Anda di halaman 1dari 42

NYERI ABDOMEN AKUT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Nyeri perut adalah nyeri yang dirasakan di antara dada dan region inguinalis. Nyeri perut
bukanlah suatu diagnosis, tapi merupakan gejala dari suatu penyakit. Nyeri akut abdomen
didefinisikan sebagai serangan nyeri perut berat dan persisten, yang terjadi tiba-tiba serta
membutuhkan tindakan bedah untuk mengatasi penyebabnya. Appley mendefinisikan sakit perut
berulang sebagai serangan sakit perut yang berlangsung minimal 3 kali selama paling sedikit 3
bulan dalam kurun waktu 1 tahun terakhir dan mengganggu aktivitas sehari-hari (Markum,
1999).
Dari penelitian terdahulu hanya 7% kasus yang disebabkan oleh kelainan organik yang
akan menimbulkan sakit perut (Apley, 1959), hal ini meningkat terhadap berbagai kondisi seperti
konstipasi, abdominal, gastritis, ulkus peptikum dihubungkan dengan Helycobacter
pylori danirritable bowel syndrome. Penyebab intra-abdominal dapat diklasifikasikan lagi
menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal, dan lain-lain (Tabel 1). Penyebab sakit perut
berulang yang terbesar adalah faktor psikofisiologi (Boediarso, 2009). Kelainan organik sebagai
diagnosis banding penyebab sakit perut berulang telah banyak dilaporkan, tetapi hanya
ditemukan pada 5-15,6% kasus. Pada garis besarnya kelainan organik sebagai penyebab sakit
perut berulang dapat dibagi menurut penyebab intra-abdominal dan extra-abdominal. Penyebab
intra-abdominal dapat diklasifikasikan lagi menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal,
dan lain-lain (Tabel 1). Pada tabel 2 dapat pula dilihat kelainan organik sebagai penyebab sakit
perut. Penyebab sakit perut berulang yang terbesar adalah faktor psikofisiologi.

1.2.TUJUAN
1.2.1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
mekanisme terjadinya nyeri abdomen mendadak, type nyeri, pemeriksaan yang dibutuhkan untuk
diagnostic, penatalaksanaan bedah dan non bedah, serta epidemiologi dan pencegahannya.

1.2.2. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan patomekanisme timbulnya nyeri abdomen
1.1.Anatomi dan histology saluran cerna, organ visera, dan dinding abdomen.
1.2.Persyarafan saluran cerna, organ visera, dan dinding abdomen.
1.3.Patofisiologi nyeri dan penjalarannya.
1.4.Hal-hal yang adapt menyertai timbulnya nyeri pada abdomen.
2. Menjelaskan type nyeri abdomen akut
2.1.Nyeri visceral, penyebab dan cirri-cirinya.
2.2.Nyeri somatic, penyebab dan cirri-cirinya.
3. Menjelaskan cara diagnostic pada nyeri abdomen
3.1.Hal-hal yang perlu digali pada anamnesis keluhan dan riwayat penderita.
3.2.Diagnostic fisik yang diperlukan untuk nyeri abdomen akut.
3.3.Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk nyeri abdomen akut.
3.4.Pemeriksaan radiologis yang dilakukan untuk nyeri abdomen akut.
4. Menjelaskan penatalaksanaan nyeri abdomen akut
4.1.Penatalaksanaan bedah dan non bedah yang bersifat life saving.
4.2.Penatalaksanaan bedah dan non bedah yang bersifat elektif.
5. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan terjadinya nyeri abdomen akut
5.1.Epidemiologi nyeri abdomen akut.
5.2.Pencegahan nyeri abdomen akut.

1.2.3. SKENARIO
Pasien wanita 18 tahun dating ke dokter dengan nyeri perut hebat yang timbul mendadak disertai
perut agak membesar dan muntah-muntah. Sakit perut bertambah saat batuk. Beberapa hari
sebelumnya penderita demam, disertai rasa mules, dan buang air besar yang agak mencret.
Penderita adalah mahasiswi yang kost disekitar kampus salah satu perguruan tinggi di Jakarta
dan sudah sering minum obat maag karena nyeri ulu hati.



1.2.4. KATA/KALIMAT KUNCI
1. Mahasiswi yang kost, 18 tahun
2. Nyeri perut hebat timbul mendadak dan bertambah saat batuk
3. Perut membesar
4. Muntah-muntah
5. Demam, mules, dan BAB agak mencret beberapa hari sebelumnya
6. Riwayat minum obat maag
7. Nyeri ulu hati

