Anda di halaman 1dari 17

1

Menanamkan Nilai-Nilai Antikorupsi dalam Pembelajaran Inovatif


berdasarkan Kurikulum 2013
Oleh: Zulfikri Anas,
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemdikbud

A. Pengantar: Munculnya Perilaku Koruptif

Manusia dibekali dua kekuatan yang sama besar, yaitu kekuatan positif dan negatif.
Dua kekuatan yang sama besar inilah yang mengakibatkan peluang setiap manusia
untuk menjadi orang baik dan orang tidak baik sama besarnya, bergantung
bagaimana tingkat kematangan dirinya dalam menetukan pilihan perilaku.
Kematangan diri sangat bergantung pada pengalaman yang dilalui sejak kecil.
Menjadi anak baik atau tidak baik bisa terjadi di setiap saat, kapanpun, di manapun,
dan siapapun. Di rumah, di sekolah, di jalan, di pasar atau bahkan di rumah ibadah
sekalipun, manusia bisa saja tergelincir atau tergoda untuk berbuat jahat.

Untuk itu, pola pengasuhan dan pendidikan menjadi unsur terpenting dalam
membangun kepribadian dan peradaban manusia.Kebiasaan-kebiasaan baik dan
iklim pembelajaran sangat berkontribusi dalam pembentukkan kepribadian.
Kebiasaan berbuat curang, manipulasi, menyontek, suka terlambat, menunda-
nunda pekerjaan, cara-cara instan, kong-kalingkong, pemberian upeti atau hadiah
yang berhubungan dengan kedudukan seseorang adalah contoh-contoh perilaku-
perilaku yang lumrah kita temui dalam kehisupan sehari-hari termasuk di
sekolah.Perilaku ini santa berkontribusi dalam pembentukan kepribadian setelah
dewasa.

Peluang perilaku koruptif di dunia pendidikan dapat terjadi di semua aspek, seperti
manajemen sekolah, pembelajaran, dan iklim atau suasana pembelajaran di
sekolah. Dari segi manajemen, perilaku koruptif dapat tejadi sejak awal penerimaan
murid, pengelolaan keuangan, penempatan sumber daya. Dalam pembelajaran
perilaku koruptif dapat terjadi pada saat belajar, kebiasaan menyontek, berbuat
curang dan cara-cara intan. Suasana pembelajaran di sekolah yang memungkinkan
munculnya perilaku koruptif antara lain terjadinya inkonsistensi dalam penerapan
disiplin, misalnya pada saat siswa terlambat mereka dapat sanksi, namun ketika
guru terlambat tidak diberikan sanksi.

Dalam konteks inilah pendidikan antikorupsi sangat diperlukan diterapkan sejak dini
kepada peserta didik. Pendidikan antikorupsi tidak selamanya beruhubungan
dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi adalah salah satu bentuk

2

perwujudan perilaku koruptif yang sudah menjadi kebiasaan, perilaku koruptif
dimaksud adalah perilaku-perilaku yang disebutkan di atas. Melatih anak agar tidak
melakukan tindakan koruptif sejak dini merupakan upaya antisipatif yang akan
menyelamatkan kehidupan mereka di kemudian hari. Hal ini juga bermakna akan
menyelamatkan kehidupan bangsa di masa depan. Salah satu upaya adalah
dengan menumbuhkan kreatifitas, percaya diri, dan semangat unruk selalu
produktif, bertanggung jawab sehingga tidak terpancing untuk melakukan tindakan
curang dan instant. Di sinilah diperlukan model-model pembelajaran inovatif yang
dapat menimbulkan kesadaran akan kebaikan.

B. Semangat Antikorupsi dalam Kurikulum 2013

Semangat pendididkan Antikorupsi dalam Kurikulum 2013 terlihat dari upaya untuk
mengurangi verbalisme dan artifisial dalam proses pembelajaran. Mengurangi
verbalisme akan menghapus segala bentuk kepura-puraan dan kepalsuan. Selama
ini dunia pendidikan lebih mengutamakan hal-halyang bersifat verbal dan artifisial
dengan menggunakan atribut-atribut normatif, misalnya yang penting siswa sudah
mengikuti kegiatan ibadah, tidak bolos sekolah, dan menampilkan perilaku baik
walaupun perilaku baik itu muncul karena keterpaksaan atau kepura-puraan. Di
samping itu, dalam proses pembelajaran pada umumnya hanya mengutamakan
pelaksanaan secara adminstratif, semua berjalan secara mekanis dan hampa dari
nilai-nilai da kesejatian. Di dalam kelas siswa juga lebih banyak diberi tahu atau
diceramahi.

