Anda di halaman 1dari 10

*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.

E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
KisahTentangPencarianJati diri*
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga besar agamisNahdlatul Ulama (NU), pada tanggal 29 Juni
1989. Disaat kumandang adzan ashar berkumandang sang ibu tengah berjuang keras melahirkan
sesosok manusia mungil hadir ditengah kehidupan alam dzahir. Walau lahir ditengah ibukota Jakarta
keluarga lebih rela menamakan tempat lahirnya di sumenep sebuah kota paling timur yang satu-satunya
memiliki kraton dan paling terkahir dijajah oleh bangsa kolonial di pulau Madura.pada akhirnya
penyesuaian akta kelahiran menjadi tanggal 30 juni 1989 karena proses pemberkasan yang lebih dari
satu hari dari Jakarta menuju Madura.
Dibesarkan di Jakarta dalam kesederhanaan hidup ditengah kerasnya ibukota, sang ayah adalah
pengusaha kecil yang memiliki latarbelakang sebagai pekerja lepas tak memiliki ijazah SD sekalipun
karena hanya mampu bersekolah sampai kelas 4 SD selepas itu bekerja sebagai pelayar kapal laut
terbuat dari kayu digunakan mencari nafkah menyebrangi lautan lintas jawa Sumatra Kalimantan
Sulawesi dan pulau Sumbawa. kondisi sulitlah yang akhirnya menempa ayah menjadi pekerja keras
walau harus mengorbankan sebagian besar waktu kecilnya dan waktu remajanya. Dikampung dimana
ayah tinggal hanyalah sebuah pulau kecil bernama gili genting yang hanya memiliki 4 desa terletak
disebelah timur tenggara dari pulau Madura. Mungkin sama seperti pulau seribu seperti di Jakarta
namun kondisinya sangatlah lebih prihatin daripada pulau yang dekat dengan ibukotadan di jawa.
Untuk mencoba keberuntungan nasib keluarga selepas beberapa kali kapal yang dilayari karam
sang ayah mencoba menjadi perantau lepas di ibukota, sampailah ia ditahun1980an memulai karirnya
sebagai penjaga depot sekaligus kuli angkut es batu disebuah pelelangan ikan di muara baru Jakarta
utara. Hingga akhirnya merasa cukup untuk menikahi ibu yang merupakan keluarga dekat
dikampungnya untuk sama-sama menjalani hidup di tengah ibukota. Ibu hanyalah tamatan SD di
kampung selebihnya seperti kebanyakan gadis remaja dikampungnya ibu lebih dianggap memiliiki
prestasi walau tak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya karena keterbatasan biaya.
Tinggal di jakarta sambil membuka usaha warung klontong kecil dibilangan daerah Jakarta utara
ayah bersama ibu mengarungi bahtera kehidupan keluarga sederhana tinggal berpindah-pindah dengan
rumah kontrakkan, seringkali merasakan banjir bukan karena faktor hujan lebat karena diakibatkan
pasang air laut pesisir Jakarta utara. Saya lahir disaat ibu bersama ayah mengontrak rumah di daerah
rawa badak Jakarta utara. Di salah satu rumah sakit swasta bunda maria Jakarta utara dengan kondisi
tidak normal dan langsung masuk perawatan khusus opname. Si mungil kecil akhirnya tumbuh besar
dengan berbagai macam asupan obat untuk mengobati penyakit kelainan pada paru-paru yang mengecil
disebelah kanan. Hasilnya dapat diterka mulai dari batuk parah hingga asma pun sering mendera.
Namun Alhamdulillah tuhan masih memberikan berkah kehidupan kepadanya.
Tidak seperti kakaknya yang dilahirkan dengan keadaan sehat dan normal namun kakak lebih
dititip kepada kakek neneknya di kampung karena kondisi keluarga yang belum mapan. Adapun saya
anak kedua yang sakit-sakitan lebih sering tinggal di ibukota untuk mendapatkan perawatan yang lebih
layak daripada dikampung. Beranjak usia balita lagi-lagi karena alasan ekonomi dan keluarga sayapun
akhirnya dititipkan kepada bibi yang tidak bisa memiliki keturunan, kondisi keluarga bibi pun tidaklah
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
lebih mapan karena juga masih mengontrak rumah dengan usaha warung klontonganbersama paman
juga mengasuh seorang keponakan disaat bersamaan. Akhirnya kami berdua diasuh dalam satu keluarga
bersama paman dan bibi dari balita hingga sekolah SD. Menjelang akhir kelas 3SD kami berdua tinggal
disuatu daerah miskin ibukota dengan membangun rumah tanpa sertifikat tanah setelah beberapa kali
pindah rumah dan sekolah. Wal hasil karena dianggap bangunan ilegal ditanah yang dibeli oleh
pengusaha asing kamipun menjadi korban penggusuran dengan alasan perluasan daerah pabrik sang
pemilik. Suatu kenangan yang tak dapat dilupakan sepulang sekolah mendapati rumah tetangga menjadi
puing-puing dan melihat bangunan rumah sendiri tengah dirobohkan oleh para petugas yang dibayar.
Memang kemiskinan akan senantiasa mendapatkan perlakuan tidak adil oleh para aparat
penegak keadilan. Hanya sedikit waktu kurang dari 2 jam kami diberi kesempatan untuk menyelamatkan
barang-barang yang bisa diselamatkan. Selepas penggusuran sayapun dikembalikan kepada ayah dan
ibu. Namun kini kondisi ekonomi kami lebih baik setelah ayah mencoba usaha dibidang penyaluran
minyak tanah sebagai distributor umkm. Ditengah ekonomi yang lumayan baik itulah akhirnya ayah
menikah lagi dengan salah seorang janda beranak 4 yang tak lain adalah warga desa sebelah dikampung.
