Anda di halaman 1dari 41

3

BAB 3
PEMBAHASAN

A. AGAMA

1. Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, gama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
mile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas
beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang
dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik
perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan
akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang
luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari
sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada
bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.
Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Samadan lain-lain atau hanya
4

menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng
Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri
kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan
yakin berasal dari Tuhan
menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal
dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama
terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu
paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian
tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, Agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.
Yakni bahwa seluruh aktifitas lahir dan batin pemeluknya itu diatur oleh
agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,
bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata
cara agama.
1

Dapatlah di simpulkan bahwa kehidupan manusia tidak dapat
dipisahkna dari agama, karena pada hakikatnya agama memiliki dua
keistimewaan. Ia merupakan keutuhan fitri dan emosional manusia, dan
ia juga merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitri
manusia yang tak sesuatu pun dapat menggantikan kedudukannya.
2





1
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
2
Perspektif alquran tentang manusia dan agama.hal44.
5

2. AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang
melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya :

Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
(QS Ad-Rum [30]: 30)

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan
menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya.
Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama --boleh jadi sampai
dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh
rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan
pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap
agama dapat ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
Tadinya manusia menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti
agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini,
sangat labil, karena yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan
latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan
SiB,dan dengan demikian tolak ukur yang pasti menjadi sangat rancu.
Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia
melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa
mempedulikan nilai.
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun
keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu
sendiri. Beberapa ilmuwan berpandangan bahwa,"Selama manusia masih
memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama
(berhubungan dengan Tuhan)."Itulah sebabnya mengapa perasaan takut
merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.
Ilmu mempercepat kita sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang
dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama
menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan
batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi
6

harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan
"mengapa." Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang
agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus. Demikian
Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama
dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan
teknologi.
Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio ada
wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi
oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal, karena yang
lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila
seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata. Akal bagaikan
kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut
yang tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah membahana, maka
yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang sama-sama
membutuhkan pelampung.
Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia
tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai contoh bidang bio-teknologi.
Ilmu manusia sudah sampai kepada batas yang menjadikannya dapat
berhasil melakukan rekayasa genetika. Apakah keberhasilan ini akan
dilanjutkan sehingga menghasilkan makhluk-makhluk hidup yang dapat
menjadi tuan bagi penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang
dapat menjawabnya adalahnilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula
filsafat. Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat
menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa menciptakan
"agama baru" demi memuaskan jiwanya.
Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia pertama
di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu keindahan, kebenaran,
dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai suci. Manusia ingin mengetahui
7

siapa atau apa Yang Mahasuci, dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan
sejak itu pula ia berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai beragama, atau
dengan kata lain, keberagamaan adalah terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa
beseorang. Karena itu seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk
mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik
menghasilkan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni. Jika
demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga
selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak
mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?

3. Kefitrian agama
Alquran al karim telah mengungkapkan bahwa Allah SWT
menyimpan agama dalam lubuk jiwa manusia :
`! ,> _l !,.> ,L < _.l L _!.l !,l.
_,.,. _l>l < l: _ `,1l _>.l .
_!.l .l-, _
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu.
(QS.30:30)
Disaat berbicara tentang para nabi, Imam Ali (alaihissalam)
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada
perjanjian, yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan
dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat diatas kertas,
8

melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan
lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta
dikedalaman perasaan bathiniah.
Hal diatas dikemukakan bukan untuk pembuktian atau argumentasi,
melainkan untuk menegaskan bahwa islam adalah yang pertama kali
menemukan fan menandaskan bahwa agma merupakan kebutuhan fitri
manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini,muncul
beberapa orang yang menyeru dan mempopulerkannya. Berbagai teori
dan konsep mengenai hal ini muncul mula mula pada abad ketujuh belas,
kemudian pada abad kedelapan belas dan sembilan belas, sedangkan Al
Quran Al karim telas menandaskannya dalam firman Allah seperti
tersebut diatas.
3


B. NEGARA
1. Pengertian Negara
Istilah Negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing:
state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis).
Secara terminologi, Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi
diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk
bersatu, hidup didalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang
berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada
galibnys dimiliki oleh suatu Negara berdaulat: masyarakat(rakyat),
wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari
pengertian ini, Negara identik dengan hak dan wewenang.
2. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang
yang mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang disepakati
bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.

3
Perspektif Al quran tentang manusia dan agama.hal45.
9

b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan hukum.
Dalam tradisi barat, pemikiran tentang terbentuknya sebuah Negara
memiliki tujuan tertentu sesuai model Negara tersebut. Dalam konsep
dan ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan
kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai
makhluk social. Berbeda dengan Plato, menurut ajaran dan konsep
teokratis Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk
mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat
kepada dan dibawah pimpinan Tuhan. Pemimpin Negara menjalankan
kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan
kepadanya.
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan
Negara adalah agar manusia bias menjalankan kehidupannya dengan
baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.
Paradigma ini didasarkan pada konsep sosiohistoris bahwa manusia
diciptakan oleh Allah SWT dengan watak dan kecenderungan
berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara
individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan.
Adapun, menurut Ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada
kepentingan akhirat.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi , dan keadilan social sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu Negara yang bertujuan
10

untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat
yang adil dan makmur.
3. Unsur-unsur Negara
Suatu Negara harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat,
wilayah, dan pemerintahan. Ketiga unsur ini oleh Mahfud M.D.
disebut sebagai unsur konstitutif. Tiga unsure ini perlu ditunjang
dengan unsure lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia
internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.
Untuk lebih jelas memahami unsure-unsur pokok dalam Negara
ini, berikut akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut.
a. Rakyat
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu Negara adalah
sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan
dan bersaman-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak
bias dibayangkan jika ada suatu Negara tanpa rakyat. Hal ini
mengingat rakyat atau warga Negara adalah substratum
personel dari Negara.

b. Wilayah
Wilayah adalah unsure Negara yang harus terpenuhi karena
tidak mungkin ada Negara tanpa ada batas-batas tertorial yang
jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah Negara biasanya
mencakup daratan, perairan, (samudra, laut, dan sungai), dan
udara. Dalam konsep Negara modern masing-masing batas
wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan perundang-
undangan internasional.

c. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas
memimpin organisai Negara untuk mencapai tujuan bersama
11

didirikannya sebuah Negara pemerintah, melalui aparat dan
alat-alat Negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan
ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya
dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama tersebut dijumpai
bentuk-bentuk Negara dan pemerintahan. Pada umumnya,
nama sebuah Negara identik dengan model pemerintahan yang
dijalankannya, misalnya Negara demokrasi dengan
pemerintahan system parlementer atau presidensial. Ketiga
unsur ini dilengkapi dengan unsur Negara lainnya, konstitusi.

d. Pengakuan Negara Lain
Unsur pengakuan oleh Negara lain hanya bersifat menerangkan
tentang adanya Negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, bukan
konstitutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam
pengakuan suatu Negara, yakni pengakuan de facto dan
pengakuan de jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas
fakta adanya Negara. Pengakuan ini didasarkan adanya fakta
bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsure
utama Negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang
berdaulat). Adapun pengakuan de jure merupakan pengakuan
akan sahnya suatu Negara atas dasar pertimbangan yuridis
menurut hukum. Dengan memperoleh pengakuan de jure ,
maka suatu Negara mendapat hak-haknya disamping kewajiban
sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban
dimaksud adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan
diberlakukan sebagai suatu Negara yang berdaulat penuh di
antara Negara-negara lain.

