Hingga kini kronologis terjadinya peristwa 30 September 1965
yang kita kenal dengan sebutan G-30-S/PKI, masih menjadi misteri. Pasalnya, "kisah" yang disosialisasikan pemerintahan Orde Baru terkait peristiwa itu, bahkan didokumentasikan dalam bentuk film layar lebar dengan judul yang sama, dianggap tidak akurat karena dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Dari berbagai refrensi yang diperoleh Obornews.com, diketahui kalau salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah Tanah Air kita itu merupakan hasil konspirasi antara ambisi segelintir anak negeri yang ingin menjadi penguasa, dengan kepentingan asing yng tergiur oleh kekayaan alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Karenanya, tak heran jika tragedi yang disebut-sebut menelan korban hingga ratusan ribu jiwa itu dibicarakan, nama CIA (Central Intelligence Agency) pasti disebut-sebut. Tapi benarkah Amerika Serikat terlibat dalam tragedi yang berbuntut pada tergulingnya Soekarno dari kursi kepresidenan itu?
Dalam buku Pater Beek, Freemason dan CIA, penulis buku itu, M. Sembodo, secara gamblang menuding kalau tiga nama yang dijadikan judul bukunya itu merupakan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi memilukan tersebut. Bahkan Sembodo menyebut, di antara ketiga nama itu, Pater Beek lah yang berperan besar mencetuskan peristiwa 30 September, sementara Freemason dan CIA bertindak sebagai penyokong dan penyedia dana beserta semua fasilitas yang dibutuhkan.
Dalam buku-buku sejarah Indonesia yang diterbitkan pemerintah Orde Baru, nama Pater Beek maupun Freemason sama sekali tak tercantum, namun dalam buku-buku yang ditulis para penulis lepas dan pemerhati teori konspirasi, nama-nama ini dengan mudah dapat ditemukan karena keduanya memang ada dan sangat mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.
Freemason yang merupakan kependekan dari kata freemasonry, adalah sebuah organisasi persaudaraan kaum elit bangsa Yahudi tertua di dunia, dan merupakan "reinkarnasi" dari perkumpulan para ksatria Yahudi dalam Perang Salib yang dikenal dengan nama Knight Templars. Para Mason ditengarai mulai masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan VOC ke Indonesia sekitar abad 14. Ini terindikasi dari lambang VOC yang berupa
dua huruf "V" yang dipasang sedemikian rupa, sehingga jika ujung-ujung kedua huruf "V" itu ditarik, maka akan membentuk Bintang David, lambang bangsa Yahudi yang juga digunakan para Mason sebagai salah satu simbol organisasi mereka. Hanya saja, karena yang masuk ke Indonesia adalah Para Mason dari Belanda, di Indonesia mereka lebih dikenal dengan nama Vrijmetselarij yang dalam bahasa Inggris berarti Freemasonry.
Dalam buku-buku sejarah yang dicetak Orde Baru, dijelaskan apa itu VOC dan bagaimana kiprahnya di Indonesia. Dan faktanya memang begitu. Selama berada di Nusantara, VOC sukses mengeruk kekayaan Indonesia, yang di antaranya berupa rempah-rempah, dan menjadikan perusahaan itu sebagai salah satu perusahaan tersukses di zamannya. VOC adalah perusahaan yang didirikan oleh 17 pengusaha Yahudi yang bermukim di Amsterdam. Karenanya, tidak heran jika perusahaan itu dapat menjadi kendaraan bagi para Mason untuk tiba di Indonesia.
Pater Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar cerita
penduduk Amsterdam tentang sebuah negara yang kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dijajah oleh negaranya; Belanda. Pada 1939, Beek dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi sekaligus, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan kedua misi ini jelas; demi melanggengkan penjajahan Belanda terhadap Indonesia.
