Anda di halaman 1dari 32

Untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem imun

PJBL
HIV/AIDS


Oleh :
PSIK K3LN 2012
Maria Yanuarini
Annisa Rahmi G
Ayu Rindu Lestari
Endah Septiyanti
Wa Janita
I Gusti Ngurah Putu Ari Saputra
Adelaine Ratih K
Alif Dewi Safitri
AA Flora Yunda A
Fatimah Az Zahra
Putu Eka Prayitna Devi
NI Komang Miming Widiyasih
Palupi Desanti N



Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
2013

DEFINISI HIV/AIDS
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan
tubuh manusia, seperti sel T4, CD4+, makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4
CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem
kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang
pertama oleh Gottlieb dkk. di Los Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari
1983 Luc Montagnier dkk. menemukan virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut
dengan LAV (Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika
menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic Virus Type III,
disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya, J.Levy
menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan Mei
1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab AIDS adalah
Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV. HIV adalah virus RNA yang
termasuk dalam famili Retroviridae subfamili Lentivirinae. Retrovirus mempunyai
kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka
infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup. HIV merupakan retrovirus yang terdiri
dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1
bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat.
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian
RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu
gag (group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).





EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS
Jumlah orang yang terinfeksi HIV terus meningkat pesat dan tersebar luas di
seluruh dunia. Di Indonesia sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun
1987 hingga bulan Januari 2001 telah dilaporkan 1226 kasus infeksi HIV, 461 kasus AIDS
secara kumulatif, dan 235 diantara pasien AIDS tersebut telah meninggal dunia. Di
Propinsi Jawa Timur sampai tanggal 22 November 1999 prevalensi (kumulatif) HIV-AIDS
sebanyak 77 kasus, terdiri dari 60 kasus pengidap HIV dan 17 pasien AIDS. Jumlah kasus
terbanyak ada di Kota Surabaya sebanyak 45,5% dan diperkirakan akan terus meningkat
sebesar 30% setiap tahunnya.
PROSES TRANSMISI HIV/AIDS
Virus HIV dapat diisolasikan dari cairan semen, sekresi serviks/vagina, limfosit,
sel-sel dalam plasma bebas, cairan serebrospinal, air mata, saliva, air seni dan air
susu,transfusi darah. Namun tidak berarti semua cairan tersebut dapat menjalarkan
infeksi karena konsentrasi virus dalam cairan-cairan tersebut sangat bervariasi. Sampai
saat ini hanya darah dan air mani/cairan semen dan sekresi serviks/vagina yang terbukti
sebagai sumber penularan serta ASI yang dapat menularkan HIV dari ibu ke bayinya.
Karena itu HIV dapat tersebar melalui hubungan seks baik homo maupun heteroseksual
namun potensi terbesar terjadi pada hubungan heteroseksual, penggunaan jarum yang
tercemar pada penyalahgunaan NAPZA, kecelakaan kerja pada sarana pelayanan
kesehatan misalnya tertusuk jarum atau alat tajam yang tercemar, transfusi darah,
donor organ, tindakan medis invasif, serta in utero, perinatal dan pemberian ASI dari ibu
ke anak. Tidak ada petunjuk/bukti bahwa HIV dapat menular melalui kontak sosial
misalkan berjabat tangan atau meluk langsung tubuh seseorang saat bertemu, alat
makan, toilet, kolam renang, udara ruangan, maupun oleh nyamuk/serangga.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa transmisi dari HIV sendiri ketika adanya
kontak seksual secara langsung yang beresiko besar pada pasangan heteroseksual
dibadingkan homoseksual, penggunaan benda-benda tajam logam termasuk jarum yang
digunakan secara kolektif, penularan secara tidak langsung misal ASI ibu ke bayi, kontak
dengan cairan dari tubuh termasuk darah dan air seni.


PENCEGAHAN INFEKSI HIV/AIDS
Saat ini hanya ditemukan obat-obatan antiretroviral yang dapat menghambat
kerja morbiditas dari virus HIV sendiri. Karena belum ditemukan obat yang efektif maka
pencegahan penularan menjadi sangat penting untuk diketahui oleh setiap
orang,terutama mengenai fakta penyebaran penyakit pada kelompok resiko rendah atau
tidak hanya kelompok resiko tinggi saja.
Beberapa kiat standar pencegahan sebagai berikut :
1. Tindakan seks aman dengan ABC yaitu Abstinent, Be faithful and Use
Condom.Abstinent adalah tidak melakukan hubungan seksual, Be faithful adalah
tidak berganti-ganti pasangan dalam menjalin hubungan seksual. Dan
menggunakan condom dalam berhubungan seks.
2. Pada sarana pelayanan kesehatan harus diterapkan universal precaution
tujuannya adalah mengurangi resiko infeksi yang ditularkan melalui darah yang
meliputi :
- cuci tangan dengan sabun dengan menggunakan air mengalir sebelum dan
sesudah melakukan tindakan keperawatan.
- penggunaan alat pelindung sesuai dengan setiap tindakan yang dilakukan.
- pengelolaan dan pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati.
- pengelolaan limbah yang tercemar darah/cairan tubuh dengan aman.
-pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi,
desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.
-pengelolaan linen tercemar dengan benar.
WHO mencanangkan empat strategi pencegahan penularan HIV terhadap bayi yaitu:
Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV (pencegahan primer).
Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak
diinginkan.
Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
Bila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi Odha
(Orang yang hidup dengan HIV)dan keluarganya.