4. Teori Tentang Terbentuknya Negara
1. Teori kontak sosial
12

Teori kontak sosial atau teori perjanjian masyarakat
beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-
perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat
a. Thomas hobbes (1588-1679)
Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan
yang aman dan sejahtera tapi sebaliknya. Oleh karena itu
dibutuhkan kontak atau perjanjian bersama individu-individu
yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan
menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada
seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.
b. John Locke ( 1632-1704)
Berbeda dengan Hobbes john Lock menanggap bahwa
keadaan yang alamiah sebagai suatu keadaan yang damai,
penuh komitmen baik dan saling menolong antara individu
dalam masyarakat. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan ideal
tersebut memiliki potensi kekacauan lantaran tidak adanya
organisasi dan pimpinan yang mengatur kehidupan mereka.
c. Jean Jacques Rouseau
Berbeda dengan keduanya, menurut Rouseau keberadaan
suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk
mengikatkan diri dengan suatu pemerintah yag dilakukan
melalui organisasi politik. Menurutnya pemerintahan dasar
konraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang
dibentuk melalui kontak.
2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dikenal istilah doktrin teokratis.
Teori ini ditemukan baik di Timur maupun dibelahan dunia Barat.
Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna
dalam sempurna tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad
Pertengahan yang mengggunakan teori ini tunuk membenarkan
kekuasaan mutlak para raja.
13

Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang
dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat
Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja mengklaim
sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan
kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin
politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan. Pandangan ini
berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam Islam tidak ada
pemisahan anatara agama dan negara. Sama halnya dengan
perngalaman kekuasaan teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam
menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan.
Dipengaruhi pemikiran sekuler Barat, menurut pandangan
modernis Muslim, kekuasaan dalam Islam harus
dipertanggungjawabkan baik kepada Allah maupun rakyat.
3. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara
terbentuk adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan.
Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison detre)
dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan
pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu
dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain,
terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana
sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk suatu negara.
Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian yang
terjadi dikalangan suku-suku primitif, di mana si pemenang
pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang
dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern
adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan bangsa Barat atas
bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal
abad ke-20, dijumpai banyak negara-negara baru yang
14

kemerdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial.
Negara Malaysia dan Brunie Darussalam bisa dikategorikan ke
dalam jenis ini.

5. Bentuk-Bentuk Negara
Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam
konsep dan teori modern, negara terbagi kedalam dua bentuk: negara
kesatuan(unitarianisme) dan negara serikat(federasi).
1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka
dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan
mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya,
negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem
pemerintah: sentral dan otonomi.
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah
sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh
pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah
dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat.
Model pemerintah Orde Baru di bawah pemerintahan
Presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem
pemerintah model ini.
b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah
kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan
untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya
sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi
daerah swatantra.
2. Negara Serikat
Negara serikat atau federasi meru[akan bentuk negara
gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah
negara serikat. Pada mulanya negara-negara beberapa beagian
15

tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan
berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara
serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan dari
kekuasaannya dan menyerahkan kepada negara serikat.

Berikut adalah sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk
negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok : monarki, oligarki,
dan demokrasi.
a. Monarki
Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan
yang dikepalai oleh raja atau ratu. Dalam praktiknya,
monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki
konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan
dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau
ratu. Adapaun, monarki konstitusional adalah bentuk
pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki
konstitusional ini adalah yang paling banyal dipraktikkan
dibeberapa negara, seperti, Malaysia, Thailand, Jepang dan
Inggris. Dalam model monarki konstitusional ini,
kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.
b. Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang
dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari
golongan atau kelompok tertentu
c. Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau
16

mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan ke hendak
rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).


C. PERANAN AGAMA DALAM NEGARA PANCASILA

Pancasila yang menjadi landasan dan falsafah negara telah membuktikan
dirinya sebagai wadah yang dapat menyatukan bangsa. Dengan Pancasila
bangsa Indonesia diikat oleh kesadaran sebagai satu bangsa dan satu negara.
Dalam negara Panacasila Agama hidup dan berkembang denga
perlindungan negaraam. Pemeluk agama berhak berhak untuk
mengembangkan agama nya sesuai keyakinan agama yang dipeluknya.
Masing-masing agama diberikan kebebasan untuk menyiarkan agamanya
dengan tetap menghargai agama orang lain. Dengan demikian dalam negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, agama mempunyai peranan
penting dan asasi dalam kehidupan bangsa dan negara. Bahkan, negara tidak
hanya melindungi pemeluk agama dan memberi kebebasan untuk
melaksanakan ajaran agama tetapi negara juga memberikan dorongan dan
bantuan untuk memajukan agama.
Hendaknya kita pahami bahwa tidak ada pertentangan antara Agama dan
Pancasila. Artinya Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang harus
kita mantapkan, sedangkan agama adalah keyakinan dan pedoman hidup
sebagai manusia. Kedua-duanya tidak perlu dipertentangkan dan memang
tidak bertentangan.
Sebenarnya mengembangkan dan menyemarakkan kehidupan beragama
menjadi kewajiban para pemimpin dan seluruh rakyat bersama Pemerintah.
Dengan demikian dari umat beragama diharapkan partisipasinya dalam
pembangunan bangsa, ikut menggairahkan dan menggerakkan masyarakat
dalam membina kehidupan beragama dalam Pembangunan Nasional. Sebab,
pembangunan agama merupakan bagian tak terpisahkan dalam
pembangunan nasional.
17

Pembangunan agama sangat erat hubungannya dengan pembangunan
nasional karena sedikitnya 99 persen dari bangsa Indonesia adalah pemeluk
agama. Ini berarti pembangunan melalui pintu agama merupakan jalan
terpendek dengan biaya relatif lebih murah. Banyak contoh yang dapat
dikemukakan, misalnya hidup dan berkembangnya majelis talim,
pengajian-pengajian di desa sampai ke kota dapat merupakan sarana untuk
memasyarakatkan program nasional. Adanya lembaga keagamaan yang
tersebar diseluruh nusantara merupakan kekayaan yang dapat dijadikan
jembatan untuk memasyarakatkan program pembangunan dengan bahasa
yang lebih dapat dipahami masyarakat.


Agama harus selalu dipelihara, dihormati dan dihayati serta diamalkan
oleh para pemeluknya. Dalam rangka pembinaan kehidupan umat beragama
maka Pemerintah tidak bermaksud mengawasi tetapi sekedar mengarahkan
dan membina dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai bangsa
yang Agamis (religious), tentulah menginginkan agar nilai-nilai agama yang
luhur dan universal itu benar-benar menjiwai kehidupan bangsa serta
dihayati dan diamalkan baik secara individual maupun sosial. Disadari
bahwa negara Pancasila bukan negara Sekuler. Sebab, negara Pancasila
tidak dibentuk atas dasar paham sekularisme yang tidak sesuai dengan
Falsafah Negara Pancasila. Demikian pula tidak dikenal pemisahan tentang
urusan agama dan urusan negara, dan menganggapnya sebagai dua dunia
yang sama sekali tidak bersangkut-paut satu sama lain.
Dari uraian diatas jelas bahwa agama merupakan bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia, agama bahkan mempunyai tempat yang wajar dalam
sistem kenegaraan. Karena itu harus diusahakan bagaimana agar agama
sebagai kenyataan dalam kehidupan bangsa dapat menjadi penunjang dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Demikian pula bagaimana
agar kita dapat mendorong dan mengarahkan perkembangan agama
sehingga mampu berperan dalam proses modernisasi bangsa secara positif
18

