Anda di halaman 1dari 4

ELVIRA HERLIANA

XI IIS-1 / 06
THE CONFESSION (PENGAKUAN)

Mmm. Bye, ujar Hana, membiarkan pria itu merengkuh pinggangnya singkat
sebelum benar-benar melepaskannya kemudian.

Sampai jumpa. Rio tersenyum, melarikan tangannya ke rambut gadis itu untuk
mengelusnya pelan, lalu berbalik masuk ke dalam pesawat jet pribadinya yang sudah
menunggu dan siap berangkat jika diperintahkan.

Marcus membungkuk ke arah Hana dan bergegas mengikuti atasannya, untuk sesaat
merasa iri. Semua orang mungkin merasakan hal yang sama, walaupun untuk alasan
yang mungkin berbeda. Orang biasanya terkagum-kagum dan iri terhadap Rio karena
kekayaan yang pria itu miliki, kehebatannya dalam berbisnis, kejeniusannya dalam
berpikir, atau ketampanannya yang sudah diketahui dunia. Tidak dengannya. Dia sudah
sering melihat miliuner maupun triliuner sukses dan itu bukan lagi hal baru dan
mengagumkan baginya. Bukan berarti dia tidak mengagumi Rio akan hal tersebut. Itu
lumrah. Manusiawi. Tapi yang paling dikaguminya adalah kehidupan pribadi pria itu,
yang berbanding lurus dengan kehidupan bisnis dan politiknya. Bahwa pria itu
memiliki dua personality berbeda, bahwa pria itu bisa terlihat begitu biasa, normal,
tidak lagi seperti dewa. Dan itu semua hanya diperlihatkan untuk satu orang. Istrinya.
Wanita yang juga tampaknya mencintai pria itu sama besarnya.

Dia sudah begitu lama mengamati Rio, mengikuti sepak-terjang pria itu setelah pria itu
dipercaya memimpin perusahaan sebesar Blue Corporation. Hanya saja dia juga tahu
bahwa perusahaan itu tumbuh atas campur tangan pria tersebut, bahwa pria itu berada
di balik layar hanya karena masih belum cukup umur. Dan saat akhirnya benar-benar
memegang kendali, pria itu tidak bisa lagi dihentikan oleh siapapun.

Sebuah kebanggaan besar karena pria itulah yang duluan mengulurkan tangan padanya,
memintanya bekerja sama, memberinya posisi terdekat, posisi yang memiliki akses
penuh terhadap pria itu, berdiri di sampingnya sebagai asisten pribadi. Orang paling
dipercayai. Bahwa pria itu ternyata juga sudah lama mengamatinya adalah kebanggan
lain lagi.

Setelah berada di sisi pria itu selama beberapa bulan, tidak butuh waktu lama baginya
untuk mengerti dan mengakui kenapa pria itu bisa menjadi pebisnis terbaik di dunia.
Pria itu tanpa tandingan, dengan Dewi Fortuna yang selalu mendampingi setiap saat
tanpa pernah meninggalkannya. Walau tanpa keberuntungan pun sepertinya kekuasaan
pria itu memang sudah tak terkalahkan. Di usia yang begitu muda, dengan hidup yang
demikian cemerlang.

Lalu fokus perhatiannya mulai berubah. Dia mendapati kesenangan kecil saat
memerhatikan interaksi pria itu dengan istrinya. Berbanding terbalik dengan
kesehariannya di kantor yang seringnya tampak dingin, tidak bisa didekati, di samping
istrinya, Rio Dharmawangsa adalah pribadi yang hangat, dengan sorot mata yang tidak
lagi tajam, tapi penuh konsetrasi, menatap kagum kepada satu-satunya wanita yang
pernah dekat dengannya. Bahwa pria yang selalu ditatap penuh kekaguman, malah
memberikan tatapan yang persis sama kepada seseorang, dan hanya khusus untuk satu
orang itu saja. Dia selalu merasa momen-momen singkat mereka yang berkesempatan
dilihatnya, terasa begitu pribadi, intim, membuat tersenyum sekaligus meninggalkan
setitik iri yang menggelitik.