Berdasarkan Sidang Kabinet Sesi Khusus HIV/AIDS Maret 2002 ditetapkan
kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai berikut:
Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk kerjasama
internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.
Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan dasar.
Pencegahan adalah fokus utama, diintegrasikan dengan perawatan,dukungan
dan pengobatan.
Memperkuat aspek manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, termasuk aspek
perlindungan kerahasiaan dan aspek pencegahan diskriminasi/stigmatisasi
penderita IMS dan HIV/AIDS.
Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan penyakit
lainnya antara lain tuberkulosis.
Sedangkan pokok-pokok kegiatan penanggulangan HIV/AIDS berupa:
Kegiatan pencegahan IMS dan HIV/AIDS
Komunikasi, informasi, edukasi
Surveilans/monitoring dan evaluasi
Dukungan pengobatan dan perawatan
Testing dan konseling
Pendidikan dan pelatihan
Penelitian dan pengembangan
Pelembagaan program
Peraturan dan Perundangan

STANDAR PENCEGAHAN TRANSMISI BAGI TENAGA KESEHATAN
Tujuan pengendalian risiko adalah mengikuti hirarki pengendalian dan memilih
cara yang paling efektif dalam urutan prioritas untuk ke-efektifannya dalam
meminimalisasi pajanan terhadap darah dan cairan tubuh. Hirarki tersebut adalah:

(a) Eliminasi: Upaya yang paling efektif adalah membuang secara sempurna potensi
bahaya dari tempat kerja. Eliminasi adalah cara yang disukai untuk mengendalikan
potensi bahaya dan harus dipilih bila mungkin. Contohnya mencakup membuang benda-
benda tajam dan jarum dan mengeliminasi semua suntikan yang tidak perlu dan
menggantinya dengan pengobatan oral dengan efek yang sama. Jet injector dapat
mengeliminasi beberapa penggunaan suntikan dan jarum. Contoh lain mencakup
eliminasi dari benda tajam yang tidak perlu seperti jepitan handuk, sistem intra-venous
(IV) tanpa jarum (non-needle connectors for supplemental atau piggyback connection
to intravenous lines).

(b) Substitusi: Dimana eliminasi tidak mungkin, pengusaha harus mengganti cara kerja
dengan cara lain yang menimbulkan risiko lebih kecil. Contohnya adalah mengganti
dengan bahan kimia yang lebih kurang beracun untuk disinfektan, seperti asam
parasetat bagi glutaraldehida.

(c) Pengendalian rekayasa: Pengendalian ini mengisolasi atau membuang potensi
bahaya dari tempat kerja. Dapat mencakup penggunaan mekanisme, metoda dan
peralatan yang tepat untuk mencegah pajanan pekerja. Upaya yang dikembangkan
untuk meminimalisir pajanan terhadap darah atau cairan tubuh harus
memperhitungkan:
(1) Wadah benda tajam, juga dikenal sebagai kotak pengaman;
(2) Peralatan tehnologi yang lebih baru seperti alat yang lebih aman dengan
pencegahan kecelakaan yang direkayasa
(3) Faktor-faktor ergonomi seperti perbaikan pencahayaan, pemeliharaan
tempat kerja dan tata ruang tempat kerja;
(4) Pengecekan regular dari instrumen dan peralatan yang digunakan dalam
tempat kerja, seperti otoklaf dan peralatan dan proses sterilisasi lain, dengan
reparasi atau mengganti dengan tepat.

(d) Pengendalian administratif: Ini adalah kebijakan tempat kerja yang bertujuan untuk
membatasi pajanan pada potensi bahaya, seperti perubahan skedul, rotasi, atau akses
ke daerah risiko. Kewaspadaan standar menuntut pekerja sektor kesehatan untuk
mengolah darah atau cairan tubuh semua orang sebagai sumber infeksi potensial, tidak
tergantung pada diagnosis atau dugaan risiko, adalah satu contoh pengendalian
administratif. Agar kewaspadaan standar bekerja secara efektif, konsep tidak tergantung
pada diagnosis harus dimengerti secara luas untuk memungkinkan pekerja melindungi
diri mereka sendiri dan pasien tanpa membuka pintu untuk diskriminasi atau stigma.

(e) Pengendalian cara kerja: pengendalian ini mengurangi pajanan terhadap potensi
bahaya pekerjaan melalui cara bagaimana pekerjaan dilakukan, melindungi kesehatan
dan meningkatkan kepercayaan diri pekerja sektor kesehatan dan pasien mereka.
Contoh mencakup tidak ada penutupan ulang jarum, menempatkan kemasan benda
tajam setinggi mata dan dalam jangkauan tangan, kosongkan kemasan benda tajam
sebelum dia penuh dan membangun cara untuk penanganan dan pembuangan yang
aman dari alat-alat tajam sebelum memulai suatu prosedur. Pengusaha harus
memastikan bahwa cara kerja aman dilaksanakan, dan cara kerja tidak aman
dimodifikasi setelah pengendalian risiko lainnya telah diterapkan.

(f) Alat Pelindung Diri (APD): Penggunaan APD adalah upaya pengendalian yang
menempatkan rintangan dan saringan antara pekerja dan potensi bahaya. Tentunya
harus terdapat :
(1) terdapat pasokan alat-alat pelindung diri yang cukup;
(2) peralatan dipelihara dengan benar;
(3) pekerja mempunyai akses terhadap alat-alat tersebut dengan gratis;
(4) pekerja dilatih dengan memadai dalam cara penggunaannya, dan tahu
bagaimana memeriksa APD untuk mencari kerusakan dan prosedur untuk
melaporkan dan menggantikannya;
(5) terdapat kebijakan penggunaan APD yang jelas dan pekerja sektor kesehatan
sangat waspada tentang itu;
(6) alat-alat berikut harus disediakan, bila sesuai:
Berbagai perban tidak berpori dan kedap air untuk pekerja sektor
kesehatan dengan kulit yang lecet atau terluka;
Berbagai sarung tangan dengan berbagai ukuran, steril dan non-steril,
termasuk lateks berat,28 vinil, kulit kedap air dan bahan-bahan tahan
tusukan lainnya; mereka harus dipakai bilamana pekerja sektor
kesehatan diduga akan kontak dengan darah atau cairan tubuh atau
menangani sesuatu yang terkontaminasi dengan darah atau cairan
tubuh;
Pelindung pernafasan yang tepat, termasuk masker untuk resusitasi
mulut ke mulut bi la kantong sistem (bagging system) tidak tersedia
atau tidak efektif;
Celemek plastik, gaun kedap air, pelindung mata, masker tahan cairan,
overal dan overboot bagi pekerja yang mungkin terpercik atau
tersemprot darah dalam pekerjaan mereka.

