Anda di halaman 1dari 7

Nama: Gagas Tyas Rudatin

NIM: 09.05.52.0042



MP3EI, Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Kehancuran
Oleh Siti Rakhma Mary
(Koordinator Program Hukum dan Resolusi Konflik HuMa)
Saya mengundang Anda sebagai mitra kami untuk melaksanakan rencana tersebut. Kami
telah mengembangkan skema public-private partnership untuk memfasilitasi minat investasi
Anda. Ini adalah kerangka win-win. Di satu sisi, Indonesia akan mendapatkan keuntungan
dari investasi dan kerjasama dengan Anda. Di sisi lain, investasi Anda akan kembali dan
tumbuh.[1]
(Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di APEC CEO Summit 2012,
Far Eastern Federal University, Vladivostok, Russky Island, Rusia, 8 September 2012)

Latar belakang MP3EI
Sejak dimulainya pencanangan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia atau disingkat MP3EI pada 27 Mei 2011, masyarakat Indonesia harus bersiap
menghadapi pembangunan besar-besaran yang difokuskan pada beberapa sektor seperti
pangan, energi, dan infrastruktur. Apakah MP3EI? Mengapa ia ada? Apa konsekuensinya?
MP3EI bisa diartikan sebagai salah satu bagian dari rencana pembangunan jangka panjang
Indonesia. Landasan hukumnya adalah Perpres No. 32 tahun 2011. Pasal 1 ayat 2 Perpres ini
menyebutkan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak 2011 sampai 2025
dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, dan
melengkapi dokumen perencanaan yang ada.[2]
Untuk mendukung penguatan MP3EI, Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru
Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang antara lain mengatur strategi program, peta
panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur
dalam Perpres No. 26 tahun 2012.
Dalam lampiran Perpres itu, disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya
peran Indonesia dalam perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17
terbesar di dunia. Karena itu Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum global dan
regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Lebih lanjut
dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008,
mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga internasional.
Sementara itu, keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan
Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik
untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan
kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.[3]
Luas kawasan terbesar, penduduk terbanyak dan sumber daya alam terkaya menempatkan
Indonesia sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara. Menurut dokumen ini, Indonesia perlu
memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk
pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik
global.[4]
MP3EI dan ASEAN connectivity: meluasnya jaringan kapital
Nyatanya, keberadaan MP3EI tak terlepas dari peran negara-negara dan lembaga-lembaga
keuangan internasional. Lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF),
World Bank (WB), dan Asian Development Bank (ADB), menyiapkan dana besar untuk
mendukung proyek-proyek infrastruktur.[5]
Sebelum pertemuan APEC di Rusia, pertemuan internasional negara-negara anggota G20
telah menjadikan infrastruktur sebagai fokus perundingan. G20 ingin menerapkan skema
penyediaan dan pembiayaan infrastruktur dalam rangka menolong krisis. Pertemuan APEC di
Rusia kemudian menyepakati bahwa akselerasi investasi infrastruktur adalah strategi penting
untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan di Asia Pasifik.[6]
APEC beranggotakan 21 negara dan lembaga keuangan internasional seperti ADB, WB, dan
insitusi-institusi bisnis lainnya.[7] Bisa dikatakan bahwa inisiatif-inisiatif untuk membuka
peluang investasi global secara lebih luas melalui pembangunan proyek-proyek infrastruktur
yang didengungkan dalam pertemuan APEC, G20, dan ASEAN berjalan seiring. Tetapi, ide
tentang konektivitas ASEAN ini pertama kali diusulkan oleh Perdana Menteri Thailand
Abhisit Vejjajiva pada pembukaan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-42 pada 20
Juli 2009 di Thailand. Ia mengatakan bahwa community of connectivity (keterhubungan
komunitas) dimana semua barang, orang, investasi dan inisiatif bisa berjalan tanpa hambatan,
seharusnya menjadi tujuan ASEAN tahun 2015.
