Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut pada usus halus
ditandai dengan demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan pada saluran
cerna dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.
Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan
penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis
pasti.Penegakandiagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat
karena tidak ditemukannya gejalaklinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada
beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini
menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi
penegakan diagnosis demam tifoid.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang
cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara
menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian
terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita,
insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha
kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan serta ditunjang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus, dan peyers patch. Penyakit ini hanya didapatkan pada manusia dan
penularannya hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.
Demam paratifoid secara patologis maupun klinis sama dengan demam tifoid, namun
biasanya lebih ringan. Penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteridis.
Terdapa 3 bioserotipe Salmonella enteridis, yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B,
dan paratyphi C. Sampai saat ini, penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan,
hal ini dikarenakan oleh kesehatan lingkungan yang kurang memadai, penyediaan air
minum yang tidak memenuhi syarat, serta tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang kurang memadai.

Sejarah
Bretoneau (1813) melaporkan pertama kali tentang gambaran klinis dan kelainan
anatomis dari demam tifoid, sedangkan cornwalls hewett (1826) melaporkan perubahan
patologisnya. Piere louis (1829) memberikan nama typhos yang berasal dari yunani
dengan arti asap/kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan
kesadaran dari yang ringan sampai yang berat.
A. Preifer berhasil pertama kali menemukan kuman Salmonella dari feses
penderita, kemudian dalam urin oleh Hueppe dan dalam darah oleh R. Neuhauss. Pada
waktu yang bersamaan Widal (1896) berhasil memperkenalkan diagnosis demam tifoid.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang merupakan
kuman gram negative, motil, fakultatif anaerob, dan tidak menghasilkan spora.Kuman
ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih
rendah, serta mati pada suhu 70 derajat celcius ataupun oleh antiseptik.Salmonella
typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
Antigen O : Ohne Hauch = antigen somatic ( tidak menyebar ) yang terdiri dari
Oligosakarida.
Antigen H : Hauch ( menyebar ), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil
yang terdiri dari protein.
Antigen V : kapsul = kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
antigen O terhadap fagositosis yang terdiri dari polisakarida.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibody yang lazim disebut aglutinin. Salmonella typhi juga
dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotik.

Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
Negara sedang berkembang.Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini
sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spectrum klinisnya yang sangat luas.Diperkirakan angka kejadian dari 150:100.000
pertahun di Amerika Selatan dan 900:100.000 pertahun di Asia.Umur penderita yang
terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang
kurang lebih sama juga dilaporkan di Amerika Selatan. Terjadinya penularannya
sebagian besar melalui minuman atau makanan yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan
tinja atau melalui rute oral fekal.



Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti ingesti
organism, yaitu : 1. penempelan dan invasi sel-sel M Peyers Patch, 2. bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyers patch, nodus limfatikus mesenterika, dan
organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, 3. Bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, dan 4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di
dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa.Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7-20
hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Walaupun gejala
demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Demam lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi terutama pada
malam hari.
2. Gelaja gastrointestinal dapat berupa diare, obstipasi, mual, muntah, kembung.
Serta ditemukan hepatomegali, splenomegali, dan lidah kotor tepi hiperemis.
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.

Diagnosis
Pendekatan diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,
gejala gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan kesadaran.Dengan criteria ini
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi salmonella typhi dari darah.Pada dua minggu pertama sakit,
kemungkinan mengisolasi salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari
pada minggu berikutnya.Biakan yang dilakukan pada urine dan feses, kemungkinan
keberhasilan lebih kecil.Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang
mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil postif didapat pada 90% kasus.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi.
2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman.
3. Uji serologis.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler.

1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai
ramalyang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan
kuat diagnosis demam tifoid.

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-
faktoryang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil,
perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu pengambilan darah.Volume
10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.
Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-
1mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.Biakan
darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit.Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga.Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.Kegagalan dalam isolasi/biakan
dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.Walaupun
spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang
lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Metode mikrobiologi Gall Culturemerupakan uji gold standart untuk pemeriksaan
demam tifoid/paratyphi.Interpretasi hasil jika hasil positif maka diagnosispasti untuk
demam tifoid/paratyphi.Sebaliknya jika negatif belum tentu merupakan demam tifoid /
paratifoid , karena hasil biakan palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 ml, darah tidak segera dimasukkan
ke dalam media gall ( darah dibiarkan membeku didalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan ), saat pengambilan darah masih dalam minggu 1 sakit,
sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji
ini adalah hasilnya tidak segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan
kuman ( biasanya 2-7 hari, belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari ).
Bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian stadium
lanjut / carier digunakan sediaan urin dan tinja.

