Anda di halaman 1dari 6

ASPEK PERPAJAKAN PT.

ABC :

A. Laba selisih kurs 500 juta berdasarkan UU PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 4
ayat 1, merupakan penghasilan yang dapat menjadi objek pajak, kemudian
berdasarkan SE Dirjen Pajak 324/PJ.42/2003 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan Atas Keuntungan/Kerugian Selisih Kurs Bagi Wajib Pajak Yang
Penghasilannya Dikenakan PPh Final, disebutkan bahwa:
Atas laba/rugi kurs yang timbul dari pinjaman dalam mata uang asing:
perolehan utang dengan tanggal pelunasan/pembayarannya, sejauh
menyangkut pokok utang diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan
ketentuan umum

Sehingga atas laba selisih kurs tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenakan tarif pajak sesuai UU PPh pasal 17.


B. Atas pengalihan saham tersebut, berdasarkan UU PPh pasal 36 tahun 2008
pasal 4 ayat 1 huruf D, dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor S-
357/PJ.312/2005 apabila nilai pasar saham yang dipertukarkan tidak diketahui
karena tidak diperdagangkan di bursa, maka dapat dilakukan pendekatan
dengan menghitung selisih antara nilai pasar seluruh harta dikurangi dengan
nilai pasar seluruh kewajiban pada saat terjadinya transaksi. sehingga terdapat
koreksi positif sebesar Rp 1 Milyar. Hal ini karena berdasarkan aturan pajak
nilai pasar saham PT. GG sekarang berjumlah 4 Milyar (Total asset 12 milyar
dikurangi Total liabilitas 8 Miliar), sedangkan nilai buku aset PT.GG menurut
PT. ABC adalah sebesar 2 milyar, yang ditukar dengan alat berat sebesar 3
milyar.
Berdasarkan data tersebut, PT. ABC baru mengakui keuntungan pengalihan
sebesar 1 Milyar, sedangkan keuntungan yang harus diakui adalah sebesar 2
Milyar. Pajak mengakui pertukaran tersebut sebesar Rp 4 Milyar, karena pajak
mengakui berdasarkan nilai pasar saham. Sehingga dilakukan koreksi positif
sebesar 1 Milyar atas pengalihan saham tersebut..

C. Atas dividen 5 milyar tahun 2009 yang diterima tahun 2011 oleh PT. ABC
maka seharusnya diakui sebesar bagian laba tersebut dan dimasukkan dalam
perhitungan laba pajak perusahaan. Hal ini karena kepemilikan total dari
pemilik PT. ABC kepada XYZ Co adalah 60 % yang mana berasal dari
kepemilikan PT. ABC dan PT. Y. Pemilik PT. ABC dan PT. Y adalah orang
yang sama. Karena kepemilikan diatas 25 %, maka dividen tersebut tidak bisa
dimasukkan sebagai objek pajak (UU PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat
3 huruf f). Atas laba usaha tersebut dikenakan PPh pasal 24, pph yang dapat
dikreditkan adalah dari nilai yang lebih kecil dari pajak yang terutang di luar
negeri dengan PPh maksimum yang boleh dikreditkan. Sehingga berdasarkan
perhitungan:

Total PPh terhutang :
Penghasilan dalam negeri : Rp 3.000.000.000
Penghasilan Luar negeri : Rp 2.000.000.000 +
Total Penghasilan : Rp 5.000.000.000

Total PPh Terutang :
25 % x 5.000.000.000 = 1.250.000.000

PPh yang dapat dikreditkan:
2.000.000.000/5.000.000.000 x 1.250.000.000 = 500.000.000

PPh terutang di Luar Negeri:
Pulau Cayman merupakan negara tax haven dan memiliki tarif pajak yang
sangat rendah untuk perusahaan yang berada di Cayman. Sehingga :

0% x 5 Milyar : 0

Dengan demikian kredit pajak Luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar
0 rupiah
D. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 43 /2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, maka rugi
penjualan sebesar 50 juta tersebut dikoreksi negatif sebesar 50 juta. PT. ABC
seharusnya tidak mengakui keuntungan dan kerugian karena PT. ABC
bertindak sebagai pembeli. Atas transaksi pembelian dengan pihak berelasi ini
diakui sebesar nilai wajarnya pada pihak yang menjual dalam hal ini PT. B,
sehingga PT. ABC cukup mengakui sebesar harga perolehannya saja yaitu 50
juta.
E. Atas penjualan ini maka harus dilihat terlebih dahulu nilai buku villa tersebut:

Nilai Jual termasuk PPN : 2,2 Milyar
Tambah:
PPNBM (0,2*2 M) : 400 juta
Dasar Penyusutan 2,6 Milyar

Penyusutan (5 %):
2,6 Milyar*0,05 = 130 juta per tahun

Total Penyusutan (2005-2012 atau 7 tahun 9 bulan) :
130 juta * 7 tahun 9 bulan : 1.007.500.000