Namun kami telah memiliki rumah sendiri yang dipisahkan dengan keluarga tiri. Disinilah dimulai era
kompetisi keluarga walau sebenarnya kami sudah tahu bahwa ayah sudah menikahi sang janda sejak
saya duduk dikelas 1 SD. Awalnya saya adalah anak yang dianggap bodoh dan malas karena sering
mendapatkan nilai jelek hingga kelas 3 SD setengah dipacu dengan seorang kakak tiri yang selalu
menjadi juara kelas yangberbeda 2 tingkat itulah akhirnya saya menjadi anak yang mulai menyadari
pentingnya berprestasi. Ayah begitu keras kepada saya dalam pendidikan dan seringkali
membandingkan diri saya terhadap kakak tiri yang seringberprestasi.
Saya katakan itu adalah motivasi yang salah karena berprestasi hanya karena dibandingkan
orang lain bukan karena kesadaran diri sendiri menjadi batu loncatan yang tidak wajar terhadap
perkembangan sang anak. Hingga akhirnya sejak kelas 4 sayamasuk dalam kelas unggulan dengan syarat
masuk 3 besar dikelas sebelumnya hingga kelas 6 SD. Setelah mengikuti test seleksi Kakak tiri masuk ke
SMP Negeri Unggulan dibilangan Jakarta Utara sayapun menyusul masuk ke SMP Negeri Favorit yang
sama-sama menjadi sekolah pesaing diantara keduanya. Namun di kelas VIII SMP inilah saya akhirnya
mengalami goncangan batin depresi hebat setelah berhasil masuk di kelas VIII unggulan dengan syarat 3
besar dikelas VII. Setahun merasakan kebosanan sekolah akhirnya saya memilih untuk sering bolos
namun bukan karena ajakan teman atau siapapun melainkan karena keinginan pribadi akibat goncangan
batin dimana merasakan akibat ayah yang lebih condong memihak kepada keluarga tiri. Saya yang
tengah memiliki 3 orang adik ketika itu saya menjadi satu-satunya anak lelaki tertua yang tinggal
bersama ayah dan ibu di jakarta. Kakak masih tinggal dikampung walau dulu sempat mencoba tinggal di
jakarta namun gagal akibat tidak dapat mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan SD di ibukota
akhirnya lebih memilih menyelesaikan SD dikampung dan melanjutkan SLTP-SLTAnya di Pondok
Pesantren Gontor Jawa Timur.
Hingga akhirnya akibat sering bolos tersebut lanjut di kelas IX saya dikeluarkan dari kelas
unggulan dan masuk ke kelas IX biasa namun masih tetap bisa berprestasi dalam bidang akademik
hingga akhirnya mendapat juara 1 serta menjadi ketua kelas dan sekaligus nilai UN yang cukup tinggi
nilai rata-rata >8 sehingga pantas melanjutkan ke salah satu SMA Negeri Unggulan di Jakarta Utara.
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
Namun saya lebih memilih untuk melanjutkan ke pesantren walau hal ini sempat mengejutkan jajaran
guru sekolah. Adalah hal unik ketika saya mendapatkan pengalaman semasa kelas VIII di SMP tersebut
ditengah kesibukan bolos tersebut saya seringkali berfikir untuk mencari esensi jati diri saya hingga
sempat menjadi paham atheis (tidak percaya tuhan) walau dibesarkan dengan kondisi keluarga yang
sangat fanatik agamis bahkan cenderung ketat dalam ibadah. Bayangkan sejak SD kelas 4 sebenarnya
saya dimasukkan kedalam salah satu pesantren dekat rumah dibilangan perbatasan Jakarta utara dan
Jakarta timur hingga kelas VII SMP pasca sekolah pun harus tetap ikut kursus bahasa inggris hingga
waktu saya terlalu sibuk untuk belajar pagi-siang disekolahsiang-sore ditempat kursus danmalam-pagi
di pesantren.
Nampaknya ayah memang tidak ingin melihat anaknya dalam keadaan bermalas-masalan
dirumah ketimbang belajar. Mungkin karena ayah merasa tertinggal dalam pendidikan hingga akhirnya
saya menjadi terus dipush untuk belajar keras dengan kepadatan waktu belajar. Hingga kebosanan
itupun melanda disaat kelas VIII SMP dan saya lebih suka memillih bolos untuk sekedar menyendiri.
Dihari-hari biasa sangat sedikit waktu saya bersama keluarga kecuali dihari libur itupun dengan
kesibukan keluarga terutama ayah dan ibu yang sama-sama menjadi pengusaha jarang menyempatkan
diri untuk mengobrol dengan anak-anaknya. Tak terkecuali adik-adik saya semua selepas SD dimasukkan
ke pesantren.