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri.Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji Widal, tes TUBEX
metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA), dan pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi
yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh
karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang
dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal pertama kali diperkenalkan oleh Georges Fermand Isidore Widal (1862-1929), ia
merupakan seorang dokter dan bacteriologist di Prancis. Tes ini merupakan alat dignostik demam
tifoid yang paling sering digunakan di negara berkembang.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting dalam menejemen demam
tifoid. Tidak adanya symptom dan sign spesifik membuat sulitnya penegakan diagnosis klinik
demam tifoid. Diagnosis definitive dari demam tifoid adalah dengan mengisolasi salmonella typhi
melalui kultur, baik melalui kultur darah, tinja, maupun sumsum tulang. Namun tes ini sangatlah
mahal dan membutuhkan waktu satu minggu untuk mendapatkan hasilnya.
Berkembangnya serodiagnosis dengan metode mendeteksi antibody spesifik dari
salmonella typhi pada akhir abad ke-19 digunakan sebagai alternative dari tes kultur. Di negara-
negara berkembang metode yang cenderung dipilih adalah uji Widal, yang telah digunakan
semenjak satu abad yang lalu. Uji Widal menggunakan metode mendeteksi antibodi dengan
kemampuan agglutinasi dari seluruh sel bakteri didalam tes tube maupun slide. Hal ini
menyebabkan kurang spesifiknya tes ini terutama pada daerah endemic.
Meskipun banyak fakta menunjukkan bahwa uji Widal tidak dapat dipercaya, uji widal masih
digunakan hingga saat ini di daerah endemik. Adapun alasannya adalah proses pengerjaan tes ini
yang simple (single step). Uji Widal juga murah dan tidak menggunakan instrumental. Untuk itu
dibutuhkan alat uji diagnostik yang ideal, yang bukan hanya memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi, tapi juga simple, relatif murah, dan tidak membutuhkan alat elektronik mengingat
daerah endemik penyakit ini kebanyakan adalah negara miskin dan berkembang.
Salmonella typhi memiliki tiga jenis antigen yaitu: antigen O (somatic); antigen H (flagellar);
dan antigen Vi(surface), maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan tubuh berupa
antibody sepesifik terhadap antigen tersebut. Prinsip dasar dari uji Widal yaitu
mendeteksimunculnya agglutinin (antibody) O dan H pada serum milik pasien dengan
menggunakan suspensi O dan H. Terdapat dua jenis pemeriksaan uji Widal yaitu Tube Widal Test
dan Slide Widal Test . Slide Widal Testyang paling popular digunakan karena memberikan hasil
yang lebih cepat.
Uji Widal memberikan hasil tes yang bersifat kualitatif.Untuk menghitung hasil titer untuk
setiap antigen pada uji Widal menggunakan slide, serum milik pasien harus diencerkan terlebih
dahulu. Sempel serum diencerkan dalam beberapa tingkatan yaitu 80l, 40l, 20l, 10l, 5l, pada
setiap seri sempel serum diberikan satu tetes antigen sepesifik dan dilihat apakah terjadi agglutinasi
atau tidak. Setiap seri serum spesimen memiliki nilai yang berbeda yaitu; 80l berkorespondensi
dengan 1 dalam 20 titer (1/20), 40l dengan 1/40, 20ldengan 1/80, 10l dengan 1/160, dan 5l
dengan 1/320. Nilai-nilai tersebut menunjukan hasil positive yang menunjukan terjadi proses
aglutinasi, dengan semakin tinggi titer semakin tinggi pula kemungkinan pasien tersebut menderita
demam tifoid.
Uji Widal menggunakan antigen yang tidak begitu spesifik terhadaps.typhi sehingga dapat
terjadi cross-reaction dengan kuman salmonella lainnya misalnya pada pasien yang pernah
menderita enterik fever lainnya. Reaksi ini dinamakan anamnestic response dan dapat
menimbulkan tingginya nilai false positive.Hal ini menjawab alasan dari kurang spesifiknya uji Widal.
Single test pada uji Widal tidak begitu bermakna.Idealnya uji widal dilakukan duakali yaitu
pada fase akut dan 7-10 hari setelahnya.Hal ini dikarenakan agglutinin O dan H meningkat dengan
tajam 8 hari setelah onset panas pertama.Jika terjadi empat kali peningkatan titer agglutinin baru
dapat dikatakan hasilnya positive secara signifikan.Sayangnya hal ini jarang ditemukan karena
penggunaan antibiotik pada awal penyakit bisa mencegah meningkatnya titer agglutinin.
Meningkatnya penggunaan vaksin typhoid menyebabkan meningkatnya angka false
positive pada uji Widal. Hal ini terjadi karena meninggkatnya agglutinin level secara persisten pada
H agglutinin dan transient pada O agglutinin, yang terjadi baik pada non-infected population
maupun pada febrile non-typhoid patients karena anamnestic response.
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test).Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.Beberapa penelitian
pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.
Besar titer antibodi untuk diagnosis demam tifoid di lndonesiabelum terdapat
kesesuaian.Dari hasil beberapa penelitian menunjukkanbahwa kegunaan uji Widal
untuk diagnosis demam tifoid bergantungprosedur yang digunakan di masing masing