dan kreatif. Telah dikemukakan bahwa negara Pancasila telah meletakkan
hubungan yang wajar antara negara dan agama. Dalam hubungan ini maka
ciri masyarakat Pancasila yang diidam-idamkan benar-benar merupakan
gagasan yang perlu beroleh pendalaman.
Ungkapan agamis yang telah dipergunakan di atas harus dilihat dalam
konotasi ideologis. Maksudnya ialah bahwa nilai-nilai agama mestilah
beroleh tempat dalam interpretasi dan implementasi pancasila sebagai dasar,
falsafah, ideologi negara kita. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa
bangsa Indonesia yang diakui sebagai bangsa yang beragama itu tidak akan
mengalami problem psikologis dan pecahnya kepribadian dalam usaha
mereka menjadikan dirinya insan beragama dan insan pancasila. Seorang
dan setiap warga negara harus meyakini sepenuhnya bahwa seorang
beragama yang baik adalah juga seorang Pancasilais yang baik, dan
sebaliknya seorang Pancasilais yang baik adalah juga seorang yang
beragama baik.
Ungkapan religious itu mesti diwujudkan dalam pelayanan nyata
pemerintah terhadap hajat keagamaan dari masyarakat dan umat beragama.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintah mencampuri masalah
intern keagamaan, baik yang menyangkut masalah pemahaman maupun cara
pelaksanaan ajaran agama. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban
mengajak umat beragama untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan.
Demikian pula berulang kali telah dikemukakan bahwa sebagai orang
Islam seseorang berpedoman pada Al-Quran dan Hadist, dan sebagai warga
negara seseorang juga berpegang dan berpedoman kepada Pancasila. Juga
telah ditandaskan bahwa tidak semua orang Islam harus Pancasilais, hanya
orang islam warga negara Indonesia saja yang harus Pancasilais. Umat islam
di Saudi Arabia, Malaysia dan lain-lain tidak Pancasilais, mereka berpegang
pada ideologinya masing-masing. Untuk menegaskan kedudukan agama ini
maka di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea terakhir telah disebutkan
bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
19

Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam UUD 1945 itu sendiri pada Bab XI pasal 29 tentang Agama,
ditegaskan pula bahwa:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan nya itu.
Untuk melaksanakan seperti dalam alinea terakhir Pembukaan UUD
1945 maupun Bab XI pasal 29 dalam UUD 1945 itu, maka lewat Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 1949 juga Peraturan Pemerintah Nomor 8
tahun 1950 ditegaskan bahwa tugas dan kewajiban Departemen Agama
(sekarang menjadi Kementerian Agama) secara garis besarnya adalah
melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di Indonesia dengan dasar negara nya yaitu Pancasila memiliki
keberagaman agama yang tersebar di seluruh daerah-daerah yang ada di
Indonesia ini. Keberadaan agama ini sangat penting pengaruhnya dalam
upaya membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Agama memiliki
peran yang penting untuk memajukan serta mensejahterakan bangsa ini.
Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara yang mengakui adanya
salah satu agama resmi dan tentu saja bukan negara sekuler. Tidak ada
agama eksklusif yang harus lebih dominan diantara agama-agama lainnya,
sekalipun diantaranya ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warga
negara nya. Negara Republik Indonesia menempatkan substansi dan nilai-
nilai agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara amat penting.
Baik umat Islam sebagai penganut mayoritas di negeri ini maupun penganut
agama-agama minoritas lainnya tidak merasa ada hambatan di dalam
mengamalkan ajaran agamanya.
Hal yang harus ditimbulkan sebagai warga negara dan sebagai umat
beragama di dalam wilayah NKRI ialah kedewasaan dan kematangan
20

beragama, berbangsa, dan bernegara. Semua pihak harus menghindari cara-
cara anarkis di dalam menyelesaikan setiap persoalan, tetapi di sisi lain
semua pihak juga harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Setiap warga negara juga harus mempelajari lebih
dalam lagi ajaran-ajaran agama yang mereka anut agar tidak ada kesalah
pahaman di dalam mempraktikkan ajaran tersebut. Penguatan nilai
ketuhanan sebagai landasan spiritualitas dan moralitas berbangsa dan
bernegara pada gilirannya harus berakar kuat pada persemaian dan
pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini secara
formal, non-formal maupun informal menjadi tumpuan untuk melahirkan
kualitas kepribadian. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral
seseorang, seperti kepercayaan dan kejujuran, penghargaan atas keragaman
potensi dan identitas insani serta ketegaran dalam menghadapi kesulitan.
Di dalam negara Indonesia ada yang namanya suatu pembangunan
nasional, dan agama juga ikut berperan dalam pembangunan itu.
Pembangunan bertujuan membangun manusia, dan agama bertujuan untuk
kebahagiaan umat manusia juga. Pembangunan memerlukan nilai agama
dan agama memberi bentuk kepada arti dan kualitas hidup. Kalau tidak
demikian maka pembangunan akan kehilangan tujuan nya, kedalaman dan
keindahan nya. Dengan demikian jelaslah bahwa agama memberikan
motivasi dan tujuan bagi pembangunan. Dorongan untuk membangun
diberikan oleh agama. Dan agama memerlukan pembangunan karena tanpa
pembangunan agama berarti tidak dihayati dan diamalkan. Pembangunan
nasional dan bangsa yang sedang dilaksanakan sekarang ini secara langsung
menyangkut umat beragama. Berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut
pertama-tama akan dirasakan oleh umat beragama. Sehubungan dengan hal
tersebut seluruh umat beragama haruslah mengambil posisi terdepan untuk
mensukseskan pembangunan.
Agama juga berperan dalam membangun masyarakat untuk menjadi
lebih baik lagi, dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang terdiri dari
keberagaman suku bangsa ini, peran agama sebagai bagian dalam sistem
21

masyarakat masih sangat terlihat. Agama selain menjadi sebuah
penghayatan iman individu, ternyata juga mempunyai peranan dalam
pembentukan sistem moral dalam masyarakat. Dalam fenomena ini jelas
bahwa umat beragama di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar
dalam pembangunan bangsa, negara, dan masyarakat.
Beberapa agama besar di Indonesia masih terlihat dominan dalam
memberikan aspirasinya menyangkut perpolitikan di Indonesia. Hal ini
berpengaruh terhadap pembangunan negara karena politik menentukan para
pemimpin yang melaksanakan pembangunan. Peran agama dalam politik di
Indonesia dapat dilihat dari banyaknya partai-partai politik yang
bernafaskan agama yang ikut dalam koalisi pemerintahan. Serta tingginya
minat para pengikut agamanya untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Agama juga mendorong masyarakat untuk mendirikan organisasi-organisasi
sosial agar keinginan untuk membantu orang lain dapat terwujud. Tidak
hanya orang yang satu agama tetapi juga yang berbeda agama. Disinilah
agama membuktikan bahwa ia bisa membangun negara melalui gerakan
organisasi secara persuasif.

D. KONSEP RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM
Antara relasi hubungan Agama dan Negara mengalami berbagai
perdebatan yang cukup panjang dikalangan ulama islam hingga kini.
Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan
dengan relasi agama dan negara dalam islam dapat dibagi atas tiga
pendapat yakni paragdima integralistik, paragdima simbiotik, dan
paradigma sekularistik. Berikut akan dijelaskan secara rinci :
a. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan
agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara
22

merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini
sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara,
yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan
hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma
integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, yang
sumber hukum positifnya adalah hukum agama.
Paham ini dianut oleh beberapa ulama-ulama islam diantaranya
yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori imamah
mereka. Dan juga ulama-ulama yang terkemuka lainnya yakni, Al-
Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama
kontemporer seperti Rayid Ridho, kelompok-kelompok Ikhwanul
Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain sebagainya.