Cara kerja aman

Inti dari cara kerja aman untuk mengurangi risiko penularan HIV dan infeksi
melalui darah lainnya di tempat kerja adalah kewaspadaan standar, higene
perseorangan, dan program pengendalian infeksi. Sarana cuci tangan harus dilengkapi
dengan pasokan air yang cukup, sabun dan handuk sekali pakai. Dimana tidak mungkin
menggunakan air mengalir, cara alternatif untuk cuci tangan harus disediakan, seperti
alkohol 70% untuk pengoles tangan. Pekerja harus mencuci tangan mereka pada awal
dan akhir setiap shift, sebelum dan sesudah merawat pasien, sebelum dan sesudah
makan, minum, merokok dan pergi ke kamar kecil, dan sebelum dan sesudah keluar dari
daerah kerja mereka. Pekerja harus mencuci dan mengeringkan tangan mereka setelah
kontak dengan darah atau cairan tubuh dan segera. setelah membuka sarung tangan
mereka harus juga mengecek apakah ada sayatan atau lecet pada bagian tubuh yang
terpajan, dan gunakan perban kedap air untuk menutup setiap temuan. Pekerja harus
didorong untuk melaporkan setiap reaksi yang mereka dapat terhadap cuci tangan yang
sering dan bahan-bahan yang digunakan, untuk tindakan yang tepat oleh pengusaha.

Penanganan benda-benda tajam dan peralatan injeksi sekali pakai yang aman.

Harus ada prosedur untuk menangani dan membuang benda-benda tajam,
termasuk alat-alat suntik, dan memastikan bahwa pelatihan, pemantauan dan evaluasi
penerapannya dilaksanakan dengan baik. Prosedur tersebut harus mencakup:
(a) penempatan wadah tahan tusukan yang diberi tanda dengan jelas untuk
membuang benda-benda tajam ditempatkan sedekat mungkin ke daerah
dimana benda-benda tajam tersebut digunakan atau ditemukan;
(b) penempatan ulang yang teratur dari wadah benda-benda tajam sebelum
mereka mencapai garis isi dari manufaktur atau bila mereka sudah setengan
penuh; wadah harus ditutup sebelum dibuang;
(c) pembuangan dari benda tajam yang tidak bisa dipakai ulang dalam wadah
yang ditempatkan dengan aman, yang memenuhi peraturan nasional yang
relevan dan pedoman tehnis;
(d) hindari penutupan ulang dan manipulasi jarum dengan tangan lainnya, dan,
bila penutupan jarum diperlukan, gunakan tehnik sekop dengan satu tangan;
(e) tanggung jawab untuk pembuangan yang benar oleh orang yang
menggunakan benda-benda tajam;
(f) tanggung jawab untuk pembuangan yang tepat dan melaporkan setiap
kejadian oleh setiap orang yang menemukan benda tajam.
43
Pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi peralatan

Tergantung pada penggunaan, ada tiga tingkat pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi
peralatan:
(a) bila peralatan hanya digunakan untuk kontak dengan kulit yang utuh, hanya
diperlukan pembersihan;
(b) bila peralatan harus kontak dengan lapisan mukosa atau terkontaminasi dengan
darah, dia memerlukan pembersihan dan disinfeksi tingkat tinggi;
(c) bila peralatan kontak dengan jaringan normal yang tidak terinfeksi, dia
memerlukan pembersihan dan sterilisasi. Pembersihan harus selalu mendahului
disinfeksi dan sterilisasi. Pembersihan harus dilakukan dengan deterjen dan air yang
cukup, dan:
sarung tangan harus dipakai selama pembersihan;
alat-alat harus dicuci dan digosok untuk mengangkat semua kontaminasi
yang tampak, bila mungkin dengan cara-cara mekanik seperti mesin cuci
piring; harus hatihati selama pembersihan untuk menghindari percikan;
pelindung mata harus dipakai bila percikan mungkin terjadi. Penggunaan
yang tidak benar dari beberapa disinfektan potensial berbahaya, dan
instruksi pada label dan dalam lembar data keselamatan bahan harus diikuti.
Peralatan sterilisasi harus digunakan sesuai dengan instruksi dan setelah
memberikan pelatihan yang memadai.

Pembersihan tumpahan darah

Tumpahan darah harus dinilai dan ditangani segera. Waktu membersihkan ceceran
darah:
(a) sarung tangan yang sesuai harus dipakai;
(b) bahan penyerap seperti lap kertas, kain atau serbuk gergaji, harus digunakan
untuk menyerap darah atau cairan tubuh;
(c) semua bahan harus disimpan dalam kantong sampah yanganti bocor setelah
digunakan;
(d) daerah tersebut kemudian harus dibersihkan dandisinfeksi menggunakan
bahan disinfeksi yang sesuai;
(e) tumpahan besar dapat disiram dengan air oleh pekerjayang menggunakan
pakaian pelindung;
(f) pekerja harus didorong untuk melaporkan semua kejadian pajanan.