Kurikulum 2013 ini lebih mendorong siswa untuk tidak verbal, perubahan perilaku
lebih diutamakan. Para siswa harus lebih banyak dirangsang, dikondisikan, dan
ditantang untuk lebih banyak mencari tahu sebagai perwujudan rasa ingin tahu
yang ada dalam diri siswa yang bersangkutan. Pola pembelajaran seperti ini
berimplikasi terhadap sistem penilaian yang selama ini lebih mengutamakan
penilaian akhir atau output semata. Dalam kurikulum 2013, penilaian menggunakan
penilaian otentik yang mengutamakan keaslian melalui deskripsi yang menyeluruh
untuk menggambarkan perkembangan kemampuan peserta didik. Penilaian
merupakan akumulasi dari proses belajar, bukan hasil rata-rata dari tes yang
dilakukan pada akhir setiap kompetensi dasar. Dengan demikian perangkat
penilaian harus menggunakan berbagai strategi yang selama ini sudah dikenal oleh
guru , yaitu penilaian yang berbasis porto folio dengan menkankan pada kinerja,
produktifitas, dan pengamalan nilai-nilai religius melalui setiap mata pelajaran.




3

C. Muatan Nilai-Nilai Antikorupsi dalam Kurikulum 2013

1. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kriteria mengenai kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kriteria
ini merupakan capaian minimal yang harus dilunasi oleh satuan pendidikan setelah
peserta didik menamatkan jenjang pendidikan tertentu. Capain inti merupakan
target akumulatif yang dipenuhi selama 6 tahun di SD/MI atau sederajat, 3 tahun di
SMP/MTs atau sederajat, dan 3 tahun di SMA/MA/MAK atau sederajat.

Kompetensi Lulusan

SKL
SMP/MTS/SMPLB/PAKET B
SKL
SMA/MA/SMAL/PAKETC
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya
diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya
diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia.
Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, dan
prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan budaya dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait
fenomena dan kejadian yang tampak mata
Memiliki pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural, dan metakognitif dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
serta dampak fenomena dan kejadian.
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif
dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret
sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan
sumber lain sejenis.

Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif
dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret
sebagai pengembangan dari yang dipelajari di
sekolah secara mandiri.


Rumusan kompetensi lulusan ini menunjukkan bahwa pembentukan kepribadian
agar menjadi manusia yang KAFFAH dan berakhlak mulia menjadi prioritas
pelaksanaan pendidikan. Jika pencapaian SKL ini dilakukan secara konsisten, maka
pendidikan antikorupsi secara otomatis akan terimplementasi dengan baik.

D. Kompetensi Inti (KI)

Kompetensi Inti (KI) dirancang seiring dengan peningkatnya usia peserta didik pada
kelas tertentu. Melalui kompetensi inti, integrasi vertikal. berbagai kompetensi

4

dasar pada kelas yang berbeda dapat dijaga. Kompetensi Inti (KI) berisi tentang
kebiasaan berpikir dan bertindak yang merupakan perwujudan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang dipelajari. Kurikulum 2013 menitikberatkan struktur capaian
pada sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara utuh. Artinya, hasil capaian
proses belajar diukur dari kesinambungan dan konsistensi antara apa yang
diketahui dengan apa yang dilakukan dan apa yang diamalkan. Kompetensi Inti (KI-
1) merupakan cakupan nilai-nilai ketuhanan (Religius), Kompetensi Inti (KI-2)
mencakup nilai-nilai sosial-kemanusiaan, Kompetensi Inti (KI-3) mencakup
pengetahuan yang bersifat faktual, konseptual, dan procedural, dan metakognitif.
Kompetensi Inti (KI-4) mencakup proses atau tahapan pembelajaran. Kompetensi
Inti 1 dan 2 merupakan values (nilai) dan bersifat indirect learning.

Pembelajaran langsung (direct learning) dimulai dari KD yang ada di KI-3, yaitu
pengetahuan. Untuk mencapai kompetensi yang diinginkan, maka semua materi
pokok diproses melalui KD yang ada di KI-4. Dengan demikian, KI-1 dan 2 akan
tercapai secara otomatis. Ini sangat bergantung pada kepiawaian guru dalam
mengolah dan memproses peserta didik melalui pembelajaran aktif, kreatif, inovatif,
dan menyenangkan. .

Kompetensi Inti untuk jejanjang SMP

1. Menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya
1. Menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya
1. Menghargai dan menghayati ajaran
agama yang dianutnya
2. Menghargai dan menghayati
perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli
(toleransi, gotong royong),
santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam
angkauan pergaulan dan
keberadaannya
2. Menghargai dan menghayati
perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli
(toleransi, gotong royong),
santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam
dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya
2 Menghargai dan menghayati perilaku
jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli (toleransi, gotong royong),
santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan
keberadaannya
3. Memahami pengetahuan
(faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa
ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni,
budaya terkait fenomena dan
kejadian tampak mata
3. Memahami dan menerapkan
pengetahuan (faktual,
konseptual, dan prosedural)
berdasarkan rasa ingin tahunya
tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya terkait
fenomena dan kejadian
tampak mata
3. Memahami dan menerapkan
pengetahuan (faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya terkait
fenomena dan kejadian tampak mata

5

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji
dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai,
merangkai, memodifikasi, dan
membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca,
menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan
yang dipelajari di sekolah dan
sumber lain yang sama dalam
sudut pandang/teori
4. Mengolah, menyaji, dan menalar
dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai,
merangkai, memodifikasi, dan
membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca,
menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan yang
dipelajari di sekolah dan sumber
lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
4. Mengolah, menyaji, dan menalar dalam
ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi,
dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung,
menggambar, dan mengarang)
sesuai dengan yang dipelajari di
sekolah dan sumber lain yang sama
dalam sudut pandang/teori


E. Direct Learning dan Indirect Learning

Kurikulum 2013 mengembangkan pembelajaran langsung (direct instructional) dan
tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran
yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan
menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan
sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran
langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, menalar, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak
pembelajaran (instructional effect).

Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring
(nurturant effect). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan
nilai dan sikap yang terkandung dalam KI-1 dan KI-2. Hal ini berbeda dengan
pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran
langsung oleh mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Pengembangan nilai dan sikap sebagai proses
pengembangan moral dan perilaku, dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan
dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena
itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler baik yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat
(luar sekolah) dalam rangka mengembangkan moral dan perilaku yang terkait
dengan nilai dan sikap.

Pembelajaran langsung (direct learning) adalah penyampaian materi pelajaran
secara langsung kepada peserta didik. Pembelajaran langsung ini umumnya

6

dilakukan untuk ranah kognitif. Misalnya tentang topik Besaran dan Stuan pada
mata pelajaran IPA SMP. Besaran dan satuan adalah bahan salah satu bahan
kajian pada pelajaran IPA untuk memberikan kemampuan kepada siswa dalam
mengenal, memahami dan menerapan akurasi pengukuran. Dalam pengukuran,
kita harus teliti, dan taat asas sehingga hasilnya valid. Memanipulasi hasil
pengukuran adalah oerbuatan salah yang dilarang agama.

Pada saat guru IPA mengajak siswa untuk mengenal, memahami dan menerapkan
kemampuan pengukuran misalnya dengan menimbang atau mengukur panjang.
Semua teori dan teknik pengukuran diajarkan secara langsung melalui berbagai
cara, bisa dengan membaca literatur, diskusi, dan praktik langsung. Pada saat
praktik langsung, guru selalu mengingatkan peserta didik untuk selalu teliti,
mengikuti prosedur, dan tidak melakukan manipulasi atau kecurangan. Oleh karena
guru selalu mengingatkan dan mengawasi peserta didik pada saat praktik, maka
peserta didik paham bahwa dalam pengukuran harus teliti, taat prosesdur, dan tidak
boleh manipulasi. Dengan cara itu guru telah menanamkan kejujuran sebagai
bagian dari sikap orang yang beriman yang menjalankan ajaran agamanya.
Penanaman kejujuran, ketelitian, dan disiplin pada saat pembelajaran Besaran
dan Satuan merupakan salah satu contoh penerapan pembelaaran tidak langsung
(Indirect Learning) pada mata pelajaran IPA. Proses ini harus dilakukan pada setiap
mata pelajaran karena ini merupakan tuntutan dari KI (1) dan KI (2).

Berikut contoh bahan pembelajaran langsung dan tidak langsung dalam pelajaran
IPA di SMP, yaitu membahas kasus tentang praktik kecurangan di Pasar.


Mata Pelajaran : IPA
Kelas/Semester : VII/1
Materi Pokok : Pengukuran, Besaran Pokok dan Besaran Turunan
Nilai Karakter : Kejujuran, ketelitian, kedisiplinan (taat asas dalam
melakukan sesuatu), tanggung jawab
Waktu : 5 Jam Pelajaran

Kompetensi Dasar Indikator Skenario Pembelajaran
1.1.Mengagumi keteraturan dan
kompleksitas ciptaan Tuhan
tentang
aspek fisik dan kimiawi, kehidupan
dalam ekosistem, dan peranan
Menggunakan berbagai alat
ukur untuk mengetahui besaran
dan satuan suatu benda
Melakukan pengukuran dengan
Mengamati dan
mendiskusikan berbagai
kisah, fakta atau contoh
pemanfaatan pengukuran

7

manusia dalam lingkungan serta
mewujudkannya
dalam pengamalan ajaran agama
yang
dianutnya
prosedur yang benar
Mengidentifikasi berbagai jenis
besaran dan satuan beserta
turunannya
Membedakan manfaat satuan
baku dengan satuan tidak baku
Mengungkapkan contoh-contoh
konkrit manfaat pengkuran
dalam kehidupan sehari-hari
Menerapkan kaidah
pengukuran yang benar dalam
kehidupan sehari-hari
Menyampaikan tausiah pendek
tentang pengukuran dalam
kehidupan sehari-hari*)
serta berbagai
permasalahanya dalam
kehidupan sehari-hari
Mengungkapkan berbagai
permasalahan yang muncul
berkaitan dengan
pemanfaatan pengukuran
dalam kehidupan sehari-hari
Mengekplorasi melalui
pengematan,
praktik,percobaan untuk
memahami keterkaitan
antara pengukuran, besaran
pokok, dan besaran turunan
Mendiskuikan dan menarik
kesimpulan hubungan antara
pengukuran, besaran pokok,
besaran turunan dan
hubungannya dengan
perilaku sehari-hari di
masyarakat
Mempresentasikan melalui
berbagai media dan cara
tentang manfaat dan
permasalahan terkait
pemanfaatan pengkuran,
besaran pokok, besaran
turunan dalam kehidupan
sehari-hari
2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah
(memiliki rasa ingin tahu; objektif;
jujur; teliti;
cermat; tekun; hati-hati;
bertanggung
jawab; terbuka; kritis; kreatif;
inovatif
dan peduli lingkungan) dalam
aktivitas
sehari-hari

