Anda di halaman 1dari 28

Oleh: Ismail Fahmi Nst

Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku
bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para pemimpin
bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan asing. Mereka
memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan bangsa
Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang
kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan
bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa
kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima
dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang
tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan bahkan benturan konsepsi itu- terjadi
pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun
konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik
fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat di
mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah
contoh konflik yang sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua
agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian
umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di
Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan
ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-
sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi
satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang
diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah
seteru masing-masing, dan sebagainya. Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal,
tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang boleh jadi-
terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan
ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan
pesan Yesus yang terakhir, Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada
seluruh makhluk! (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang
menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa
sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam
tradisi Judeo-Christian, Yehweh sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai God
of War, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41,
(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan
ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-
orang yang membenci aku kubinasakan.1[1]
Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital
(peperangan).2[2] Maka, sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber konflik, atau
setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977)
mencatat, Every major religious tradition includes its justification for violence.
Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh
yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata
mereka, Tuhan membunuh masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan
hal yang sama.3[3]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber
konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan
kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat
manusia akan teredam jika faktor kesamaan agama itu didahulukan. Pada level
eksoteris-seperti aspek syariah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris,

1[1] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001,
hlm. 588
2[2] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya
3[3] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks,
hlm. 215-216
semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama
sah untuk menuju kepada Tuhan,4[4] termasuk Islam dan Kristen.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud membahas tentang: bagaimana
sikap umat beragama (Islam dan Kristen) terhadap agamanya di era millenium sekarang;
dan benarkah perbedaan konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara kedua
umat ini?

Agama ; Peran pemersatu atau konflik (?)
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun
nyatanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan,
sekali waktu dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Alasannya
tentu bermacam-macam. Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu benar. Juga, apa
yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang
dapat dimunculkan.
Menurut Joachim Wach, seorang sarjana ahli dalam sosiologi agama, setidaknya
terdapat dua pandangan terhadap kehadiran agama dalam suatu masyarakat, negatif dan
positif. Pendapat pertama mengatakan, ketika agama hadir dalam satu komunitas,
perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor disintegrasi.
Mengapa? Salah satu sebabnya adalah ia hadir dengan seperangkat ritual dan sistem ke-
percayaan yang lama-lama melahirkan suatu komunitas tersendiri yang berbeda dari
komunitas pemeluk agama lain. Rasa perbedaan tadi kian intensif ketika para pemeluk
suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bahwa satu-satunya agama yang
benar adalah agama yang dipeluknya. Sedangkan yang lain salah dan kalau perlu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan sebagai faktor
integrasi. Katakanlah ketika masyarakat hidup dalam suku-suku dengan sentimen
sukuisme yang tinggi, bahkan di sana berlaku hukum rimba, biasanya agama mampu ber-
peran memberikan ikatan baru yang lebih menyeluruh sehingga terkuburlah kepingan-
kepingan sentimen lama sumber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang

4[4] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada menyamakan agama
mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar
Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
baku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hubungan sosial
mempunyai daya ikat yang amat kuat bagi integrasi masyarakat.5[5]
Teori di atas bagi bangsa Indonesia amat mudah dipahami. Sebelum Islam datang,
bentuk persatuan memang sudah ada dan terjalin kuat di bumi nusantara ini. Apa yang
mengikat? Bisa jadi oleh emosionalitas keyakinan pada agama Hindu atau Buddha, atau
bisa saja karena rasa sukuisme (ikatan agama dalam sosiologi kadang-kadang di sejajarkan
dengan ikatan kesukuan, bahkan juga nasionalisme. Misalnya oleh Durkheim). Tetapi
pada hal tersebut kita bertanya, sejauh mana dan seberapa kuat rasa persatuan (integrasi)
tadi terwujud? Tanpa mengurangi rasa homat pada Hayamwuruk dan Gajah mada dari
Majapahit dalam merintis persatuan nusantara, bagaimana pun juga kehadiran Islam di
nusantara mempunyai andil yang amat besar dalam menciptakan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ujung Timor.
Dalam kaitan ini, thesis yang amat menarik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-
Attas dari Universitas Malaysia, bahwa berkat Islamlah maka bahasa Melayu berkembang
cepat di nusantara ini, yang pada akhirnya diresmikan sebagai bahasa Indonesia, bahasa
nasional. Mengapa bahasa Melayu yang relatif digunakan oleh kelompok kecil sanggup
mengeser bahasa Jawa yang dominan? Naquib menjawab, bahasa Jawa telah dirasuki
falsafah Hindu yang feodalistik dan membagi manusia pada kelas-kelas, sementara Islam
yang bersifat demokratis, tidak mengenal kelas. Satu-satunya alternatif yang tepat adalah
berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Jalinan antara sifat Islam yang demokratis, bahasa
Melayu yang digunakan, lalu disebarkan oleh para pedagang yang merangkap sebagai juru
dakwah, maka pada waktu yang relatif singkat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nu-
santara ini. Islam memperkuat penyebaran bahasa, bahasa mendorong serta memperkuat
timbulnya persatuan nusantara, dan pada gilirannya lahirlah kesatuan nasional dengan
Islam sebagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan nasionalisme sebagai pilarnya.6[6]

5[5] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and
London, 1971, hlm. 35
6[6] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad
Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga kehadiran
dan eksistensi Islam di Indonesia ini jelas merupakan faktor integrasi sekaligus konflik
yang amat besar, yang mampu mengikis friksi-friksi sukuisme sebelumnya.


Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia,
beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti
kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa
tempat lain.
Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada
awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi
politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk
memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik,
karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non
keagamaan.7[7] Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.

A. Faktor Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi,
antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk.
Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan
yang berlaku dalam masyarakat.8[8]





7[7] Abdurrahman Wahid, Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,
Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.
8[8] Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, Muntaha Azhari dan Abdul Munim
Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.9[9] Selain itu, terdapat ajaran agama
yang juga bisa menimbulkan disintegrasi,10[10] bila dipahami secara sempit dan kaku. Di
antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup
yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang
rendah pemeluk agama lain.
Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka
penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan
bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.11[11]
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan
kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat
juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana diantara potensi tersebut
yang dominan? Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya
truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur
yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh
persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran)
agama.

9[9]Universalitas dimaksud dapat dilihat dalam agama Kristen yaitu Roma 12:10
Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Petrus 2:17, 5:9, Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah,
hormatilah raja!, Petrus 3:8 Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi
saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, Matius 23:8, Tetapi kamu, janganlah kamu disebut
Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dalam ajaran Islam disebutkan
dan katakanlah kepada para hambaku-Ku: "Hendaklah mereka berbicara dengan ucapan yang sebaik-
baiknya" dalam berdakwah. Bahwasanya setan itu suka menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya antara setan dan manusia terbentang permusuhan sejak dahulu. Isra: 53 Janganlah
kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang- sengketa sesudah datang kepada mereka
bukti yang terang! .... Al-Imran: 105.
10[10] Tidak dapat dipungkiri bahwa selain munculnya truth claim bahwa
ditemukan sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan
peperangan yang berdampak pada konflik. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh
sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai God of War, sebagaimana diterangkan
dalam Mazmur 18: 40- 41, (40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk
berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat
musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.Dalam Islam juga
dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan)
11[11]Abdurrahman Wahid, Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,
hlm. 8
Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor
keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat
beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar negeri, 3)
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak, 5)Pendidikan agama,
6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman jenazah, 8)Penodaan agama,
9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi informasi keagamaan dan 11)Pendirian
rumat ibadat.12[12]
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama
merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa
disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih
sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang
sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan
antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau
bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1
tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada
Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya
hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat
untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk
mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang
bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk
agama tersebut.13[13]
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat.
Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau
bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan

12[12] Abdurrahman Wahid, Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama,
Aula, Mei 1985, hlm. 31
13[13] Untuk uraian lebih lanjut tentang primbumisasi Islam, lihat Abdurrahman
Wahid, Salahkah Jika Dipribumikan? Tempo, 16 Juli 1991, halaman 19 dan Pribumisasi
Islam. Lihat pula, Merelevansikan Bukannya Menghilangkan Salam, Amanah, No. 22, Mei 8-
21, 1987.
menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat
untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol
keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh
pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada
komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah
satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang
kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.

B. Faktor-faktor non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab
ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2)
kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan
transportasi.14[14]
Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan
ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli .
Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya,
dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi
keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat
sebagai pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan
nilai budaya juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan
menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak

14[14] Lihat, misalnya, beberapa tulisan Adi Sasono, "Peta Permasalahan Sosial Umat
Islam dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa Catatan, makalah tidak
diterbitkan, Mei, 1984; "Moral Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak diterbitkan, 21
April 1985; "Usaha Pengembangan Enasipasi Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan
Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M,
1986, hlm. 323-335.
lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai
adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.15[15]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh
penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam
kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang
spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik praktik spiritual yang dianggap sebagai
tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.16[16]
Sementara itu, Thomas F. O Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-
sarana supra empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra empiris.17[17]
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang
dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan
dapat mengatasi masalah- masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik yaitu percekcokan;
perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan term sosial menjadi
suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.
Menurut teori konflik , masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di
antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan
perubahan. Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik.
Bibitnya bisa bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.18[18]

Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama

15[15] Lihat, M. Dawam Rahardjo, "Umat Islam dan Pembaharuan Teologi," Bosco
Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 117-
132.
16[16] Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986, hlm. 32
17[17] Thomas F. O'deo, Sosiologi Agama, Jakarta: PT Rajawali, 1985, hal. 139
18[18] Ibid.,
Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja
antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Quran,
misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta).
Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat
pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan
bahwa, agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda19[19]
Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan Bahwa agama pada suatu
waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan
persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang
dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah
menimbulkan peperangan.20[20] Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada
Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah
kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya.
Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan
konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep
gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan
mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme,
ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi
aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme
adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme
adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam
melakukan tindakan fisik.

19[19] Dr. Afif Muhammad, Tafsir Al Quran untuk Anak-anak, Mizan, Bandung, 1999,
hlm. 16
20[20] Dalam Harun Nasution, Islam dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan
Sejarah, Nuansa, Desember 1984, hlm. 4-12.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang
dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan
ini biasa disebut dengan istilah dakiyah. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan
(mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing
agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih
di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak
kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit
dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama.
Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat
kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.


2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan
ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat
tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM
Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan
Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam
pernyataannya Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu. Hal ini dikarenakan dia
telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan
ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi
sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.