Nilai Buku Villa 9 September 2012:

2,6 milyar 1.007.500.000 = 1.592.500.000

Penjualan Vila adalah sebesar 1,4 milyar dan PT. ABC mengakui rugi sebesar
600 juta, namun menurut pajak seharusnya PT. ABC mendapatkan
keuntungan, karena pajak menghitung transaksi ini dari nilai pasar aset (3,6
milyar) dikurangi nilai buku, sehingga keuntungan PT. ABC adalah:

3,6 milyar 1.007.500.000 = 2.007.500.000

Atas keuntungan ini maka dilakukan koreksi fiskal positif sebesar
2.607.500.000 (2.007.500.000 + 600.000.000)

Kemudian untuk koreksi fiskal PPN, dilakukan koreksi positif sebesar 750.000
(Pajak Masukan- Pajak Keluaran)
Pajak Masukan sebesar : 200 juta (0,1 * 2 Milyar)
Pajak Keluaran sebesar : 200,75 juta (0,1* 2.007.500.000)


Atas Piutang kepada anak perusahaan PT. Indehoy, maka atas bunga pinjaman
dari Bank Mandor terhadap dana piutang tersebut tetap dibebankan sebesar
tariff bunga dikali pinjaman kepada Bank Mandor sebesar:
2 milyar x 15% = 300.000.000
Jadi beban bunga sebesar 300.000.000 tetap dibebankan sebagai beban bunga
dalam perhitungan pajak. Untuk piutang tersebut sendiri dapat dimasukkan
sebagai piutang, namun nantinya di PT. Indehoy utang dari PT. ABC tidak
dapat dibebankan (SE 165/PJ.312/1992 tentang pinjaman tanpa bunga dari
pemegang saham), asumsi piutang tersebut sudah masuk dalam laporan
keuangan PT. ABC.

Bukti Potong PPh pasal 23 yang kurang sebesar Rp 40.000.000 dapat
dikreditkan.

Rekonsiliasi fiskal:


Pajak Terutang (Pasal 17 UU PPh): 25 % x 9.507.500.000 = 2.376.875.000
Kredit Pajak : PPh pasal 23* : = (240.000.000)
PPh pasal 24 : = 0
Total Pajak Terutang 2.136.875.000

Sehingga total pajak terutang adalah sebesar Rp 2.136.875.000
Atas usaha konstruksi PT. ABC, dikenakan pajak PPh Badan final dengan
tariff 3 % (berdasarkan UU PPh pasal 4 serta PP 51 2008 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Pasal 3 ayat 1)
sehingga atas penghasilan jasa konstruksi sebesar 4 milyar, dikoreksi
dikarenakan merupakan objek pajak final, perhitungannya sebagai berikut:
3% x 4.000.000.000 = 120.000.000 (PPh Final)

* Kredit Pajak PPh 23 terdiri dari :
1. Bukti Potong PPh pasal 23 yang sebelumnya terdapat kekurangan
sebesar 40 juta, per Maret 2013 bukti tersebut sudah terkumpul
sehingga dapat dikreditkan.
2. Atas Penghasilan Jasa Outsourcing berdasarkan UU PPh Pasal 23
dikenakan PPh Final dengan tariff sebesar 2 %. Dari peredaran bruto
tidak termasuk PPN. PPh 23 ini akan dipotong oleh pengguna jasa
outsourcing. PPh 23 ini akan dipotong oleh pengguna jasa outsourcing
Dengan asumsi atas peredaran bruto PT. ABC belum termasuk PPh,
maka kredit pajak PPh pasal 23 untuk jasa outsourcing adalah sebagai
berikut:

PPh pasal 23 : 2 % x 10.000.000.000 = 200.000.000


Selain itu, Berdasarkan SE Dirjen Pajak Nomor 5/PJ 53/2003 tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa di Bidang Tenaga
Kerja, maka ats jasa outsourcing PT. ABC dikenakan PPN, Out Sourcing
adalah kegiatan memberikan jasa dalam suatu bidang usaha, kegiatan atau
pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja pemberi jasa dengan disertai
keterlibatan langsung tenaga kerja tersebut dalam pelaksanaannya. Sehingga
Out Sourcing merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak termasuk
penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja. Dasar Pengenaan Pajak adalah
sebesar tagihan yang diminta oleh PT. ABC (Tagihan management fee dan
tagihan gaji tenaga kerja).

Kemudian diasumsikan peredaran bruto tersebut belum termasuk PPN sebesar
10 %, sehingga PPN yang dipungut PT. ABC dapat dihitung sebagai berikut:

PPN : 10 % x 10 milyar = 1 Milyar

Sehingga terdapat PPN sebesar 1 Milyar

Anda mungkin juga menyukai