Usulan Abhisit tersebut ditindaklanjuti dalam beberapa pertemuan ASEAN selanjutnya. Pada
24 Oktober 2009, para pemimpin ASEAN merancang Master plan on ASEAN connectivity
yang kemudian disepakati dalam KTT ASEAN Ke-17 di Hanoi, Vietnam, pada 28 Oktober
2010. Master plan ini adalah dokumen strategis untuk ASEAN connectivity dan rencana aksi
2011-2015 untuk menghubungkan ASEAN melalui pembangunan infrastruktur fisik,
konektivitas institusional dan konektivitas orang.[8]
Mengapa konektivitas penting bagi negara ASEAN? Karena ASEAN adalah pasar 573 juta
orang, dengan daya beli yang cenderung meningkat. Sedangkan Indonesia adalah pusat
pertumbuhan ASEAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,50%, Singapore 6,10%, Malaysia
5,80%, China 5,80%, Thailand 3,50% dan Filipina 3,20%.
Dengan demikian, ASEAN community akan menyediakan pasar lebih besar, lebih efektif, dan
kompetitif. Apalagi total perdagangan ASEAN sedang naik, dari 17,4 triliun ASD ke 72,3
triliun pada 2010.[9] Potensi ASEAN inilah yang kemudian dilirik oleh negara-negara maju
dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Apalagi dengan krisis ekonomi yang melanda
Uni Eropa, lembaga-lembaga tersebut memandang ASEAN sebagai pasar yang menjanjikan
untuk ekspansi modal mereka.
Keterkaitan MP3EI dengan perekonomian ASEAN rupanya menemukan benang merahnya.
Duta Besar RI mengatakan bahwa integrasi hanya dapat dilakukan jika ASEAN inter dan
intra-connectivity dapat tercipta, sehingga perpindahan barang, orang, dan jasa dapat
dilakukan dengan cepat, murah dan leluasa. Untuk itu negara-negara kepulauan di ASEAN
perlu menggalakkan pembangunan infrastruktur darat, laut, dan udaranya guna menunjang
integrasi antar sesama negara ASEAN serta antar negara ASEAN dengan kawasan dan
dunia.[10] Hal ini diperkuat dengan pernyataan Presiden SBY bahwa perbaikan infrastruktur
di Indonesia akan meningkatkan konektivitas ASEAN dan pada akhirnya mendorong
pertumbuhan ekonomi di lingkup APEC dan dunia.
Pemerintah mencontohkan proyek MPEI kerjasama dengan negara-negara ASEAN
diantaranya adalah Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT GT) juga
tercantum dalam Koridor Ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan contoh kerjasama: jaringan listrik ASEAN yang
dinamai ASEAN Power Grid yang berkapasitas 600 MW antara Semenanjung Malaka,
Malaysia, dan Pulau Sumatera dan menjadi bagian dari Proyek Melaka Pekanbaru
Interconnection dalam program kerjasama subregional IMT GT[11]
Dari rumusan lampiran Perpres No.32 tahun 2011 di atas, terlihat betapa Pemerintah
menginginkan Indonesia menjadi negara maju dengan cepat. Itulah mengapa masterplan ini
menggunakan pendekatan percepatan transformasi ekonomi, bukan pendekatan business as
usual. Masterplan ini menggunakan slogan: locally integrated, globally connected. Ia
menggunakan pendekatan spasial, membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu
koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-
Maluku.
Masing-masing koridor ekonomi memiliki tema sesuai dengan potensinya: koridor Ekonomi
Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi
Nasional; Koridor Ekonomi Jawa sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional; Koridor
Ekonomi Kalimantan sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung
Energi Nasional; Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil
Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional; Koridor Ekonomi
Bali Nusa Tenggara sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional;
dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku sebagai Pusat Pengembangan Pangan,
Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional.
MP3EI ini terfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri,
kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Pengembangan
kawasan dengan penentuan koridor-koridor tersebut menurut Pemerintah dapat memberi
dampak spill over (melampaui batas) dan mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan
sekitarnya secara lebih cepat.[12]
Memisahkan pulau, mengambil untung
Sekilas, tak ada masalah dengan penentuan koridor. Bahkan bisa jadi, hal ini dianggap
sebagai kecerdasan Pemerintah merencanakan pembangunan. Namun, bila dibaca secara
kritis, pemisahan pulau-pulau besar menjadi enam koridor itu adalah bentuk baru
pengkonsentrasian wilayah-wilayah untuk dieksploitasi para pemilik modal. Tujuannya
hanya satu: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Memang sebelum ada masterplan tersebut, para pemilik modal telah mengeksploitir berbagai
jenis sumberdaya alam di seluruh Nusantara. Namun dengan MP3EI, Pemerintah membantu
para investor menemukan daerah-daerah baru dengan kekhususan masing-masing. Dengan
membagi-bagi Nusantara menjadi enam koridor tersebut, terjadilah eksploitasi sumber daya
alam besar-besaran.