3.1 Memahami konsep
pengukuran berbagai
besaran yang ada pada diri,
makhluk
hidup, dan lingkungan fisik sekitar
sebagai bagian dari observasi,
serta
pentingnya perumusan satuan
terstandar
(baku) dalam pengukuran

4.1 Menyajikan hasil pengukuran
terhadap
besaran-besaran pada diri,
makhluk
hidup, dan lingkungan fisik
dengan
menggunakan satuan tak baku
dan
satuan baku

*) Unggulan sekolah



8




Kisah Praktik Kecurangan dalam Transaksi Jual Beli di Pasar

Contohnya dari timbangan meja. Timbangan yang memiliki beban timbang hingga
sepuluh kilogram(Kg) ini, jika dicurangi secara maksimal 2-5 ons akan hilang.
Mengenai teknik kecurangan pun ternyata ada berbagai cara, mulai dari
timbangannnya sendiri, Anak Timbangan (AT), ataupun settingan-nya.

Pada timbangan, kecurangan dapat dilakukan dengan menyelipkan lempengan besi
di bawah piring wadah menaruh barang. Berat lempengan besi ini yang
mempengaruhi pengurangan berat yang ditimbangan. Bisa juga di bawah alas
untuk menaruh AT, ada wadah untuk pemberat. Pemberat yang biasa digunakan
adalah batu. Batu berguna sebagai penyetimbang. Kalo batu ini di ambil, timbangan
tidak akan lurus.

Cara lain adalah dengan membongkar anak timbangan untuk diambil timahnya. Jika
diambil timahnya dengan cara dibor maka berat anak timbangan akan berkurang.
Sebagai contoh, untuk anak timbangan seberat 1 kilo, jika diambil timahnya
beratnya menjadi sekitar 8 ons. Walaupun timbangan lurus dan menunjuk ke angka
nol, tapi jika menimbang dengan AT 1 kilo yang sudah dibongkar, kita hanya akan
mendapatkan sekitar 8 ons.

Lain lagi dengan timbangan Sentisemal. Berat yang berkurang jika dicurangi secara
maksimal pun fantatis, sekitar 5-10 kilo sekali menimbang. Timbangan ini memang
digunakan untuk menimbang dalam skala besar, 1 kwintal ke atas. Namun tak
tanggung-tanggung, kerugian yang diderita juga besar.

9


Menanggapi besarnya jumlah berat yang hilang, Herryanto berujar, Orang yang
sudah pinter tidak hanya melihat dari situ (bermula dari nol, red). Karena setiap
timbangan ada rahasianya.

Kecurangan bisa terlihat dari timbangan, bisa dari AT (anak timbangan), dan dari
setelannya. Kebanyakan pedagang sekarang sudah pada pinter, jadi pengurangan
diambil dari AT. AT-nya dibor, di ambil timahnya. Kalo timbangan bagus, AT ga
bagus, sama aja. Tidak bisa hanya dilihat dari lurus atau tidakya timbangan. Bisa
aja timbangannya bagus, mulai dari nol tapi setelannya dibongkar, terang
Herryanto.

Selasa, (17/02) jelang siang, sekitar jam 11.00 WIB, Alhikmah menyengaja
berangkat ke pasar Induk, Caringin, Bandung, untuk membeli buah. Tawar
menawar dengan salah satu pedagang pun terjadi. Disepakati 1 kg jeruk dihargai
Rp. 7000. Kami memutuskan untuk membeli sebanyak 5 kg jeruk terbungkus
plastik, yang ditimbang dengan timbangan meja.

Setelahnya, kembali Alhikmah mencari pedagang buah lainnya untuk
perbandingan. Kali ini kami mendapatkan harga lebih murah, Rp.6500/Kg untuk
jenis jeruk yang sama dari pembelian pertama. Sama dengan sebelumnya, 5 kg
jeruk terbungkus plastik, ditimbang dengan timbangan kue.

Agar mengetahui akurasi timbangan, tepat pukul 11.55 WIB kami meluncur menuju
Direktorat Metrologi Jl. Pasteur No. 27, Bandung, untuk melakukan penimbangan
ulang. Di sana, tim Alhikmah diterima staf Pelaksana Subdit Pengawasan
Penyuluhan Kemetrologian, Lukman Indra. R.H. SH dan Rudi Rediana, S.Si.

Dengan ramah, mereka langsung membawa kami ke Laboratorium BDKT (Barang
Dalam Keadaan Terbungkus) Metrologi. Buah jeruk kemudian ditimbang dengan
Timbangan elektronik kapasitas 30 Kg. hasilnya buah jeruk pembelian pertama
yang ditimbang dengan timbangan meja hasilnya 5.03 Kg termasuk plastik sebagai
bungkusnya. Sedangkan jeruk yang ditimbang dengan timbangan kue hasilnya tidak
jauh berbeda 5.10 Kg termasuk plastik sebagai bungkusnya. Kesimpulan pun
didapat. Para pedagang di Pasar Caringin, tempat kami membeli buah jeruk tadi,
telah berlaku jujur, Bahkan hasil timbangannya berlebih.