3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang
lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak
dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan,
mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad).
Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan
tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita
bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang
perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan
menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita
akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di
anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita
juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak
berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia
kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada
kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka orang baik itu
justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan
mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah
yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.

4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Quran (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam
komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima
keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing
komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam
yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di
Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya.
Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi
demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya Orang Yahudi yang turut
dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak
akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan
dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya,
dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi.
Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa
oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun
telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya
yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling
berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh
agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak
untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama
sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara
penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi
rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

Perbedaan Konsepsi dan Sikap Anti Agama
Terhadap konflik yang terjadi antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub
pemikiran yang berbeda. Pertama, sikap anti agama yaitu berupa penegasian dan
pengingkaran peran agama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Agama dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap
tidak mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehingga harus disingkirkan. Agama
dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinyaa pembunuhan dan kematian di antara
umat manusia, sehingga sudah saatnya dilenyapkan, sebagaimana dikatakan John Lennon
dalam syair lagunya Imagine, There is no religion too.
Sikap anti agama ini, yang berakar di Eropa, kiranya dilatarbelakangi oleh
pengalaman sejarah Eropa abad pertengahan yang mengalami ketertinggalan dalam
hampir seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks ini, agama yang direpresentasikan oleh
para pemuka agama (Gereja)- dianggap menjadi faktor penghambat kemajuan Eropa di
samping istana dan kaum borjuis. Menyandarkan peradaban pada nilai-nilai agama
dianggap tidak sesuai dengan semangat Renaissance dan Humanisme Eropa yang telah
mengubah paradigma Eropa, dari pandangan-pandangan makrokosmos kepada
mikrokosmos, di mana rasionalitas dianggap sebagai alat pencari dan pengukur
kebenaran yang bisa diakui validitasnya. Paham ini, pada kenyataannya berkembang terus,
di berbagai belahan dunia, baik yang mayoritas penduduknya Islam maupun Kristen.
Kendatipun demikian, gagasan melenyapkan peran agama dalam peradaban
umat manusia, dalam kenyataannya tetap dianggap absurd, dan tidak sesuai dengan
realitas. Tokoh-tokoh politik Eropa, pasca Renaissance, meskipun tidak menyukai
perilaku berbagai pemuka agama, akhirnya juga memerlukan agama untuk kepentingan
mereka.21[21]
Arnold Toynbee, pakar sejarah, menekankan peran agama dalam peradaban. Ia
meneliti aspek peran dinamis agama dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban. Ia
menyimpulkan bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena bunuh diri dan
bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang
kebangkitan dan kehancuran peradaban, Tonbee menemukan bahwa agama dan
spiritualitas memainkan peran sebagai chrysalis kepompong yang merupakan cikal bakal
tumbuhnya peradaban. Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada satu
kelompok yang disebut Toynbee creative minorities yang dengan spiritualitas mendalam
(deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation)- bekerja keras untuk
melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Karena itu, aspek
spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban.
Peradaban yang telah hilang spiritualitasnya, ia akan mengalami penurunan (Civilizations
that los their spiritual core soon fell into decline).22[22]

Wacana Pluralisme Agama
Gagasan kedua, adalah kelompok yang berupaya menyamakan semua agama.
Gagasan ini muncul karena beranggapan bahwa perbedaan konsepsi agama merupakan
sumber konflik umat manusia. Upaya penyamaan ini biasanya dikamuflasekan dengan
paham pluralisme agama (religious pluralism/ al-taaddud al-diniyyah).
Adalah John Hick yang dianggap sebagai penggagas pluralisme agama. Dia
mendefinisikan religious pluralism sebagai:

21[21] Sebagai gambaran, betapapun liberal dan sekulernya Napoleon Bonaparte,
ia menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis pada 2 Desember 1804, dalam sebuah acara
kolosal di Katedral Notre Dame, Paris. Dia menolak menjadikan Katolik sebagai agama
resmi negara, namun tetap mengeluarkan The Concordat 1801 yang mengakui Chatolicism
sebagai agama terbesar yang dianut oleh rakyat.
22[22] Patricia M. Mische Toward Civilization Worthy of the Human Person,
pendahuluan dalam buku Toward Global Civilization? The Contribution of Religions,
(Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001), hlm. 6
Philosophically, however, the term refers to a particular theory of the relation between
these traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the
great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses
to, the one ultimate, mysterious divine realityExplicit pluralism accepts the more
radical position implied by inclusivism: the view that the great world faiths embody
different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the
Real or the Ultimate, and that within each of them independently the transformation of
human existence from self-conteredness is taking place. Thus the great religious traditons
are to be regarded as alternative esoteriological spaces within which--or ways along
whichmen and women can find salvation, liberation and fulfillment.23[23]
Definisi di atas menyimpulkan bahwa agama-agama besar mengandung persepsi-
persepsi varian dari yang asal, yaitu realitas ketuhanan yang misterius dan respon-
respon terhadapnya. Pada akhirnya John Hick sampai pada satu kesimpulan bahwa agama
pada hakekatnya adalah jalan yang berbeda-beda menuju tujuan (the Ultimate) yang sama.
The Real atau Yang Ada (Tuhan), hanya Esa, namun penyebutan dan interpretasi manusia
saja yang berbeda-beda. Pluralisme agama John Hick kelihatannya adalah bentuk
pengembangan dari paham inklusivisme.24[24]
Dr. J. Verkuil dalam bukunya Samakah Semua Agama? Memuat kisah Nathan der
Weise (Nathan yang Bijaksana) karya Lessing (1729-1781). Kesimpulan dari kisah itu
adalah bahwa semua agama intinya sama saja. Intisari agama Kristen, menurutnya adalah
Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal.Intisari itu, demikian Verkuil, juga terdapat pd
agama Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago

23[23] Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing
Company, New York, 1987, Vol. 12, hlm. 331; pada Adian Husaini MA, Tinjauan Historis
Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 7
24[24] Bandingkan dengan definisi Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa
pluralisme agama berwujud bond civilityi (ikatan keadaban, dimana masing-masing
pemeluk agama punya kesediaan untuk melihat orang lain (baca: pemeluk agama lain)
punya potensi untuk benar, dan diri sendiri punya potensi untuk salah. Maka absolutisme,
faham mutlakan dan sistem kultus, bukanlah refleksi dari pluralisme agama. Untuk lebih
jelas lihat Nurcholis Madjid, Hak Asasi Manusia- Pluralisme Agama dan Integrasi Nasional
(Konsepsi dan Aktualisasi) dalam Anshari Thayib dkk. (ed.), Ham dan Pluralisme Agama,
Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997, hlm.70
tahun 1893, mendeklarasikan bahwa seluruh tembok pemisah antara berbagai agama di
dunia sudah runtuh. Konferensi itu, lebih jauh menyerukan persamaan antara Kon Fu
Tsu, Budha, Islam dan agama lainnya.
Pada level Indonesia, Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla, dan Prof. Dr.
Said Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang mengusung pluralitas dengan tendensi
menyamakan agama-agama yang ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, Semua agama
sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.25[25]
Said Agil Siradj menyatakan bahwa agama Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama yang
sama-sama memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid, karena ,secara
geneologi, ketiga agama ini, mengakui bahwa Ibrahim adalah the foundation
fathers26[26] Dr. Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa agama-agama hanyalah
salah satu pintu menuju surga Tuhan yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa
dimasuki dengan keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan
dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.27[27]
Senada dengan para tokoh pembaharu di atas, Nurcholis Madjid berpendapat
bahwa Islam bukanlah nama agama. Dengan menginterpretasi Q. S. Ali Imran ayat 67,
yang menceritakan tentang polemik kecil antara Yahudi dan Nasrani. Kedua kelompok
ini, demikian Nurcholis, mengklaim Nabi Ibrahim as. masuk ke dalam golongannya.
Lalu Al-Quran menegaskan bahwa Ibrahim adalah hannifan musliman. Yang terakhir
ini diartikannya seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanif), dan seorang
yang berhasrat untuk pasrah. Ia keberatan bila kalimat itu diartikan bahwa Ibrahim
adalah seorang muslim.28[28]

25[25] Lihat Gatra, edisi 21 Desember 2002
26[26] Lihat Bambang Noersena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan
Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 165-169
27[27] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
28[28] Dr. Daud Rasyid, MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan,
Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002, hlm. 54; lihat juga Nurkholis Madjid, Beberapa
Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang dalam
H. Lukman Hakiem (Ed.), Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar
Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995, hlm. 71
Islam bagi Nurcholis bukanlah nama sebuah agama formal (organized religion),
karena menurutnya, istilah itu muncul pada abad kedua hijrah. Setiap agama yang
mengajarkan sikap tunduk dan berserah diri, dalam pandangannya, adalah Islam.
Karenanya, bukan hanya Islam (sebagai organized religion), namun Kristen, Yahudi,
Hindu, Budha dan lain-lain adalah Islam.29[29]
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para penganut paham pluralisme
beragama menganggap bahwa, terlepas dari perbedaan-perbedaannya, esssensi agama-
agama adalah sama. Sebab sumbernya adalah sama, yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika
terjadi perbedaan bentuk, ini disebabkan karena perbedaan manifestasi dalam menanggapi
Yang Mutlak. Sehingga, walaupun pada aspek eksoterisnya berbeda, namun pada level
esoteris, kondisi internal atau batin, akan didapat titik temu. Dengan paham ini, maka
tidak benar (dan tidak dibolehkan) sikap masing-masing agama yang menganggap
memiliki kebenaran secara mutlak (truth claim). Pada level keindonesiaan, cendekiawan
yang tergolong pluralis mengindikasikan betapa banyaknya konflik antar umat beragama
(baik antar maupun intern) disebabkan karena sikap eksklusif para pemeluknya terhadap
ajaran agama mereka. Yang terakhir ini, menurut mereka, cenderung menjadi
pemberhalaan konsep ajaran agama itu sendiri, sehingga lupa pada essensi agama yang
sebenarnya yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Karena mengutip istilah
Nurcholis Madjid- sebaik-baik agama di sisi Allah (baca: Yang Mutlak-pen) ialah al-
hanafiyat al-samhah, semangat kebenaran yang lapang dan terbuka.30[30] Karena itu,
dengan perspektif Teologi Inklusif, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan
subjektif seperti , Hanya agama sayalah yang memberi keselamatan, sementara agama
Anda tidak, dan bahkan menyesatkan akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap
kebenaran agama lain, dan berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan
Tuhan.31[31] Kelompok pengusung pluralisme agama, dalam prakteknya telah bertindak
tidak hanya sebatas wacana. Sejumlah sikap dan tindakan konkret mereka perlihatkan
dalam mewujudkan sikap toleransi dan keterbukaan untuk menerima kebenaran dari