Penanganan dan pembuangan tubuh/jasad

Bila ada risiko kontak dengan darah dan cairan tubuh dalam menangani
tubuh/jasad untuk tujuan apapun, kewaspadaan standar harus digunakan. Sarung
tangan harus digunakan bersama pakaian pelindung lainnya bila perlu. Tempat pipa
aliran dan luka terbuka harus ditutup dengan penutup kedap air. Semua tubuh yang
akan dipindahkan untuk penyimpanan atau pemeriksaan post mortem atau kepada
suatu pembakaran harus diperiksa untuk memastikan tidak ada benda tajam tertinggal
didalamnya.
46
Binatu (Laundry)

Harus ada prosedur untuk mendistribusikan seprei/selimutbersih dan
mengumpulkan, menangani, menyimpan, mengangkut dan membersihkan
seprei/selimut yang telah dipakai. Semua seprei/selimut yang telah dipakai harus
diperlakukan sebagai potensial infeksius, dan ditempatkan dalam kantong standar untuk
seprei. Bila ada risiko kontaminasi akibat cairan tubuh, kantong untuk seprei harus
ditempatkan dalam kantong plastik yang tahan bocor. Kantong untuk seprei/selimut
harus diisi hanya tiga perempatnya dan harus diamankan sebelum diangkut, sarung
tangan kulit atau bahan tahan tusukan lainnya harus dipakai karena benda-benda tajam
mungkin tertinggal dalam seprei/selimut. Wadah untk benda tajam harus tersedia untuk
membuang benda tajam yang ditemukan bila mensortir seprei/selimut yang telah
dipakai bila benda tajam ditemukan atau timbul pajanan, harus dilaporkan dan dicatat.



TAHAPAN TERJADINYA INFEKSI HIV/AIDS
Perjalanan klinis pasien yang mengidap HIV hingga menuju ke AIDS sejalan
dengan menurunnya sistem imun tubuh pasien terutama pada sistem imun selulernya.
Penurunan imunitas biasanya diikuti dengan adanya peningkatan resiko dan derajat
keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan (Depkes RI, 2003). Dari semua
orang yang mengidap HIV sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama,
50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan
gejala AIDS setelah tiga belas tahun.
Sebagian pasien yang hidup dengan terinfeksi HIV sebagian memperlihatkan
gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening ruam, diare atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi (sudoyo, 2006) kondisi ini
dikenal dengan infeksi primer.

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk
ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi
respon imun berupa peningkatan aktivasi imun yaitu pada tingkat seluler, serum
atau humoral dan antibodi upregulation. Induksi sel T helper dan sel-sel lain
diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap
berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T sehingga T helper tidak
akan memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak
adanya T helper sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sistotoksik, sel NK,
monosit dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga daya tahan tubuh
menurun dan pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut (Hoffman, Rockstroh,
Kamps 2006).
Setelah infeksi akut dimulailah infeksi HIV asimtomatik tanpa gejala. Masa gejala
ini bisa berlangsung hingga 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang
perjalanan penyakitnya sangat cepat hanya sekitar 2 tahun.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA akan mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik yaitu penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes, dan lainnya (Sudoyo 2006). Pada fase ini disebut dengan
imunodefisisensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya
faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada
proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin sehingga
sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun
yang ditandai dengan penurunan kadar CD4
+
, cytokin, antibodi down regulation,
TNF dan antinef (Hoffman, Rockstroh, Kamps 2006).
Pembagian stadium
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti dengan terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari
negatif menjadi positif.
b. Stadium kedua (asimptomatik)
Berarti bahwa dalam tubuh terdapat HIV tatapi tubuh tidak menunjukkan
gejala
c. Stadium ketiga
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata tidak hanya muncul
disatu tempat dan berlangsung lebih dari satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS
Keadaan ini disertai dengan timbulnya berbagai macam penyakit antara lain
penyakit konstitusional, penyakit saraf dan infeksi sekunder.

MANIFESTASI KLINIS HIV/AIDS
Tidak setiap penderita dengan infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS.
Diperkirakan hanya 10-30% yang terinfeksi HIV akan menderita AIDS. Infeksi HIV pada
manusia mempunyai masa inkubasi yang lama (5-10 tahun) dan menyebabkan gejala
penyakit yang bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang berat
sehingga menyebabkan kematian. Gejala AIDS yang umum adalah rasa lelah
berkelanjutan, pembengkakan kelenjar getah bening (Lymphadenotpathy) tidak ada
nafsu makan berat badan tubuh lebih 10% perbulan, demam lebih 38C keringat malam
yang berlebihan, diare kronis sampai terjadi infeksi oportunistik.
Sebagai manifestasi klinik utama dari AIDS adalah tumor dan infeksi
oportumistik.

1. T u m o r.
Jenis tumor yang sering menyerang penderita AIDS adalah :
1.1. Sarkoma Kaposi
Sejenis kanker kulit yang biasanya mengenai orang tua (usia> 60 tahun)tetapi
pada penderjta AIDS dijumpai pada orag muda (usia < 60 tahun). Kelainan ini agak
spesifik untuk penderita AIDS.
1.2. Lymtoma Ganas.
Tersering sesudah sarkoma kaposi menyerang (usia < 60)tahun dan mengenai susuman
syaraf -pusat. sumsum tulang dan rectum.
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab
mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi
(KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang
terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981
adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari
subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti
limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse
large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering
muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan
kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS.
Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes
Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga
dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah
(rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti
kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada
pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan
dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi
penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

2. Infeksi Oportunistik.
Infeksi oportunistik melibatkan hampir semua sistem dalam tubuh dan gejala yang
ditimbulkan tergantung dari kuman penyakit yang menyerang. Pasien AIDS biasanya
menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan
kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-
intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan
radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi
yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah
infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis)
pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara

3. Manifestasi Pada Paru - Paru (Respirasi)
3.1.1. Pneumonia Pneumocytis Carini (PCP)
Pada umumnya infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP
dengan geiala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
3.1.2. Cvtomegolo Virus (CMV).
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai kemensal pads paru tetapi dapat
menyebabkan penyakit pnemocystis. (merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS)
3.1.3. Mycobacterium Avium.
Menimbulkan pneumoni difus timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mvcobacterium Tuberculosis.
Biasanya timbul lebih dini penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ
lain diuar paru.
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit
ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit
ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites,
walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari
200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi,
dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan.
Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial
pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang
karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling
banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC
muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul
sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan
tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang
sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.
[12]
Dengan demikian, gejala yang
muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.