Masih hari itu, dari Metrologi, Alhikmah mencoba untuk berbelanja di tempat
berbeda. Kali ini, Tegalega dan Ciroyom menjadi pilihan. Setibanya di Tegalega, tim
Alhikmah mengorek keterangan dari seorang pedagang buah sawo yang enggan

10

disebut namanya (S_red). Ia tahu, beberapa pedagang di sana kerap berbuat
curang, salah satunya dengan menambahkan pemberat pada timbangan. Namun ia
mengaku, tidak pernah ikut-ikutan.

Untuk membuktikan, Alhikmah pun membeli 5 Kg sawo dengan harga Rp 5000/kg
dari S. Namun, meminta dia untuk meminjam timbangan pedagang yang ia sebut
tidak akurat. Benar saja ketika dibandingkan, 5 Kg di timbangan pedagang yang
disebut curang itu hanya setara dengan 4,05 Kg di timbangan S. Setelahnya, S
kemudian menambahkan beberapa butir sawo di plastik terpisah, untuk
menggenapkan timbangan menjadi 5 Kg, sesuai pesanan.

Di Ciroyom. Salah satu pedagang buah kami hampiri. Seperti sebelumnya, 5 Kg
jeruk pun akhirnya kami beli. Saat penimbangan, terlihat timbangan tidak lurus dan
cenderung lebih berat dari 5 Kg jeruk yang tengah ditimbang. Lebih lanjut,
pedagang tersebut menuturkan bahwa kebanyakan pembeli menginginkan
timbangan tidak lurus dan berat ke arah objek timbangan. Saat kami bersikeras
untuk dikurangi saja sampai timbangan benar-benar lurus, si pedagang malah buru-
buru membungkusnya.

Kami pun bergegas kembali ke Direktorat Metrologi untuk re-check. Hasilnya
mengejutkan. Setelah dilakukan penimbangan di Metrologi, 5 Kg sawo yang
dibeli dari S di Tegalega, dan diperkirakan hasilnya akurat, ternyata anjlok ke
angka 4.62 Kg. Sedangkan 5 Kg jeruk yang kami beli dari salah seorang pedagang
di Ciroyom, ternyata juga turun menjadi 4,93 Kg.

Hal ini tentu saja merugikan konsumen. Selain merasa dibohongi juga dapat
membuat jera berbelanja. Padahal, seperti pengakuan Gemala, seorang ibu rumah
tangga kepada Alhikmah, bahwa ia tidak keberatan jika harus membayar lebih
mahal, asal pedagang jujur dengan timbangannya.

Konsumen lain asal Bandung, Siti Juariyah, tidak hanya dikurangi berat
timbangannya, tapi juga ditipu. Saya pernah dicurangi sewaktu membeli mangga.
Saat menimbang memang tidak keliatan karena terletak di belakang penjual.
Sewaktu membayar saya tidak sadar ternyata bungkusan mangga yang saya beli
ditukar dengan bungkusan yang sudah disiapkan sebelumnya dengan yang jelek
dan hampir busuk,ungkapnya geram.

Kenyataan ini memang tak terelakkan, bahkan sudah seperti menjadi hal yang
lumrah di tengah masyarakat kita.


11

Satu dua ons memang tampak tak seberapa. Bayangkan jika ini terjadi terus-
menerus. Ratusan ribu, bahkan jutaan kilogram komoditi perdagangan yang
menguap, mengakibatkan hilangnya kepercayaan konsumen. Selain mengundang
Azab yang sungguh pedih, sebagaimana Firman Allah SWT:

Dan kepada penduduk Madyan kami utus saudara mereka, Syuaib. Ia berkata :
Hai Kaumku, sembahlah Allah, sekali sekali tiada Tuhan bagi mu selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi Takaran dan Timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik ( mampu ) dan sesungguhnya aku khawatir terhadap
akan azab hari yang membinasakan ( kiamat) .

Sumber : Muhammad Yasin, Mia Gamalia, Dedy Ahmad Shaleh Diterbitkan oleh
Tabloid Alhikmah edisi 32


F. Meramu Materi Pelajaran Melalui Pendekatan Saintifik

Pembelajaran merupakan suatu proses pengembangan potensi dan pembangunan
karakter setiap peserta didik sebagai hasil dari sinergi antara pendidikan yang
berlangsung di sekolah, keluarga dan masyarakat. Proses tersebut memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat,
berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia.

Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis proses
keilmuan (saintifik). Saintifik merupkan sikap yang didasari oleh cara berfikir yang
mengikuti metode ilmiah dalam menghadapi suatu persoalan atau fenomena.
Saintifik identik dengan sifat jujur, kritis, amanah karena sebelum menyampaikan
sebuah informasi, anak yang bersangkutan melakukan serangkaian proses
pembuktian bahwa informasi yang disampaikan benar-benar valid sehingga dapat
dipertanggungjawabkan, bebas dari prasangka, manipulatif, dan plagiat.