rumah sakit atau laboratorium. Menurut penelitian wardhani uji Widal dianggap positif
bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H. Semakintinggi titernya
semakin besar kemungkinan orang menderita demamtifoid.
Kriteria hasil uji Widal dinilai positif apabila memenuhi ketentuanTiter aglutinin O
dan H sebesar atau sama dengan titer aglutinin yangditetapkan sebagai titer diagnostik
berdasarkan batas atas nilai rujukantiter aglutinin yang telah ditentukan. Setiap daerah
memiliki standaranglutinin Widal yang berbeda beda. Nilai standar agglutinin
Widaluntuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di Yogyakarta titerO dan H >
1/160, Surabaya titer O dan H > 1/160, Manado titer O dan H> 1/80, Jakarta titer O dan
H > 1/80, Makasar titer O dan H 1/320.
Cara kerja reaksi Widal untuk mendeteksi titer Salmonella yangdigunakan untuk
penetapan titer antibodi dalam serum sebagai berikut:
a. Pengenceran 1 : 160, dibuat dengan cara memipet serum 10 Lditambah
dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadiaglutinasi dihitung titer
antibodinya. Perhitungan per titer antibodyadalah 10 x 1/1600 = 1/160.
b. Pengenceran 1 : 320, dibuat dengan cara memipet serum 10 Lditambah
dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadi14aglutinasi dihitung
titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodyadalah 5 x 1/1600 = 1/320
c. Pengenceran 1 : 640, dibuat dengan cara memipet serum 10 Lditambah
dengan 1 tetes (40 L) reagen Salmonella. Apabila terjadiaglutinasi dihitung titer
antibodinya. Perhitungan per titer antibodyadalah 2,5 x 1/1600 = 1/640
Titer antigen O dan H 1/160 menunjukkan hasil positif karenaterdapat anglutinasi
yang ditandai dengan adanya granula seperti pasir.Pada titer 1/160 perlunya dilakukan
pemeriksaan ulang setelah 5 hari daripemeriksaan, guna melihat kenaikan titer.pada
infeksi yang aktif titer ujiWidal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selangwaktu paling sedikit 5 hari. Titer 1/320 menunjukkan bahwa sampeldaarah
penderita yang digunakan mengalami infeksi sedang atau ringan.
Titer 1/640 menunjukkan bahwa sampel penderita mengalami fase kronisatau berat
dan perlunya dilakukan penanganan yang lebih lanjut.Semakin tinggi serum yang
digunakan dan terdapat granula menunjukkantingkat infeksi kuman Salmonella typhi.
Kegunaan uji Widal untuk menentukan titer aglutinin yangmeningkat dalam serum
penderita demam tifoid.Penentuan titer Widaldilihat dari kenaikan titer antibodi dalam
darah terhadap antigen O danantigen H dua kali dari titer sebelumnya yaitu
1/160.Pemeriksaanlaboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang
sampaisaat ini dilakukan adalah dengan metode konvensional, yaitu uji serologites
Widal karena bersifat mudah dan cepat diketahui hasilnya.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit
dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-of
point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.Penelitian oleh
Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal
dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
Kelemahan yang penting dari penggunaan uji Widal sebagai saranapenunjang
diagnosis demam tifoid yaitu spesifisitas yang agak rendahdan kesukaran untuk
menginterpretasikan hasil, sebab adanya faktor yang15mempengaruhi kenaikan titer.
Selain itu antibodi terhadap antigen Hbahkan mungkin dijumpai dengan titer yang lebih
tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk
diinterpretasikan
Uji widal menggunakan metode untuk mendeteksi antibody dengan kemampuan
aglutinasi dari seluruh sel bakteri di dalam tes tube maupun slide. Hal ini menyebabkan
kurang spesifiknya tes ini terutama pada daerah endemik. Diagnosis demam tifoid /
paratifoid dinyatakan bila titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut
harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di indonesia. Titer O
meningkat setelah akhir minggu.
Faktor faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Widal
Faktor faktor yang berhubungan dengan penderita:
1. Keadaan umum gizi penderita, gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
2. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit. Aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah penderitamengalami sakit selama satu minggu dan mencapai
puncaknyapada minggu kelima atau keenam sakit.
3. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian antibiotik dengan obat antimikroba
dapatmenghambat pembentukan antibodi.
4. Penyakit-penyakit tertentu. Pada beberapa penyakit yang menyertai demam
tifoid tidakterjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderitaleukemia dan
karsinoma lanjut.
5. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapatmenghambat
pembentukan antibodi.
6. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya. Keadaan ini dapat
menyebabkan uji Widal positif, walaupuntiter aglutininnya rendah. Di daerah
endemik demam tifoiddapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
7. Vaksin
Pada orang yang divaksin demam tifoid titer anglutinin O danH akan meningkat.