Mawardi berpendapat bahwa Allah mengangkat untuk umatnya
seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk
mengamankan agama, dengan disertai mandate politik. Dengan
demikian imam disatu pihak adalah pemimpin politik. Pemikiran ini
tidak beranjak dari ilustrasinya tentang kepemimpinan pada masa
Rasulullah dan Khalifah Ar-Rasyidin.
Begitu juga yang ditegaskan Al-Ghazali bahwa agama dan raja
ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan sultan
adalah penjaganya; sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh,
dan fondasi tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan
keharusan bagi tertib agama, dan ketertiban agama merupakan
keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti. Begitu juga
Ibnu Khaldun yang dengan memberikan uraian tentang makna khalifah
bahwa khalifah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh
peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat
23

bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat
adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus
berpegang pada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat
syariat (Rasulullah SAW) dalam memeliharaan urusan agama dan
mengatur politik keduniaan. Dan Rasyid Ridha walaupun dia
merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemikiran
simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan sang
gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka
penetapan hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah agama
kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemerintahan yang
lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerapkan syariat
Islam.
Selanjutnya Al- Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana
di Kairo-Mesir tahun 1928, yang mana perhatiannya pada mulanya
hanya pada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan social, namun
dalam perkembangan berikutnya munjadi suatu organisasi keagamaan
dan politik, hal ini terlihat jelas saat mereka mendambakan berdirinya
negara Islam di Mesir. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul
Muslimin yang paling sentral adalah Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan
peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur
segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial,
oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat
Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu,
kembali kepada kitab sucinya (Al-Quran) dan sunah Nabi, mencontoh
pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau
bahkan jarang meniru pola atau system politik, ekonomi dan social
barat.


b. Paradigma Simbiotik
24

Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbale balik. Dalam konteks ini, agama
membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan
mengembangkan agama, begitu juga sebaliknya, negara juga
memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam
pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.Pemikiran ini dianut
kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Muhammad
Abduh, Jamaludin Al-Aghani, Yusuf Al-Qardhawi dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang
mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang
paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bias
tegak. Pendapat beliau melegitimasikan agama dan negara merupakan
dua etensitas yang berbeda tetapi saling membutuhkan. Oleh
karenanya, konstitusi yang berlaku pada paradigm ini tidak hanya
berasal dari adanya social contract tetapi bias saja diwarnai dengan
hukum agama. Jamaludin Al-Afghani dalam membahas
ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintahan republic dimana
pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini
menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di
dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus
tunduk kepada undang-undang dasar tetapi tidak lepas dari
pemahaman beliau terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam. Selanjutnya
pemikiran beliau dilanjutkan oleh murid beliau yakni Muhammad
Abduh. Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, maka
bentuk demikinpun harus sesuai perkembangan masyarakat dalam
kehidupan materi dan kebebasan berpikir, menurutnya lebih jelas lagi
bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan. Pemerintah dan
rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-
dasar agama, dan menafsirkan selama ia berkaitan dengan masalah
keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan
salah satu pokok agama.
25


Dalam kepala mereka adalah bentuk pemerintahan. Artinya
merekalah yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang
mereka kehendaki. Namun demikian tidak berarti Muhammad Abduh
memisahkan antara urusan agama dan negara secara mutlak namun
menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat
dan pemerintah, dan pemerintah wajib menegakan keadilan yang
dituntut oleh agama dan rakyat. Demikian juga pendapat yang di
kemukakan ulama kontemporer Yusuf Al-Qhardawi bahwa ada yang
mengatakan, karena demokrasi itu hukum dari rakyat oleh rakyat, yang
berarti harus menolak pendapat yang mengatakan kedaulatan pembuat
hukum hanya milik Allah, hal ini merupakan pendapat yang tidak bias
diterima. Prinsip hukum milik rakyat yang merupakan asas demokrasi
tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan
asas penetapan hukum dalam Islam.

c. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama
dan Negara, agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda
dan satu sama lain memiliki garapan di bidang masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan. Hal ini dianut beberapa
ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal
dan lain-lain.
Menurut Raziq, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas
kerasulannya, melainkan tugas terpisah dari dakwah Islammya dan
berada diluar tugas kerasulan. Alasannya, bahwa Nabi Muhammad
SAW memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit
membuat kesimpulan bagaiman prosedur penetapan hukum yang
ditempuh oleh rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup
mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah
keuangan dan wawasan, keamanan jiwa dan harta. Namun demikian,
26

bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer
untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah.
Pendelegasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakannya.
Jadi, kegiatan kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari
jabatan beliau sebagai Rasul melainkan merupakan tugas beliau
sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia biasa. Pendapat
tersebut sealiran dengan pendapat Muhammad Husain Haikal, dimana
beliau menyampaikan bahwa sesungguhnya Islam tidak menetapkan
system tertentu bagi pemerintah, dan akan tetapi beliau meletakan
kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan muamalah dalam kehidupan antar
manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi dasar untuk menentukan system
pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah.


E. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT BEBERAPA
PAHAM

1. Menurut Faham Teokrasi
Hubungan agama dan Negara menurut faham teokrasi digambarkan
seebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan
agama,pemerintahan dijalankan berdarkan firmanTuhan. Segala tata
kehidupan dalam masyarakat,bangsa dan Negara dilakukam atas
perintah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik dalam
paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Paham ini kemudian berkembang dan terbagi kedalam dua
bagian,yakni paham teokrasi tidak langsung. Paham teokrasi langsung
dan paham teokrasi tidak langsung. Paham teokrasi langsung
mengatakan bahwa; pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara
langsung. Adanya Negara didunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan
oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan. Sedangkan menurut
paham teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan
27

sendiri,tetapi yang memerintah adalah raja/kepala Negara yang
memeiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja diyakini
memerintah atas kehendak Tuhan.
Contoh Negara yang menganut paham ini adalah kerajaan Belanda.
Menurut sejarah,raja dinegara Belanda diyakini sebagai pengemban
tugas suci yakni kekuasaan yang merupakan amanat suci dari Tuhan
untuk kemakmuran rakyatnya.
Dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung,system dan norma-
norma dalam Negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan.
Dengan demikian,Negara menyatu dengan agama. Agama dan Negara
tidak dipisahkan.
2. Menurut Paham Sekuler
Bila sebelumnya paham teokrasi menyatakan bahwa Negara dan
agama itu menyatu sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun menurut
paham sekuler justru kebalikannya. Paham sekuler memisahkan dan
membedakan antara agama dan manusia lain-lain. Sedangkan agama
adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan dua pandangan
tersebut,paham sekuler mengatakan bahwa agama dan Negara tidak
dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler,system dan Negara hokum positif
dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman
Tuhan. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan
Negara,akan tetapi Negara membebaskan warga Negaranya untuk
memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing dan Negara tidak
intervensif dalam urusan agama.
3. Menurut Paham Komunisme
28

Menurut paham komunisme yang dipelopori oleh Karl
Max,hubungan agama dan Negara yaitu didasarkan pada filosofi
matearilisme-dialektis dan materialisme historis. Paham ini sering
disebut dengan paham atheis. Karl Marx memandang agama sebagai
candu masyarakat (Marx,dalam Loius Leahy,1992:97-98). Menurutnya
manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama,dalam
paham ini dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum
menemukan dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama
dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia; dan agama
merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus
ditekan,bahkan dilarang.