Perubahan terbesar adalah ekspresi wajah pria itu. Rio nyaris tidak pernah tersenyum,
bahkan kepada klien dan rekan perusahaan sekalipun. Yang diperlihatkannya hanya
ELVIRA HERLIANA
XI IIS-1 / 06
senyum diplomatis, senyum yang tidak pernah benar-benar mencapai mata. Tapi pria
itu memiliki setumpuk senyum yang selalu dia perlihatkan setiap kali bertemu istrinya.
Di setiap kesempatan, di manapun mereka berada.
Pria itu tidak tersentuh, dan tidak menyukai kontak fisik selain bersalaman, itupun
hanya sepersekian detik, jika benar-benar diperlukan. Tapi untuk Hana, dialah yang
selalu mengambil inisiatif duluan. Sekadar belaian lembut ujung jari, genggaman
tangan, rengkuhan.

Pria itu tidak pernah benar-benar menatap wanita yang berdiri di depannya. Hanya
sekadar bungkukan sopan lalu perhatian langsung beralih. Tapi selalu ada fokus penuh,
tatapan tiada henti, yang diarahkan pria tersebut pada istrinya, seolah di matanya,
wanita itu berwujud seperti deskripsi luar biasa dewi-dewi mitologi kuno di buku-buku
fiksi lama, sehingga tidak ada pikiran untuk memalingkan tatapan.

Bukannya kedua orang itu tidak pernah bertengkar. Bahkan sepertinya mereka
melakukannya setiap saat. Sifat posesif dan protektif Rio selalu mendominasi. Hanya
saja, siapapun yang mengenal pria itu akan menyadari betapa seringnya pria itu
menekan arogansinya, bersedia mengalah untuk istrinya yang tidak kalah keras
kepalanya. Dan untuk beberapa momen lainnya, Hana-lah yang tampak menyerah,
meminta maaf duluan, menurunkan gengsi. Bahwa Rio bisa kehilangan kendali, terlihat
penuh emosi, bukan lagi pria datar tanpa ekspresi, topen yang selama ini dia
perlihatkan di depan publik.

Baginya, tidak ada tontonan yang lebih menarik daripada memerhatikan kelakuan dua
orang ajaib itu.
Aku perhatikan, Hana ssi selalu mengucapkan bye dan kau membalas dengan see you
atau sampai jumpa, ujarnya, membuka suara, menanyakan sesuatu yang selama ini
membuatnya bertanya-tanya. Dia cenderung mempelajari kebiasaan pasangan itu, tapi
ini pertama kalinya dia benar-benar merasa penasaran.

Rio mendongak dari dokumen yang sedang dia baca, mengerutkan kening mendengar
pertanyaan tak terduga itu.

Aku hanya tidak suka mengucapkan kata semengerikan itu padanya, jawabnya
kemudian.

Maksudmu bye?

Rio mengangguk. Bye. Selamat tinggal. Itu kedengaran seperti ucapan selamat tinggal,
aku tidak akan menemuimu lagi. Aku tidak suka. Jadi aku menggantinya dengan
sampai jumpa. Dia tersenyum tipis. Setidaknya aku menjanjikan bahwa aku akan
kembali padanya.

Marcus berusaha menekan rasa syoknya akan jawaban di luar perkiraan itu, tapi dia
hampir-hampir tidak bsia mengendalikan ekspresi wajahnya yang terkejut.

Tapi kenapa kau membiarkannya mengucapkan kata seperti itu?

Hana? Dia satu-satunya pihak yang boleh pergi, mengucapkan perpisahan duluan
kalau dia menginginkannya. Pria itu terkekeh. Walaupun aku selalu mengancam akan
melenyapkan pria lain yang berani dicintainya.

Kalau misalnya hanya misalkan, hal itu benar-benar terjadi, kau benar-benar akan
melepaskannya?

ELVIRA HERLIANA
XI IIS-1 / 06
Kalau dia memang menginginkannya? Ya, ucap pria itu tanpa perlu berpikir panjang.
Tapi aku akan menjemputnya. Membujuknya pulang. Kembali padaku. Tapi jika dia
tidak mau, itu pilihannya. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan memastikan agar
dia tahu, bahwa dia bisa pulang kapan pun dia mau. Bahwa aku akan menerimanya
kembali tanpa mengajukan pertanyaan, jelasnya dengan nada yang begitu santai,
seolah hal itu sudah lama terpikir olehnya. Kenapa kau bertanya? Kau sedang jatuh
cinta, ya?