Keanehan terjadi selama 1 tahun dikelas VIII tersebut menjelang kenaikan kelas IX saya
menyatakan akan tetap sekolah dengan catatan tanpa harus dipaksa oleh siapapun dan akhirnya saya
tetap naik kelas walau dicatat membolos hampir 3 bulan. Karena sudah tidak mau les/kursus lagi saya
didatangkan seorang guru private yangtak lain adalah saudara sekampung yang tengah kuliah di UIN
Jakarta jurusan fisalafat fakultas perbandingan Agama (Ushuluddin). Hal ini bermula ketika saya diminta
dibelikan Play Stasion sebagai alasan untuk lebih bermain dirumah ketimbang membolos namun ayah
menolak justru membelikan komputer dengan arahan guru private tersebut dengan dalih akan diajarkan
private Komputer. Aneh seorang jurusan agama dikuliahnya malah mengajar Komputer. Dan benar saja
dalam bidang Komputer saya justru lebih mahir dengan cepat menguasai IT hingga game dan pelajaran
yang guru private tersebut tidak paham. Karena merasa bosan sayapun mengajukan pelajaran lain
kepadanya dan yang saya ajukan adalah pelajaran agama yang sesuai bidangnya.
Meminta pelajaran agama tersebut saya diberikan syarat yang cukup aneh, yakni harus
membaca semua buku-buku yang diberikan dan membuat ringkasannya dikomputer selama 2 minggu
baru kemudian saya diperbolehkan untuk main game setelah berdiskusi sebagai hasil akhir membaca
buku-buku tersebut. Saya masih ingat betul buku-buku yang diberikannya adalah buku-buku filsafat
logika barat yang seharusnya menjadi rujukan buku kuliahnya. Seperti buku logika filsafat scorates dan
plato, adapun buku agama yang diberikan adalah theology agama liberal tentang agama-agama samawi
dan agama pagan. Termasuk buku-buku sosial kiri saya diberikan buku Das Kapital Karl Marx. Ternyata
tanpa sadar saya tengah dididik dan dikader oleh saudara yang merupakan penganut paham liberal
sosialis. Adalah satu hal yang sangat aneh ketika guru saya tersebut kuliah dijurusan agama namun
ternyata jarang sholat dan inilah yang membuat batin saya bergejolak semenjak kelas IX SMP tersebut
saya akhirnya lebih memilih menjadi atheis sambil terus berupaya mencari kebenaran akanesensi tuhan
dan agama yang sebenarnya.
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
Tanpa diketahui guru private setiap pulang sekolah diluar jadwal mengajarnya, saya lebih suka
menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan daerah Jakarta utara. Hanya sekedar ingin
menghabiskan waktu luang hingga menjelang maghrib boleh dikatakan hampir 3- 4 jam sehari diluar jam
sekolah saya menghabiskan waktu untuk membaca hingga akhirnya mata saya menjadi minus dan
menggunakan kacamata. Motivasi terkuat ketika itu adalah untuk mencari kebenaran ilmu dan esensi
tuhan. Semua buku-buku agama saya baca dimulai dari agama pagan (hindu budha dan Konghucu)
samawi (Kristen, Yahudi, dan Islam). Dan pada agama Islam lah saya tertarik dalam hati bukan karena
ritual ibadahnya melainkan saat saya begitu terkejut membaca buku 100 tokoh ilmuan muslim yang
mempengaruhi dunia, para penemu ilmuan tersebut adalah pencipta rumus-rumus ilmu pengetahuan
jauh sebelum para ilmuan barat menemukannya (bahkan saya boleh mengatakan para ilmuan barat di
abad klasik adalah para plagiator dari ilmuan muslim) hampir tak percaya yang awalnya saya
mengatakan agama ini tak ada bedanya dengan agama lainnya namun setelah saya pelajari sejarah asal
usul semua agama hampir semua agama samawi mengakui eksistensi tuhan agama islam dan di
beberapa kitab agama pagan yang menceritakan tentang seorang utusan suci seperti didalam kitab
hindu yang mengutipceritaakan adaseorang ksatria putih yang menunggangi kudasebagai pembebas
alam semestadan namanya akan senantiasa disebut di semua pulau-pulau di dunia tanpa terputus. Dan
saya kira hanya nama Muhammad yang selalu disebut ketika adzan tanpa terputus dibelahan bumi
manapun.
Akhirnya saya memutuskan masuk agama Islam dengan kesadaran diri setelah selama 1 tahun
menjadi atheis bukan karena dipaksa oleh orang tua atau pihak manapun. Sayapun menyatakan
syahadat ulang. Mulai dari saat itulah saya sangat menjadi haus terhadap ajaran agama Islam semua
kajian yang saya dengar selalu saya ikuti, apapun ajaran islam dalam setiap mahzab dan aliran sayapun
coba untuk terus pelajari. Bahkan saya sempat ikut ajaran tashawuf dari seorang guru matematika di
SMP saya tersebut yang memilih cinta akhirat daripada kehinaan dunia. Inilah masa-masa dimana
kenikmatan islam begitu sangat kental terasa puncaknya merasakan ibadah yang begitu dekat dengan
Allah sang pencipta alam semesta sujud panjang shalat malam dengan deraian airmata menumpah ruah
dihamparan sajadah, berpuasa sunnah senin-kamis hingga daud, mengaji alquran beserta artinya,
tenggelam dengan lautan dzikir tanpa putus, wal hasil goncangan batin dan ketidak tenangan yang dulu
sempat dialami hilang berganti dengan ketenangan hati dengan keyakinan total bahwa Allah lebih dekat
ketimbang urat nadi leher. Disetiap mata memandang disetiap kaki melangkahdan lisan yang berucap
hanya ada lafadz Allah. Untuk selanjutnya tahapan dzikir dari lisan kedalam hati menjadikan dzikir
disetiap detakkan jantung dan aliran darah yang mengalir kesemua tubuh tanpa terputus.