E. PERMASALAHAN AGAMA DAN NEGARA DI AWAL
KEMEDEKAAN INDONESIA
Perdebatan klasik sejak indonesia merdeka adalah bagaimana hubungan
antara negara dan agama? sampai sekarang perdebatan itu tidak pernah
berhenti. Coba perhatikan debat mengenai RUU pornografi, Pera syriah, dan
Ahmadiyah, yang menyeret sejumlah kalangan dalam perselisihan yang
nyaris tak berkesudahan. Pertengkaran tersebut bukan hanya perbedaan
wacana, tetapi juga tekah berubah menjadi pentas adu kekuatan yang
menulusup dalam beragam isu. Padahal, pangkal maslahnya adalah ketidak
sesuaian persepsi dalam memandang hubungan negara dan agama.
Titik itu seolah tak pernah terlewati. Beragam isu keagamaan umumnya
selalu berpulang pada soal klasik itu, dan tidak bisa beranjak jauh.
Belakangan muncul aneka gagasan yang lebih progresif seperti islam yes,
partai islam no Nurcholis Majid atau gagasan yang lebih luas mengenai
desakralisasi. Begitu pula kiai Abdurrahman Wahid yang kerap
29

menganjurkan pribumisasi Islam. Namun demikian, dari kacamata politik,
pesona gagasan-gagasan tersebut kalah jauh dibandingkan perdebatan Islam
versus negara.
Secara teoretis hubungan islam dengan negara modern sangat
problematis. Hingga sekreang masih banyak pandangan dan mazhab yang
tidak mudah dipertemukan. Pada saat bersamaan, banyak daarah telah
tumpah untuk mewujudkan impian. Sebut saja, Negara Islam. Sejarah
modern tidak pernah sepi dari fenomena itu.
Indonesia itu bukan perkecualian. Debat mengenai masalah yang masuk
dalam pembahasan dasar negara itu berlasngsung sejak tahun 1945 dan
tidak pernah tuntas hingga sekarang. Buktinya, gelombang reformasi
memunculkan kebali perdebatan tersebut, dipicu oleh merebaknya partai-
partai politik Islam dan ditingkahi isu-isu mutakhir seperti perda syariah dan
Ahmadiyah. Semua menimbulkan tanda tanya, sejauh mana kita telah maju
dalam merumuskan hubungan antara agama dan negara.
Masalah itu perlu dituntaskan, setidaknya ada dua agenda pokok yang
perlu diperhatikan. Agenda pertama adalah hubungan diantara agama dan
negara, sementara agenda kedua adalah implementasi prinsip negara
berketuhanan sebagai mana pesan Pancasila dan Konstitusi. Kedua agenda
tersebut perlu di elaborasi lebih lanjut dan diupayakan dapat menghasilkan
konsensus bersama tentang bagaimana seharusnya generasi mendatang
mengelola masalah itu.
Supaya tidak berkutat pada perdebatan klasik tak kunjung usai, maka
penelusuran kembali wacana Islam dan negara di Indonesia menjadi suatu
keharusan, bukan menjadi penggugat masa lalu, melainkan agar kita
memperoleh teladan dan inspirasi bagaimana seharusnya mengelola
kehidupan yang tidak sekuler sekaligus tidak mencerminkan negara
agama.
A. Awal mula perdebatan
30

Tidak satu pun tokoh menafikan peran penting Islam dalam
membangun kesadaran nasional. Dan membentuk negara Indonesia
merdeka. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, tokoh-tokoh dari
golongan kebangsaan sangat menyadari akan penting arti islam dalam
membangun kesadaran nasional. Islam dalam persepsi kalangan nasionalis
dapat menjadi landasan moral dan etis bagi pergerakan kebangsaan.
Meminjam peribahasa Soekarno, yang penting bagaimana api atau
semangat Islam tetap berkobar. Walaupun negaranya sekuler, bila api dan
semangat islam tetap berkobar niscaya Islam pula negara itu. Namun,
merujuk kemerosotan dunia Islam, kalangan kebangsaan menolak
penyatuan Islam dan negara. Meletakkan Islam sebagai spirit, atau landasan
moral itulah kemudan hari dikenal dengan aliran substansialis.
4

Berbeda dengan tokoh-tokoh dari kalangan agama, terutama yang
berhakuan modern. Agus salim dan Mohammad Natsir misalnya,
memandang kemerdekaan dan cinta Tanah Air sebagaimana dikonsepsikan
kaum nasionalis bukan sebagai ultimate goal. Menurut mereka, ultimate
goal seharusnya adalah pengabdian kepada Allah. Bahkan, Natsir menilai
kehadiran negara sangat penting untuk menjamin agar perintah hukum Islam
dapat dijalankan. Artinya, kehadiran negara Islam adalah suatu keharusan.
Kelak, padangan itu dikenal sebagai pendekaten literelis atau formalistik.
5

Selain kedua perspektif dominan tersebut ada perspektif lain yang tidak
mencerminkan keduanya. Perspektif tersebut disuarakan Nahdlatul Ulama.
Organisasi para kiai ini meyakini sistem pemerintahan Hindia-Belanda
bersifat sekuler, namun bukan berarti syariat tidak bisa menjalankan di
dalam sistem itu. Umpamanya, muktamar NU tahun 1936 melakukan
terobosan fikih dengan memberi status negara kolonial sebagai Darul
Islam demi menyelamatkan beberapa institusi Islam yang ada. Keputusan
itu di satu sisi mencerminkan pandangan literalis (kesetiaan terhadap fikih

4
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 76.
5
Ibid., hal. 78-80.
31

sebagai paradigma) dan mewakili pandangan substanisalis dengan
mempertombangkan aspek kemaslahatan disisi lain.
6

Perspektif substansialis dan perspektif literalis tampak dominan dalam
rapat-rapat BPUPKI. Golongan agama yang dimotori oleh Ki Bagus
Hadikoesoemo mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka adalah Islam.
Sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung Hatta dan Soepomo
menyukai dasar negara adalah persatuan. Debat tentang dasar negara
berlangsung sejak sidang pertama BPUPKI pada 28 Mei 1945- 1 Juni 1945.
Sayangnya tidak terlalu jelas siapa, apa, dan bagaimana tokoh-tokoh
yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara mengemukakan argumen
dalam sidang BPUPKI. Dokumen yang bisa diakses, buku Risalah Sidang
BPUPKI, hanya mencantumkan pidato-pidato Muhammad Yamin,
Soepomo, dan Soekarno. Ketiga tokoh tersebut sama sekalitidak
mengusulkan Islamse bagai dasar negara.
Dari ketiga tokoh itulah kita mengetahui alasan mengapa islam ditolak
sebagai dasar negara. Soepomo misalnya, memeri argumen cukup sistematis
tentang penolakannya terhadap Islam Sebagai Dasar Negara.
Namun demikian Soepomo sangat tidak setuju bila negara nasional
Indoneia bersifat a-religius. Menurut Soepomo, Negara Nasional yang
bersatuitu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang
demikian itu dan akan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar
moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.
Namun gagasan brylian tersebut tampaknya belum bisa meyakinkan
anggota-anggota BPUPKI mengenai arti penting membangun negara bukan
berdasarkan agama tertentu. Perdabatan tentang masalah itu agak sedikit
mereda saat Sokarno berpidato pada 1 Juni 1945. Soekarno yang

6
Asad Said Ali, Pergolkan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2008), hal. 39.
32

mengusulkan pancasila sebagai dasar negara bisa meyakinkan kalangan
nasionalis-relgius bahwa, meski tidak berdasarkan Islam, negara yang akan
dibentuk adalah negara kita akan berTuhan pula. Semangat ketuhanan itu
dimasukkan sebagaisalah satu prinsip dalam pancasila. Soekarno juga
mencoba membesarkan hati kelompok nasionalis-Islam bahwa badan
perwakilan nantinya akan diduduki orang-orang Islam. marilah kita
bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk
dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka pemuka Islam. Dengan
sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,
hukum Islam pula.
Gagasan yang dikemukakan soekarno tampaknya melegakan golongan
yang sejak awal mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Setidaknya,
Soekarno elah berusaha mangakomodasi berbagai pandangan yang
mengemuka saat itu. Kekhawatiran golongan Islam mampu diredam
Soekarno dengan mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang
berTuhan. Di dalam Indonesia merdeka akan terdapat badan perwakilan
yang se yogyanya diisi oleh pemuka-pemuka Islam. Dengan itu, produk
hukum yang dihasilkan pula adalah hukum Islam pula. Pandangan itu cukup
mengena. Usulan Soekarno mengenai mengenai Pancasila pun dibahas
panitia kecil yang diberi tugas untuk menyusun mukaddimah UUD1945.
Sebagaimana diketahui, panitia kecil berhasil menyempurnakan gagasan
Soekarno. Lima dasar yang diusulkan diperbaiki panitia kecil menjadi
rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang.
Apakah rumusan dasar negara yang tercantum di dalam piagam jakarta
memuaskan semua pihak? Dalam rapat BPUPKI 14-15 Juli 1945 misalnya,
Kibagus Hadi Koesoemo, tokooh dari muhammadiyah menggugat kembali
isi Piagam Jakarta, khususnya sila pertama. Dia mengusulkan kata bagi
pemeluk-pemeluknya dihilangkan sehingga bunyi lengkap sila pertama
menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam. Tokoh
lain seperti Wahid Hasyim malah mengusulkan agar presiden dan wakil
33

presiden harus beragama islam serta agama negara adalah agama islam.
Sementara pandangan kalangan kristen mengenai Piagam Jakarta tidak
seragam. Maramys menyetujui, sedangkan Johanes Latuharhary berulang
kali menolak karena menganggap bertentangan dengan hukum adat
Maluku.
7
Perdebatan sengit kembali meruyak. Soekarno bersusah payah
meyakinkan agar rumusan yang telah dihasilkan dapat diterima. Dalam
rapat BPUPKI 16 Juli 1945, Soekarno kembalimenekankan pentingnya
pengorbanan semua pihak, khusunya golongan kebangsaan, suoaya bersedia
menerima kesepaatan yang dihasilkan demi selekasnya menuju
kemerdekaaan.
Akhirnya lobi dari Soekarno membuahkan hasil yang diinginkan, dia
berhasil meyakinkan beberapa tokoh nasionalis yang masih berkeberatan,
bahwa Piagam Jakarta adalah sebuah bentuk kompromi yang maksimal.
Begitu pula dengan golongan islam. Soekarno memberi jaminan kepada
mereka bahwa negara yang akan dibentuk tidak perlu menjadi sekuler
sebagaimana yang dikhawatirkan. Jaminannya adalah, pertama, rumusan
sila yang pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam
bagi pemeluk-pemeluknya. Sila kedua , Presiden republik Indonesia harus
orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Dengan tercapainya kesepakatan itu tampakmya menjadi sesuatu yang
melegakan. Artinya, Piagam Jakarta dan naskah UUD 1945 yang dihasilkan
BPUPKI adalah sebuah gentlement agreement sangat penting yang berhasil
mempertemukan aspirasi-aspirasi golongan kebangsaan dengan golongan
agama.
Naskah Piagam Jakarta (yang di dalamnya terdapat rumusan
:Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan kewajiban syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya) dan rumusan UUD ( salah satu pasalnya

7
Ananda B Kusuma, Catatan Seputar Simposium Restorasi Pancasila dalam Irfan Nasution dan
Roni Agustinus (ed.), Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas (Depok:
FISIP UI, 2006), hal. 240.
34

mencantunkan bahwa presiden harus orang indonesia asli yang beragama
islam) kemudian disetujui 62 orang dan ditolak seorang anggota BPUPKI.
Namun, debat tentang masalah itu belum final. Saat dibawa ke forum rapat
PPKI tanggal 18 Agustus 1945 muncul perkembangan politik yang sangat
menarik. Kelompok Kritsen dan Katolik dari Indonesia bagian timur,
sebagaimana dikabarkan seorang opsir kaigun, tidak sreg dengan Piagam
Jakarta. Bila rumusan tersebut tetap disahkan mereka mengancam akan
keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mohammad Hatta segera merespon aspirasi mereka. Sebelum rapat
PPKI dibuka, Bung Hatta melobi Teuku M Hasan (salah seorang tokoh dari
Aceh) untuk meyakinkan Ki Hadi Bagus Koesoemoagar bersedia menerima
bila tujuh kata dan persyaratan presiden harus beragama Islam dicoret. Lobi
Hatta berhasil. Ki Bagus rela tujuh kata tersebut dicoret demi
menyelamatkan republik yang baru satu hari diproklamasikan. Bahkan Ki
Bagus mengusulkan agar tujuh kata yang dicoret itu diganti dengan kata-
kata Tuhan yang Maha Esa sehingga bunyi lengkapnya menjadi
Ketuhanan yang Maha Esa. Penambahan kata yang Maha Esa: diartukan
oleh Ki Bagus sebagai tauhid. Sementara bagi Mohammad Hatta rumusan
itu menjadikan pancasila relatif lebih netral dan dapat diterima oleh
kalangan non-muslim.
Apa yang dapat disimpulkan dari perdebatan-perdebatan tersebut?
Pertama, Pancasia dan pembukaan UUD 45 adalah suatu bentuk kompromi
atau konsensus. Sebagai gentlemen agreement, tidak ada pihak yang seratus
persen menang. Ada proses saling memberi dan menerima. Selain itu, hal
yang diutamakan adalah kepentingan bersama. Kedua, Menolak gagasan
yang memisahkan agama dan negara. Negara tetap berlandaskan spirit ke-
Tuhanan atau moralitas keagamaan kendati negara tidak mematok diri
dengan prinsip agama tertentu. Posisi demikian diterima oleh kedua kubu.
Lalu, bagaimana bentuk negara yag tidak sekuler sekaligus tidak negara
agama?
35

Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI memang tidak berhasil merumuskan
secara jernih bagaimana bentuk keterlibatan negara dalam urusan agama
atau sebaliknya bagaimana implementasi negara berdasarkan asas
keTuhanan yang Maha Esa yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945.
Masalah itu dipersepsikan akan menjadi tugas generasi berikutnya. Pada
poin inilah letak persoalannya. Ketidak jelasan rumusan mengenai
hubungan negaradan agama justru mendorong generasi berikutnya
mengulangi kembali perdebatan lama yang tak kunjung tuntas.