Penentuan lokasi-lokasi tertentu untuk proyek tanaman monokultur juga kian melanggengkan
kerusakan lingkungan. Penetapan masterplan yang memilih wilayah-wilayah tertentu dengan
sumberdaya tertentu itu dilakukan sepihak. Masyarakat tak pernah dimintai pendapat. Tak
ada persetujuan sebagaimana prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Proyek besar ini,
hanya diputuskan sepihak oleh pemerintah yang mengklaim telah melakukan penelitian akan
potensi sumberdaya alam di enam koridor tersebut.[13]
Padahal proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal dan
masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah-wilayah proyek. Mereka
berdiam di atas tanah-tanah adat atau ulayat. Walhasil, Pemerintah harus berhadapan dengan
masyarakat hukum adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut. Dalam kasus MIFEE di
Merauke, proses mendapatkan tanah adat dilakukan investor dan Pemerintah dengan tipu
daya.[14]
Politik pecah belah
Proyek-proyek MP3EI pada gilirannya akan mematikan berbagai potensi budidaya tanaman
pangan dan jenis-jenis pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja pada masing-masing pulau
atau wilayah itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan perkebunan-perkebunan sawit atau
pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya pekerjaan masyarakat lokal dari berladang
atau bertani menjadi buruh perkebunan atau pertambangan. Apalagi jika tanah mereka telah
hilang diambil pemilik modal untuk dijadikan perkebunan atau pertambangan, mereka tak
punya pilihan lain selain bekerja di proyek tersebut.
Tetapi penggunaan tenaga kerja dari masyarakat lokal biasanya terbatas. Perusahaan lebih
banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, persis ketika Belanda mendatangkan
kuli-kuli dari Jawa ke perkebunan-perkebunan di Sumatera pada masa kolonial.[15]
Pembukaan proyek-proyek infrastruktur juga telah membuat orang beralih pekerjaan dari
petani menjadi buruh di perkotaan. Masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang sejak
awal telah mengelola tanah dan sumber daya alamnya, tak bisa masuk dalam skema
megaproyek tersebut. Selain persoalan budaya, juga karena tak memiliki modal ekonomi dan
tenaga kerja untuk membentuk daerahnya sesuai tema MP3EI. Sehingga, alih-alih
mengintegrasikan kekuatan lokal sesuai slogan, pemerintah justru mempraktekkan politik
pecah-belah dan kuasai (devide et impera).
Melancarkan perampasan tanah melalui regulasi
Untuk mewujudkan MP3EI, Pemerintah memerlukan dana sekitar Rp. 4.500 trilliun yang
35% di antaranya diperoleh dari pihak swasta. Nyatanya, Pemerintah tak memiliki uang
sebanyak ini. Mereka lalu berusaha menggaet para investor dari luar negeri di berbagai
kesempatan. Selain para investor ASEAN, pemerintah juga mengundang investor Amerika
Serikat, Rusia, dan Australia. Mereka akan menanamkan modalnya di proyek-proyek
tersebut, termasuk proyek infrastruktur.
Penyediaan infrastruktur yang seharusnya merupakan tanggung jawab Pemerintah,
dikerjasamakan antara Pemerintah dengan pengusaha, bahkan Pemerintah memandang perlu
mengembangkan pembiayaan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha. Untuk
mendukungnya, Pemerintah menjanjikan kemudahan-kemudahan dan insentif seperti bea
masuk, pajak, perijinan, dan aturan ketenagakerjaan. Masa konsesi bagi swasta pun
diperlama, seperti pengelola jalan tol yang kini masa konsesinya menjadi 40 tahun, dari 30-
35 tahun sebelumnya.
