Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PANCASILA PEMILU

PENDAHULUAN
Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara
damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan
ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak
ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan
Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang tidak pernah lepas dari
pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena
kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri. Demokrasi
merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti di satu bentuk pemerintahan
selama rakyat negara tersebut memiliki kemauan yang terus berubah. Ada kalanya rakyat
menginginkan pengawasan yang superketat terhadap pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat
bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan-akan tak ada
batasnya. Berbeda dengan monarki yang menjadikan garis keturunan sebagai landasan untuk
memilih pemimpin, pada republik demokrasi diterapkan azas kesamaan di mana setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi pemimpin apabila ia disukai oleh sebagian
besar rakyat. Pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan
istilah kontrak sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat
ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih
siapa yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa
depan sebuah negara.

Sejarah Singkat Pemilu di Indonesia
A. Pemilu 1955
Tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus
1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu
pada awal tahun 1946, sebagai pemilu pertama kali bagi negara baru Indonesia. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta No. X tanggal 3 Nopember 1945,
yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan,
pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.

Akan tetapi, rencana tersebut tidak bisa direalisasikan. Sebab Indonesia belum memiliki
perangkat yang memadai untuk menyelenggarakan sebuah prosesi demokrasi yang tidak sederhana.
Selain itu, perlawanan terhadap ancaman kemerdekaan dari imperialis Belanda yang hendak
kembali menjajah Indonesia, tidak memungkinkan pemilu diselenggarakan.

Pada tahun 1955, Pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah kemerdekaan, imdonesia baru tiap
menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama kalinya dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer pada kabinet
Burhanuddin Harahap dari Partai Islam Masyumi. Pemungutan suara dilakukan 2 kali yaitu untuk
memilih anggota DPR pada 29 september 1955 dan untuk memilih anggota dewab konstitusi pada
15 Desember 1955.

B. Pemilu 1971-1997 (Masa Orde Baru)
1. Pemilu 1971
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu 1971
dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa.
Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem
stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang
dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya kepada Organisasi
Peserta Pemilu.

3. PEMILU 1982
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu
ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem
yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan
berimbang (proporsional).

4. PEMILU 1987
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem
Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu
1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

5. PEMILU 1992
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu
yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987,
yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

6. PEMILU 1997
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem
Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu
1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

C. Pemilu 1999-2009 (Masa Reformasi)

1. Pemilu 1999
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi. Pemungutan suara dilaksanakan
pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama
dengan Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

2. Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung
wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung presiden dan wakil
presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih
550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil
presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20
September 2004 (putaran II).

Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan DPRD (termasuk didalamnya DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota) dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem
daftar calon terbuka. Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah yang diperolehnya.
Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang memenuhi atau melebihi nilai Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP). Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan kepada calon berdasarkan
nomor urut. Pemilu untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil
banyak.


2) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
Tahun 2004 adalah tahun pertama Indonesia menyelenggarakan pemilihan Presiden secara
langsung. Selama Orde Baru, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang saat itu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Sebagai lembaga
tertinggi negara, MPR memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil
Presiden. Setelah reformasi, banyak perubahan mendasar terjadi dalam sistem ketatanegaraan kita.
Salah satunya terkait dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sejak tahun 2004,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 putaran I (pertama) sebanyak 5
(lima) pasangan, adalah sebagai berikut:


3. Pemilu 2009.
Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara
serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta
Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.
Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2009-2014
diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009.

Pemilu 2009 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon
terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik mencerminkan proporsi total suara yang
didapat setiap parpol. Mekanisme sistem ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk
menentukan sendiri wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah
mereka yang memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak. Lingkup distrik adalah provinsi, di mana setiap provinsi memiliki 4
(empat) perwakilan.

UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara pemilu ditingkat
nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan oleh KPU Provinsi, ditingkat
kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.

Selain badan penyelenggara pemilu di atas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang
bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara
(PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemu-ngutan Luar Negeri
(PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan SuaraLuar Negeri (KPPSLN).