Kondisi itulah yang pada akhirnya selepas kelulusan saya di SMP lebih memilih untuk masuk
pesantren bukan karena permintaan orangtua melainkan keinginan pribadi untuk belajar Islam lebih
dalam. Akhirnya saya dimasukkan di salah satu pesantren salafi modern berbasis NU (pendiri dan
penerusnya merupakan tokoh ulama besar NU Jawa barat) di sukabumi. Awal masuk saya sudah
mendapat predikat sebagai Siswa Teladan dimasa ospek sampai akhirnya menerima kehormatan
memimpin upacara bendera perdanasambutan kepada siswa-siswi dan santri baru sebagai komandan
utama upacaraseluruh batalion siswa dan santri baru. Dikelaspun saya sering mendapat predikat terbaik
dikelas dan disekolah semasa dipesantren sambil meneruskan hobi saya selepas dari jam pelajaran
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
sekolah untuk belajar membaca mandiri di perpustakaan tanpa menghiraukan skat buku SMA, MA, SMK
karena saya memilih masuk SMA di pesantren tersebut. Kurang dari satu tahun saya sudah melahap
semua buku-buku pelajaran umum dan agama dari jenjang kelas X-XII. Bahkan saya dikatakan sebagai
macannya santri SMA karena dianggap memiliki kecerdasan diatas rata-rata hingga akhirnya saya
diakselerasi untuk belajar bahasa inggris oleh wali kelas yang dipelajari oleh para senior saya di
pesantren yang pengajarnya merupakanmualaf native speaker dari Australia.
Dalam organisasi saya dimasukkan dalam jajaran OSIS sebagai staff khusus bidang akademik dan
prestasi dan menjadi dekat dengan semua guru dan ustadz serta menjadi siswa/santri kepercayaan
kepala sekolah yang merupakan lulusan S2 dari madinah. Di organisasi inilah saya bertemu dengan
seorang yang bersahaja cerdas dan supel tak lain adalah sang ketua OSIS yang rajin menjadi Office Boy
kantor SMA bukan karena dibayar melainkan sebagai bentuk pengabdiannya sebagai seorang siswa dan
santri terbaik terhadap guru dan ustadz, dari beliaulah saya belajar tentangseni memimpin (untuk kisah
ini sudah saya tuliskan pada catatanFBsaya sebelumnya yang berjudul (Memimpin dimulai dari 3 M).
Selain OSIS sayapun aktif di pramuka, paskibra, basket, seni kaligrafi, MTQ, Marawis, Pencak
Silat, IPNU, dan juga organisasi daerah tempat saya berlatih diskusi, pidato, dan debat. Hampir semua
ekstrakurikuler sekolah dan pesantren saya ikuti untuk menyalurkan bakat dan minat non akademik.
Namun menjelang kenaikan kelas XI saya kembali galau karena berhadapan dengan kondisi perkelahian
terhadap kakak kelas yang ketika saya mendapat jadwal piket asrama beliau tidak mau mengaji dan
sekolah, sebagai catatan tidak semua input santri adalah orang baik justru banyak yang masuk adalah
mantan preman, pecandu narkoba dan minuman keras dll. Dan terkadang tidak semua santri bisa
meninggalkan kebiasan buruknya dahulu semasa dipesantren. Mungkin karena terpengaruh minuman
keras kakak kelas tersebut menjadi emosi saat saya minta untuk mengaji beliau tidak merasa terima dan
terjadilah perkelahian tersebut yang berakibat panjang.
Untungnya saya masih dibela oleh ketua OSIS yang menjadi senior panutan saya di asrama
tersebut. Namun hal tersebut menjadi insiden buruk bagi adik kelas yang lainnya. Teman sekamar
sayapun dipesantren diintimidasi bahkan sering dipukuli oleh geng senior yang cukup brandal. Satu
persatu teman kamar saya pindah dan ada juga yang memutuskan untuk keluar pesantren. Terakhir
yang paling parah adalah ketika kasur saya dicuri oleh para senior sehingga saya tidak lagi bisa tidur
menggunakan kasur dan kondisi asrama saya ketika itu tidak ada ranjang jadi langsung bersentuhan
dengan ubin. Saya sengaja untuk tidak menceritakan kisah ini kepada orang tua agar saya tidak
dikeluarkan dari pesantren. Akhirnya selama 6 bulan saya lebih memilih tidur di masjid pesantren
setidaknya ubinnya dilapisi karpet walau tetap merasa dingin dengan kondisi pesantren yang diapit dua
gunung di sukabumi. Hal ini bukan tidak pernah saya beritahukan kepada ustadz namun beliau
menanggapi bahwa kondisi saya dipesantren adalah sebagai bekal merasakan kerasnya hidup diluar
pesantren, karena kata ustadz masyarakat pesantren adalah miniatur masyarakat sesungguhnya. Di
pesantren inilah saya tidak hanya diajari cerdas secara akademik (beberapa kali saya menjadi delegasi
olimpiade sciens dan IT) namun juga kecerdasan dalam bersikap dan kemandirian.
Hingga akhirnya orang tuapun saya tahu kondisi saya dipesantren setelah saya mengalami sakit
keras. Selepas kelas X dipesantren orang tua ingin menarik saya keluar padahal saat itu saya adalah
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
salah satu kandidat terkuat sebagai ketua santri dan ketua osis dan akan dididik sebagai santri calon
penerima beasiswa untuk melanjutkan studi pasca pesantren ke mesir. Namun setelah saya istikharah
akhirnya saya memilih untuk mengikuti keinginan orang tua, adapun pesan terakhir para ustadz dan
guru dipesantren ketika saya berpamitan adalah Jangan lupakan apa yang telah didapatkan semasa
dipesantren ini dan berdakwahlah dimanapun tempatnya. Hanya kalimat itulah yang menjadi motivasi
terkuat untuk saya melanjutkan studi diluar pesantren hingga masuk ke perguruan tinggi.