Langkah tersebut dimulai dari mencermati lewat pengamatan (mengamati) untuk
mendapatkan data awal, lalu memunculkan pertanyaan (menanya) sebagai dasar
untuk melangkapi data yang dibutuhkan (mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu
yang lebih jauh), melakukan eksplorasi dalam rangka menjawab sejumlah
pertanyaan sehingga diperoleh data yang lebih lengkap, melakukan analisis melalui
proses asosiasi dengan mengkaitkan antara satu fakta dengan fakta lain, antara
fakta dengan konsep atau teori, lalu diperoleh kesimpulan. Setelah yakin terhadap

12

semua kesimpulan, baru informasi itu di komunikasikan melalui berbagai media
penyampaian.

Proses ini akan membebaskan manusia dari perilaku tercela, seperti menyebar
fitnah, memanipulasi data, dan menghilangkan barang bukti. Pendekatan saintifik
meliputi lima pengalaman belajar pokok. sebagaimana tercantum dalam tabel
berikut.

Tabel 1: Deskripsi Langkah Pembelajaran*)
Langkah Pembelajaran Deskripsi Kegiatan
Mengamati (observing) mengamati dengan indra (membaca, mendengar, menyimak, melihat,
menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat
Menanya (questioning) - membuat pertanyaan
- tanya jawab
- berdiskusi
tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin
diketahui, atau sebagai klarifikasi (dimulai dari pertanyaan faktual sampai
ke pertanyaan yang bersifat hipotetik berdasarkan rasa ingin tahu)
Mengumpulkan informasi
(experimenting)

- mencoba, mendemonstrasikan, atau meniru bentuk/gerak
- melakukan eksperimen
- membaca sumber lain selain buku teks
- mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara, dan
lain-lain
- memodifikasi/menambahi/mengembangkan
Menalar (associating)

- mengolah informasi yang sudah dikumpulkan
- menganalisis data dalam bentuk membuat kategori.
- mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait
dalam rangka menemukan suatu pola.
- menyimpulkan.
Mengomunikasikan
(communicating)

- menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafik
- menyusun laporan tertulis
- menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan

Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi seperti
pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya misalnya
discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning.

Model-Model Pembelajaran Inovatif


Sehubungan dengan hal tersebut, dunia pendidikan kita harus dihiasi oleh buku-
buku pelajaran yang menarik, memotivasi, dan merangsang tumbuh kembangnya
semangat belajar anak sehingga mereka dengan mudah menemukan dan

13

membangun jati diri. Untuk itu, buku selayaknya dapat menjadi sebuah bahan ajar
yang bersahabat dengan anak. Bahan ajar atau isi (content) diharapkan dapat
dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya pembentukkan watak, kepribadian, dan
karakter siswa. Bahan ajar tersebut dapat berupa fakta, konsep, dan prinsip-prinsip
serta teori-teori yang menggambarkan tentang kenyataan hidup sehari-hari. Dalam
membangun kepribadian siswa, bahan ajar (buku) bukan diposisikan sebagai tujuan
yang hendak dicapai, melainkan disposisikan sebagai alat, media, atau
kendaraan yang digunakan untuk mencapai tujuan. Tujuan dimaksud adalah
kepribadian yang kuat, percaya diri, cerdas, kreatif dan berakhlak mulia. Untuk itu,
pengembangan bahan ajar (buku) harus memenuhi kriteria berikut:

Sahih (Valid)
Materi yang akan dituangkan dalam buku dan pembelajaran benar-benar telah
teruji kebenaran dan kesahihannya. Pengertian ini juga berkaitan dengan
keaktualan materi, sehingga materi yang diberikan dalam pembelajaran tidak
ketinggalan jaman dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.

Tingkat Kepentingan (Significance)
Dalam memilih materi di sini perlu dipertimbangkan pertanyaan berikut: Sejauh
mana materi tersebut penting dipelajari? Penting untuk siapa? Dimana dan
mengapa penting?. Dengan demikian, materi yang dipilih untuk diajarkan
tentunya memang yang benar-benar diperlukan oleh siswa.

Kebermanfaatan (utility)
Manfaat harus dilihat dari semua sisi, baik secara akademis maupun non
akademis. Bermanfaat secara akademis artinya guru harus yakin bahwa
materi yang diajarkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
ketrampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan
berikutnya. Bermanfaat secara non akademis maksudnya adalah bahwa materi
yang diajarkan dapatmengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap
yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Layak dipelajari (learnable)
Materinya memungkinkan untuk dipeljari, baik dari aspek tingkat kesulitannya
(tidak terlalu mudah, atau tidak terlalu sulit), maupun aspek kelayakannya
terhadap pemanfaatan bahan ajar dan kondisi setempat)

Menarik minat (interested)

14

Materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi siswa untuk
mempelajarinya lebih lanjut. Setiap materi yang diberikan kepada siswa harus
mampu menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, sehingga memunculkan dorongan
untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka

Beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk menanamkan nilai-nilai
antikorupsi antara lain, pembelajaran yang berbasis masalah (problem based
learning) untuk melatih peserta didik dalam menganalisis sebuat permasalahan
untukmenemukan jalan keluar yang terbaik. Pembelajaran berbasis pada
penemuan-peneuan baru (discovery learning), dalam model ini peserta didik
dibiasakan untuk selalu menemukan ide-ide baru atau kreasi baru yang unik dan
berbeda dari yang ada. Pembelajaran inquiry yang mengkondisikan siswa untuk
selalu memunculkan rasa ingin tahu dan melakukan hal-hal yang mendorong untuk
terus dan terua mencari informasi secara mandiri.


