Anda di halaman 1dari 2

Menurut Hans Selye seorang fisiologis dan pakar stress, yang dimaksud engan stress adalah

suatu respon yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Jadi stress merupakan
respon automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan
perubahan fisis atau emosi yang yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisis optimal
suatu organisme.
Stress fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang merupakan bagian dari sistem limbik
yang berhubungan dengan komponen emosional dari otak. Respon emosional yang timbul
ditahan oleh input dari pusat yang lebih tinggi di forebrain. Respon neurologis dari amygdala
ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus akan
melepaskan hormon CRF (corticotropin- releasing factor) yang menstimulasi hipofisis untuk
melepaskan hormon lain yaitu ACTH (adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH
sebagai gantinya menstimulasi kelenjar adrenal untuk
menghasilkan kortisol, suatu kelenjar kecil yang berada di atas ginjal. Semakin berat stress,
kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol semakin banyak dan menekan sistem imun.

Secara simultan, hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem otonom untuk merangsang
respon yang segera terhadap stress. Sistem otonom sendiri diperlukan dalam menjaga
keseimbangan tubuh. Sistem otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem
simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulasi atau stress. Reaksi yang timbul berupa
peningkatan denyut jantung, napas yang cepat, penurunan aktivitas gastrointestinal. Sementara
sistem parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut
jantung, perlambatan pernapasan, meningkatkan aktivitas gastrointestinal. Perangsangan yang
berkelanjutan terhadap sistem simpatis menimbulkan respon stress yang berulang-ulang dan
menempatkan sistem otonom pada ketidakseimbangan. Keseimbangan antara kedua sistem ini
sangat penting bagi kesehatan tubuh. Dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk melawan atau
reaksi menghindar melalui satu mekanisme rangkap: satu respon saraf, jangka pendek, dan satu
respon hormonal yang bersifat lebih lama (Guyton, 2007).

Perbedaan Stress Antara Pria dan Wanita
Menurut e. Ron de kloet et al. perempuan memiliki tingkat depresi gangguan stress dan
masalah kecemasan yang lebih tinggi ketimbang laki-laki disebabkan karena kejiwaan
perempuan benar-benar dikendalikan oleh hormone. Hormone yang membantu mengontrol
reaksi tubuh terhadap stress adalah corticotropinreleasing hormone(CRH). CRH menstimulus
pelepasan hormone adrenokortiotropik (ACTH). ACTH ini mengalir dalam korteks adrenal dan
menstimulus pelepasan kortisol. Kortisol ini memiliki peran penting selama terjadi stress dan
meningkat selama mengalami stress.
Selain beberapa hormone yang telah disebutkan diatas, Studi terbaru yang dilakukan di
Amerika Serikat dapat membantu menjelaskan perbedaan antara cara laki-laki dan perempuan
mengendalikan emosi. Studi ini memfokuskan pada hormone stress yang disebut
corticotropinreleasing factor (CRF). CRF merupakan hormone yang membantu mengontrol
reaksi tubuh terhadap stress. Hormone CRF lebih erat terikat pada protein stress sel-sel otak
perempuan, sehingga membuatnya lebih sensitive terhadap dampak dari perubahan hormone
tersebut. Sedangkan pada laki-laki, otak dapat mengurangi kadar protein, menghentikan hormone
dari pengikatan dan mengurangi dampaknya terhadap otak.
Selain itu, dalam sebuah penelitian oleh Georgia Wiktin dalam bukunya The Female
Stress syndrome (1991), wanita memiliki penyebab stress yang unik. Menurutnya stress pada
wanita sifatnya lebih lama disbanding pria dan stress itu sendiri diluar kendali mereka.

Daftar Pustaka
1. http://repository.maranatha.edu/858/3/0763032_Chapter1.pdf
2. Guyton AC, MD, Hall JE, Ph.d. 2006. Textbookof Medical Physiology.USA: Elsevier
3. Hole, JW. 1993. Human Anatomy and Physiology. Wm. C. Brown Communication, Inc.
New York

Anda mungkin juga menyukai