Selepas 1 tahun dipesantren saya lebih memilih tinggal dengan kakak yang waktu itu kuliah di
UINJakarta bersama dengan saudara yg dulu pernah mengajar private didalam satu kosan kontrakkan.
Namun kali ini saya lebih siap karena sudah memiliki bekal ilmu dari pesantren sehingga banyak
logikanya yang bisa saya patahkan. Pesan beliau tetap satu kepada saya adalah tidak berhenti membaca
dan mulai menulis diluar jam sekolah. Saya akui kehebatan beliau dalam menulis sering masuk media
nasional baik cetak maupun online walau berpahamsosialis liberal dia lebihrela tidak tidur semalaman
hanya sekedar membaca dan menulis. Selama beberapa bulan tinggal dikosan sederhana itulah sambil
menyiapkan diri untuk masuk ke salah satu SMA Negeri dibilangan Jakarta Selatan saya tetap belajar
untuk bisa lolos tes masuk SMA Negeri sebagai siswa pindahan. Alhamdulillah setelah istikharah dan
belajar saya diterima di salah satu SMA Negeri Jakarta Selatan sebagai tempat awal berdakwah (sebagai
motivasi awal untuk studi pasca pesantren). Dan benar saja setelah saya berhasil melewati tes
persaingan yang melibatkan puluhan siswa tersebut yang hanya meloloskan 3 orang termasuk saya dan
2 orang lainnya merupakan lulusan pesantren unggulan Insan Cendekia milik Prof. BJ Habibie, bidang
kesiswaan sekolah saat interview meminta saya untuk aktif disalah satu ekskul sekolah yang bernama
ROHIS sebagai syarat saya masuk disekolah tersebut. Mungkin inilah jalan yang Allah tunjukkan dari hasil
istikharah selama ini.
Diawal masa sekolah di SMA tersebut bertepatan pada jadwal Ospek saya mencari ekskul ROHIS
sebagaimana permintaan bidang kesiswaan walau sebenarnya saya dilarang untuk masuk ROHIS oleh
saudara satu kosan di UIN karena dianggapakan menjadi penganut Islam yang radikal dan cenderung
ekstrimis. Saya malah di anjurkan untuk aktif di mading sekolah atau OSIS SMA bahkan diminta ikut
ekstra sekolah IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) cabang Ciputat. Namun kakak saya ketika itu lebih
membebaskan saya untuk aktif dimanapun selama jadwal sekolah tidak terganggu. Akhirnya pesan
kakak saya lebih ikuti walau pada akhirnya dampaknya pengurangan jatah uang makan dan ekskul dari
orang tua ditahan oleh saudara saya ketika tahu saya aktif di ROHIS. Pertemuan saya di organisasi ini
diawali saat saya sholat dhuha di mushola sekolah karena hemat saya lembaga ini pasti ada di mushola
dan benar saja saat selesai sholat dhuha saya bertemu seorang kakak kelas yang ternyata aktif di ROHIS
setelah mengobrol sayapun menyatakan diri untuk daftar sebagai anggota, hanya karena saya siswa
pindahan akhirnya saya langsung diminta ikut pengajian di hari sabtu dan kemudian diperkenalkan
dengan teman-teman lainnya yang aktif di ROHIS. Tanpa proses administrasi apapun saya akhirnya ikut
bergabung di ROHIS dengan syarat aktif mengaji talim disetiap hari sabtu dan ikut mentoring.
Awalnya saya kira mentoring adalah mengkaji kitab ternyata hanya sebatas tilawah dan sharing
keilmuan bahkan ada hal yang lucu yang saya alami ketika mentoring ternyata sang mentor penguasaan
terhadap ilmu agamanya boleh dikatakan belum cukup mapan seringkali bila bertanya hadist dan dalil
quran malahbertanya kepada saya yang merupakan eks santri pesantren. Mentor pertama saya ketika
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
itu adalah alumni angkatan 2005 yang merupakan salah satu mahasiswa UI Fakultas Hukum. Ada hal
yang unik selama saya aktif di ROHIS ini sebenarnya untuk intensitas belajar agamanya sangat sedikit 2-3
jam perminggu dengan sistem FGD (Focus Grup Discussion) namun kesan ukhuwahnya begitu kental dan
semangat mengamalkan ilmu islamnya melebihi para santri dipesantren walau terkadang agak saklek
karena belum paham mengenai perbandingan mahzab dalam islam. Ya sekolah sambil berdakwah
adalah motonya dengan Jargon Belajar Sukes Berdakwah Yes itulah ROHIS. Agak bertolak belakang
dengan tuduhan sebagai cikal bakal islam radikal dan ekstrimis sebagaimana yang dituduhkan oleh
saudara saya yang berpaham liberal sosialis. Karena organisasi ini sama sekali tidak mencerminkan
kekerasan dalam berdakwah dan pengkaderannya malah banyak anggota dan alumninya memiliki
prestasi akademik yang gemilang semasa disekolah hingga perguruan tinggi.