Peran pemerintah adalah menyediakan regulasi untuk mempermudah pengusaha
menanamkan investasinya. Hal ini ditempuh karena pelaksanaan MP3EI terhambat oleh
beberapa peraturan, masalah perijinan, keberadaan lahan, dan rencana tata ruang. Peraturan-
peraturan yang dipandang menghambat adalah di bidang pertanahan, kehutanan, dan tata
ruang. Perpres No. 32 tahun 2011 mengamanatkan perbaikan 28 aturan yang dapat
menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru untuk mempercepat
dan memperluas investasi.
Aturan yang harus diperbaiki tersebut terdiri atas tujuh UU, tujuh Peraturan Pemerintah,
enam Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan
Menteri, dan ditargetkan selesai pada akhir tahun 2011.[16]
Salah satu aturan yang dibuat adalah UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah
dilakukan melaui musyawarah, tetapi jika tak ada kesepakatan, maka pemerintah akan
menitipkan ganti rugi untuk si pemilik tanah itu di pengadilan. Beberapa aturan lain untuk
memperlancar investasi adalah: PP No. 52/2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu
atau di Daerah Tertentu, Perpres No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur. Ketiga, Perpres No.28/2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Keempat, penerbitan peraturan perundang-
undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur.
Hasilnya adalah diterbitkannya: 1). Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata
(Makassar, Sungguminasa, dan Takalar) 2). Perpres No. 88/2011 tentang RTR Sulawesi 3).
Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat 4). Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat.[17]
Hukum negara versus hukum adat
Pemberlakuan hukum negara di wilayah-wilayah adat seringkali mengakibatkan benturan
antara hukum negara dengan hukum adat. Sebelum pelaksanaan MP3EI pun, telah banyak
terjadi konflik antara hukum adat dengan hukum negara. Contohnya pada 2009, masyarakat
adat di kampung Pelaik Keruap, Kalimantan Barat memberlakukan hukum adat kepada
sebuah perusahaan yang melakukan survey tambang batubara di wilayah hutan adat secara
sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui masyarakat dan dikenai hukum adat. Namun
masyarakat mengetahuinya dan mereka memberlakukan hukum adat.
Tetapi mereka yang memberlakukan hukum adat itu justru dipenjara. Pelaksanaan MP3EI
akan meningkatkan intensitas konflik macam ini. Apalagi ketika hukum adat banyak
diingkari oleh Pemerintah. Akibat dari pengingkaran ini adalah perampasan-perampasan
tanah di seluruh penjuru. Sampai saat ini saja, pemberian ijin-ijin lokasi dan konsesi untuk
perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, dan hutan, telah merampas hak-hak hidup
masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.
Beberapa konflik agraria telah muncul berkenaan dengan pelaksanaan MP3EI ini
diantaranya: kasus PT DH Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, KPI Sei Mangke,
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, PLTU Batang Jawa Tengah,
PT Bukit Asam-perluasan Bangko Tengah, Pertambangan di Sulawesi, dan Smelter di
Kalimantan Selatan,[18] kasus perluasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan kasus
pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo.
Penutup: membuat kemajuan dengan menghancurkan
MP3EI rupanya bukan desain bagi kemajuan seluruh masyarakat Indonesia, tetapi hanya
menguntungkan mereka yang disebut pemilik modal, baik pemodal dalam negeri maupun
asing. Secara keseluruhan, proyek ini justru membawa kesengsaraan bagi masyarakat dan
lingkungan. Bila lingkungan rusak oleh tanaman-tanaman monokultur dan aktivitas ekstraktif
yang rutin, maka alam akan hancur. Kerusakan lingkungan akan berdampak pada masyarakat
sekitar dan lingkungan global.
Pertama, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah proyek, MP3EI berdampak pada
hilangnya kemajemukan dan potensi budidaya tanaman. Kedua, terjadi spesialisasi tenaga
kerja. Ketiga, konflik antara hukum adat dan hukum negara. Kesemuanya itu mengakibatkan
konflik agraria merebak di beberapa daerah.
Pemerintah telah memfasilitasi masuknya pemilik modal mulai dari desain kebijakan,
perbaikan dan pembuatan regulasi, sampai teknis mendapatkan tanah di lapangan. Namun,
pada akhirnya MP3EI tak lebih sebagai megaproyek menghancurkan sumber-sumber
penghidupan dan memiskinkan masyarakat lokal.

Anda mungkin juga menyukai