Anda di halaman 1dari 17

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi
kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat
digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga menghasilkan produk lain yang belum
begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah. Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan
terjadi peningkatan jumlah limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber daya
alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan pengurasan sumber daya alam,
yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan antara lain pencemaran tanah, air, dan
udara jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu. Bermacam limbah industri yang dapat
mencemari lingkungan antara lain limbah industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa
sawit, limbah industri karet remah dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan limbah
pabrik pulp dan kertas), limbah industri farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri,
diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah
yang dihasilkan oleh komponen kegiatan yang disebut di atas adalah limbah padat dan limbah
cair. Limbah padat dan cair yang dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan
keseimbangan alam terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah pH
tanah, kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk kehidupan tumbuhan
serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air dapat mengganggu biota air, perubahan
BOD, COD serta DO, disamping itu dampak psikologis akibat dari pencemaran lingkungan
yang tidak kalah berbahayanya jika dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak di
masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan, baik
bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi deterjen di Indonesia rata-rata per
tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang
dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-
rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009). Perkembangan usaha binatu atau laundry yang
sebelumnya hanya dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami
pergeseran hingga harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini
menyebabkan limbah deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari lingkungan karena
didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan
deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme
(nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Anonimous,
2009).
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia yang
sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan sebagai bahan
utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak
digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun
tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi.
Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan
permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini
membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri sabun,
deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis,
kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J,
2004).
Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia
maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan.Limbah yang dihasilkan dari deterjen dapat
menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu
atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani dan Puji, 2008).





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran dan Air Limbah
Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak
alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya
masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang
telah tercemar oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi
organisme yang hidup di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di
sekitar sungai tersebut (Anonimous, 2009).Standar Nasional Indonesia (SNI) mengatakan
bahwa air limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud air.
Notoadmojo (2007) mendefinisikan bahwa air buangan / air limbah adalah air yang
tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti
industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar,
karena lebih kurang 80% dan air yang digunakan bagi kegiatan kegiatan manusia sehari
hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya
akan mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh karena itu, air buangan
ini harus dikelola dan diolah secara baik.









Gambar 1. Pencemaran Air oleh Limbah Deterjen

B. Detergen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain,
detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm
function) atau daya kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang
rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006)
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan
tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di
wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009).
Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan
antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Pada umumnya detergen bersifat surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati
atau minyak bumi (Chantraine F et all, 2009).
Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan gugus utama
surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di biodegradabel, maka pada
tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama
surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen
Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl
benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai
lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara lain karena harganya murah,
stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS
lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS
telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai
larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam
produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta
dan busanya melimpah (Anonimous, 2009).
Bahan bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :
1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung
berbeda yaitu hydrophile (suka air) danhydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel
pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene
Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS),
sedangkan jenis kedua bersifat kationik (Garam Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat
non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines).
2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara
menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, dapat berupa Phosphates (Sodium Tri Poly
Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA),
Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).
3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan
memantapkan sehingga dapat menurunkan harga, misal Sodium sulfate
4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung
dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi
produk. Contohnya enzyme, borax, sodium chloride, Carboxy Methyl
Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan
tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi wangian atau
parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.


Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai deterjen jenis
keras dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun
bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang
menyebabkan pencemaran air. Salah satu contohnya adalah Alkil Benzena
Sulfonat (ABS).Sedangkan detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya
mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai,
misalnya Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).
Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dan
ditambahkan dalam berbagai bentuk produk sepertipersonal cleaning product (sampo, sabun
cuci tangan), laundry sebagai pencuci pakaian merupakan produk deterjen yang paling
populer di masyarakat, dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk
penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai pembersih
rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas
(Arifin, 2008).

Tabel 1. Banyaknya produksi barang yang mengandung B3 Tahun 2004-2006
Uraian Satuan 2004 2005 2006
Deterjen Kg - - 1.860.770
Deterjen padat untuk keperluan
Rumah Tangga
Kg 5.731.000 5.783.071 -
Deterjen bubuk untuk keperluan
Rumah Tangga
Ton 227.152 227.191 91.003
Deterjen cream untuk keperluan
Rumah Tangga
Ton 240.528 950.295 6.773
Deterjen cair untuk keperluan
Rumah Tangga
Ton 30.472 30.472 646
Deterjen lainnya Lusin 7.052.436 4.955.057 -
Sumber : Statistik Lingkungan Hidup, 2009, BPS, 2009