1.2.5. PERTANYAAN
1. Aapa etiologi nyeri abdomen akut?
2. Bagaimana mekanisme nyeri abdomen akut?
3. Apa yang membuat nyeri abdomen bertambah saat batuk?
4. Bagaimana patomekanisme gejala yang menyertai (mules,demam, mencret)?
5. Apa ada hubungan antara konsumsi obat maag dengan semua gejala pada scenario?
6. Mengapa nyeri perut disertai perut agak membesar dan muntah-muntah?
7. Bagaimana mekanisme kerja obat maag?
8. Bagaimana tindakan awal untuk mengatasi kasus nyeri abdomen akut?
9. Bagaiman cara mendiagnosis gejala yang menyebabkan nyeri abdomen akut?
10. Apa saja type/jenis nyeri abdomen akut?
11. Bagaimana cirri-ciri jenis nyeri abdomen akut?
12. Asupan gizi apa yang harus diberikan untuk penderita nyeri abdomen akut?
13. Apa saja factor resiko yang menyebabkan nyeri abdomen akut?
14. Apakan nyeri abdomen akut termasuk masalah kesehatan masyarakat atau tidak?
15. Bagaimana mekanisme terjadinya muntah?
16. Bagaimana tindakan promotif adn preventif agar tidak terjadinya nyeri abdomen akut?
17. Apakah ada hubungan antara lokasi nyeri abdomen akut dengan organ-organ pada system
penceranaan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.PATOMEKANISME NYERI ABDOMEN AKUT
Rasa sakit perut, baik mendadak maupun berulang, biasanya selalu bersumber pada:
1. Visera perut
2. Organ lain di luar perut
3. Lesi pada susunan saraf spinal
4. Gangguan metabolic
5. Psikosomatik
Rasa sakit perut somatik berasal dari suatu proses penyakit yang menyebar keseluruh
peritonium dan melibatkan visera mensentrium yang berisi banyak ujung saraf somatik , yang
lebih dapat meneruskan rasa sakit nya dan lebih dapat melokalisasi rasa sakit daripada saraf
otonom. Telah diketahui pula bahwa gangguan pada visera pada mulanya akan menyebabkan
rasa sakit visera, tetapi kemudian akan diikuti oleh rasa sakit somatik pula, setelah peritoneum
terlibat. Rasa sakit somatik yang dalam akan disertai oleh tegangan otot dan rasa mual yang
merupakan gejala khas peritonitis. Refleks rasa sakit perut dapat pula timbul karena adanya
rangsangan pada nervus frenikus, misalnya pada pneumonia. Rasa sakit yang berasal dari usus
halus akan timbul didaerah perut bagian atas dan epigastrium, sedangkan rasa sakit dari usus
besar akan timbul dibagian bawah perut.
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin
yang berasal dari sistim saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut
saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih menyebar dan lebih lama dari rasa sakit yang
dihantarkan dari kulit oleh serabut saraf A.
Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari
organ di abdomen. Serabut C ini akan bersamaan dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre
dan paravertebra dan memasuki akar dorsa ganglia. Impuls aferen akan melewati medula spinalis
pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri. Impuls
aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan ambang nyeri pada
jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal, dan berbatas tak jelas serta sulit
dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung, duodenum, pankreas, hati, dan
sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6,7,8 serta dirasakan didaerah
epigastrium. Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz
sampai fleksura hepatika memasuki segmen Th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus.
Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih, dan traktus genitalia perempuan, impuls nyeri
mencapai segmen Th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah
supra publik dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas
ke peritorium maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks spinals
segmentalis.
Nyeri yang disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada keracunan timah dan
porfirin belum jelas patofisiologi dan patogenesisnya. Patofisiologi sakit perut berulang yang
fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan
ada hubungan antara sakit perut berulang fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri.
Berbagai faktor psikologik dan fisiologik dapat berperan sebagai mediator dari sakit perut
berulang fungsional.
Telah diketahui ada hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan
tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota
keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosomatik seperti migraine dan kolon
iritabel.
Patogenesis sakit perut fungsional belum diketahui secara pasti. Motilitas saluran cerna
dan hipersensitivitas visera diduga sangat berperan terhadap kejadian nyeri perut non-organik
pada anak. Gangguan motilitas terlihat pada anak yang dilakukan pemeriksaan manometri. Pada
pemeriksaan manometri terlihat peningkatan intensitas kontraksi otot pada usus halus dan usus
besar, serta waktu singgah di dalam usus yang lambat (delayed intestinal transit time).
Konsep keterlibatan hipersensitivitas visera didapat dari penelitian yang memperlihatkan
perubahaan ambang reseptor pada dinding saluran cerna, perubahan modulasi dalam
mengkonduksi impuls sensorik, dan perubahan ambang kesadaran di susunan saraf pusat pada
pasien dengan irritable bowel syndrome. Peranan inflamasi dan imunomodulasi dalam
patogenesis sakit perut fungsional, perlu dipertimbangkan dengan ditemukannya proses inflamasi
nonspesifik pada biopsi jaringan saluran cerna. Mekanisme timbulnya sakit perut organik, ialah :
1. Gangguan vaskuler. Emboli atau trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan seperti
pada kista ovarium terpuntir dan jepitan usus pada invaginasi.
2. Peradangan. Peradangan organ di dalam rongga peritonium menimbulkan rasa sakit bila proses
peradangan telah mengenal peritoneum parietalis. Mekanisme perjalaran nyeri sama seperti
peradangan pada umumnya yang disalurkan melalui persyarafan somatic.
3. Gangguan pasase. Nyeri bisa ditimbulkan oleh adanya gangguan pasase atau obtruksi organ
yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat di dalam rongga peritoneal atau pun
retroperitoneal. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu akan timbul rasa sakit
akibat tekanan intra lumen yang meninggi di bagian proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang
timbul atau terus menerus dengan puncak nyeri yang hebat (kolik).
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis. Penarikan dan peregangan pada peritoneum
viseral dapat merangsang terjadinya nyeri yang bersifat tumpul (dull pain).
Dalam prakteknya, keempat mekanisme timbulnya sakit perut jarang ditemukan sendiri-
sendiri, tapi umumnya merupakan proses campuran (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC).