29[29] Ibid.
30[30] Ibid.
31[31] Untuk lebih jelasnya mengenai Teologi Inklusif Nurcholis ini baca
Nurcholis Madjid, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
berbagai pintu/ jalan (baca: agama). Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
berlainan agama, atau konversi dari Islam ke Kristen dan sebaliknya adalah hal yang
dianggap mereka lumrah, dan tidak harus dipersoalkan. Sebab, bagi mereka, kebenaran
mutlak hanya satu, hanya interpretasi dan implementasinya saja yang berbeda di tengah-
tengah masyarakat.
Gagasan pluralisme yang cenderung menyamakan agama-agama jelas merupakan
sesuatu yang absurd dan tidak sesuai dengan realitas bahwa konsepsi masing-masing
agama memang berbeda. Tidak hanya pada level eksoteris, bahkan pada level esoteris
pun, jika dikaji lebih dalam menimbulkan pertanyaan, apakah benar semua agama sama
pada level ini. Adalah sesuatu yang mustahil mempersatukan agama-agama, sementara
konsep masing-masing agama tentang Tuhan, misalnya, berbeda antara satu dengan
lainnya.
Walaupun benar bahwa ada konflik-konflik horizontal yang disebabkan karena
perbedaan konsepsi agama, seperti yang terjadi pada konflik antara Katolik dan Protestan
di Eropa (khususnya Irlandia Utara), dan antara Sunni dan Syiah di dunia Islam (misalnya
Irak), atau Perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa Eropa (1096- 1271). Konflik
Ambon, yang pernah terjadi di Indonesia, juga disinyalir disebabkan karena perbedaan
konsep agama (walaupun faktor-faktor lain, seperti kondisi sosial, ekonomi dan
sebagainya turut juga berperan). Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang dalam
pertikaian panjang dan melelahkan itu. Namun, jauh lebih banyak konflik yang terjadi
bukan karena perbedaan konsep agama. Perang Dunia I dan II, dan Perang Dingin
antara Eropa Barat plus Amerika Serikat dengan Eropa Timur, serta Perang Saudara di
Amerika Serikat adalah beberapa contoh, di mana perbedaan ideologi politik dan
ekonomi menjadi sebab pertumpahan darah di antara dua kelompok yang saling
berseberangan. Sejarah menunjukkan bahwa di samping faktor-faktor yang disebutkan
di atas-, perebutan wilayah dan hegemoni, perbedaan dan arogansi etnis, serta perebutan
sumber-sumber daya alam untuk kepentingan pertanian dan industri merupakan
penyebab munculnya berbagai konflik di berbagai belahan dunia.
Konflik Islam- Kristen yang terjadi di beberapa tempat, jika dianalisa lebih dalam,
ternyata tidak disebabkan karena perbedaan konsepsi keagamaan. Adian Husaini
mengatakan bahwa konflik Islam-Kristen yang pernah terjadi di Rengasdengklok,
Situbondo, dan Tasikmalaya ternyata terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial,
penyebaran agama, pembangunan rumah ibadah dan sebagainya. Dibandingkan masa-
masa sebelumnya dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ternyata konflik antara Islam-
Kristen lebih banyak terjadi di masa Orde Baru (juga pada masa pasca Reformasi
sekarang), pada saat mana, negara secara sistematis melaksanakan program sekulerisasi
dan menekan wacana ideologis dan keagamaan.32[32]
Menyamakan semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-jelas mengingkari
kenyataan bahwa masing-masing agama memang berbeda. Tuhan dalam Islam tidaklah
sama dengan Tuhan dalam Kristen (dan juga agama lain). Tuhan dalam Islam adalah
Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Maha Kuasa.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-
Nya.33[33] Allah tidak terjangkau panca indra dan akal manusia yang terbatas
kemampuannya. Dia Allah- jelas tidak sama dengan pemahaman umat Kristen (Katolik
dan Protestan) tentang Tuhan Yang Maha Esa, namun terdiri atas tiga oknum yaitu
Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.
Konsep-konsep tentang peribadahan dalam Islam haruslah semua yang ditentukan
oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Substansi peribadahan Islam
adalah ketundukan dan ketaatan pada Allah, namun tata cara peribadahan itu diatur oleh
Allah. Jadi bukan dilakukan sesuai dengan kehendak manusia apalagi sejarah- untuk
membentuk ritualitas tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa Islam mengecam tata-cara
ibadah orang-orang kafir yang musyrik. Nabi Muhammad Saw. menolak untuk secara
bergantian beribadah dengan cara Islam dan kafir, walaupun orang-orang kafir
menyatakan bahwa Tuhan-tuhan yang mereka sembah hanyalah sarana menuju Tuhan
Yang Maha Esa.34[34]
Islam tidak mengakui konsepsi Kristen yang mempertuhankan Isa as.35[35]
Agama yang benar di sisi Allah, dalam konsepsi Islam, adalah agama Islam, dan barang