E. Menghapus Kepalsuan Melalui Penilaian Otentik

Kepalsuan dalam Penilaian Konvensional

Ada kepalsuan dalam penilaian? Pertanyaan ini sudah pasti menimbulkan pro dan
kontra. Sebaian akan mengatakan ya dengan segala bukti-bukti, dan sebagian lagi
akan mengatakan tidak. Pengalaman seorang teman yang diungkapkan dalam
sebuah forum resmi. Secara langsung memang kami tidak diminta untuk
memalsukan nilai raport, namun kebijakan dari Dinas Pendidikan, nilai yang
sotorkan ke Dinas Pendidikan terendahnya harus delapan. Kami sering terpojok dan
dilema Pak, di satu sisi kami ingin jujur melaporan nilai apa adanya,namun kami
diinstruksikan seperti itu. Tidaklah masuk akal anak di sekolah kami mendapat nilai
terendah delapan. Namun karena dipaksa akhirnya kami itukit.

Ternyata alasanya mengapa sekolah diinstruksikan demikian adalah agar mudah
mengantisipasi ketika ada anak gagal di UN. Ini sebagai dampak dari penentuan
kelulusan merupakan gabungan dari nilai rata-rata rapor dengan hasil UN. Jika nilai
terendahnya delapan, maka jika ada anak yang mendapat nilai sangat minim di UN,
ia akan tetap selamat. Dengan demikian, para pemegang abatan uga akan selamat
karena angka kelulusan menjadi tinggi.

Ternyata nilai-nilai bagus yang ada di rapor adalah nilai semu. Orang tua telah
disuguhkan sebuah fatamorgana, terlihat dari jauh, anaknya seperti anak hebat,

15

angka dirapornya bagus-bagus, namun bila ditelusuri lebih jauh ke dalam diri anak,
keadannya berbalik.

Rapor tidak ubahnya daftar atau deretan angka tanpa makna apa-apa. Nilai-nilai
yang disampaikan kepada orang melalui rapor merupakan hasil final setelah dirata-
ratakan dari hasil ulangan harian, kuis, PR, ujian akhir semester dan lain-lain
(termasuk remedial). Ini sudah berjalan bertahun-tahun, bahkan mungkin berpuluh
tahun. Sepintas, itu semua masuk akal, namun sesungguhnya sangat-sangat tidak
masuk akal, dilihat dari sudut pandang manapun tetap tidak bisa diterima akal
sehat, termasuk ilmu statatistik. Secara stattistik, yang disebut rata-rata adalah
kesimpulan dari sejumlah data yang sejenis atau se-sifat, atau data yang tidak
dibatasi gap yang antara satu dengan lainya.

Bagaimana caranya kita bisa merata-ratakan antara kemampuan membaca
dengan menulis di SD, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, atau
merata-ratakan antara nilai menggambar dan menyanyi, atau nilai berenang
dengan bulu tangkis, lari, dan sepak bola. Ketika anak mendapat nilai 6 pada
kemampuan membaca, 9 (menulis ), 8 (bercerita), 7 (puisi), maka nilai akhir
Bahasa Indonesia adalah 7,5, diperoleh hasil rata-rata 6+9+8+7. Lalu berhenti
di situ. Secara statistik, antara 9 dengan 6 tidak bisa di rata-rata, dan sifat antara
membaca, menulis, bercerita, dan puisi juga bukan sejenis. Demikian juga pada
pelajaran Olah Raga, jika anak mendapat nilai 9 (lari), 8 (Voli), 6 (renang),
hasil akhir yang masuk rapor adalah nilai- rata-rata ke tiga cabang itu, jika ada 5
cabang Olah Raga yang dipelajari, dan jika anak ingin mendapat angka 9 dalam
mata pelajaran Olahraga di rapor, si anak harus memaksa tenaganya untuk
mencapai 9 di semua cabang, setelah itu, ia sakit kuning karena kelelahan. Dan jika
ia ingin menjadi juara kelas, hal yang sama akan dilakukan untuk semua mata
pelajaran. Betapa lelahnya mereka!.

Hal lain yang juga tidak masuk akal adalah merata-ratakan antara skor ranah
kognitif dengan ranah psikomotor dan afektif. Ambil contoh mata pelajaran agama.
Jika si A mendapat nilai 9 di rapor, maka otomatis ia akan mendapat predikat
A atau kategori Amat Baik, walaupun dalam keseharian si A jarang ikut
kegiatan ibadah karena sibuk belajar. Dalam penilaian sikap, sistem penilaian yang
digunakan tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya, seorang anak yang
dinilai Amat Baik belum jaminan bahwa anak yang bersangkutan bebanr-benar
baik atau berpura-pura baik supaya dapat nilai tinggi.