2.2.TYPE NYERI ABDOMEN AKUT
Akut Abdomen adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya nyeri perut dan umumnya
memerlukan tindakan bedah segera.
Ada 2 jenis nyeri pada akut abdomen yaitu :
1. Nyeri parietal : Nyeri yang berasal dari adanya rangsangan peritoneum parietal yang
dipersarafi oleh saraf somatik. Jenis nyeri ini mudah dilokalisasi.
2. Nyeri viseral : Nyeri yang berasal dari adanya rangsangan peritoneum viseral yang dipersarafi
oleh saraf otonom. Jenis nyeri ini sulit dilokalisasi dan lokasi nyeri dapat diprediksi dari asal
embriologisnya.
Ada pula jenis nyeri yang lain seperti Nyeri Referal yang merupakan penjalaran nyeri tempat lain
yang terasa di abdomen.
ETIOLOGI
Berikut ini disajikan persentase dari penyebab Nyeri Abdomen akut :
1. Nyeri abdomen nonspesifik 30-45%
2. Apendisitis akuta 20-25%
3. Colic bilier dan cholesistitis akut 7-8%
4. Colic ginjal/ureter 7%
5. Obstruksi usus 5%
6. Ulkus peptikum komplikasi 4%
7. Retensi urin akut 4%
8. Pankreatitis akuta 3%
9. Trauma 3%
10. Penyakit Medik 3%
11. Diverticulosis akuta 2%
12. Penyakit Ginekologik 2%
13. Penyakit Vaskuler 2%
(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.3.CARA DIAGNOSTIK PADA NYERI ABDOMEN
2.3.1. Anamnesis
Usia. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 5 - 14 tahun. Jenis kelamin. Perempuan
lebih sering mengalami sakit perut berulang dibandingkan laki-laki (5:3).


1. Riwayat sakit perut.
a. Lokalisasi. Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya
dirasakan di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah
perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus ataupun gangguan psikis
lokalisasinya sukar ditentukan.
b. Sifat dan faktor yang menambah / mengurangi rasa sakit. Sakit yang berasal dari spasme otot
polos usus, traktus urinarius, traktus biliaris, biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan
lokalisasinya dengan tepat dan tidak dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen.
Sakit yang berasal dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat
bila penderita batuk atau ditekan perutnya.
c. Waktu timbul : berhubungan dengan makan atau tidak.
d. Lama sakit perut.
e. Frekuensi.
f. Gejala yang mengiringi
g. Pola defekasi
h. Pola kencing
i. Siklus Haid
j. Akibat sakit perut pada anak
a) Terdapatkah kemunduran kesehatan pada anak tersebut
b) Bagaimana nafsu makan anak
c) Gejala / gangguan traktus respiratorius-
d) Gangguan musculoskeletal
2. Aspek psikososial
a. Pola hidup dan kebiasaan pola tidur, aktivitas sehari-hari, makanan, penggunaan toilet
b. Lingkungan: tetangga, sekolah, perkawinan orang tua, keadaan rumah, persaingan sesama
saudara kandung, beban keuangan, disiplin yang terlalu kaku
c. Temperamen, pola respon yang dipelajari: bagaimana anak mengatasi stress di masa lampau,
gampang bergaul, kaku, perfeksionis, obsesif, depresi kronik, sulit diatur
3. Trauma. Trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosal ataupun pancreatitis
4. Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga. Adakah di antara keluarga yang menderita kista
fibrosis, pankreatisis, ulkus peptikum, kolon irritable. Adakah faktor stress dalam keluarga. Pada
anamnesis yang teliti kita sudah dapat mengetahui apakah penyebab sakit perut berulang itu
kelainan organik atau bukan (Tabel 7)