Ini bukan contoh kosong saya sendiri membuktikannya (walau sebelumnya saya memiliki
prestasi akademis) namun ketika di ROHIS inilah terdapat letak perbedaannya. Dikelas saya XI-XII IPA
rata-rata siswa yang aktif dapat menjadi siswa berprestasi bahkan selepas lulus SMA banyak yang
diterima di perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini termasuk saya. Mungkin inilah yang disebut
sebagai berkah berdakwah dimanapun tempat dan organisasinya. Hingga baru beberapa bulan saya aktif
di rohis diminta menjadi salah satu calon kandidat ketua rohis, namun saat itu saya menolak dengan
alasan baru beberapa bulan sekolah di SMA tersebut dan belum paham medan dakwah akhirnya teman
sayalah yang menjadi ketua rohisnya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama dikarenakan sang
ketua rohis menderita sakit yang parah hampir 6 bulan akhirnya saya berdasarkan hasil musyawarah
anggota, alumni rohis dan pejabat sekolah. saya diminta menggantikan posisi beliau. Dengan amanah
baru ini saya terus berdakwah sambil dipindah mentoring ke angkatan yang lebih senior alumni 2004
yang juga mahasiswa UNJ Fakultas Ilmu Pendidikan. Di mentoringinilah saya baru paham bahwa sistem
mentoring adalah salah satu adopsi dari sistem pengkaderan organisasi Islam Internasional yang
didirikan oleh Hasan Al-Banna di mesir ketika kekhilafahan turki utsmani runtuh pada tahun 1924.
Awalnya saya berdebat keras mengenai organisasi ini boleh dikatakan sangat kritis ketika sang mentor
menunjukkan lambang Ikhwanul Muslimin (IM) di kaos yang digunakannya, bahkan saya sempat
bertanya apa perbedaannya dengan ormas Islam lainnya yang saya ketahui seperti HTI, Jamaah Tabligh,
Salafi, Jihadi, FPI, NU, Muhammadiyah dll.
Beliau hanya menjawab saya diminta untuk mempelajarinya dahulu baru kemudian
memutuskan untuk ikut atau tidak. Saya meminta waktu selama beberapa bulan untuk studi kritis dan
komparasi dengan seluruh organ islam yang ada di dunia internasional dan nasional. Untuk NU dan
Muhammadiyah saya sudah membacanya di pesantren dan pernah aktif di IPNU dan IRM. Sementara
untuk HTI saya langsung mendatangi sekretariatnya di deket Kosan UIN Jakartauntuk berdiskusi, untuk
yang lainnya saya membacanya di buku dan sumber internet. Hingga akhirnya saya mencari semua
literasi IMdisemua toko buku Islam dan sumber internet. Selepas saya menjadi ketua ROHIS menjelang
akhir periode saya didatangi oleh salah satu delegasi utusan organisasi pelajar islam di Jaksel yang
katanya memiliki cabang diluar Jakarta hingga aceh. Penasaran sayapun menyanggupi undangannya
karena undangan tersebut ditujukan untuk semua ROHIS yang ada di Jakarta Selatan. Dan ketika saya
datang kami para peserta undangan diminta berkumpul untuk diskusi mengenai pergerakan Islam yang
kami ketahui dan dalam perkumpulan itu mungkin karena kebanyakan diskusi dan membaca buku-buku
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
gerakan islam sayapun terlalu dominan dikelompok diskusi tersebut hingga akhirnya teman-teman
perwakilan rohis lainnya sepakat menunjuk saya sebagai ketua organisasi pelajar islam tersebut
ditingkat komisariat/kecamatan.
Namanya adalah KAPMI organisasi yang didirikan di era reformasi oleh kumpulan aktivis rohis
sejakarta ini akhirnya menjadi cikal bakal organisasi tingkat nasional yang saat ini tengah dirilis oleh para
seniornya karena telah memiliki cabang diluar ibukota dan diluar pulau jawa. Tak lama menjadi ketua
komisariat saya diminta untuk menghadiri acara musyawarah pemilihan ketua baru tingkat kotamadya
daerah Jakarta selatan. Awalmya saya menganggap saya datang sekedar menjadi peserta biasa malah
masuk menjadi salah satu calon kandidat tanpa persiapan sama sekali. Aneh tapi nyata tanpa mengikuti
sistem pengkaderan yang ada diorganisasinya saya malah ditunjuk menjadi ketua KAPMI daerah Jakarta
Selatan. Mungkin pengaruh pidato yang saya sampaikan saat pencapaian visi misi calon kandidat itulah
yang membuat para peserta musyawarah lebih memilih saya yang tidak pernah mengikuti pengkaderan
apapun di organisasi ini malah diamanahkan memimpinnyaakibat pemaparan visi misi gekaran dakwah
yakni visi misi gagasan kebangkitan gerakanpelajar dan pemudaislam di kancah global.
Di KAPMI inilah saya memahami gerakan islam pelajar-mahasiswa hingga akhirnya saya pun
pernah diamanahi menjadi ketua presidiumnya di tingkat nasional. Mungkin inilah jalan yang Allah
berikan, dengan organisasi ini saya belajar akselerasi semua gerakan lintas ideologi dan agama. Baik
skala lokal dan internasional. Hingga saya pernah tertangkap basah oleh senior saat masih pelajar
selepas saya menjadi ketua ROHIS yang tengah asyik membaca pemikiran politik islam internasional dsb.
Yang kala itu belum menjadi bacaan lumrah ditingkat pelajar pada umumnya bahkan dikalangan aktivis
mahasiswa tingkat awal sekalipun. Tinggal selama 2 tahun dilingkungan mahasiswa UIN begitu asyik
untuk saya berdiskusi dari pemahaman ideologi kiri hingga kanan semua ada walau belum menjadi
mahasiswa budaya diskusi adalah budaya yang telah terbangun dalam diri saya. Pernah saya masih
menjadi partner diskusi mahasiswa S2 jurusan Agama yang seringkali hasil diskusinya saya lontarkan
dalam grup diskusi mentoring saya hingga sang mentor/murabbipun tak bisa menjawab.
Selepas saya SMA untuk melanjutkan studi saya di Perguruan Tinggi saya awalnya menolak
karena awalnya ingin mandiri terlebih dahulu dengan bekerja. Namun ayah menolak dengan memberi
ancaman tidak akan diakui sebagai anak kalau tidak kuliah tahun tersebut. Akhirnya saya meminta
kuliah di UIN namun kakak saya menolak karena alasan mutu pendidikan yang lebih baik untuk memilih
kampus diluar UIN, sebenarnya bukan itu yang menjadi alasan utamanya beliau menolak melainkan
perbedaan paham gerakan lah yang akhirnya saya tidak boleh kuliah di UIN, beliau bersama rekan-
rekannya adalah pengurusaktif PMII di kampus bahkan sejak kelas XI SMA saya sudah pindah kosan dari
kosan saudara yang berpaham sosialis liberal bersama kakak ke kosan basecamp PMII dan partainya di
kampus. Sehingga dengan background saya sebagai aktivis rohis, ketua PMII ketika itu memberikan
arahan kepada kakak sebagai sekjendnya untuk tidak memasukkan saya ke UIN karena dianggap
nantinya akan aktif di LDK atau KAMMI yang menjadi rival gerakan PMII.
Akhirnya saya diberi pilihan kuliah diluar UIN, yakni UI, UNJ, atau STAN. Setelah istikharah
kembali akhirnya Allah menetapkan masuk di UNJ. Walau sebelumnya mentor saya lebih suka saya
kuliah di UI namun saya lebih percaya kepada hasil istikharah sebagai bentuk perlawanan terhadap
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
budaya mistik menjurus musyrik keluarga yang membuat ayah saya begitu fanatik bertanya kepada
seorang kyai yang katanya saya keterima di UI melebihi kodrat Allah karena hasil ujian belum keluar.
Hasil SNMPTN pun tidak semua saya kasih tahu kepada Ayah. Saya akhirnya mengatakantidak masuk UI
sekalipun nantinya keterima di salah satu jurusan FISIP UI. Saya berdoa kepada Allah agar memberi
pilihan yang lebih baik untuk saya berdakwah hingga akhirnya saya lolos di salah satu jurusan terfavorit
manajemen (Bilingual Class) di FE UNJ melalui jalur ujian mandiri pasca SNMPTN. Dikampus inilah saya
mengenal banyak ragam aktivitas akademis dan non akademis, saya tidak pernah aktif di LDK ataupun
BEM universitasnamun lebih memilih organisasi ekstra KAMMI, riset dan penelitian KPM, dan lembaga
legislative BPM. Alasannya simple karena bobot diskusi dan debat ilmiah dilembaga tersebut lebih
mumpuni, kuliah sayapun boleh dikatakan cukup berat karena berpengantar bahasa inggris hingga ujian
akhir skripsi dan kompree full English.
Oleh karenanya tak sedikit dari jurusan kuliah saya mewakili mahasiswa UNJ ke kancah
internasional dalam bidang forum ilmiah dan diskusi global dan menjadi delegasi dibeberapa Negara.
Alhamdulillah sayapun mendapat kepercayaan untuk mewakili UNJ mempertahankan karya ilmiah di
dunia internasional dan mempublishnya di media nasional sebelum saya lulus. Di KAMMI saya pernah
diamanahi menjadi ketua komisariat UNJ dua periode dan menjadi satu-satunya komisariat yang
seringkali menjadi organisasi yang memiliki interaksi hingga jaringan internasional (AS, ASEAN, dan
Turki) sebagai tempat studi banding pergerakan pemuda Islam dan barat. Adalah pengalaman yang
sangat berharga ketika bisa berdiskusi lepasdan langsunglebih dari 3 jam bersama rektor UNJ diruang
kerjanya yang membuka pemikiran saya, beliau adalahaktivis HMI semasa mudanya penuh perjuangan
untuk bisa menyelesaikan kuliahnya walau sudah dua kali di DO (karena aktivitasnya sebagai aktivis dan
minim biaya) beliau tanpa putus asa dantidakmengenal kata menyerah untuk tetap bisa kuliahwalau
harus menjadi tukang kuli bangunan dan mengajar di SD impres akhirnya beliau dapat menamatkan
studinya hingga S3 dan bergelar Profesor serta akhirnya impian beliau untuk menjadi rektor tercapai.
Intinya adalah your mind is your life kata beliau menutup akhir diskusinya diruang kerjanya
karenajamdindingmenunjukkan jam 9 malam selepas bada maghrib kami berdiskusi. Dari pertemuan
itulah saya akhirnya lebih dekat kepada beliau beserta jajaran birokrat kampus dan para dosensekaligus
menjadi aktivis yang menggerakkan mahasiswa untuk berdemo menentang kesewengan-wenangan
kebijakan pemerintah saat demo kenaikan BBM 2012 kampus berhasil menghimpun 700 mahasiswa
sejabodetabek sebagai basecamp KAMMI di depan rektorat UNJ untuk berdemo ke DPR hingga
mencapai angka 1000 mahasiswa ini terbesar pasca era reformasi. Dan berhasil memasukkan nama saya
kedaftar list intelkam polres Jakarta timur. Pasca kegiatan demo tersebut dan sebelumnya demo
mencegat kedatangan Hillary Clinton ke Istana Negara, pernah selama 7 hari saya tidak berada di
kampus karena dicari intel berpakaian preman. Dan dikosan pun sang ibu kos tidak pernah tahu nama
saya yang sebenarnya. Selama di KAMMI saya berhasil membentuk aliansi Forum Ekstra kampus UNJ
meliputi HMI, PMII dan HTI agar tidak terjadi perpecahan sesama organisasi islam kepemudaan.