C. Dampak Limbah Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan
Lingkungan
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada
kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi
dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah
lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen
sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,
harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak
negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk
deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap manusia dan lingkungannya.
Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry merupakan
deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada deterjen anionik sering
ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener
(alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium
phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl
sulfate(SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate(LAS).
Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa
nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit,
memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya,
mengandung tingkat polutan organik yang tinggi sertamempengaruhi kesesuaian air sungai
untuk digunakan manusia danmerangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air
lainnya. Selain itu deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan
yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah
menjadi menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/
liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati,
tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang.
Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik,
sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan
nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen
terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan
kerang akan mati.
Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak
udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan
menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan et
al, 2005).
Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk.
Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan
organik lanjutan oleh bakteri anaerob.
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air
dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion
kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen
meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak
memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang
dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat
menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air
sungai/danau, yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara
tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa,
penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih
ramah lingkungan (Anonimous, 2009).
Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat dapat dilakukan
dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion fosfat dengan concentrate
menurun dengan peningkatan suhu, sementara peningkatan suhu pada shell (kerang)
cenderung dapat meningkatkan efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu,
penghilangan ion fosfat dengan shell dilakukan pada suhu yang relatif tinggi.
Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan
bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen,
misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan
detergen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik
memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik
ataupun non ionik).
Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk-produk
kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai
(biodegradable). ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah,
sehingga deterjen ini dikategorikan sebagai non-biodegradable.
Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan
aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat
menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air sehingga pada
perkembangannnya digantikan dengan LAS mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun
belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak
bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh mikroorganisme.
LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi
sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian
ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi,
karena itu perlu waktu. Penelitian Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam
membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS.
Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai
oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan
tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh
ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali
dari gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang
berguna, penyumbatan pada pori pori media filtrasi.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di
perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi
pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH)
antara 10 12 (Ahsan S et al, 2005).








Gambar 2. Pertumbuhan Eceng Gondok Akibat Pencemaran Limbah Deterjen


Gambar 3. Eutrofikasi Sungai/Danau yang Tercemar Deterjen

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM

(mg/liter) (kg/hari.Hari)
BOD5 50 4.3
COD 100 8.6
TSS 200 17.2
pH 6.0 - 9.0

Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.3/MENLH/1/1998
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

D. Bahaya Surfactan
Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga 15-40 %
dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk
terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan
tegangan permukaan. Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan
yang menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil (Scheibel,
2004).
Efek negatif dari Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya
kelembaban alami yamg ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas
permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu
memiliki toleransi kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan
akibat iritasi sedang pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan
dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen
dapat membentuk chlorbenzenepada proses klorinisasi pengolahan air minum
PDAM. Chlorbenzenemerupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi
kesehatan. Pengaruh lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan,
dan budding dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga dapat
mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat zat dan surfaktan subletal
menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan memperkuat toksisitas zat ini.
Air yang mengandung surfaktan (2 4 ppm) tidak dapat dideteksi perubahannya(Heryani
dan Puji, 2008).












E. Sabun
Lain halnya dengan deterjen, sabun relatif mudah tersuspensi dalam air karena
membentuk micelles, yakni kumpulan (50 150) molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya
mengelompok dengan ujung ujung ionnya menghadap ke air. Sabun yang masuk kedalam
buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya langsung terendap sebagai garam garam
kalsium dan magnesium. Oleh karena itu beberapa pengaruh dari sabun dalam larutan dapat
dihilangkan. Sehingga dengan biodegradasi, sabun secara sempurna dapat dihilangkan dari
lingkungan. Sabun pertamakali diciptakan sekitar 2700 SM, terbuat dari berbagai lemak
dengan menggunakan kaustik dari abu kayu untuk menghidrolisis ester (Scheibel, 2004).





