Tabel 7. Tanda peringatan sakit perut berulang yang disebabkan kelainan organik
Nyeri terlokalisir, jauh dari garis tengah
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ektremitas bawah)
Membangunkan anak pada malam hari
Timbul tiba-tiba
Muntah
Gangguan motilitas (diare, obstripusi, inkontinensia)
Pendarahan saluran cerna
Dysuria
Gangguan tumbuh kembang
Gejala sistemik : panas, arthalgia, ruam kulit
Riwayat keluarga : ulkus peptikum, H pylori, intoleransi laktosa, IBD
Usia kurang dari 4 tahun atau lebih 15 tahun
Manifestasi akut abdomen dapat berupa : nyeri perut, mual, muntah dan obstipasi.
Manifestasi akut abdomen merupakan hasil dari proses peritonitis ataupun adanya gangguan
passase pada organ berongga ( contohnya: usus, ureter). Nyeri yang diakibatkan adanya
gangguan passase pada organ berongga bersifat kolik/ intermiten, sedangkan nyeri akibat
peritonitis bersifat terus-menerus (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3.
Jakarta: EGC)
2.3.2. Pemeriksaan Fisik
Bila nyeri disebabkan karena proses peritonitis, maka tanda peritonitis akan timbul seperti :
a) Takikardia, takipneu, hipotensi, febris (karena syok hipovolemik dan syok septic)
b) Distensi abdomen
c) Bising usus tidak ada
d) Nyeri tekan abdomen dan defans muscular
e) Nyeri ketok abdomen, meteorismus
f) Digital Rectal Examination : rectum dilatasi
Bila nyeri disebabkan karena proses ileus obstruktif, maka tanda ileus obstruktif akan timbul
seperti :
a) Takikardia, takipneu, hipotensi (karena syok hipovolemik)
b) Distensi abdomen
c) Bising usus meningkat / metallic sound
d) Meteorismus
e) Digital Rectal Examination : rectum kolpas
(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)
2.3.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin, Hemostasis, golongan darah untuk persiapan operasi
2. Foto Polos Abdomen 3 posisi
3. USG Abdomen
4. Elektrolit dan keseimbangan asam basa
5. Lab lainnya untuk menentukan etiologi :Amilase, Pregnancy test, Urinalisa, Fungsi ginjal,
Fungsi liver.
(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.4. PENATALAKSANAAN NYERI ABDOMEN AKUT
Pertama kali yang harus diperhatikan dalam menghadapi nyeri perut pada anak adalah
memilah apakah kelainan fungsional ( kelainan organik ) atau psikogenik ( psikosomatik ) yang
mendasari keluhan tersebut. Pemeriksaan penunjang tidak menjadi urutan pertama pada nyeri
perut tanpa alarm symptoms. Meskipun belum disepakati oleh semua negara tetapi sebagian
besar sudah menyetujui penggunaan Kriteria Rome untuk diagnosis nyeri perut fungsional. Tata
laksana dimulai dengan melakukan wawancara dengan anak dan orangtuanya secara bersama-
sama. Interaksi orang tua dan anak selama wawancara merupakan hal penting yang harus
diperhatikan. Penggunaan buku harian oleh orangtua dan anak untuk mencatat jenis makanan,
derajat nyeri (skor), pola defekasi dan keluhan spesifik lainnya.
Dengan pemantauan tersebut diharapkan mereka akan lebih memberikan perhatian
terhadap keluhan yang dirasakan. Anak diajak ikut serta mengevaluasi penyakitnya dengan
menuliskan apa yang dirasakan. Beberapa data perlu diketahui seperti prestasi belajar, stres
emosi di keluarga maupun di sekolah, aktivitas sosial, dan perkembangan aktivitas dalam
beberapa bulan terakhir. Pemeriksaan fisis harus dilakukan secara menyeluruh dan cermat.
Pemeriksaan colok dubur diperlukan pada kasus yang dicurigai adanya kelainan pada
usus daerah sigmoid, rektum, dan anus, seperti fisura, fistel, atau kelainan lainnya.3 Seringkali
sulit untuk memilah melakukan pendekatan psikogenik atau organik, maka sesuai dengan data
epidemiologi kejadian nyeri perut pada anak, umur 4 tahun dipakai sebagai batas umur untuk
memilah melakukan pendekatan diagnostik, dimana anak di bawah 4 tahun lebih dihubungkan
dengan kelainan organik, pemeriksaan penunjang tetap dilakukan walaupun sebagian besar kasus
nyeri perut pada anak tidak memperlihatkan kelainan organik. Pada keadaan tersebut, alarm
symptoms atau signal sign dapat digunakan sebagai dasar pendekatan tata laksana.
Beberapa kelainan nyeri perut non-organik memerlukan medikamentosa sebagai terapi
suportif, walaupun sejauh ini penelitian kontrol mengenai terapi dispepsia fungsional pada anak
masih terbatas. Obat dan makanan yang dianggap dapat menimbulkan keluhan sebaiknya
dihentikan. Agonis reseptor H2, Pompa Proton Inhibitor banyak diberikan pada dyspepsia,
prokinetik dapat diberikan pada dispepsia tipe dismotilitas. Faktor psikologis sebagai pencetus
keluhan perlu diketahui.
Apabila faktor stres psikologis sangat menonjol, maka diperlukan kerjasama antara
dokter dan keluarga dalam menyusun strategi mengurangi faktor stres tersebut. Penjelasan
kepada anak dan orangtua tentang penyakitnya sangat diperlukan, meskipun keluhan yang
dirasakan sangat mengganggu, anak perlu tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang serius.
Pencatatan harian tentang keluhan yang diderita sangat membantu dalam proses penyembuhan.
Obat-obat anti-depresi seperti imipramin atau amitriptilin digunakan pada orang dewasa,
sedangkan pada anak belum ada laporan studi kontrol. Siproheptadine efektif pada beberapa
kasus dengan sakit kepala migren dan muntah. Pada kasus dengan konstipasi sangat dianjurkan
pemberian diet tinggi serat (diet yang direkomendasikan : umur dalam tahun + 5 gr), dan
penggunaan minuman yang mengandung bikarbonat harus dihentikan.
Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit berulang fungsional pengobatan
ditujukan kepada penderita dan keluarga bukan hanya mengobati gejala. Tujuan pengobatan
ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan keluarga sehingga kehidupan
keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit sehingga dapat melaksanakan
aktivitas sehari-hari dengan baik (seperti terlihat pada tabel 9). Penting untuk menentukan
apakah nyeri perut membutuhkan suatu tindakan bedah atau tidak, perlu dipikirkan pada keadaan
sakit mendadak, kolik, tempatnya tertentu, jauh dari umbilikus, bertambah nyeri dengan
aktivitas, muntah yang berwarna hijau atau feses. Pada keadaan ini maka anak harus dirawat di
rumah sakit. Untuk nyeri psikogenik kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan
atau psikiater anak. Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan
anti-depresan tidak bermanfaat (William, 2007, Farmacia Obsteri, Jakarta : EGC)

2.5. MEKANISME ANTAR GEJALA
2.5.1. Muntah
Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat adanya kontraksi
abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter esofagus bagian bawah dan dilatasi
esofagus. Muntah merupakan respon somatik refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh
karena bermacam-macam rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan
otot diafragma.