32[32] Baca Adian Husaini, Solusi Damai Islam- Kristen, Postaka Progresif,
Surabaya, 2003
33[33] Q. S. al-Ikhlas: 1- 4
34[34] Q. S. al-Kafiruun: 1-6
35[35] Q. S. Ali Imran: 51
siapa yang mencari agama selain Islam, maka agama itu adalah sesat.36[36] Implikasinya
adalah, aspek-aspek lain Kristen, termasuk aspek eksoteris yaitu ibadah juga tidak diakui
dan karenanya ditolak. Al-Quran bahkan tidak segan-segan memberikan sebutan kafir
kepada orang-orang non-muslim seperti Kristen. Sementara orang beranggapan bahwa
sebutan itu tidak etis, dan mengganggu suasana kerukunan yang sejak dulu dijalin di
Indonesia. Padahal dalam agama Kristen sendiri pemeluk agama lain seperti kaum
Muslim disebut domba-domba yang tersesat yang kurang lebih sama maknanya dengan
sebutan kafir dalam Islam.
Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang Nabi dan Rasul
mempunyai posisi yang sangat sentral untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Islam sebagai agama, tidak hanya merujuk kepada satu bangsa,
individu, atau kelompok pada ruang dan waktu tertentu. Islam adalah juga nama aktivitas
manusia yang menunjukkan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan, Yang Maha Esa,
yang tidak ada Tuhan selain Dia, yaitu Allah. Dengan demikian, Islam adalah agama yang
meliputi seluruh umat manusia, sejak Muhammad Saw. sampai akhir zaman kelak.
Sementara itu, jika bagi umat Islam, Isa As. Hanyalah seorang Nabi sekaligus
manusia biasa, yang diutus kepada Bani Israil saja, bagi umat Kristen, Isa adalah anak
Allah yang azali. Artinya tidak ada perubahan antara dirinya dan Allah dalam hal waktu.
Sebenarnya Allah murka kepada manusia karena dosa-dosa mereka, khususnya dosa
nenek moyang mereka yaitu Adam yang telah mengeluarkannya dari surga. Tetapi,
sekalipun Allah murka kepada manusia, Dia tetap maha Pengasih dan ingin menghapus
dosa manusia. Maka Doa mengutus anak-Nya ke bumi dengan cara masuk ke dalam
rahim Maryam yang masih gadis dan dilahirkan seperti lazimnya anak yang lain. Setelah
dewasa, Ia disalib oleh Pontius Pilatus (Wakil kaisar Romawi) sebagai penebus dosa
nenek moyang manusia yaitu Adam.37[37] Dengan demikian, Tuhan Yang Maha Esa
dalam Kristen terdiri atas oknum-oknum Bapa, Anak (Isa) dan Roh Kudus yang dikenal
dengan sebutan Trinitas, suatu ajaran yang diperkenalkan pertama kali oleh

36[36] Q. S. Ali Imran: 19-20
37[37] Dr. Ahmad Syalaby, Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh
Ahmad, S. Ag., Pustaka DaI, Jakarta, 2004, hlm. 83-84
Paulus.38[38] Dia pulalah yang menghapus sekaligus menciptakan syariat-syariat baru
yang bertentangan dengan apa yang diajarkan Musa sebagai Nabi yang paling dihormati
dan diagungkan oleh Bani Israil.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kendatipun Islam mengakui bahwa
sebagai mana halnya Islam- Kristen berasal dari sumber yang satu yaitu Allah, namun
menyamakan kedua agama, sebagai agama yang sama-sama mengajarkan sikap tunduk
dan pasrah kepada Tuhan, adalah sebuah kesimpulan yang gegabah dan tidak diterima
oleh umat beragama (dalam hal ini umat Islam). Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir
dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah kafir untuk sebutan bagi
orang non-muslim, termasuk Kristen.39[39]
Trauma pengggunaan istilah kafir tampaknya berasal dari pengalaman sejarah,
betapa kata itu disamakan istilah heresy (bidah) yang diterapkan Gereja Eropa pada
abad pertengahan, yang berujung dengan pembantaian terhadap kelompok/ sekte-sekte
Kristen yang berbeda konsepsi dengan Gereja Katolik Roma. Padahal konsep kafir dalam
Islam tidak sama dengan heresy sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa. Allah Swt.
berfirman:
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam. (al-Baqarah: 256)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agamamu dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (al-Mumtahanah:
8)


38[38] Trinitas adalah konsepsi Ketuhanan Kristen yang pertama kali
diungkapkan oleh Saul atau Paulus. Seorang yang masuk agama Isa As. Setelah wafatnya
Isa Almasih di tiang salib, di atas Bukit Golgotha. Dia yang pada mulanya memusuhi para
pengikut Isa As., dan tidak pernah bertemu secara langsung dengan Isa As. Pada akhirnya
mengambil kepemimpinan dalam agama ini, melebihi pengaruh 12 Rasul yaitu murid-
murid yang diangkat dan belajar langsung dari Isa As. Baca Kisah Para Rasul 9: 1-9
39[39] Lagi-lagi pendapat ini dipersoalkan oleh para penganut pluralisme agama.
Ulil Abshar Abdalla dan Jalaluddin Rahmat menolak penggunaan istilah kafir bagi orang
non-Muslim. Jalaluddin Rahmat meskipun mengakui bahwa konsep tentang kafir masih
relevan, karena terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah, namun demikian Jalaluddin-
masih harus direkonstruksi. Menurutnya, kata kafir dan seluruh derivasinya di dalam Al-
Quran selalu didefinisikan dan dikaitkan dengan akhlak yang buruk, dan tidak pernah
didefinisikan sebagai non-muslim. Jadi, orang kafir menurut Jalaluddin adalah orang
(beragama) yang berakhlak buruk. Definisi kafir sebagai orang non-muslim hanya terjadi di
Indonesia saja.
Dengan demikian, jika dilihat dari konsepsi masing-masing agama, terutama Islam,
tidak ada dalil untuk berlaku agresif terhadap umat beragama lain, termasuk Kristen.
Konflik umat Islam dengan Kristen hanya dilegitimasi jika umat Kristen itu nyata-nyata
memusuhi, dan atau mengusir kaum Muslim dari negeri (kampung halamannya).