Selesai menjalankan tugas, Beek kembali ke negaranya, dan pada 1948 ditahbiskan menjadi pastur. Pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia, ia kembali ke Nusantara dengan misi yang jauh lebih besar karena dia tak hanya kembali sebagai seorang misionaris, namun juga seorang anggota Freemasonry dan CIA. Soal status Beek ini tak hanya dibeberkan M Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", tapi juga diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang disebut-sebut dekat dengan Beek. Dalam artikel berjudul CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani', George mengatakan; Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka, tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang
amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia.
Seperti tercatat dalam buku-buku sejarah yang dicetak di era Orde Baru, hasil Pemilu 1955 menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia, sehingga negara-negara barat, khususnya Amerika dan Belanda, menjadi cemas karena kepentingan mereka terhadap Indonesia yang kaya akan hasil bumi, sangat besar. Kekhwatiran ini muncul karena seperti tercatat dalam sejarah, umat Islam lah yang lebih banyak berada di garis depan dalam memerangi penjajahan Belanda dan intervensi asing, sehingga jika Islam di Indonesia makin menguat, maka akan makin sulitlah negara gemah ripah loh jinawi ini dikuasai. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Kala itu Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda,
Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya, sehingga semua kegiatan organisasi ini dan organisasi yang terkait dengannya, seperti Lions Club dan Rotarry Club, tak lagi dapat beraktifitas. Freemason mendukung Amerika karena organisasi inilah yang mendirikan negara super power itu, sehingga jangan heran jika semua presiden negara adidaya itu, seperti George Washington, Ronald Reagen, Bill Clinton, George W Bush dan juga Barack Obama, disebut-sebut sebagai anggota organisasi Yahudi itu, sehingga kepentingan Amerika sesungguhnya kepentingan Freemason juga. Organisasi Yahudi ini tak mau pergi dari Indonesia karena memiliki dua agenda besar yang ingin direalisasikan, dimana proses perealisasian agenda-agenda itu juga membutuhkan dana yang sangat tidak sedikit, yakni mendirikan negara Israel yang perealisasiannya pada 1947, dan menciptakan Tatanan Dunia Baru (New World Order) dimana mereka menjadi penguasa tunggalnya, yang hingga kini masih dalam proses.
Peran penting Pater Beek dalam peristiwa G-30-S/PKI juga diungkap peneliti asal Australia Richard Tanter. Dalam salah satu tulisannya yang dikutip Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Tanter menyatakan begini; (Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan
sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing- masing menata jaringan yang serupa dengan kerajaan personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi.
Pernyataan yang lebih gamblang dinyatakan Aad van den Heuval, mantan wartawan radio dan televise KRO yang merilis laporan berjudul Dit was Bradpunt, Goedenavond' (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005. Laporan inilah yang membuat publik Eropa sekalipun langsung percaya bahwa Beek memang terlibat dalam G-30-So/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.
Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di Indonesia. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater
Beek dan mewawancarainya.
Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini; Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang juga dikutip Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA": Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan
tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah Indonesia, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G- 30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Soeharto, Ali Murtopo, dan Soedjono Hoemardani, menurut Sembodo, hanyalah pion-pion yang dimainkan Pater Beek untuk menyukseskan misi yang diembannya, karena kebetulan kala itu
Soeharto memang berambisi menggantikan Soekarno, sehingga dimana kini Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, juga menjadi misteri.
TNI AD yang kala itu terlibat pun sebenarnya pada posisi yang sama karena pada era 1960-an, TNI AD merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat anti-Komunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Dan PKI jelas merupakan korban konspirasi antara Freemason, CIA dan Pater Beek demi kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan bangsa Indonesia. Terbukti, setelah Soekarno terguling, Indonesia makin kuat dicengkeram Amerika dan antek-anteknya, sehingga lahan tambang yang begitu berharga di Papua pun dikuasai Amerika melalui PT Freeport, sementara BUMN yang seharusnya dikelola dengan baik demi memakmurkan rakyat, satu demi satu juga jatuh ke tangan pengusaha asing. Salah satunya PT Indosat. (sumber : www.obornews.com)