Faktor-faktor teknis :
1. Aglutinasi silang. Karena beberapa spesies Salmonella dapat
mengandungantigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada
satuspesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesieslain. Oleh
karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidakdapat ditentukan dengan uji
widal.
2. Konsentrasi suspensi antigen. Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan
pada uji widalakan mempengaruhi hasilnya.
3. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Daya aglutinasi
suspensi antigen dari strain salmonellasetempat lebih baik daripada suspensi
antigen dari strain lain.

3.2 TES TUBEX
Tes TUBEXmerupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang
ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.
TUBEX merupakan alat diagnostik demam tifoid yang sangat cepat hanya
membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit, sederhana, dan akurat.Tes ini menggunakan
system pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum antibody IgM terhadap
antigen O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri salmonella typhi.Pada orang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.Metode tes TUBEX ini adalah mendeteksi
antibody melalui kemampuannya untuk memblok ikatan antara reagen monoclonal anti
O9 salmonella typhi dengan reagen antigen O9 salmonella typhi sehingga terjadi
pengendapan dan pada akhirnya tidak terjadi perubahan warna.


3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase
awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakanantara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-Myang merupakan modifikasi dari metode
Typhidottelah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.Dikatakan bahwa Typhidot-Mini dapat menggantikan uji
Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan
penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa
sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia
sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.

3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji lain yang berkembang adalah ELISA, pemeriksaan ini merupakan uji
imunologik yang lebih baru. Sebagai tes cepat ( Rapid test ). Adapun antigen yang
dipakai pada alat uji ini subcelluler structure dari organism salmonella typhi, salah
satunya adalah antigen O9 lipopolisakarida. Antigen ini mampu membedakan organism
ini > 99% dari serotype bakteri salmonella yang lain, sehingga tes ini sangatlah spesifik
terhadap salmonella serotype typhi. Diagnosis dinyatakan bila IgM positif menandakan
infeksi akut dan IgG positif menandakan pernah kontak / pernah terinfeksi / infeksi
daerah endemik.
Meskipun banyak fakta menunjukkan bahwa uji widal masih kurang dapat
dipercaya, tetapi uji widal masih banyak digunakan hingga saat ini di daerah endemik
serta proses pengerjaannya yang sederhana sedangkan ELISA menggunakan system
multikompleks. Uji widal juga murah dan tidak menggunakan instrumental, sedangkan
ELISA menggunakan enzyme conjugate dan proses pembacaan sampel dengan
elektronik sehingga harganya menjadi mahal. Untuk itu dibutuhkan alat uji diagnostic
yang ideal, yang bukan hanya memiliki sensitivitas dan spesitifitas tinggi, tapi juga
sederhana, relatif murah, dan tidak membutuhkan alat elektronik mengingat daerah
endemic penyakit ini kebanyakan adalah negara miskin dan negara berkembang. Alat
diagnostik baru yaitu TUBEX yang memiliki kelebihan dari alat uji widal dan punya
spesifitas yang hampir sama dengan ELISA.
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai
untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA.
Berikut adalah kelebihan tes anti-Salmonella typhi IgM/IgG:
Mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella Typhi, karena antibody
IgM muncul pada hari ke 3-4 terjadinya demam (sensitivitas lebih dari 95%).
Lebih spesifik dalam mendeteksi infeksi Salmonella Typhi dibandingkan dengan
widal sehingga bisa membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala
yang mirip (spesifisitaslebih dari 93%).
Hanya memerlukan sampel serum tunggal, sedangkan pada widal idealnya
dilakukan dua kali dengan jarak pemeriksaan antara 5-7 hari.
Antigen yang digunakan dalam tes anti-Salmonella typhi IgM/IgG responsive
terhadap antibody spesifik terutama pada pasien anak-anak, sehingga memiliki
sensitivitas yang baik pada kelompok umur tersebut.