Priodesasi Peta Konflik di Indonesia
Untuk mengkaji masalah konflik antar kelompok agama Islam dan Kristen, terlebih
dahulu kita perlu memahami sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia.
Sejarah Singkat Masuknya Agama Islam di Indonesia
Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13, yang
dibawa oleh para pedagang India yang menganut paham sufisme (mistik Islam).
Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih menekankan pada pengertian agama
sebagai urusan pribadi seseorang dalam usahanya untuk mencari hubungan yang intim
dengan Allah Hubungan pribadi ini mencari suatu keakraban hidup dengan Allah, dan yang
berpusat pada kepuasan dan kehangatan hati atau perasaan.
Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya adalah religion of the heart atau agama hati,
dan bukan religion of the law atau agama hukum. Atas dasar ini, maka memang berbeda
dengan perjumpaan Islam - Kristen di Eropa pada abad-abad pertama Hijriyah, yang ditandai
oleh konfrontasi dan kekerasan, maka penyebaran agama; Islam ke dunia timur, termasuk ke
Indonesia adalah melalui jalan dagang dan jalan damai. Sebagai kekuatan, Islam pada
mulanya mengambil posisi di daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan
pantai timur Sumatera. Dari daerah pantai dan pusat dagang ini, Islam menyebar secara
berangsur-angsur dan secara damai ke daerah-daerah pedalaman.
Memang para sufi inilah, menurut para ahli. yang telah berhasil membuat Islam para
raja dan menjadikan mereka sultan yang mengepalai pemerintahan dalam suatu daerah Islam.
Begitu raja menjadi Islam, maka rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang sultan.
Proses pengislaman seperti ini merupakan hal yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala
yang sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi abad ke-16. Jika kita mengamati
perkembangan Islam di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar ke seluruh nusantara.
Dan untuk kurun waktu kira-kira 600 tahun, keadaan Islam versi sufi ini tetap berlangsung
tanpa gangguan yang berarti.
Sufisme memiliki keluwesan sebagai agama pribadi, maka dengan mudah berbaur
dengan unsur-unsur kepercayaan pribumi, dan pembauran antara unsur inilah yang disebut
sebagai abangan dalam keagamaan jawa. Dengan demikian dapat pula kita mengerti bahwa
versi abangan seperti ini telah mengambil kedudukan yang sukar digoyahkan di hati sebagian
besar umat Islam di Indonesia. Sebab itu, walau di abad ke-19, versi Islam Sunni atau Islam
ortodoks yang disebut golongan santri tiba di nusantara ini, kemudian mengadakan gerakan
pemurnian (reislamisasi), kelihatannya sampai pada saat inipun belum berhasil untuk
mengambil alih kekuatan golongan abangan ini terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa
dan di Jawa Barat.

Sejarah Singkat Masuknya Agama Kristen di Indonesia
Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah mendapat jalan laut ke timur: Vasco De
Gama tiba di pantai India pada tahun 1498. Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal
Portugis mengunjungi kepulauan rempah-rempah, Maluku, untuk pertama kali, dan sejak
tahun 1522 mereka tinggal tetap di Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk
berdagang.
Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan Portugis, maka salah satu syaratnya
ialah raja-raja harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan
kepada mereka. Tuntutan ini memang sesuai dengan pertalian rapat antara negara dan gereja
pada zaman itu, dan raja-raja dengan rela hati melayani kepentingan gereja.
Misionaris yang pertama-tama menginjakkan kakinya di pulau-pulau Maluku, ialah
beberapa rahib Franciskan yang mendarat di Ternate pada tahun 1522, tetapi karena rupa-
rupa perselisihan di antara orang Portugis sendiri, mereka segera terpaksa berangkat pulang.
Lalu, mereka mulai bekerja di Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan
pembesar Portugis, rakyat bermufakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa
orang yang sudah masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz, seorang pater Franciskan, mati
dibunuh selaku syahid pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini ditindas, dan kemudian
pater lain berusaha lagi untuk menanamkan bibit agama Roma di Halmahera. Di Ambon
sebagian rakyat dibaptiskan, karena ingin mendapat pertolongan Portugis terhadap orang
Islam.
Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan misionaris Yesuit yang masyhur,
yaitu Franciscus Xaverius ke Maluku. Setelah mempersiapkan diri beberapa bulan lama di
Maluku dengan mempelajari bahasa Melayu, Xaverius tiba di Ambon pada bulan Februari
1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, ia mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai.
Setelah 15 bulan bekerja di Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.
Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa bencana yang hebat. Sultan
Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng Portugis dengan pengkhianatan yang keji.
Akibatnya ialah banyak kampung Kristen dibakar oleh orang Islam, Bacan dikalahkan oleh
Ternate, sehingga hilang bagi misi, dan di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat
Kristen bertambah berbahaya sehingga banyak orang murtad. Kedudukan misi makin hari
makin sukar, orang Portugis dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang
Kristen berkurang. Kebanyakan mereka secara nama saja. Jumlah para misionaris yang
tinggal cuma sedikit dan mereka menderita pelbagai sengsara. Makin sukar kuasa Portugis,
maka makin lenyaplah pengaruh misi.
Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan Portugis, orang-orang Belanda
datang ke Indonesia. Mereka mengambil alih daerah yang dikuasai Portugis. Orang-orang
Kristen dijadikan Protestan. Itulah awalnya Gereja Protestan memasuki wilayah nusantara ini.
Para Pendeta Protestan datang bersama-sama dengan kekuasaan Belanda dengan
kongsi dagangnya yaitu VOC. Gereja terlalu erat berhubungan dengan negara (VOC) dan
dikuasai olehnya.
Karena kepentingan gereja harus mengalah terhadap kepentingan negara (VOC),
maka pekabaran Injil kepada orang-orang non Kristen tidak dapat berkembang.
Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu gerakan yang membawa hidup baru, yaitu
revival (kebangunan) yang besar. Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan gereja di Indonesia. Abad ke-19 ini menjadi abad "Pekabaran Injil" bagi
Indonesia. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang
ada sekarang ini.