4. Manifestasi pada Gastrointestinal.
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari
mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi
jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun
dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti
Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi
oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab
kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV
itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang
digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada
stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan
cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen
penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.

5. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukan manifestasi Neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensifalitis.
meningitis, demensia, milopati dan neuropati perifer.
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan
pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas
sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu
sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang
disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan
radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi
meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur
Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual,
dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu
penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel
syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus
JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan
menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang
terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar
(multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah
diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental
(demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati
metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya
pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV,
sehingga mengeluarkan neurotoksin.

Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam
bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun
setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T
CD4
+
dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi)
di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,

namun di India hanya terjadi pada 1-2%
pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe
HIV di India.

6. Manifestasi System Integument (Jaringan kulit)
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada
jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities),
kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.

7. Manifestasi Pada Saluran Kemih Dan Reproduksi Pada Wanita
Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai
tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis
dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit
cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan
rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah pelvic inflammatory disease (PID) dan
mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal)

8. Penurunan Drastis Berat Badan
Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan
berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein
dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena
gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan
diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HIV/AIDS
Pemeriksaan Diagnostik dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pemeriksaan Laboratorium
Serologis : Tes Antibody Serum, Tes Western Blot, Sel T Limfosit, Sel T4
Helper, T8 (sel supresor sitopatik), P24, Kadar Ig, Reaksi Rantai Poliferasi dan Tes
PHS
Neurologis : EEG, MRI, CT Scan Otak, EMG (pemeriksaan saraf)
Tes Lainnya : Sinar X Dada, Tes Fungsi Pulmonal, Scan Gallium, Biopsi
Tes Antibody
Tes Antibody Serum : ELISA, Western Blot Assay, Indirect
Immunoflourensense, RIPA
Pelacakan HIV
Pelacakan HIV : Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan
responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemeriksaan p24 antigen
capture assay sangat spesifik untuk HIV=1. Tetapi kadar p24 pada penderita
infeksi HIV sangat rendah, pasien dengan dengan p24 mempunyai kemungkinan
lebih lanjut menjadi AIDS.
Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek
anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur
plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur
beban virus (viral burden). AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu
sistem kekebalan alamiahmelawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan
runtuhnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita dengan
mudah terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun. Jadi, bukan AIDS
yang menyebabkan kematian pada penderita, melainkan infeksi dan kanker
yang dideritanya.
Pemeriksaan untuk diagnosa infeksi HIV :
1. ELISA
2. Western Blot
3. P24 antigen test
4. Kultur HIV
Pemeriksaan untuk deteksi gangguan sistem immun:
1. Hematokrit
2. LED
3. CD4 limfosit rasio/CD Limfosit
4. Serum mikroglobulin B2
5. Hemoglobulin

PENATALAKSANAAN HIV/AIDS
Penatalaksanaan HIV -AIDS pada dasarnya meliputi aspek Medis Klinis, Psikologis dan
Aspek Sosial.
1. Aspek Medis meliputi :
a. Pengobatan Suportif.
Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan dari awal sehingga tidak terjadi
hal hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau terjadi kekurangan nutrisi
yang dapat menyebabkan perburukan keadaan penderita dengan cepat.
Penyajian makanan hendaknya bervariatif sehingga penderita dapat tetap
berselera makan. Bila nafsu makan penderita sangat menurun dapat
dipertimbangkan pemakaian obat Anabolik Steroid. Proses Penyedian makanan
sangat perlu diperhatikan agar pada saat proses tidak terjadi penularan yang
fatal tanpa kita sadari. Seperti misalnya pemakaian alat-alat memasak, pisau
untuk memotong daging tidak boleh digunakan untuk mengupas buah, hal ini di
maksudkan untuk mencegah terjadinya penularan Toksoplasma, begitu juga
sebaliknya untuk mencegah penularan jamur.
b. Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik.
Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita
infeksi HIV dan AIDS.
1) Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali. Dosis INH 300
mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun.
2) Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging
yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari.
3) CMV
Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan
kebutaam. Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang
dapat menyebabkan luka pada usus. Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram
tiga kali sehari.
4) Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur
Kandida. Obat : Nistatin 500.000 u per hari Flukonazol 100 mg per hari.
c. Pengobatan Antiretroviral (ARV)
1) Jangan gunakan obat tunggal atau 2 obat
2) Selalu gunakan minimal kombinasi 3 ARV disebut HAART ( Highly
Active Anti Retroviral therapy )
3) Kombinasi ARV lini pertama pasien nave (belum pernah pakai ARV
sebelumnya) yang dianjurkan : 2NRTI + 1 NNRTI.
4) Di Indonesia :
a) Lini pertama : AZT + 3TC + EFV atau NVP
b) Alternatif : d4T + 3TC + EFV atau NVP AZT atau d4T + 3TC + 1PI
(LPV/r)
5) Terapi seumur hidup, mutlak perlu kepatuhan karena resiko cepat
terjadi resisten bila sering lupa minum obat.

2. Aspek Psikologis, meliputi :
a. Perawatan personal dan dihargai
b. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
d. Tindak lanjut medis
e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
3. Aspek Sosial.
Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari
lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal :
a. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah.
Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas
hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial
yang paling penting. House membedakan empat jenis dimensi dukungan social :
a. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan
HIV AIDS yang bersangkutan
b. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain
c. Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada
penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
d. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang.
Sistem imunitas manurun secara progresif sehingga muncul infeksi-infeksi oportunistik
yang dapat muncul secara bersamaan pula dan berakhir pada kematian. Sementara itu
hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan
HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok, dengan tujuan sebagai berikut :
- Pengobatan suportif
Yaitu pengobatan untuk mengingkat keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomik, vitamin, dan
dukunganpsikososial agar penderitan dapat melakukan aktivitas seperti semula /
seoptimal mungkin. Pengobatan infeksi oportunistik dilakukan secara empiris.
- Pengobatan infeksi oportunistik
Yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan
dilakukan secara empiris.
- Pengobatan antiretroviral ( ARV )
Saat ini telat ditemukan beberapa obat antiretroviral ( ARV ) yang dapat
menghambat perkembangbiakan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau menghambat kerja enzim protease. Pengobatan ARV
terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi
oportunistik menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga
menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan atau membunuh virus HIV. Kendala dalam pemberian ARV
antara lain kesukaran Orang untuk minum obat secara teratur, adanya efek
samping obat, harga yang relative mahal dan timbulnya resistensi HIV terhadap
obat ARV.
Karena belum ditemukan obat yang efektif maka pencegahan penularan
menjadi sangat penting, dalam hal ini pendidikan kesehatan dan peningkatan
pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya
menjadi sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang, terutama mengenai
fakta penyebaran penyakit pada kelompok resiko rendah ( bukan hanya pada
kelompok beresiko tinggi ) dan perilaku yang dapat membantu mencegah
penyebaran HIV.
Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum
suntik yang tercemar, transfuse darah, penularan dari ibu ke anak maupun
donor darah atau donor organ tubuh. Dengan demikian infeksi HIV dapat
disebarkan melalui hubungan seksual antara sesame laki-laki, dari laki-laki ke
perempuan maupun sebaliknya. Pencegahan dilakukan dengan tindakan yang
aman dengan pendekatan ABC yaitu Abstinent, Be faithful or use Condom.
Tidak melakukan aktivitas seksual (abstinent) merupakan metode paling
aman yang mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Jika tidak
memungkinkan pilihan kedua adalah tidak berganti-ganti pasangan (be faithful).
Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga maka pilihan berikutnya
adalah penggunaan kondom (use condom).
Tidak melakukan aktivitas seksual (abstinent) merupakan metode paling
aman untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Jika tidak
memungkinkan pilihan kedua adalah tidak berganti-ganti pasangan (be faithful).
Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga maka pilihan berikutnya
adalah penggunaan kondom (use condom).
Saat ini masih ada pendapat yang berbeda di kalangan para pakar
terhadap kemungkinan perluasan epidemi HIV dari kelompok IDU ke masyarakat
luas ( general population ). Akan tetapi semua pakar sependapat bahwa epidemi
HIV pasti akan meluas ke pasangan seksual para IDU dan kemudian ke bayi-bayi
yang akan dikandungnya. Untuk mencegah perluasan dampak buruk narkotika (
ham reduction ) ditempuh beberapa strategi yaitu : membantu penyalahguna
NAPZA untuk berhenti menggunakan NAPZA ( abstinent ), ini merupakan
strategi dan tujuan utuma, mengusahakan bahan / obat pengganti yang tidak
melalui suntikan ( drug substitution ), mengusahakan agar selalu memakai jarum
suntik yang steril dan upaya-upaya agar IDU memakai jarum suntik secara
independen ( tidak bersama-sama dengan IDU lain ).
Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan
kewaspadaan universal ( universal precaution ) untuk mengurangi resiko infeksi
yang ditularkan melalui darah. Kewaspadaan universal meliputi :
1. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah
melakukan tindakan / perawatan.
2. Penggunaan alat pelindung yang sesuai untuksetiap tindakan.
3. Pengelolaan dan pembuangan alat tajam dengan hati-hati.
4. Pengelolaan limbah yang tercemar darah / cairan tubuh dengan
aman.
5. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan
dekontainasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar.
6. Pengelolaan linen tercemar dengan benar.
Pencegahan penyebaran melalui darah, produk darah dan donor darah
dilakukan dengan skinning adanya antibody HIV, demikian pula semua organ
yang akan didonorkan. Di samping itu harus dihindari transfuse, suntikan,
jahitan dan tindakan invasive lain yang tidak perlu.
Penyebaran HIV secara vertical dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak
dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. WHO
mencanangkan empat strategi pencegahan penularan HIV terhadap bayi
yaitu :
o Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV (
pencegahan primer ).
o Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang
tidak diinginkan.
o Bagi sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
o Bila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan
perawatan.
Berdasarkan Sidang Kabinet Sesi Khusus HIV/AIDS Maret 2002
ditetapkan kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai
berikut :
o Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sector termasuk
kerjasama internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat
dalam penanggulangan Infeksi Menular Seksual ( IMS ) dan
HIV/AIDS.
o Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan
kesehatan dasar.
o Pencegahan adalah focus utama, diintegrasikan dengan perawatan,
dukungan dan pengobatan.
o Memperkuat aspek manajemen dan aspek hokum dan
perundangan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS
dan HIV / AIDS, termasuk aspek perlindungan kerahasiaan dan
aspek pencegahan diskriminasi / stigmatisasi penderita IMS dan HIV
/ AIDS.
o Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV / AIDS
dengan penyakit lainnya antara lain tuberkulosis.
Sedangkan pokok-pokok kegiatan penanggulangan HIV / AIDS berupa :
- Kegiatan pencegahan IMS dan HIV / AIDS
- Komunikasi, informasi, edukasi
- Surveilans / monitoring dan evaluasi
- Dukungan pengobatan dan perawatan
- Testing dan konseling
- Pendidikan dan pelatihan
- Penelitian dan pengembangan
- Pelembagaan program
- Peraturan dan Perundangan
- Kerjasama internasional
Tahun 2006 berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006
telah dibentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif,
menyeluruh, terpadu dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas :
a. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis serta pedoman umum
pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS
b. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam
pelaksanaan kegiatan
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan,
pelayanan, pemantauan, pengendalian dan penanggulangan AIDS
d. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai
media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak
menimbulkan keresahan masyarakat
e. Melakukan kerja sama regional dan internasional dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan AIDS
f. Mengkoordinasikan pengolaan data dan informasi yang terkait dengan
masalah AIDS
g. Mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan AIDS
h. Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan AIDS