B. Simpang Jalan Ideologi Islam dan Pancasila
Sayangnya, konsensus atau platform bersama dalam membentuk negara
pada 1945 itu tidak serta-merta diresapi banyak kalangan, dan nyaris
tenggelaman diterjang hiruk piruk revolusi. Begitu pula tatkala kedaulatan
sudah diperoleh sepenuhnya, dan Indonesia mulai menata kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan. Pancasila sebagai platform dan konsensus
bersama tidak lagi mengemuka dalam isu-isu kenegaraan dan kebangsaan.
Tokoh-tokoh nasional saat itu agaknya lebih terpikat dengan apa yang
dinamakan ideologi. Sebagaimana diketahui, akhir tahun 1940-an dan awal
tahun 1950-an ditandai oleh perlombaan ideologi dunia yang sangat sengit.
Kapitalisme Amerika Serikat sedang mencoba membangun dan memperluas
pengaruh seluruh dunia, sementara Uni Sovyet perlahan namun pasti
berusaha menandingi dengan gagasan-gagasan sosialisme. Kedua ideologi
kapitalisme dan sosialisme berlomba-lomba di dalam era perang dingin.
Hasrat untuk menarik Pancasila sebagai ideologi pun kiat menguat.
Soekarno mungkin orang yang pertama memercikkan kembali isu
sensitif itu. Ketika berpidato di Amuntai pada 27 Januari 1953, Soekarno
terang-terangan mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu
seraya menentang Islam sebagai ideologi negara. Pernyataan tersebut
36

langsung menimbulkan kegusaran di kalang tokoh agama.
8
Ideologisasi
Pancasila nyaris tak terbendung. Bahkan beberapa tokoh nasional mulai
memandang Pancasila sebagai sebuah ideologi yang dapat disandingkan
dengan ideologi-ideologi dunia. Muhammad Yamin, misalnya, gencar
mengampanyekan Pancasila sebagai dasar rohani atau weltanschauung
bangsa. Begitu pula di kalangan akademisi. Profesor Notonagoro, ahli
filsafat hukum dari Universitas Gajah Mada, dalma pidato penganugerahan
doktor honoris causa, memandang Pancasila sebagai ideologi negara yang
ilmiah. Pidato itu menjadikan justifikasi bagi sejumlah upaya yang
meletakkan Pancasila sebagai ideologi resmi bersifat menyeluruh.
Pada mulanya, tokoh-tokoh Islam tidak menaruh kekhawatiran terhadap
kecendrungan ideologisasi Pancasila. Bahkan Mohammad Natsir pada tahun
1952 masih memandang positif terhadap Pancasila, seperti dikemukakannya
pada forum The Pakistan Institute Of World Affairs, sebagai berikut:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena
penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan Islam sebagai agama
negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta
bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam
konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi
Indoneisa tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegeraan. Bahkan ia
telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan
pada tempat teratas dari Pancasila lima prinsip yang dipegang sebagai
dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa.
9

Sikap positif berubah ketika proses ideologisasi Pancasila semakin
kencang dan tak terbendung. Pemicu utama perubahan sikap adalah ketika
kekuatan komunis masuk kedalam blok pendukung Pancasila. Kalangan
Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi

8
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti,
1995), hal. 62.
9
Ibid.
37

oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi
dimensi religiositas-nya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena
adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamatkan
perlunya dibentuk majelis Konstituante yang bertugas dalam merumuskan
UUD yang definitif.
Inilah yang mengubah sikap dan mendatangkan reaksi balik berupa
penguatan ideologisasi Islam guna mengimbangi gerak langkah kalangan
nasionalis dan komunis yang telah mencoba melakukan ideologisasi
terhadap Pancasila.
Masyumi mungkin merupakan salah satu partai terdepan saat itu yang
mengampanyekan Islam sebagai ideologi yang layak diperjuangkan menjadi
dasar negara. Argumen utamanya bertumpu pada pandangan bahwa Islam
tidak bisa dipisahkan dari urusan politik dan ketatanegaraan. Negara
dibutuhkan untuk menjalankan hukum Islam. Mengikuti asumsi itu, negara
harus berdasarkan Islam. Negara bagi kita, tutur Natsir, bukan tudjuan,
tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknja dan pada dasarnja adalah satu
bagian jang tak dapat dipisahkan, satu intergreerend deel dari Islam. Jang
mendjadi tudjuan ialah kesempurnaan berlakunja undang-undang ilahi, baik
jang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu
ataupun sebagai anggota dari masyarakat.
10

Partai-partai islam lainnya seperti NU ikut terseret arus besar yang
dimotori Masyumi. Partai itu juga menolak Pancasila sebagai dasar Negara.
Kiai Masykur, misalnya, mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah
penyederhanaan yanag tidak mempunyai arti.Bila misalnya, sila
Ketuhanan yang Maha Esa diartikan oleh seorang atau satu kelompok yang
menganggap Tuhan sebagai batu, maka sila kepercayaan kepada Tuhan

10
Mohamad Natsir, Arti Agama dalam Negara, dalam Muhammad Natsir, Capita Selecta
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 442.

38

dalam Pancasila akan dipenuhi batu.
11
Pandangannya terhadap islam
hampir sebangun dengan pemikiran Natsir. Sementara Muhammad Sjafii
Wirakusumah, anggota konstituante dari NU mengatakan, Islam adalah
peraturan Tuhan, suatu wet yang dibuat Tuhan Yang Maha Sempurna yang
tidak ada kekurangannya. Islam tidak dapat dipisahkan daripada soal ibadah
dan soal politik atau soal ketatanegaraan.
12

Polarisasi ideology menjadi tak terhindarkan. Menjelang pemili 1955,
setiap kelompok dan golongan berusaha memantapkan posisi ideologis
masing-masing. Sejak itu, simpang jalan dengan islam makin menajam.
Adnan Buyung Nasution yang menyusun disertasi tentang kehidupan
constitutional era demokrasi liberal mencatat sebagai berikut:
Pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum (red,
pemilu 1955), Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan
dunia yang kompleks, yang berbeda dengan pandangan dunia yang lain.
Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai
pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap
pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan
sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para
penganutnya.
13

Pengamatan tokoh HAM itu tidaklah keliru. Ideologisasi telah
mendorong dan mengharuskan Pancasila bersaing dengan ideologi-ideologi
lain, khususnya Islam. Repotnya, gejala saling meniadakan sulit dihindari.
Setiap kelompok mengklaim kebenaran ideologi masing-masing. Pancasila
pun, menurut Adnan Buyung Nasution, kehilangan tujuan hakikinya, yaitu
sebagai alat untuk mempersatukan bangsa. Pancasila bukan lagi sebagai

11
Sebagaimana dikutip Andi Feilard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Bentuk dan Makna
(Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 57.

12
Sebagaimana dikutip Buyung Adnan Nasution, op.cit., hal. 71
13
Ibid., hal. 63.
39

flatform bersama, melainkan kepingan-kepingan ideology, tak ubahnya
dengan ideology lain.
14

Puncak persaingan ideologis itu tampak di dalam siding Konstituante.
Lembaga tersebut gagal menyusun konstitusi baru. Selain faktor eksternal
yang sangat kuat mempengaruhi, nuansa atau mood peserta siding juga turut
menyumbang kegagalan Konstituante dalam menyusun konstitusi baru.
Masalah dasar negara, umpamanya. Sebagian besar anggota Konstituante
memahami dasar negara haruslah sebuah ideology.
15
Persepsi itulah yang
mengubah sidang Konstituante menjadi arena persaingan ideologis. Masing-
masing memperjuangkan agar ideology yang dianut dapat diresmikan
menjadi dasar negara. Mereka berdebat seraya mengagungkan dan
mengklaim keunggulan dan kesempurnaan ideology masing-masing. Sulit
dicari titik temu karena yang diperdebatkan adalah sesuatu yang tak
mungkin dapat disatukan.
Namun demikian, ada beberapa upaya untuk mempertemukan dua
kutub antagonistic itu. Kiai Wahab Hasbullah, misalnya, mencoba
memperingatkan bahwa tanpa ada formulasi kompromi, maka militer dan
Soekarno akan mengambil alih. Sayangnya, Kiai Wahab gagal
meyakinkan partai-partai yang ada, terutama Partai Nasional Indonesia
(PNI), akan pentingnya formula kompromi.
16
Sebagaimana diketahui,
Konstituante akhirnya dibubarkan Soekarno dengan dukungan militer. Saat
Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945, ini merupakan
kekalahan bagi semua golongan yang saat itu sedang bertikai. Sepintas,
Dekrit presiden 5 Juli 1959 memenangkan golongan nasionalis. Namun, bila
praktik politik semasa Demokrasi Terpimpin dicermati, Soekarno justru
tampak menjadi aktor dominan di semua bidang, termasuk penafsir tunggal