BAB III
PEMBAHASAN

A. Manajemen Pengolahan Limbah Deterjen
Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya
menyebabkan meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological
Oxigen Demand) dan angka permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok
menggunakan teknik biologi.
Proses biologis dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem
pertumbuhan, proses operasi. Ditinjau dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk
mengolah air limbah deterjen dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu
proses aerobic, proses anaerobic, proses anoksid dan kombinasi antara proses aerobik dengan
salah satu proses tersebut.
Proses biologis dapat pula dikelompokkan atas dasar proses operasinya yaitu proses
kontinu dengan atau tanpa daur ulang, proses batch, proses semi batch. Proses kontinu biasa
digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses batch atau semi batch lebih banyak
digunakan untuk sistem anaerobic. Apabila BOD tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob
masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l,
proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk
mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Bahan organik yang
terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily
decomposable organic matter). BOD merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang
digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa
walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan
sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di
perairan. Sedangkan COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena
bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat
kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga
segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai,
akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan
gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD
sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan
jumlah total bahan organik yang ada. Air yang bersih kandungan BOD kurang dari 1 mg/l
atau 1ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm maka air dikatakan tercemar (Hariyadi, 2004).
Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat (ABS) dapat
diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas euruginosa, Kurthia
zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan merombak detergen yang juga merupakan zat organik
sebagai bahan makanan menjadi energi.
Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk meningkatkan kontak dari air
limbah dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan organik yang mengambil oksigen
untuk metabolismenya dapat dipergunakan sebagai pengolahan limbah deterjen skala rumah
tangga. Diawali dengan mengembangbiakkan bakteri pada media pecahan genteng selama 40
hari dalam limbah rumah tangga yang ada di selokan, kemudian dilakukan treatment/sirkulasi
terhadap limbah deterjen sintetik padaTrickling Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS
dengan pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan
mikroorganisme adalah pecahan genteng yang direndam dalam selokan 40 hari. Jenis
mikroorganisme yang ada di selokan antara lain Crenothrix & Sphaerotilus, Chromatium &
Thiobacillus, mikroalgae hijau & biru, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella
shigae, Eschericia Coli. Pengamatan langsung dengan menggunakan mikroskop dan
pengecatan gram menunjukkan bahwa komunitas mikroba didominasi oleh bakteri gram
negatif, menemukan komunitas bakteri dari golongan Proteobacteriamendominasi komunitas
bakteri yang mampu mendegradasi deterjen. Pertumbuhan mikroorganisme ini berlangsung
cukup lama karena dipengaruhi oleh suhu dan nutrisi yang diperlukannya. Deterjen akan
mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan
mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang terkandung dalam deterjen. Kemampuan
mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen sebagai sumber karbon utama
menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting. Deterjen dengan kadar LAS yang
besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih lama dan deterjen dengan kadar LAS yang
kecil akan lebih cepat terurai. Dan semakin lama waktu sirkulasi limbah deterjen maka kadar
LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin mengalami penurunan, karena
waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme aerob semakin lama sehingga
memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri untuk menguraikan deterjen(Heryani
dan Puji, 2008).
Penanganan dengan cara lumpur aktif juga dapat dikembangkan , dan dapat
menurunkan COD, BOD 30 70 %, bergantung pada karakteristik air limbah yang, diolah
dan kondisi proses lumpur aktif yang dilakukan. Proses lumpur aktif terus berkembang
dengan berbagai modifikasinya, antara lain oxidation ditch dan kontak-stabilisasi.
Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditchmempunyai beberapa
kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-
85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-
95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total
lebih pendek (4-6 jam).
Dengan tangki septic-filter up flow yang berisi pecahan batu bata sebagai media
hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau MBAS
(untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen. Dari
sampel, air limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS sekitar 2,7
mg per liter. Setelah keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter,
atau lebih rendah dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang
didapat adalah 483,75 mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter (setelah proses)
atau kandungan BOD berkurang 40 persen lebih.
Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah
karena detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air sangat
dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi bermuatan negative.
Cara mendestabilkan atau merusak kestabilan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama
dengan mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari
koloid, proses ini lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan
kepada partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan
cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC.
Di dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al
3+
yang akan menurunkan zeta
potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang,
akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya
tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan
membentuk flok yang berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi
maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara
koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak 40-70
%.
Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi sehingga dapat
diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti kapur dan soda. Buih yang
terbentuk akan dapat dihilangkan dengan proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung
juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau
pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air
flotation).
Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi
detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh karbon aktif dan
melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia.
Karbon aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah
bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil.Zeolit dapat
menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.
Detergen mempunyai ikatan ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan
tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan
trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2008).
Air limbah deterjen tidak dapat dibuang ke septic tank seperti pada kotoran manusia
(black water) karena memiliki kandungan detergen yang dapat membunuh bakteri pengurai yang
dibutuhkan septic tank. Karena itu, diperlukan pengolahan khusus yang dapat menetralisasi
kandungan detergen dan juga menangkap lemak.
Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran air limbah adalah dengan
menanami selokan dengan tanaman air yang bisa menyerap zat pencemar. Tanaman yang bisa
digunakan, antara lain jaringao, Pontederia cordata (bunga ungu), lidi air, futoy ruas, Thypa
angustifolia (bunga coklat), melati air, dan lili air. Cara ini sangat mudah, tapi hanya bisa
menyerap sedikit zat pencemar dan tak bisa menyaring lemak dan sampah hasil dapur yang ikut
terbuang ke selokan.
Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan yang sering disebut
dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara mudah, bahan murah dan tidak sulit
diterapkan di rumah Anda. Instalasi SPAL terdiri dari dua bagian yaitu bak pengumpul dan tangki
resapan. Di dalam bak pengumpul terdapat ruang untuk menangkap sampah yang dilengkapi
dengan kasa 1 cm persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan ruang untuk menangkap pasir.
Tangki resapan dibuat lebih rendah dari bak pengumpul agar air dapat mengalir lancar. Di dalam
tangki resapan ini terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk menyaring zat-zat
pencemar yang ada dalam air limbah deterjen(greywater). Mekanisme kerja SPAL dengan
cara air bekas deterjen atau bekas sabun dialirkan ke ruang penangkap sampah yang telah
dilengkapi dengan saringan di bagian dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir
masuk ke ruang di bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar ruang
ini, sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan, akan mengambang di ruang
penangkap lemak. Air yang telah bebas dari pasir, sampah, dan lemak akan mengalir ke pipa
yang berada di tengah-tengah tangki resapan. Bagian bawah pipa tersebut diberi lubang
sehingga air akan keluar dari bagian bawah. Sebelum air menuju ke saluran pembuangan, air
akan melewati penyaring berupa batu koral dan batok kelapa. Limbah deterjen atau air sabun
yang telah diolah dapat digunakan lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur kloset, dan untuk
mencuci mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi menjadi air minum
(Anonimous, 2009).
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan di
perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air limbah sisa
deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa celup yang harus
terendam air untuk menghindari terbentuknya gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini
berfungsi sebagai sirkulasi limbah. Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil
dan pompa dosing yang berisi larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang
banyak mengandung deterjen anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen
kationik sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan anti deterjen
ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses penetralan. Pada proses
penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam bak penampungan dengan analisis
deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin
yang secara khusus untuk mengetahui kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat
dilakukan uji coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan
pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan
kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi pencemaran air disekitarnya. Serta dapat
melakukan pengelolaan limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak
penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).