RESISTENSI OBAT TERHADAP HIV/AIDS
Dideoksisitidin digunakan untuk mengobati ensefalopati yang berhubungan
dengan AIDS . Karena virus HIV dapat mengadakan mutasi dengan cepat, maka
resistensi obat akan terjadi.
Resistensi obat ARV terjdi saat pengaktifan dan replikasi virus. Ada beberapa
golongan obat yang tergabung antiretrovirus (ARV) yaitu NRTI, NNRTI dan PI.
Inhibitor reverse transcriptase nucleoside (NRTI) berfungsi untuk menghambat
enzim DNA polymerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase) dan
menghentikan pertumbuhan untai DNA. Contoh obat NRTI ( zidovudin ,
didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudine, dan abakavir).
Inhibitor reverse transcriptase nonnukleosida ( NNRTI). NNRTI berfungsi
menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam
proses replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah HIV dalam darah (viral
load) dn meningkatkan limfosit CD4+. Contoh jenis NNRTI (nevirapin, delaviridin,
dan efavirenz).
Inhibitor protase (PI) berfugsi menghambat aktivitas protease HIV dan
mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial ntuk pematangan HIV.
Maka yang tebentuk bukanlah HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak
menular. Contoh obat PI (indinavir, ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir,
dan lopinavir).
Kelima belas obat antiretrovirus ini diberikan dalam dua sampai tiga kombinasi
berbeda sesuai temuan riset dan petunjuk spesifik yang dikembangkan oleh The Panel
On Clinical Practice And Treatment Of HIV Infection yang dibuat oleh US Department Of
Health and Human Service (DHHS) dan Kaiser Family Foudation (CDC, 1998b). Pemberian
dua sampai tiga antiretrovirus disebut terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART).
Data mengenai efektivitas dan daya tahan HAART mengungkapkan bahwa pada banyak
pasien yang terinfeksi oleh HIV efektivitas cara ini terbatas karena resistensi obat dan
kurangnya kepatuhan akibat regimen yang rumit. Varian-varian virus resistensi obat
akan muncul apabila terapi antiretrovirtus tidak secara maksimal menekan replikasi
karena replikasi HIV pada semua stadium infeksi berlangsung sangat cepat dan besar-
besaran (Perelson et al.,1996).kurangnya kepatuhan terhadap HAART sering merupakan
penyebab kegagalan pengobatan karena banyaknya obat yang harus dikonsumsi ( 8
sampai 9 per hari) dengan waktu khusus dan restriksi makanan serta keadaan misalnya
kecanduan obat dan tidak memiliki rumah.
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan pemulihan tau pemeliharaan
(atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan
morbiditas dan mortalitas HIV.

MANAJEMEN MEDIS HIV/AIDS
Pelayanan yang berkaitan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga
dan badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi individu-induvidu
yang membutuhkan bantuan itu. Dan bertujuan untuk tersedianya akses pelayanan dan
koordinasi yang mencakup bantuan berbasis masyarakat, dan memungkinkan orang-
orang yang mempunyai masalah untuk menjalani kehidupan secara normal dalam
lingkungan alamiah. Untuk menyadari bahwa hidup dengan HIV merupakan tantangan
biopsikososial dan spiritual, krisis dapat terjadi dalam seluruh spectrum masa penyakit
dan kemungkinan kebutuhan orang yang menderita HIV akan berubah.
Pelayanan kesehatan professional adalah yang mampu bekerja dan peduli pada
program penanggulangan HIV / AIDS, mampu menjaga kerahasiaan Odha, mampu
bekerja erat dengan tim perawatan kesehatan, mampu memfasilitasi Odha pada akses
perawatan dan dukungan, dan mencakup upaya pengurangan resiko pendidikan HIV
dalam intervensi. Menghindari Penyakit HIV Aids Ganas - Cara Untuk Menghindari HIV
AIDS merupakan hal yang paling bijak & efektif dilakukan oleh kita, sebab mengobatinya
akan lebih lama dan sulit, di Indonesia kasus HIV AIDS merupakan momok yang
menakutkan karena penyakit ini bersifat menular. Mencegah penyakit ini misalnya tidak
melakukan tukar pasangan secara bebas atau menggunakan jarum suntik secara
bergantian. Sementara itu, angka penderita HIV AIDS di Indonesia terus meningkat. Bila
terinfeksi oleh HIV akan kehilangan Limfosit T penolong melalui 3 tahapan :
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD 4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah.
Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun
sebanyak 40 - 50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD 4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang
tinggi dan kadar limfosit CD 4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang - orang yang sanagt beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1 - 2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD 4+ biasanya menurun
drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah.
Banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV : Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor ( AZT (zidovudin), ddI (didanosin), ddC (zalsitabin), d4T
(stavudin), 3TC (lamivudin), Abakavir ), Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (
Nevirapin, Delavirdin, Efavirenz ), Protease inhibitor ( Saquinavir, Ritonavir, Indinavir,
Nelfinavir ), Obat tersebut ntuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat
progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat tersebut
bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat
/ lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif
dan memperpanjang harapan hidup.
Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan terutama pada pendidikan
masyarakat mengenai cara penularan HIV, dengan tujuan merubah kebiasaan orang -
orang yang beresiko tinggi untuk tertular. Pencegahannya adalah :
1. Untuk orang sehat, Abstinens, Seks aman ( terlindung ).
2. Untuk penderita HIV positif, Abstinens, Seks aman, Tidak mendonorkan darah
atau organ, Mencegah kehamilan, Memberitahu mitra seksualnya sebelum dan
sesudah diketahui terinfeksi.
3. Untuk penyalahguna obat - obatan, Menghentikan penggunaan suntikan bekas
atau bersama - sama, Mengikuti program rehabilitasi.
4. Untuk profesional kesehatan, Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap
kontak dengan cairan tubuh, Menggunakan jarum sekali pakai.