Marcus menggeleng. Tidak. Hanya ingin tahu saja. Anggap saja aku sedang belajar.

Belajar? Dari kami? Pria itu mendengus tak percaya. Yang benar saja.

Yeah, aku juga ingin tahu bagaimana caranya kau bergerak ketika dia bergerak,
menyesuaikan diri saat matamu bahkan tidak sedang menatapnya.

Aku begitu? tukas Rio kaget. Aku tidak ingat melakukannya.

Marcus mendecak. Lebih buruk lagi karena kau bahkan tidak tahu bahwa kau
melakukannya, gerutunya gusar.

Kau frustrasi karena tidak punya pendamping ya? Mau kucarikan? Maya aku rasa
masih single, goda Rio, menyebutkan nama sekretarisnya di kantor.

Dia sama frustrasinya denganku, kau tahu? Dua kali memergoki kalian sedang
sedang apa sih yang kau pikirkan saat melakukannya di kantor?

Apa? sergah Rio, kali ini benar-benar tertawa geli. Kalau maksudmu itu, aku hanya
melakukannya sekali. Yang kedua itu hanya pelukan singkat, ucapnya sambil
mengibaskan tangan, seolah itu bukan masalah besar. Hanya pelukan. Posisi kami saja
yang sedikit tidak pantas dilihat.

Heran media sempat memberitakanmu gay. Dengan hormon sebesar itu

Daripada kau sibuk mengomentari tindakan amoralku, lebih baik kau cari pasangan
saja dan coba lihat apa kau bisa mengendalikan hormonmu. Kau tidak pernah jatuh
cinta, ya? Terlalu sibuk belajar?

Marcus mencondongkan tubuhnya ke depan, mendadak memasang tampang serius.

Setelah memerhatikan kalian berbulan-bulan, mulainya. Apa kau tidak merasa kata
jatuh cinta terlalu sederhana?

Kau mau aku menjawabnya? Kau kan tahu caraku berpikir sedikit berbeda.

Jawab saja, geramnya.

Rio mengangkat bahu.

Menurutku memang sederhana. Coba kau pikirkan. Sebelum bertemu dengan wanita
yang tepat, apa yang biasanya pria inginkan? Uang yang banyak, karier yang bagus,
popularitas, berpacaran dengan wanita cantik. Itu manusiawi. Ukuran kebahagiaan
begitu luas. Bahkan bisa mencakup sampai aku ingin dunia berada dalam
genggamanku.

ELVIRA HERLIANA
XI IIS-1 / 06
Tapi saat jatuh cinta, bayangkan bahwa dunia yang ingin kau miliku itu mengecil,
begitu kecil, sampai hanya berpusat pada seorang wanita saja. Bahwa ukuran
kebahagiaanmu tidak lagi sebesar sebelumnya, tapi berkutat pada hal-hal kecil seperti:
apakah dia sudah makan? Apakah hari ini dia memikirkanku? Apakah dia memang
sangat cantik atau hanya aku saja yang berpikir begitu? Apakah aku sudah
membuatnya bahagia? Kebahagiaanmu mulai bergantung pada seberapa bahagianya
wanita itu. Dan semuanya akan lebih sederhana lagi jika wanita itu juga merasakan hal
yang sama padamu. Dia bahagia karena bisa bersama orang yang dicintainya dan kau
bahagia karena dia bahagia. Bukankah semuanya begitu sederhana?

Karena itu saat tadi kau bertanya bagaimana aku jika Hana meninggalkanku, aku bisa
menjawabnya dengan santai. Dia boleh pergi, jika dia menginginkannya. Masalahnya,
aku tahu dia tidak akan pernah menginginkannya. Karena kebahagiaannya bergantung
padaku. Dan kebahagiaanku, bergantung pada kehadirannya.

Saat itu dia ingin sekali bertemu seorang wanita. Kemudian jatuh cinta. Wanita yang
bisa dijadikannya rumah. Rumah tempat dia tinggal. Rumah tempat dia pulang.

***

Anda mungkin juga menyukai