B. Biosurfactan
Savarino et al (2010) pada penelitian terbarunya membandingkan antara biosurfactan,
yang merupakan perkembangan terbaru dari formula deterjen dengan surfaktan anionik/non
ionik yang sering dipakai perusahaan deterjen. Biosurfactan diisolasi dari residu makanan dan
limbah hijau yang disimpan pada kondisi aerobik selama 0-60 hari dan diteliti komposisi
kimia,aktivitas sifat permukaan (surface activity) dan daya kerja deterjen dalam mencuci
kain. Limbah perkotaan merupakan sumber yang kaya bahan organik dengan sifat surfaktan
yang sangat baik. Bahan ini sudah tersedia dari fasilitas perkotaan dengan biodegradasi
aerobik residu biomassa. Khususnya, untuk dua biosurfaktan terisolasi dari limbah,
yaitucHAL (compost humic acid-like matter) yang terisolasi dari campuran makanan dan
residu kompos hijau (green residues) selama 15 hari dan cHAL 2 terisolasi hanya dari residu
hijau segar (fresh green residue). Kedua biosurfactan tersebut mengandung rantai alifatik
panjang, gugus aromatik, asam karboksilat dan kelompok fenol.

Biosurfactan menghasilkan berbagai macam komposisi kimia dan aktivitas sifat
permukaan yang erat kaitannya dengan sumber biomassa yang berbeda.
Ditemukan bahwa biosurfactan memiliki kinerja yang sama dengancommercial
surfactan yang umum digunakan (anionik maupun non ionik) ketika digunakan secara murni,
jika pada campuran 1:1 biosurfactan dancommercial surfactan menghasilkan sinergi yang
signifikan. Sangat sensitivitas terhadap kesadahan air dan menyebabkan kain menjadi kuning
merupakan kekurangan utama untuk biosurfactan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa bila digunakan di atas konsentrasi micelles tidak ada perbedaan kinerja yang
signifikan pada seluruh kelompok biosurfactan atau campuran antara biosurfactan
dan commercial surfactan. Fakta ini memberikan harapan bagi produksi industri dan
komersialisasi Biosurfactan sebagai komponen dari formulasi deterjen. Serta penggunaan
surfaktan yang ramah lingkungan yang berasal dari sumber daya terbaru yang murah dalam
komposisi deterjen bagi tren industri deterjen.