Setelah saya lengser menjabat ketua KAMMI UNJ dua periode saya kembali mendapat amanah
disalah satu lembaga think thank ICMI, CIDES Campus UNJ sebagai president disinilah saya lebih
mengasah pendalaman mengenai riset dan kajian ilmiah. Yah CIDES kenapa saya mau aktif didalamnya
karena sejarah CIDES (Center for Information and Development Studies) Indonesia di tahun 90an
*Kisah Tentang Pencarian Jati Diri Mengungkap Jalan Ilahi : Achmal Junmiadi, S.E (Akmal/Jun) Putra ke
2 dari Pasangan H. Rahmat Abdullah (Muatwi) dan Hj. Siti Aminah (Saminah)
sempat membuat CSIS ditandingi dengan hasil riset intelektualnya yang notebene merupakan karya para
intelektual muslim, Ikatan Cendikiawan MuslimIndonesia(ICMI) ini. Banyak pengalaman selama 1 tahun
saya menjabat menjadi presidennya di tingkat kampus UNJ sehingga perhatian saya dalam bidang riset
menjadi lebih serius terutama diwaktu saya menyelesaikan skripsi dan menjadikannya jurnal, dosen
penguji sampai mengusulkan untuk dapat menjadikannya salah satu jurnal internasional di deretan
jurnal eropa.
Beberapa kali saya pernah diundang untuk menghadiri undangan forum-foruminternasional
dan temu kader senior CIDES dan ICMI hingga saya dapat bertandang dan bertemu Prof. B.J Habibie
dirumahnya beserta para pejabat tinggi di negara ini. Mulai daripada menteri, politisi, akademisi, dan
budayawan yang menjadi pengurus senior, dewan penasehat, dan pakar CIDES dan ICMI yang tengah
membahas nasib bangsa yang mayoritas muslim terbesar Indonesia di dunia ini dibidangkepemimpinan
dikancah nasional dan Internasional. Mungkin inilah jalan tuhan yang telah digariskan adalah hal unik
kembali saya menjadi pimpinan di CIDES Campus saat ini bukan karena mengikuti pelatihannya,
melainkan karena ada teman beda kampus yang mengajak untuk aktif didalamnya dan akhirnya
dipercaya menjadi president CIDES UNJ pasca istikharah dan saat ini diamanahi menjadi Ketua Pusat
CIDES Campus berdasarkan hasil rakernas juli 2014 hingga akhir tahun ini. Sambil mempersiapkan diri
untuk melanjutkan studi Pascasarjana S2-S3 kebeberapa negara di benua Eropa bukan berdasarkan
keinginan duniawi semata melainkan tujuan ekspansi dakwahpenaklukkankonstantinopel barat.
Hingga akhirnya jalan melalui Hidayahnya menjadikkan penaklukkan konstantinopel barat jilid
dua pasca konstantinople timur oleh Muhammad al fatih dapat terwujud bukan dengan pedang
melainkan melalui Hujjah dan Ilmu sesuai amanah dakwah yang disampaikan sang rasul melalui
risalahnyapada14 abad silam. Mungkin inilah sedikit gambaran pencarian jati diri yang saya alami sejak
ketibaan saya di salah satu benteng terkuat eropa dijamannya di usia saya 24 tahun karena lebih dari 8
abad sejak nabi Muhammad wafat benteng ini tak tertembus barisan kaum muslimin dan hanya akan
tertembus oleh pemimpin terbaik beserta tentaranya yang terbaik. Di usia yang sama 24 tahun sang
Sultan Muhammad Alfatih dapat menembusnya dan menaklukkannya hingga menamakannya sebagai
islambul/Istanbul (tahta islam) sebagai ibukota kekhilafahan turki utsmani.
Saat inilah konstantinopel barat tengah menanti para penaklukknya sebagai utusan bukti
kebenaran risalah tuhan. Karena sejarah adalah dimensi waktu yang lalu, dan realita adalah dimensi
waktu sekarang, adapun masa depan adalah dimensi waktu yang tengah dipersiapkan. Karena sejatinya
Pengukir sejarah tidak akan sekedar memikirkan sejarah masa lalu dan realita dijamannya tanpa
memikirkan masa depannya. Realita Indonesia saat ini sebagai bangsa muslim terbesar yang berada
paling timur peradaban, sebagaimana sejarah dijaman rasul mengatakan akan kebangkitan islam di akhir
zaman dari arah timur dan siapakah negeri paling timur itu yang mayoritasnya umat islam.? Dalam
tulisan inilah salah satu harapan doa saya dipanjatkan, dimana dunia kebangkitan islam timur akan
menjadi pemimpin peradaban duniainternasional timur dan barat suatu saat kelak.
Allah telah melipat bumi untukku timur dan barat sebagai kekuasaan umatku kelak, dengan
memberikankudua kekayaan Merah danPutih
-Hadist shahih-

Anda mungkin juga menyukai