Konflik Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang
bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya
agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik yang
disertai dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di
Maluku.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam hubungan
Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang memberikan
keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai rencana pengukuhan
kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri sejak awal perjuangan untuk
merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus
merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam umat.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan
ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di
Indonesia.
Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah
Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut dalam
peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum
Islam fundamentalis terlibat.
Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia bahwa bangkitnya
oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti
Kristen.
Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di
berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah timur
ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana
berapa gedung gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa
serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April,
beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang
dipukuli oleh massa yang marah dan brutal.
Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan
menjalar ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak
oleh massa.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa kota
Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen
dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota Tasikmalaya.
Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan berbagai fasilitas umum,
kantor polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan
sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah
Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah Kristen
dihancurkan dan sebagian dibakar massa.
Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya kental berbau
keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah dikemukakan di
atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan
orang Kristen tak terhindarkan.

Kesimpulan
Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama Islam, bukanlah alasan dan
sebab utama yang memicu konflik antar umat Islam dan Kristen (serta umat beragama
lain). Sejumlah kajian dan penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya
terletak pada faktor internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-negara yang
penduduknya minoritas Muslim (misalnya: Filipina), bahkan di negara yang mayoritas
penduduknya Muslim seperti Indonesia gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus
berhadapan dengan peradaban global yang sekuler, kapitalistis, dan bersemangat
hedonistis. Politik Islam negara-negara Barat yang berabad-abad menekan aspirasi umat,
yang kemudian disusul oleh upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron
mengikuti Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini (Muslim) semakin
lama semakin berkurang. Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan,
menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan disorientasi.
Untuk level Indonesia, faktor di atas, diikuti dengan upaya pemerintah
memberikan kebebasan berbuat kepada umat Kristen , sehingga walaupun secara
kuantitatif jumlah mereka kecil, namun secara kualitatif, peran politik, ekonomi, dan
menentukan arah nilai-nilai moral bahkan peradaban masa depan bangsa ini yang
diberikan kepada mereka relatif besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka dapat dilihat
pada berkembangnya cara hidup kebaratbaratan di tengah umat.
Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan kemiskinan, keterbelakangan
dan ketertinggalan. Kondisi ini diperparah oleh adanya penyakit Islamofobia (takut
kepada Islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti
sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme
agama, mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan Islam fundamentalis, yang
dinilai ekstrem dan militan. Padahal, bangkitnya Islam fundamentalis, menurut G.
H. Jansen, adalah reaksi terhadap masalah bagaimana mengahadapi tantangan cara
hidup Barat yang telah menjadi cara hidup dunia.40[40] Kelompok terakhir ini, yang

40[40] G. H. Jansen, Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980, hlm. 6
senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat dari materialisme
yang sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu
kebutuhan batiniah dan sekaligus kebutuhan intelektuil manusia. Menggunakan istilah
Arnold Toynbee, boleh jadi, mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja
keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban kontemporer
yang rapuh. Sehingga, seandainya pun terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada
tataran ideologis, di antara mereka dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-
kelompok penentangnya. Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan
adalah kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena perbedaan konsepsi
keagamaan.
Dari uraian di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat
beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan
karena perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi
yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya mengaburkan peran agama dalam
membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan wajah
muram agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok
yang memisahkan manusia dengan manusia dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus
menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang
pertama bersikap anti agama sementara yang terakhir mencoba menyamakan agama-
agama, dengan berlindung di balik topeng pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini,
jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak
mungkin, karena memang kedua agama ini berbeda.
Kendatipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika dianalisa lebih
jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara kedua
pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari
pengamatan, sehingga agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan
radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Eliade (ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York,
1987, Vol. 12

Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan
Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15

Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
2004

Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003

Jansen , G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980

Kurtz, Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.

Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001

Madjid, Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001

Mische, Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork: Peter
Lang Publishing Inc., 2001)

Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002

Mulkhan, Abdul Munir, Dr., Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2002

Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001

Rasyid, Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta, 2002

Syalaby, Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag.,
Pustaka Dai, Jakarta, 2004

Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan
(PKSK), Jakarta, 1997

Anda mungkin juga menyukai