Pengertian Sistem
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu organisasi besar yang menjalin berbagai subjek atau
objek serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek pembentuk
sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat. Kehadiran subjek atau objek semata
belumlah cukup untuk membentuk sebuah sistem, itu baru merupakan himpunan subjek atau objek.
Himpunan subjek atau objek tadi baru membentuk sebuah sistem jika lengkap dengan perangkat
kelembagaan yang mengatur dan menjalin tentang bagaimana subjek-objek bekerja, berhubungan
dan berjalan.

Sebuah sistem sederhana apapun senantiasa mengandung kadar kompleksitas tertentu. Dari uraian
diatas cukup jelas bahwa sebuah sistem bukan sekedar himpunan suatu subjek atau himpunan suatu
objek. Sebuah sistem adalah jalinan semua itu, mencakup objek dan perangkat-perangkat
kelembagaan yang membentuknya. Selanjutnya perlu disadari bahwa, seringkali suatu sistem tidak
bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem yang lain.

3. Pemilihan Umum
a. Makna Pemilu
Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah
sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan
etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab.

Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan.
Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona luar biasa. Siapapun akan amat mudah
tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Sedemikian mempesonanya daya tarik kekuasaan sehingga tataran apa saja kekuasaan tidak akan
diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi.

Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan daya rusak
kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras, ikatan
persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi merebutkan kekuasaan tanpa disertai
norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan
kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik, power
tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny.

Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pemilu mendatang diharapkan
dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk membangun suatu institusi yang dapat
menjamin transfer of power dan power competition dapat berjalan secara damai dan beradab. Untuk
itu, pemilu 2004 harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan etika yang dapat memberi jaminan
agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur dan adil, tetapi juga dapat menghasilkan
wakil-wakil yang kredibel, akuntabel, dan kapabel serta sanggup menerima kepercayaan dan
kehormatan dari rakyat, dalam mengelola kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka untuk
mewujudkan kesejahteraan umum.

Agar pemilu 2004 dapat menjadi anggeda pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan
kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang
oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi sempit
dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh.

Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi bukan sekedar hasil
kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga kepentingannya. Bila hal itu
yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu akan memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi
masyarakat amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang
merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu yang demokratis.
Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai perkembangan konsensus politik dari
peraturan kepentingan di parlemen serta saran mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang
akan datang.

Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen. Parsyaratan ini amat
penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur. Harapan itu tampaknya memperlihatkan
tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah pansus pemilu menyetujui bahwa kondisi pemilihan
umum (KPU) benar-benar menjadi lembaga independen dan berwewenang penuh dalam
menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan: untuk urusan
operasional bertanggung jawab kepada KPU, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi bersifat
dualistik. Struktur yang sama diterapkan pula ditingkat propinsi serta kabupaten dan kota.

Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan partai-partai menerima
sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan. Sejak semula, sebenarnya argumen
kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur
dengan sendirinya.

Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu harus menyadari
bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain rumit, diperlukan kesabaran
melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sebab, partai politik bukan saja instrumen untuk
melakukan perburuan kekuasaan, tetapi juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan
dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif dari pemilu 2004.
Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat penegak hukum dan KPU, juga
melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain itu, perlu semacam koordinasi diantara lembaga
pemantau dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan terhadap
seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindak lanjuti,
membuat penyilidikan dan memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.

Keempat, Money politics mencegas habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat
penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money politics dewasa ini telah merebak
luas dan mendalam dalam kehidupan pilih memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai
dibeberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus
lebih ketat. Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan
barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan
APBN/APBD lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal
bagi para pelanggarannya.

Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai
politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung unsur-unsur baru serta detail-detail yang
sangat perlu diketahui oleh masyarakat.

b. Pemilih dan Hak Pilih
Persyaratan mendasar dari pemerintahan perwakilan daerah adalah bahwa rakyat mempunyai
peluang untuk memilih anggota dewan yang memegang peranan dan bertanggung jawab dalam
proses pemerintahan. Masken Jie (1961) berpendapat bahwa pemilihan bebas, walaupun bukan
puncak dari segalanya, masih merupakan suatu cara yang bernilai paling tinggi, karena belum ada
pihak yang dapat mencipatakan suatu rancangan politik yang lebih baik dari cara tersebut untuk
kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
masyarakat manapun. Pertama, pemilihan dapat menciptakan suatu suasana dimana masyarakat
mampu menilai arti dan manfaat sebuah pemerintahan. Kedua, pemilihan dapat memberikan suksesi
yang tertib dalam pemerintahan, melalui transfer kewenangan yang damai kepada pemimpin yang
baru ketika tiba waktunya bagi pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya, baik karena
berhalanga tetap atau karena berakhirnya suatu periode kepemimpinan.

Pada sistem pemerintahan nonperwakilan daerah, peranan warga daerah terbatas pada hal-hal yang
relatif tidak terorganisasi dan tidak langsung dalam urusan pemerintahan daerahnya. Rakyat harus
memainkan peranan yang aktif dan langsung jika pemerintahan perwakilan diinginkan untuk
menjadi dinamis dan bukan merupakan proses statis. Ada banyak kepentingan dan pengaruh warga
daerah untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan daerah, tetapi yang paling mendasar
adalah melalui pemilihan para wakilnya dalam kepemimpinan daerah.

c. Hak Untuk Memilih
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan perwakilan dan pengembangannya
diberbagai negara merupakan fenomena yang paling penting dalam kaitannya dengan pemerintahan
perwakilan daerah yang modern. Pada abad 19, banyak negara belum mempunyai proses pemilihan
untuk posisi-posisi pada pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak untuk memilih seringkali
dibatasi pada sejumlah kecil penduduknya. Namun perkembangan selama satu abad terakhir ini
menunjukan adanya kemajuan yang berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa orang saja
menjadi hak bagi semua, atau lebih tepat lagi berupa hak bagi hampir semua, karena pada sistem
hak pilih yang paling luas pun masih ada beberapa diantaranya yang tidak memenuhi syarat untuk
memilih.
Dalam banyak hal, hak untuk memilih bagi perwakilan pada lembaga daerah terbatas pada satu
orang yang merupakan warga daerah tersebut. Namun pengecualiannya dapat dijumpai pada
persemakmuran Inggris yang hukum kewarganegaraannya menyatakan bahwa warga negara dalam
persemakmuran manapun dapat memilih di Inggris Raya, bila ia dinayatakan memenuhi syarat
(HMSO, 1965). Dewasa ini sudah menjadi fenomena yang umum untuk memberikan hak pilih
kepada seseorang yang sudah mencapai umur yang bertanggung jawab. Ada dua persyaratan lain
yang sering diungkapkan dalam cara yang agak negatif. Diketahui bahwa sudah menjadi hal yang
biasa disetiap negara untuk menghapus hal pilih dari mereka yang tidak waras atau catat mental dan
mereka yang sedang menjalani hukuman penjara. Demikian pula, ada beberapa negara yang tidak
membolehkan warganya yang telah menjalani masa tahanan dalam penjara selama waktu yang
cukup lama untuk ikut memilih. Di indonesia, mereka yang dihukum diatas lima tahun tidak
diperkenankan mengikuti pemilihan umum.

d. Pemilu Sistem Proporsional
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu: pemilu sistem distrik
dan pemilu sistem proporsional. Namun yang akan dibahas penulis ialah pemilu sistem
proporsional.

Sistem ini perjumlah penduduk pemilih misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu
wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah sekelompok orang yang diajukan
kontekstan pemilu (multy member constituency), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab. Tetapi
sisah dapat digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan begitu partai kecil dapat
dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Indonesia berada ditengah-tengah
sistem ini (sistem campuran) dalam pemilihan selama orde baru, tetapi sedikit cenderung agak mirip
pada sistem proporsional.

e. Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelemahan
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak
menjurus kearah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, mereka lebih cenderung
lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan
memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya diaggap bahwa sistem ini mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai;
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas
kepada daerah yang telah memilihnya. Hal-hal semacam ini partai lebih menonjol perannya dari pad
kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
Kelebihan
1. Partai politik bisa leluasa menentukan siapa yang bakal calon.
2. integritas secara citra partai lebih solid karana para pemilih mendukung atau mencoblos partai
politik serta calonnya.
3. pencalonan perempuan okeh partai politik sebagai anggota legislatif sebanyak 30 %.

Anda mungkin juga menyukai