1. Nausea (mual)
Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan emosi. Tidak selalu
berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk muntah
yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali disertai dengan gejala hipersalivasi, pucat,
berkeringat, takikardia dan anoreksia. Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura
mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan
bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase
nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului oleh fase nausea.
2. Retching
Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching, terjadi kekejangan dan
terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup. Otot pernapasan dan
diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang
bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan
pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih
menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching terjadi
relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam
esofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.
3. Ekspulsi
Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dan
diafragma, akan berlanjut menjadi muntah, jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme
anti refluks dari LES (lower esophageal sphincter).
Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan esofagus
relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan
intraabdominal serta kontraksi dari diafragma. Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan
negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi
kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi lambung
ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan
diafragma kembali ke posisi normal.


2.5.2. Perut Agak Membesar
Distensi abdominal merupakan proses peningkatan tekanan abdominal yang
menghasilkan peningkatan tekanan dalam perut dan menekan dinding perut. Distensi dapat
terjadi ringan ataupun berat tergantung dari tekanan yang dihasilakan. Distensi abdominal dapat
terjadi local atau menyeluruh dan dapat secara bertahap atau secara tiba-tiba. Distensi abdominal
akut mungkin merupakan tanda dari peritonitis atau tanda akut obtruksi pada perut.
Distensi abdominal mungkin dihasilkan dari lemak, flatus, fetus (hamil atau masa intra
abdominal, kehamilan ektopik) atau cairan. Cairan dan gas normal berada dalam GIT tetapi tidak
dalam ruangan peritoneal. Jika cairan atau gas tidak dapat keluar secara bebas distensi abdominal
dapat terjadi. Dalam ruangan peritoneal, distensi dapat menyebabkan pendarahan akut,
akumulasi dari cariran asites atau udara dari perforasi dari organ dalam perut.
Terminologi abdomen akut telah banyak diketahui namun sulit untuk didefinisikan secara
tepat. Tetapi sebagai acuan, akut abdomen adalah suatu kelainan nontraumatik yang timbul
mendadak dengan gejala utama didaerah abdomen dan memerlukan tindakan bedah segera.
Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
obstruksi, perforasi, atau perdarahan. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera
diambil karena setiap kelambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatnya
morbiditas dan mortalitas.
Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pengetahuan
mengenai anatomi dan faal perut beserta isinya sangat menentukan dalam menyingkirkan satu
demi satu sekian banyak kemungkinan penyebab nyeri perut akut. Banyak kondisi yang dapat
menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar, keadaan tersebut dapat dikelompokkan dalam
lima hal, yaitu :
1. proses peradangan bakterial kimiawi;
2. obstruksi mekanis : seperti pada volvulus, hernia, atau perlengketan;
3. neoplasma/tumor : karsinoma, polipus, atau kehamilan ektopik;
4. kelainan vaskuler : emboli, tromboemboli, perforasi, dan fibrosis;
5. kelainan kongenital.

2.5.3. Batuk
Batuk adalah suatu gejala gangguan atau kelainan saluran napas. Keadaan ini
merupakan suatu cara pertahanan tubuh untuk mengeluarkan lendir dan benda asing dari
saluran napas. Batuk terjadi akibat rangsangan oleh zat-zat tadi. Walaupun batuk suatu
mekanisme pertahanan tubuh, tetapi bila ini berlangsung lama dan terus menerus maka hal
ini sangat mengganggu penderita. Penderita sering datang berobat atau mencari pertolongan
dokter akibat gejala batuk ini. Berbagai faktor dan keadaan dapat menimbulkan batuk,
faktor tersebut bisa berasal dari luar maupun dari dalam tubuh. Inhalasi zat tertentu, polusi
udara dan penutupan oleh lendir adalah beberapa keadaan yang dapat menimbulkan batuk.
Batuk lebih mudah timbul pada orang yang mempunyai kelainan saluran napas, seperti
radang tenggorok, asma bronkial dan infeksi paru. Pengobatan batuk dapat bersifat etiologis
maupun simptomatis. Pengobatan yang paling baik adalah secara etiologik tetapi pada
keadaan tertentu ini tidak dapat dilakukan. Untuk itu mungkin pengobatan simptomatis
perlu diberikan.
Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula, dari medula dikirim
jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul batuk. Refleks batuk sangat
penting untuk menjaga keutuhan saluran napas dengan mengeluarkan benda asing atau
sekret bronkopulmoner. Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu Pada dasarnya mekanisme batuk
dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat
afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul
bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.
Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor
kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan
dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat
kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar
mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak
memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat
serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan
yang potensial.
Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago
aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai
300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik
setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi
mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga
terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan
pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan
cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah
terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada
dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Penyebab Batuk
Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang sebagai berikut:
Rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan secret trakeobronkial yang banyak.
Rangsang mekanik seperti benda asing pada saluran nafas seperti benda asing dalam saluran
nafas, post nasal drip, retensi sekret bronkopulmoner. Rangsang suhu seperti asap rokok
(merupakan oksidan), udara panas/ dingin, inhalasi gas.Rangsang psikogenik.
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase
kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi,
inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara,
kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti
dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada
saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi
jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian
lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50%
dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama,
volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi
yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga
udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah.


.
Gambar 1
Skema diagram menggambarkan aliran dan perubahan tekanan subglotis selama, fase inspirasi,
fase kompresi dan fase ekspirasi batuk

Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup
selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 100
mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver
ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan
bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain.
Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Gambar 2. Fase Batuk
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar
dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara
batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050
detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara
yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat
dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80% (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC).

