Anda di halaman 1dari 13

Page | 1

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi pada
tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal, maka
perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti
perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.
1

Perkawinan merupakan suatu periswita penting dalam kehidupan manusia,
karena perkawinan tidak hanya menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga
menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Dalam peristiwa perkawinan diperlukan
norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam
peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan
tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga
yang bahagia dan sejahtera, lahirnya UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara
relative telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah
satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai
bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan, di
samping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya seperti Hukum Adat dan Hukum
Agama.


1
Hilman Hadikusuma, hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan hukum adat hukum agama, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm., 1
Page | 2

Menurut Undang-undang Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1
menyatakan bahwa Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang wanita
dengan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2

Walaupun tentang perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-
Undang No 1 Tahun 1974, tidak berarti bahwa Undang-undang ini telah mengatur
semua aspek yang berkaitan dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur
oleh Undang-undang perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.
3

Pengaturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai Negara sangat
beragam. Di satu sisi ada Negara-negara yang membolehkan perkawinan beda agama,
dan sisi lain terdapat Negara yang melarang, baik secara tegas maupun tidak tegas,
adanya perkawinan beda agama.
Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah hal baru, sebelumnya
sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ada
Nuruf Arifin yang kawin dengan Mayong (Katholik). Juga Yuni Shara yang menikah
dengan Henry Siahaan (Kristen), dan masih banyak lagi yang lain. Tetapi mereka ini
kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen. Kasus yang cukup
terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalima pada awal tahun 2005
lalu, di mana Deddy yang Katholik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang
dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. Laki-laki yang muslim yang kawin
dengan wanita non Muslim, misalnya Jamal Mirdad dan Lidya Kandou.
Jika kita lihat dalam hukum islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara
wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan
oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh si calon
suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak
demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi

2
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008,
hlm., 1.
3
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hlm. 11.
Page | 3

Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.
4

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik
seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman.
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik(dengan wanita-wanita
Mukmin) sebelum mereka beriman(QS A1-Baqarah [2]: 221).
Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan
Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan,Dan(dihalalkan pula) bagi
kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan
wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat
Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang
menyatakan bahwa Tuhannya adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."
5



4
Hilman Hadikusuma, hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan hukum adat hukum agama, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm., 10 - 11
5
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html
Page | 4

I.II Identifikasi Masalah
1. bagaimana pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia ?
2. bagaiamana perkawinan beda agama dilihat dari perspektif Hukum Islam ?
3. bagaimana status perkawinan yang dilaksanakan di Luar Negeri
I.III Tujuan Penulis
1. memahami pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia
2. memahami perkawinan beda agama dilihat dari perpektif Hukum Islam
3. mengetahui status perkawinan yang dilaksanakan di Luar Negeri
4. memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah Hukum Islam

Page | 5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Perkawinan beda agama di Indonesia
Perkawinan campuran beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang
wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agamanya masing-masing misalnya seorang pria beraga islam dan
seorang wanita beragama kristes atau sebaliknya. Dalam kompilasi Hukum Islam pasal
2 menyatakan perkawinan menurut hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
6
Menurut pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah
hukum islam yang berlaku.
Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-
masing berarti perkawinan itu tidak sah. Pengadilan yang dilakukan di pengadilan atau
di kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu
berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum Adat atau aliran kepercayaan
yang bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui
pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut agama
yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-
masing.
Jelas bahwasanya Negara Indonesia tidak mengatur perkawinan beda Agama,
pengaturan perkawinan diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, sahnya suatu
perkawinan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dalam pasal 2 adalah :

6
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008,
hlm. 82.
Page | 6

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa
tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaanya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No. 9/1975). Apabila perkawinan
dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama.
Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan
dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).


B. Perkawinan Beda Agama dilihat dari Perspektif Hukum Islam


Jika kita lihat dalam hukum islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara
wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan
oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh si calon
suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak
demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.
7

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik
seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman.

7
Hilman Hadikusuma, hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan hukum adat hukum agama, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm., 10 - 11
Page | 7

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik(dengan wanita-wanita
Mukmin) sebelum mereka beriman(QS A1-Baqarah [2]: 221).
Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan
Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan,Dan(dihalalkan pula) bagi
kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan
wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat
Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang
menyatakan bahwa Tuhannya adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."
8


C. Status Perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri
Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata,
menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar
pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.

Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan
dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila
dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

8
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html
Page | 8


1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini
berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari
agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut
oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh
menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain
itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-
18).
2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan
oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan
mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di
Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama
Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan
beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang
dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat
sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat
bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat
menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut
ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak
yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut
hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1)
UUP].
Page | 9

4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata
perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun
waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayahIndonesia harus
mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan
sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut
hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran
perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya
perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif
9


Jelas bahwasanya disini perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri
merupakan penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang
berkeinginan melakukan perkawinan atas dasar adanya perbedaan agama antara calon
suami dan calon istrim, konsekuensinya sesuai dengan point 4 & 2 yang ada diatas yaitu
tidak adanya pencatatan perkawinan adapun perkawinan yang dilaksanakan di luar
negeri hanya sekedar pelaporan administaratif.


9
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6918/kawin-beda-agama-itu-kira-kira-bakal-munculin-
permasalahan-apa-saja-ya?
Page | 10

BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan :
Jika kita lihat dalam hukum islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara
wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan
oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh si calon
suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak
demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.
10

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik
seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman.
Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan
dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka permasalahan yang dapat timbul apabila
dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini
berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari
agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut
oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh
menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain
itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-
18).

10
Hilman Hadikusuma, hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan hukum adat hukum agama, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm., 10 - 11
Page | 11

2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan
oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan
mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di
Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama
Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan
beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang
dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat
sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat
bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat
menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut
ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak
yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut
hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1)
UUP].
4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata
perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun
waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayahIndonesia harus
mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan
sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut
hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran
Page | 12

perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya
perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif
11


Jelas bahwasanya disini perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri
merupakan penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang
berkeinginan melakukan perkawinan atas dasar adanya perbedaan agama antara calon
suami dan calon istrim, konsekuensinya sesuai dengan point 4 & 2 yang ada diatas yaitu
tidak adanya pencatatan perkawinan adapun perkawinan yang dilaksanakan di luar
negeri hanya sekedar pelaporan administaratif.
Saran :
Menurut saya pengaturan mengenai perkawinan beda agama ini harus
diperjelas lagi baik dalam UU Perkawinan itu sendiri karna kita ketahui bersama bahwa
di dalam UU No 1 Tahun 74 tidak ada pengaturan mengenai perkawinan beda agama
walaupun memang dalam UU No 1 Tahun 74 tersebut telah disebutkan dengan jelas
sahnya suatu perkawinan tetapi menurut saya pribadi hal ini belumlah cukup dan
menurut saya harus ada pengaturan sanksi yang lebih jelas dalam hal ketika terjadinya
suatu perkawinan beda agama baik yang dilaksanakan di luar negeri. Maupun didalam
negeri. Memang dalam UU No 1 Tahun 74 ketika seseorang melakukan perkawinan
dengan tidak memenuhi suatu unsur sahnya perkawinan maka perkawinan itu batal
demi hukum akan tetapi ini lah yang terjadi dalam kenyataannya ketika seseorang yang
akan melangsungkan perkawinan dan mereka sadar bahwasanya mereka ada
perbedaan agama dan dikaitkan dengan sahnya suatau perkawinan maka mereka tidak
memenuhi syarat sahnya perkawinan tersebut maka mereka melakukan perkawinan di
luar negeri. Dari sini lah saya berfikir bahwa kita seharusnya memberikan pengarahan
bahwsanya hal itu tidak boleh dilakukan dan maka daripada itu saya menyarankan agar
lebih melakukan penekanan sanksi yang agar mereka tidak akan melakukan hal tesebut.
(walaupun memang sudah ada sanksi secara tidak langsung bahwa ketika mereka
melakukan hal tersebut merka tidak akan bisa dicatatkan di Catatan Sipil ataupun di
Kantor Urusan Agama)


11
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6918/kawin-beda-agama-itu-kira-kira-bakal-munculin-
permasalahan-apa-saja-ya?
Page | 13

DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan hukum adat hukum agama,
Mandar Maju, Bandung, 2007
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008
www.hukumonline.com
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html

Anda mungkin juga menyukai