Dan yang lebih parahnya, penilaian sikap juga di rata-rata antara capaian awal
dengan capaian akhir. Misalnya nilai Kejujuran, ketika si A mendapat nilai 90 dan

16

nilai ini konsisten dari awalsampai akhir maka ia akan mendapat prediket A (Amat
Baik). Sebaliknya, si B pada awal-awal ia suka berbohong, dan itu ia lakukan
berkali-kali, dan entah kenapa, pada akhir-akhir dia mengalami perubahan yang
drastis, ia telah tobat dan betul-betul tobat, dan tidak pernah lagi bebohong lagi, ia
berubah bukan untuk mendapat nilai tinggi, tapi karena benar-benar sadar, namun
dalam rapor nilainya tetap C (Cukup) karena nilai-nilai sebelumnya sangat rendah
atau 0atau (K=Kurang), nilai akhir 100sekalipun, tidak akan mengangkat nilainya,
pada hal ia sudah berubah total. Nilai awal meminta bagian dari nilai akhir.
Penilaian seperti ini tidak menerima pertobatan. Anak yang berpura-pura jujur, dan
menyimpan kebohongan dalam dirinya, tetap mendapat apresiasi dan nilai A,
(Amat Baik). Inilah bibit unggul untuk calon koruptor setelah dewasa nanti. Kita
baru kaget, ketika anak pintar, selalu mambawa harum nama sekolah semasa
sekolah, kemudian sukses dalam karir, tapi tiba-tiba jadi koruptor.

Menghapus Kepalsuan

Nilai yang di-rata-ratakan akan mengaburkan keunggulan/keistimewaan atau
permasalahan yang dihadapi, serta kebutuhan belajar peserta didik yang
sesungguhnya. Ini sama saja dengan kompetensi pilot, misalnya, kemampuan
take-off (10), menerbangkan pesawat diudara (10), dan kemampuan landing (6),
nilai akhir = 8,6. Angka ini mengaburkan hasil yang sesungguhnya, artinya, nilai
ini bukan otentik lagi.

Penilaian otentik akan menggambarkan apa yang sudah dikuasai anak dan apa
yang belum dikuasai, untuk itu penilaian otentik seharusnya menggunakan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif agar bisa saling menjelaskan. Mengapa kita
tidak pernah memikirkan bahwa Si A dan Si B sama-sama mendapat nilai dalam
mata pelaaran Olahraga, namun dalam deskripsi di rapor dijelaskan bahwa, 9 si
A lebih menonjol pada renang, sementara si B dalam cabang bola kaki,
demikian juga di bidang seni, bahasa dan yang lainya. Jika ini dilakukan, baru bisa
kita sebut kurikulum kita berbasis kompetensi (KBK).

Berdasarkan uraian dan contoh di atas, penilaian otentik akan membebaskan kita
dari penilaian yang subyektif, dan manipulasi, semua berlangsung secara
transparan, nyata, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.


Penilaian sering diartikan dengan memberi nilai, pada hal penilaian pada dasarnya
bukan memberi nilai melainkan proses evaluasi dalam rangka menemukan

17

kebutuhan tindak lanjut pembelajaran bagi peserta didik. Untuk itu, ada beberapa
fungsi penilaian, yaitu: (1) Penelusuran (Keeping track): menelusuri agar proses
pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana; (2) Pengecekan (Checking-
up): mengecek adakah kelemahan- kelemahan yang dialami anak didik dalam
proses pembelajaran; (4) Pencarian (Finding-out): menemukan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. (5)
Penyimpulan (Summing-up): apakah anak didik telah menguasai seluruh
kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.

Otentik artinya nyata, aktual, konkrit, faktual, relevan dengan keadaan yang
sebenarnya dalamkehidupan dan valid. Penilaian otentik dapat dilakukan apabila
terdapat kesesuaian atau kecocokan antara alat dan cara yang digunakan dengan
aspek kemampuan yang dinilai. Keputusan yang diambil sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, tidak dibuat-buat, tidak dimanipulasi.

Hasil penilaian otentik berupa data (kuantitatif dan kualitatif). Untuk melihat
penguasaan pengetahuan, pada umumnya dilakukan melalui tes, baik pilihan
ganda, essay atau yang lainnya, hasilnya umumnya kuantitatif (berepa persen anak
menguasainya). Untuk melihat penguasaan keterampilan, pada umumnya
menggunakan pengamatan (observasi), produk, kinerja, dan porto folio (untuk
melihat konsistensi). Untuk melihat perkembangan sikap juga pada umumnya
menggunakan pengamatan, produk, skala sikap, serta Porto folio. Porto foliso akan
menggambarkan pola atau keajegan atau konsistensi, apakah seorang anak
mengalami progres ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, atau tidak stabil,
kadang-kadang naik, kadang-kadang turun. Polaitu akan terbaca berdasarkan data
yang diperoleh di sepanjang proses pembelajaran berlangsung.

Dalam kurikulum berbasis kompetensi nilainya harus otentik. Namun, pengalaman
kita selama menerapkan Kurikulum Kerbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2004,
dilanjutkan dengan kurikulum 2006, dan sekarang kurikulum 2013 dapat
disimpulkan bahwa penerapan KBK baru sebatas sebutan, sementara
implementasinya masih jauh dari apa yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai