaan warga yang ditangkap tidak diketahui. Sudah 11 (sebelas) tahun setelah
peristiwa penghilangan orang secara paksa, tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa
kuburan tidak dikenal di kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli
2012. Ada 3 titik yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan keluarganya dari pakaian pakaian
yang dikenakan dan geligi korban. Titik pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh
pihak Koramil karena belum ada surat izinnya. Aparat keamanan sering melakukan razia di kampung-
kampung di wilayah Kecamatan Bakongan, termasuk di Desa Jambo Keupok tersebut. Paska DOM yaitu
pada malam 16 Mei 2013, sekitar 22.00 WIB warga mendengar suara letusan senjata api aparat TNI di
lapangan bola kaki Bakongan. Kemudian pada 17 Mei 2003 pukul 05.30 07.00 WIB penduduk Jambo
Keupok, Kec. Bakongan, Aceh Selatan dikejutkan dengan kedatangan 3 truk reo tentara (warna hijau)
yang memasuki rumah Abdullah Hadad. Di antara tentara tersebut terdapat seorang cuak (informan sipil
bagi tentara) yang memakai seragam militer, sebo, dan me megang parang. Selanjutnya para lelaki
dikumpulkan di luar rumah, para perempuan ditempatkan di dalam rumah warga dan di kelas SDN
Jambo Keupok. Sementara itu warga dan 10 laki-laki lainnya diperintahkan berdiri berjejer didepan
rumah yang jaraknya 15 meter 13 dari tempat anak laki-laki dikumpulkan. Kemudian satu-satu para
perempuan dikeluarkan dan dipindahkan ke SDN Jambo Keupok. Ke-12 orang laki-laki yang berada di
depan rumah warga diperintahkan mengangkat tangan dan +15 tentara mengeluarkan tembakan acak
ke arah para lelaki yang berbaris ini, ada yang terkena kakinya atau tangannya atau punggungnya.
Setelah tentara meninggalkan desa, warga Desa JamboKeupok baru berani mendatangi rumah warga
yang sudah habis terbakar dan menemukan mayat-mayat yang terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003
di Jambo Keupok menyebakan: 1. Korban jiwa atas 16 orang laki-laki (12 dibakar hidup-hidup dan 4
orang mati ditembak) 2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian mati (ditendang,
dipukul dengan popor senjata), 1 orang korban perempuan yang dipukul dan ditembak hingga pingsan,
dan 1 orang korban perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala. 3. Rumah yang hancur dibakar
sebanyak 4 rumah beserta isinya. Peristiwa ini terkait dengan DOM Aceh Sumber: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa DOM di Provinsi Aceh

Anda mungkin juga menyukai