14
Ibid.
15
Sutan Takdir Alisyahbana adalah salah satu peserta sidang Konstituante yang tidak berpikir
bahwa dasar negara harus sebuah ideologi. Baginya, dasar negara hanyalah sebuah patokan atau
pedoman, dan bukan fundamen. STA menilai makna dasar negara terlalu dibesar-besarkan oleh
peserta sidang; lihat, Nasution, op.cit., hal. 68.
16
Greag Feasly, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 278.
40

Pancasila. Satu-satunya ideologi yang boleh hidup hanyalah Pancasila
dalam versi Soekarno. Paham-paham lain harus menyingkir. Hal demikian
diperlihatkan Soekarno dengan membubarkan partai Mubra. Sementara
golongan Kristen yang semula menyangka dapat berteduh di bawah paying
ideology Pancasila juga mengalami nasib serupa. Mereka ikut mengalami
penyingkiran politik.
17

Contoh yang cukup memilukan adalah Mohammad Natsir (Masyumi)
dan Ignatius Joseph Kasimo (pendiri partai Khatolik Indonesia). Kedua
tokoh ini, pada masa konstituante, selalu berseberangan pendapat. Namun,
pada awal masa Demokrasi Terpimpin, keduanya bisa saling membahu.
Mereka berdua berani menyatakan secara terbuka menolak Konsepsi
Presiden dan Demokrasi Terpimpin. Akibat penolakan ini, keduanya harus
menjalani kehidupan politik yang tragis; tersingkir dari arena yang amat
dicintai.
18

Bagaiman dengan nasib ideologi islam? Setali dengan paham
nasionalisme Murba. Ideologi islam semakin tersudut. Kekuatan-kekuatan
politik Islam tidak diberi peluang untuk menghidupkan kembali Ideologi
Islam. Partai masyumi yang selama itu dianggap paling depan dalam
mempreentasikan perjuangan ideologi Islam dibubarkan. Satu-satunya
kelompok Islam yang masih mendapat tempat cukup lapang dalam rezim
demokrasi terpimpin hanyalah NU. Soekarno membutuhkan partai itu tidak
hanya karena aspirasinya yang kuat mengenai Negara Islam, tetapi juga
karena NU dapat membuktikan diri sebagai partai terbesar ketiga dalam
pemilu 1955. Singkat kata, Soekarno memanfaatkan NU untuk
menjustifikasi paham persatuan mewakili unsur Islam.

17
Sebagaimana dikutip Effendy, op.cit., hal. 109.
18
Di dalam DPR dan Konstituante, IJ Kasino (Partai Katolik) dan M Natsir (Masyumi) adalah dua
tokoh yang sering sekali berbeda pendapat secara tajam. Namun, kedua tokoh ini sebenarnya
mempunyai hubungan pribadi yang sangat baik. Perdebatan pendapat diantara mereka tidak
pernah menjadi penghalang hubungan kemanusiaan kedua tokoh.
41

Mengapa NU menerima demokrasi terpimpin? Sebagaimana telah
disinggung, paradigma berpikir kalangan NU sangat berbeda dibanding
mereka yang mengusung paham Islam holistik. Nahdatul Ulama menerima
demokrasi terpimpin bersandarkan paham kemaslahatan (darul mafaasid
muqaddam ala jalbil maslahih), dimotori kiai Wahab Hasbullah, sementara
mereka yang menolak paham demokrasi terpimpin berpandangan bahwa
demokrasi ini menerapkan demokrasi ghasab, dengan dimotori Kiai Bisri
Syamsuri, Mochamad Dahlan dan Imron Rosyadi.
Ketika zaman berganti, sebagian kalangan pendukung Islam politik
berusaha mengangkat kembali gagasan-gagasn tersebut agar mendapat
tempat dalam sistem politik orde baru. Namun, aspirasi mereka nampaknya
tidak digubris. Orde baru bergeming menjaga kemurnian ideologi pancasila
denan merestrukturisasi atau menyederhanakan sistem kepartaian. Orde
baru menginginkan bangunan politik baru harus steril dari dimensi aliran
atau paham keagamaan. Karena itu, dengan menggunakan metode tertentu,
sejumlah kekuatan politik islam digabungkan dalam satu partai politik,
yakni partai persatuan pembangunan(PPP). Sementara kekuatan-kekuatan
politik nasionalis dan lainnya dimasukkan dalam kelompok Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Sejak itu kekuatan Islam politik kembali
tersingkir dari percaturan politik nasional. Ideologi Islam semasa orde baru
harus mengalami nasib naas; ditekan terus menerus untuk melanggengkan
ideologi pancasila.

C. Negara dan Soal Keagamaan
Sebagaimana telah dipaparkan, kegigihan kalangan umat islam dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara sesungguhnya berangkat dari
kekhawatiran bahwa negara ini akan menjadi sekuler apabila hanya
berlandaskan pancasila. Kekhawatiran semacam itu muncul semenjak
konstitusi dirumuskan pada 1945.
42

UUD 1945 sebenarnya mencerminkan semangat jalan tengah, namun
harus diakui, tokoh-tokoh yang bersidang di dalam BPUPKI sulit
mendefinisikannya. Akhirnya, gagasan jalan tengah didefinisikan secara
negatif; tidak sekuler dan tidak negara agama. Keagamaan tersebut
berimbas pada perumusan UUD 1945. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945,
misalnya, menyebutkan bahwa Negara berdasarkan keTuhanan yang Maha
Esa sedangkan ayat (2) pasal yang sama hanya menjelaskan jaminan
negara terhadap penduduknya untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah. Bagaimana aplikasi Negara berdasar atas keTuhanan yang Maha
Esa? sampai sekarang belum ada penjelasan yang memuaskan.
Bagaimanapun juga, semangat untuk todak menjadikan negara ini sekuler
atau berpahaman netral agama sudah ditunjukkan sejak awal.



DAFTAR PUSTAKA

.1983.Membina Kerukunan Hidup antar Umat Beriman. Yogyakarta:Yayasan
Kanisius.
Ali, Asad Said.2009.Negara Pancasila: Jalan Keselamatan Berbangsa.
Jakarta.Lp3Es Indonesia.
Karim, Muhammad Rusli. 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik.
Yogyakarta. PT Tiara Wacana Yogya.
Muthahhari, Murthada. 1995. Perspektif Al-quran tentang Manusia dan Agama.
Bandung:Mizan.
43

Taher, Elza Peldi.2009.Merayakan Kebebasan Beragama.
Jakarta:ICRP(Indonesian Conference on religion and peace).
Ubaedillah, A & Abdul Rozak. 2013. Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Muthahhari, Murthada.1995.Perspektif Al-quran tentang Manusia dan Agama.
Bandung:Mizan.

Anda mungkin juga menyukai