2.6. MEKANISME KERJA ANTASIDA
Dalam keadaan normal, isi lambung mempunyai sifat yang sangat asam. Sifat ini mempunyai
potensi untuk merusak dinding lambung. Untungnya, dinding lambung dilindungi oleh lapisan
yang mencegah asam lambung berkontak langsung dengannya. Pada beberapa keadaan, lapisan
pelindung tersebut dapat mengalami kerusakan.
Beberapa diantaranya adalah penggunaan pereda nyeri NSAID (non steroid anti
inflammatory drugs seperti ibuprofen, asam mefenamat, piroksikam) dalam jangka waktu lama,
infeksi bakteri Helicobacter pylori, dan ditambah pola makan yang tidak sehat dan tidak teratur
(Wartamedika, 2009). Antasida, yang merupakan kombinasi aluminium hidroksida dan
magnesium hidroksida, bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga
rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Di samping itu, efek
laksatif dari magnesium hidroksida akan mengurangi gelembung-gelembung gas, yakni efek
konstipasi dari aluminium hidroksida, dalam saluran cerna yang menyebabkan rasa kembung
berkurang (Cari obat, 2009).
Saat diminum, obat akan segera bereaksi dengan asam yang ada di lambung, sehingga terbentuk
senyawa yang relatif netral.