Isolasi biosurfactan diperoleh dari limbah green atau dari 1:1 limbah makanan dan
green fresh residue yangdikumpulkan dan disimpan selama 0-60 hari secara aerobik. sampel
sampah yang terkumpul diteliti selama 24 jam pada 65
0
C dengan perbandingan N2 dan
NaOH 0.1 mol-1 L dan 0,1 mol L-1 Na4P2O7. Selanjutnya suspensi yang dihasilkan
didinginkan sampai suhu kamar dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm. Residu padat
dipisahkan dan
dicuci berulang kali dengan air suling sampai terpisah cair supernatannya.Semua cairan
supernatan dikumpulkan dan diasamkan dengan asam sulfat 50%
pada pH 1.5. Endapan padat disentrifugasi seperti cara di atas, dicuci dengan air sampai
akhir pH netral, dikeringkan pada 60
0
C dan ditimbang. Produk akhir (cHALi) menghasilkan
adalah 12-15% dari bahan kering sampah awal. Dari hasil percobaan biosurfactan mampu
menurunkan tegangan permukaan hampir 50% lebih rendah dibandingkan commercial
surfactan.

C. Biofilter
Limbah domestik baik rumah tangga atau limbah usaha skala kecilseperti air sisa
deterjen dan air sisa sabun mandi harus diolah dan tidak boleh membuangnya melalui septic-
tank, guna mengindari pencemaran air tanah disekitarnya.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, mengisyaratkan warga agar
menyediakan alat pengolahan limbah, yaitu Biofilter. Alat ini mampu menghasilkan air
olahan sesuai dengan baku mutu, dan aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan sistem
biofilter, dan umumnya terbuat dari fiberglass. maka limbah cucian dan limbah septic tank
sudah terolah hingga mencapai baku mutu. Dan menggantikan septic tank yang cara kerjanya
merembeskan limbah ke tanah sehingga tidak ada lagi ada rembesan. Namun masih
diperlukan sosialisasi kepada pemilik rumah yang sudah memiliki septic tank, subsidi alat
bagi perumahan kumuh dan harga alat yang mahal (Anonimous, 2009).










Gambar 3. Biofilter

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN




A. KESIMPULAN
Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan atau diminimalisir
penggunaannya. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal
bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan
produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini
memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk
penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin
parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen
berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian
deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk
senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin
terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya
terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi
pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum
mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di
perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi
pada tangan dan kaustik karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH)
antara 10 12.

B. SARAN
Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai
pengganti fosfat (builder) dalam deterjen karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur
hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat
dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan dan pada akhirnya justru
membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya.
Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam teknik
misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon
aktif, lumpur aktif, khlorinasi dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif
(Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan
kandungan fosfat yang rendah serta mengelola limbah deterjen secara sederhana dengan
pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous,
2010).
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak untuk
memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih dan hak untuk
menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak sesuai dengan klaimnya
Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan transparansi dari produsen mengenai
kandungan produk deterjen yang dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan
baku.
Penggunaan deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak lebih parah
diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan.
Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen, walaupun
untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus melalui uji
laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian
dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.
Meluruskan persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah
mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut,
diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumen
harus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak,
produsen seharusnya tidak lagi menggunakan busa melimpah dalam mempromosikan
produknya.



Daftar Pustaka

Ahsan S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste Materials
[Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.

Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8Desember 2010].

. 2009. Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter.http://www.greenradio.fm. [8 Desember
2010].
. 2009. Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme
Air. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan Limbah
B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Chantraine, F et all. 2009. Drawbacks of Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical
Properties of Detergent Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization.
Journal of Surfactan and Detergent. 12:59-71.

Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter [Makalah
Penelitian] http://eprints.undip.ac.id [8 Desember 2010].

Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard Surface in a
Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol. 9. Qtr 1.

Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the Requirement of the
Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5.

Sigid hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air
Limbah.

Soekidjo Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit PT Rineka
Cipta.(614.78NOT k)

Savarino. P, Motoneri. G, Musso. G, Boffe. V. 2010. Biosurfactan from urban waste for detergent
formulation : surface activity and washing performance. Journal Surfactant Detergent. 13:59-
68.

Anda mungkin juga menyukai