3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibody igM spesifik terhadap antigen LPS S. typhidengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhisebagai pita
pendeteksi dan antibody IgM anti-human immobilizedsebagai reagen
kontrol.Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas leboratorium yang lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negative atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidakdilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.
Metode biologi molekuler PCR (Polymerase chain reaction),metode ini dilakukan
dengan perbanyakan DNA kuman yang kemudian didentifikasi dengan DNA probe yang
spesifik.Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitivitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.Specimen yang
digunakan dapat berupa darah, urine, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

Diagnosis Banding
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan
antara lain : bronchitis, influenza, bronkopneumonia. Pada stadium selanjutnya harus
dibedakan dengan demam paratifoid, malaria, tbc milier, pielitis, meningitis, endokarditis
bacterial, dan rickettsia. Pada stadium toksik harus dibedakan dengan leukemia,
limfoma, dan penyakit hodgkin.

Penatalaksanaan
Secara garis besar dibagi menjadi 3 :
1. Perawatan
Penderita dengan tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi harus tirah
baring sempurna.
2. Diet
Penderita diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kekambuhan penderita. Beberapa peneliti menganjurkan
makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan pasien dengan
memperhatikan segi kualitas ataupun kuantitas dapat diberikan dengan aman.
Pemberian makanan padat dini dapat memberikan keuntungan, seperti dapat
menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin, dalam serum dan dapat
mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
3. Obat-obatan
Obat-obatan yang sering digunakan antara lain :
a. Chloramphenicole
Dosis : 50-100 mg/kg/bb/hari selama 10-14 hari.
b. Tiampenikol
Dosis : 50-100 mg/kgBB/hari. Demam rata-rata menurun pada hari ke 5
sampai hari ke 6. Efektivitas hampir sama dengan khlorampenikol tapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah.
c. Cotrimoxazole
Mengandung sulfametoxazole dan trimetropin diberikan selama 2 minggu.
d. Ampicillin
Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
chlorampenicole. Dosis : 100-200 mg/kgBB/hari
e. Seftriakson
Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dibagi
dalam 2 dosis iv.
f. Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2x200-400 mg oral pada anak umur lebih
dari 10 tahun.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi atas dua bagian yaitu:
1. Komplikasi pada usus halus seperti perdarahan, perforasi, dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus halus seperti bronchitis, bronkopneumonia, miokarditis,
meningitis, ensefalopati, kolesistitis, dan karier kronik

Preventif
Usaha pencegahan dapat dibagi atas :
1. Usaha terhadap manusia seperti imunisasi, menemukan dan mengobati karier,
serta pendidikan kesehatan masyarakat.
2. Usaha terhadap lingkungan hidup seperti penyediaan air minum yang memenuhi
syarat, pembuangan kotor manusia yang higienis, pemberantasan lalat, dan
pengawasan terhadap penjual makanan,

Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, statu gizi, derajat kekebalan
penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta ada tidaknya komplikasi,



















REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK
KEPANITERAAN KLINIK RSAL SURABAYA
PEMERIKSAAN WIDAL UNTUK DEMAM THYPOID











Pembimbing:
dr. Retno Wisanti, Sp.A

Penyusun :
Khurrotul Ayuni S. Ked 2007.04.0.0134
Ryan Sugiarto S. Ked, 2008.04.0.0071
Achmad Fikri S. Ked, 2008.04.0.0141
Ammar Abdat S. Ked, 2009.04.0.0051
Astine Jennifer S. Ked, 2009.04.0.0054
Rizky Apriansyah S. Ked, 2009.04.0.0055
Rizka Amalia S. Ked, 2009.04.0.0057
Cikal Damau S. Ked, 2009.04.0.0126
Arifatun Nasicha S. Ked, 2009.04.0.0166

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANGTUAH SURABAYA
2014

Anda mungkin juga menyukai