2HCl(aq) + Mg(OH)2(s) MgCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)
Asam + Basa netral + sendawa
3HCl(aq) + Al(OH)3(aq) AlCl3(aq) + 3H2O(l)
Asam + Basa netral
Magnesuim oksida lebih efektif mengikat asam karena tidak diserap sehingga tidak
menyebabkan alkalosis. Magnesium trisilikat adalah antasida non- sistemik, yang bekerja lebih
lambat dan di dalam lambung akan melepaskan silisium oksida yang akan melapisi selaput lendir
lambung dengan lapisan pelindung.
Dengan demikian, iritasi lambung akan segera berhenti dan keluhan nyeri juga akan
hilang. Gas karbondioksida yang dihasilkan dari reaksi tersebut dapat menyebabkan tekanan gas
di dalam lambung meningkat, sehingga dikeluarkan dengan bersendawa. Umumnya obat
antasida yangring dipilih adalah jenis yang sukar larut, sehingga reaksinya lambat dan dapat
bertahan lama, misalnya aluminium hidroksi (BPPOM, 2008).
Dosis
Dewasa : 1 2 tablet, 3 4 kali sehari Anak 6 12 tahun : - 1 tablet, 3 4 kali sehari
Diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur, sebaiknya tablet
dikunyah dulu.
Efek Samping Antasida
Antasida biasanya terdiri dari kombinasi antara aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksidayang bekerja menetralkan asamlambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga rasa
nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Efek samping dari antasida
jarang dan hamper tidak pernah ditemui karena dampak negatif dari kedua senyawa tersebut
saling menghilangkan.Namun pada beberapa orang akan terjadi efek samping berupa mual,
muntah, diare, dan konstipasi. Rasa mual dan muntah disebabkan karena adanya penolakan dari
dalam tubuh seseorang terhadap suatu kandungan dari antasida sehingga orang yang meminum
antasida akan merasa tidak enak.
Sedangkan konstipasi merupakan efek samping yang ditimbulkan oleh aluminium
hidroksida. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan sulit
dikeluarkan. Biasanya buang air besardisertai dengan rasa sakit dan menjadi lebih jarang. Kasus
ini sering terjadi pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa mengalaminya. Menurut
DokterNurul Itqiyah (2007), apabila keadaan ini terjadi secara terus menerus, maka bisa
menimbulkan gejala berikut: Sakit perut, turun atau hilangnya nafsu makan, mual atau muntah,
turunnya berat badan.
Jika anak mengalami konstipasi yang cukup berat, dapat mengalami kehilangan
kemampuan merasakan kebutuhan ke toilet untuk buang air besar sehingga menyebabkan anak
buang air besar di celananya. Hal ini disebutencopresis atau fecal incontinence. Mengedan untuk
mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan. robekan kecil pada lapisan mukosa anus
(anal fissure) dan perdarahan.
Konstipasi meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Meskipun aluminium hidroksida
mempunyai efek konstipasi, namun efek ini bisa dikurangi dengan adanya efek laksatifdari
magnesium hidroksida. Laksatif merupakan kebalikan dari konstipasi, yaitu suatu keadaan
dimana feses terlalu banyak mengandung air sehingga feses memiliki konsentrasi cair dan sangat
mudah dikeluarkan. Keadaan seperti ini basa disebut dengan diare. Apabila terjadi secara terus-
menerus, maka seseoarang akan mengalami kehilangan cairan yang banyak. Namun komposisi
yang setimbang dalam suatu antasida, akan mengurangi bahkan menghilangkan efek samping
dari antasida tersebut.
Yang perlu diperhatikan adalah antasida yang mengandung magnesium hidroksida ini
harus diberikan dalam dosis kecil pada penderita gangguan ginjal. Bahkan penderita tersebut
tidak boleh mengkonsumsinya apabila kerusakan ginjalnya sudah parah. Hal ini disebabkan
magnesium hidroksida dapat mengakibatkan hipermagnesia, yaitu kelebihan magnesium dalam
darah, karena magnesium hidroksida dapat diserap sebagian kecil ke dalam darah.
Bagi penderita gangguan ginjal yang mengalami sakit maag sebaiknya berkonsultasi
dengan dokter sehingga dokter akan memberi obat maag dari golongan lain seperti Proton Pump
Inhibitor (PPI) (Indonesia, 2008) (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3.
Jakarta: EGC dan Guyton, Arthur C., dan John E. Hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Ed. 11. Jakarta: EGC)
2.7. DIAGNOSIS BANDING
A. APENDISITIS
1. Anatomi
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal
dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan
appendix vermiformis atau umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan bawah dari
abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix
berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada
pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3
dari SIAS kanan.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada
abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix
dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang
panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada
wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon yang disebut
appendix retrocolic
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis.
Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada
appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang
dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior
2. Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal
dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada
patogenesis appendicitis. Appendiks menghasilkan lendir 1 2 ml perhari yang bersifat basa
mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen
dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada
patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat
efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah
disaluran cerna dan seluruh tubuh.
3. Definisi Appendicitis
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun
4. Etiologi Gastritis
a. Peranan Lingkungan
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada
pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis
jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses
lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di
daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan
apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi
meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis
sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65%
dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi
sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang
akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu
alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks
untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan
risiko terjadinya perforasi.
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen
apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya
obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan
tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari
keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding
apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa.
Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan
supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen
apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan
pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding
apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir
adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut
menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami
perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya
peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat
tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi
tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum
berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan
mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .
c. Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri
aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit
kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella,
Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai
adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak
ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .
5. Patofisiologi Appendicitis
Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan organ sisa yang
tidak diketahui fungsinya. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran
sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem
gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke
sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang
lebih lemah.
Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini. Kontraksi
muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan
berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain
ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan
terganggu
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan panda
lumen sekum antara 3 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di
dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi
cairan 1 ml dalam 24 jam. Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem
gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid
Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin kurang
banyak berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem
immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor
yang memicu terjadinya infeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut
umumnya bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides fragilis dan
Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus. Bakteri ini menginvasi mukusa,
submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem, hiperemis dan kongesti local vaskuler,
dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan
perforasi
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut
diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi
dan diet rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi
pada pangkal lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti
setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal,
obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan
hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam
60 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe
submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.
Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat
keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal pada usia lebih dari 40 tahun,
ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan
jumlah kasus pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini sudah ada sebelum
dilakukan apendektomi dan menduga kanker inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang
menyebabkan apendisitis.
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura,
dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membrane mukosa apendiks dan
perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses Pada
awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada
lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa
sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan
berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel
radang akut.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat
diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama
konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat
, lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam
kolon yang lama Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon,
tetapi dapat juga mengubah kandungan bakteri.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran dalam muara apendiks
berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa
apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama
pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan
pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di
submukosa apendiks. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk apendiks adalah Ig A.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Namun demikian pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika
dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh.
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa . Proses
awal ini terjadi dalam waktu 12 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal
dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara
terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer
meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah
kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang
menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam
lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan
yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple . Obstruksi yang berkelanjutan
menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan
sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial.
Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri
semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang
disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer akan
semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini
menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial
yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk
ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin
meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material intraluminer
yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun
general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum.Apabila fungsi
omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat
periapendikular .
Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi
nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila
omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar
di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup
baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka akan terjadi
peritonitis general.
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat
terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis khronis, atau yang lain.
Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang
berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan
histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis khronis digambarkan
sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante
operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi khronis, dan serangan
menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante
operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-
kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum.
Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial
atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi
fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan
parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis khronika .
6. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik
Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut
gejala yang timbul tersebut:
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan
seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvi
a) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
b) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan
frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
c) Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan
akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui
setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak
khas.
Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada orang tua berusia lanjut. Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
Pada wanita : Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester,
gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang
biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan.
7. Diagnosis
a. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini
disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa
nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui
letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator
internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
b. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit
serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Berdasarkan keadaan klinis, harusnya diperlihatkan secara rutin yaitu.
Analisa urin. Test ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi
kemungkinan dari infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan kuadrant
kanan atas.
Serum B-HCG untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
Kebanyakan kasus apendisitis akut didiagnosa tanpa memperlihatkan kelainan radiologi. Foto
polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas
kanan abnormal, gas dalam lumen apendiks dan ileus lebih menonjol. Foto pada keadaan
berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan patologi yang meniru apendisitis
akut. Contohnya udara bebas intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti
duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaq, benda asing serta batas udara cairan di dalam
usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sejumlah laporan tentang manfaat enema barium telah
jelas mencakup beberapa komplikasi. Pemeriksaan enema barium jelas tidak diperlukan dalam
kebanyakan kasus apendisitis akut dan mungkin harus dicadangkan bagi kasus yang lebih rumit,
terutama yang dengan resiko operasinya berlebihan.
8. Diagnosis Banding
a. Gastroenteritis
Pada terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan terbatas
tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut. laboratorium biasanya normal karena hitung normal
b. Limfadenitis Mesenterika.
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut, terutama kanan
disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama kanan
c. Demam Dengue.
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif untuk Rumple
Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat
d. Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi
daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada gadis dapat dilakukan colok vagina jika perlu
untuk diagnosis banding. Rasa nyeri pada colok vagina jika uterus diayunkan.