TERAPI KOMPLEMENTER/ALTERNATIF PADA PASIEN HIV/AIDS
A. Pengertian terapi komplementer dan alternatif :
Terapi komplementer dan alternatif adalah terapi dalam ruang lingkup luas meliputi
system kesehatan, modalitas, dan praktek-praktek yang berhubungan dengan teori-teori
dan kepercayaan pada suatu daerah dan pada waktu/periode tertentu. Terapi
komplementer adalah terapi yang digunakan secara bersama-sama dengan terapi lain
dan bukan untuk menggantikan terapi medis. Terapi komplementer dapat digunakan
sebagai single therapy ketika digunakan untuk meningkatkan kesehatan (Sparber, 2005)
Pengobatan komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan
berasal dari negara yang bersangkutan, sehingga untuk Indonesia jamu misalnya, bukan
termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman
dahulu digunakan dan diturunkan secara turun temurun pada suatu negara.
Para pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan pemenuhan nutrisi
dan ketenangan spiritual bisa memperpanjang harapan hidup mereka. Terapi alternatif
komplementer, seperti; akupunktur, akupressur, meditasi, dan mengomsumsi tanaman
obat dapat menambah daya tahan tubuh dan pertumbuhan sel-sel imun. Ketenangan
spiritual dan nutrisi peningkat daya tahan membuat virus lebih jinak dan memperlambat
perkembangannya dalam tubuh manusia, sehingga memberi kesempatan CD4 yaitu sel
pembentuk daya tahan tubuh untuk berkembang dan memperbanyak diri (Putu Oka
Sukanta, 2007)
Akupunktur dan akupressur diberikan untuk memperkuat organ-organ vital,
seperti; paru-paru, ginjal, lambung, dan limpa, pada masa awal infeksi HIV. Sebelum
daya tahan tubuh dan sel- sel CD4 turun karena infeksi HIV. Untuk penderita HIV,
keempat organ vital tersebut harus dijaga daya tahannya karena memiliki fungsi
penting, seperti paru-paru yang berfungsi mengikat oksigen, lambung untuk mengolah
makanan yang masuk, dan limpa yang berguna untuk menyerap sari-sari makanan.
Dengan akupressur, titik-titik tubuh yang berhubungan dengan organ vital tersebut
dipijat untuk menguatkan fungsi organ.

B. Terapi komplementer dalam keperawatan
Perawat secara holistik harus bisa mengintegrasikan prinsip mind-body-spirit
dan modalitas (cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan sehari-
hari dan praktek keperawatannya. Terapi komplementer menjadi salah satu cara bagi
perawat untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik dengan menggunakan diri
sendiri sebagai alat atau media penyembuh dalam rangka menolong orang lain dari
masalah kesehatan. Terapi komplementer digunakan bersama-sama dengan terapi
medis conventional.
Terapi komplementer di klasifikasikan menjadi beberapa macam antara lain,
Mind-BodyTherapy, terapi dengan basis biologis, terapi dengan dasar memanipulasi
tubuh (badan), terapi berbasis energi, terapi spiritual dan terapi berbasis nutrisi.
Hypnotherapy dan akupuntur menjadi jenis yang bisa digunakan kepada pasien oleh
perawat dalam usaha melakukan intervensi mandiri. Hyonotherapy bisa digunakan
untuk mengarahkan pasien dengan memanfaatkan keadaan hipnotik untuk mengenal
dan menyentuh potensi dan sumber dari pikiran bawah sadar sehingga terjadi
perubahan teurapeutik. Dalam kondisi tersebut kita bisa memberi sugesti kepada
pasien. Dan akupuntur merupakan keterapian fisik melalui upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif dengan cara perangsangan daerah permukaan tubuh tertentu
(titik akupuntur). Pada masa perawatan, akupuntur dapat membantu dalam
menanggulangi dan mengatasi rasa nyeri.
Pada pasien HIV, perawat dapat menerapkan terapi komplementer berupa ;
masase, terapi musik, diet, teknik relaksasi, vitamin dan produk herbal. Bagi perawat
yang tertarik mendalami terapi komplementer dapat memulai dengan tindakan
tindakan keperawatan atau terapi modalitas yang berada pada bidang keperawatan
yang dikuasai secara mahir berdasarkan perkembangan teknologi terbaru. Hal ini
berlaku tidak hanya bagi pasien baru, tapi untuk semua pasien. Penggunaan terapi
komplementer / alternatif menjadi lebih kompleks terhadap tingkat pemahaman
pribadi. Dalam masing-masing terapi komplementer, komunikasi penyembuhan sering
terjadi antara perawat dan pasien. Ini adalah aliran bebas dari yang verbal dan
nonverbal yaitu sebagai pertukaran antara dua atau lebih orang. Terapi komplementer
adalah salah satu model terapi yang digunakan perawat dalam melakukan perawatan
kepada pasien. Untuk perawat di seluruh dunia yang menggunakan terapi
komplementer kepada pasien dapat memberikan layanan yang berkualitas holistik.
Pelengkap & Alternatif Terapi di keperawatan dapat menggambarkan bagaimana
perawat dapat membantu pasien dalam penyembuhannya. perawat mengakui bahwa
penggunaan terapi komplementer dapat menyebabkan pemahaman pribadi dan makna
yang lebih komplek. Dalam masing-masing terapi komplementer, komunikasi
penyembuhan sering terjadi antara perawat dan pasien. Ini adalah aliran bebas dari
verbal dan nonverbal pertukaran antara dua atau lebih orang.

Anda mungkin juga menyukai