e. Gangguan Genitalia Wanita
Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu dalam 24 jam,
tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari, pada anamnesis nyeri yang sama pernah
timbul lebih dahulu.
f. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu Ruptur tuba,
abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan maka akan timbul nyeri mendadak difus di
pelvis dan bisa terjadi syok hipovolemik. Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada
pemeriksaan vaginal dan didapatkan pada kuldosintesis
g. Divertikulosis Meckel
Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan sebelum operasi hanya
teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama
h. Batu Ureter
Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis retrocecal. Nyeri
menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau demam atau leukosotosis membantu.
Pielography biasanya untuk mengkofirmasi diagnose
9. Komplikasi
Acute appendicitis dengan komplikasi
Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup
yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya
sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong,
appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele.
Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram
+ dan atau gram ) dan anaerob.
Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan
mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti
dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses
inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat.
Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan
darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa,
karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses
obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus
gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan
Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses
pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah
infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix.
10. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi
medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana
pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat
terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis
saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi
yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal
berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society
menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5
jam untuk apendisitis perforasi.
b. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan
pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
Cairan intravena ; cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera
dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang
buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan
atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan
mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila
mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
Antibiotik : pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen ,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin
sulbaktam, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik
postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai
pasien tidak demam dengan normal leukosit.
Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitist perforasi
Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka
merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan
diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle
spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan
operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi
perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke
dalam perut dan insisi ditutup
11. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau
emboli paru orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik
dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi
luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya
robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan
perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi
dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi.
Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit
ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi
apendisitis kronis sebenarnya tidak ada.

B. PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam
rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis
yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral
usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Lapisan
peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling
menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian
baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan
usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat
penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium
ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars
superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang
masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut
mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkambangan dan pertumbuhan,
ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan
dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus
omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-
jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 dengan aksis ductus
omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding
dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan
bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian
usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal)
berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. Pada tempat-tempat peritoneum
viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi,
tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak
mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang dorsal peritonium sehingga disebut
retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam
rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal.
Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian: Duodenum terletak retroperitoneal;
Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium; Colon
ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal; Colon transversum terletak
intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum;
Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum
terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak
mempunyai alat pengantung; Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat
penggantung mesenterium, lipatan peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung
processus vermiformis. Ia sebenarnya lanjutan dari cecum. Di berbagai tempat, perlekatan
peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga
terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan
peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-
lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan
demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus
duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus
intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. Stratum circulare coli
melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat
keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae.
Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan
curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital,
sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian
mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian
tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan
kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan
trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon
transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa
omentalis. Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan
pada diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar
berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau
ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum
hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus
sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan
mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra,
terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di
dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae.
Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat: Vena portae;
Arteria hepatica propria; Ductus choledochus; Serabut-serabut saraf otonom; Pembuluh-
pembuluh lympha. Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan
ini ditengah-tengah berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan
ductus hepaticus communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi
disebelah dorsal pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni
dan caput pancreatis bermuara di papillae duodeni major. Di dalam mesenterium dan duodenum
(mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan tumbuh pankreas. Karena
mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat dengan peritoneum
parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi cauda pancreatis
masih tetap didalam omentum majus. Didalam omentum majus disebelah ventral cauda
pancreatis lien terbentuk dan berkembang kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh
lembaran kiri omentum majus. Omentum majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum
precholienale, bagian antara lien dan peritoneum parietale yang menutupi diaphragma,
ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke
kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri
mulai melekat pada lien dikelilingi hilus. Karena perubahan letak ventriculus terjadilah bursa
omentalis. Lubang masuk kedalam bursa omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi)
dibatasi:
a. Dibagian cranial oleh processus caudatusDibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale.
b. Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni
c. Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior.
Bursa omentalis sendiri dibatasi:
d. Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis
e. Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus
f. Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum
g. Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic
Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien Omentum majus yang
melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah vental sebagai suatu tirai
untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura major ventriculi. Kedua
lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang tidak tumbuh merupakan
lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae omentalis. Bagian bursae
omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis. Dataran peritoneum yang
dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan.
Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian.
Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang
lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain.
Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya.
Keadaan demikian disebut situs inversus. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel
mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan
mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia
muskularis.5
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan
tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada
usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau
regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia
misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang
merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga
biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya
rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti
ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan
total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi
permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih
besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil.5
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum,
jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas,
duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
2. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah
pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis
kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa),
kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu
fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari
sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan
muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan,
dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada
proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan
dari cabang aa. Intercostalis VI XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a.
sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan
vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertical tanpa menimbulkan
gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis
VI XII dan n. lumbalis I.6
3. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma
abdomen.
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-
Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung).
4. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah. 10
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana
intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan
atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi
peritonitis bakteria.1
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Peritonitis bakterial akut sekunder
(supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia,
perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
d. Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah
lambung, getah pankreas, dan urine.
Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis
6. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati
bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang
akibat kelumpuhan sementara usus.1
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi,
nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
7. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium dan X-Ray.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme
yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang
biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas
tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada
peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat,
dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri,
pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik,
septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang
lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran
klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat
malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis
granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya
tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat
dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
c. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar
berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
8. GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :
a. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum
terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran
yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus,
gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan
step ladder appearance.
Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level,
dan herring bone appearance.5
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang kadang susah
membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
b. Air fluid level
c. Herring bone appearance
d. Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang
pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih
lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen.
Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi). Gambaran radiologis
peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada
dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain,
tanda utama radiologi adalah :
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan
pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair
shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya
antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran
radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan
psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
9. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang
lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke
seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan
diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi.
10. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis,
salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.
11. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system
Abses residual intraperitoneal
Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
12. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

Anda mungkin juga menyukai