Anda di halaman 1dari 6

BAB I

I. PENDAHULUAN
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang dulunya terletak di Kecamatan Tanjung
Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Kerajaan ini didirikan oleh Pangeran Adityawarman
dari Majapahit pada tahun 1347.

Silsilah
Adityawarman adalah anak dari Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang dan Dara Jingga.

Dara Jingga dan Bundo Kanduang
Dara Jingga adalah putri dari Mauliwarmadhewa, raja Kerajaan Melayu Jambi, Dharmasraya.
Kerajaan Dharmasraya menaklukkan Kerajaan Sriwijaya di tahun 1088 dan menguasainya sampai dengan
2 abad berikutnya. Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kanduang dalam Hikayat Minangkabau.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang
memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika
menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas
menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya
menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di
Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.
[10]
Namun dari prasasti-
prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang
berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah
mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali
ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.
[10]
Legenda-legenda Minangkabau
mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon
daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana.
Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki
sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari
dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang
Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang adalah seorang senopati Kerajaan Singasari yang diutus untuk
menaklukan tlatah Melayu, dan dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1288,
Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang telah menaklukan seluruh wilayah Kerajaan Melayu termasuk Kerajaan
Melayu Jambi dan Sriwijaya.
Setelah melaksanakan tugasnya dengan sebaik baiknya, Mahesa/Kebo/Lembu Anabrang yang
telah mempersunting Dara Jingga yang melahirkan Adityawarman kembali ke pulau Jawa untuk menemui
Baginda Kertanegara. Setelah sampai di pulau Jawa, ternyata Baginda Kertanegara telah tewas, dan
Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, Raja Kediri. Jayakatwang itu sendiri telah tewas
dibunuh pasukan Mongol yang akhirnya diserang oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian
mendirikan Kerajaan Majapahit yang merupakan lanjutan dari Kerajaan Singasari.
Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya,
yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet/Sri Jayanegara, Raja Majapahit ke-2. Dengan
kata lain Raja Majapahit ke-2 adalah sepupu Adityawarman.

Adityawarman dan Pagar Ruyung
Dalam rangka melakukan politik ekspansi Kerajaan Majapahit, Adityawarman diberi tanggung
jawab ditlatah Melayu. Oleh karena itu beliau kembali ke Sumatra, mendirikan Kerajaan Pagaruyung,
mendirikan kembali Kerajaan Melayu Jambi, Dharmasraya, dan termasuk menaklukan sisa sisa wilayah
Sriwijaya.
Kerajaan Pagar Ruyung menjadi Kesultanan Islam di tahun 1600-an.



BAB II
SEJARAH KERAJAAN PAGARUYUANG
A. Sejarah Kerajaan Pagaruyuang
Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan Minangkabau Majapahit yang
bernama Adityawarman, pada tahun 1347. Adityawarman adalah putra dari Mahesa Anabrang,
panglima perang Kerajaan Sriwijaya, dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia
sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan
Palembang.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah
memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari
berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan
semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan
menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan
penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok
seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.
Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas
Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara
Jawa di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya
mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Pengaruh Hindu
Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu
pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan
Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat
mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca
Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu
sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin
adalah Adityawarman.
Walaupun demikian, keturunan Adityawarman dan Ananggawarman selanjutnya agaknya
bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau
sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar
dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh
[2]
,
dan kemudian menjadi negara-negara merdeka.
Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid
ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh
Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam.
Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama
Islam. Papatah adat Minangkabau yang terkenal: Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama
Islam bersendikan pada AI-Quran.
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
Ketika VOC berhasil mengalahkan Kesultanan Aceh pada peperangan tahun 1667,
melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir
dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah
satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan
dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias
melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
[3]

Sejak saat itu mulailah terbina komunikasi dan perdagangan antara Belanda (VOC) dan
Pagaruyung.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon dimana
Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan berhasil menguasai pantai
barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles
mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan antara
kaum Padri dan bangsawan (kaum adat) Pagaruyung. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota
kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian
antara Inggris dan Belanda di tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan
Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung,
dengan ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri,
meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh
Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan golongan bangsawan (kaum
adat). Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan Pagaruyung dan kaum Padri pecah
pertengkaran yang menyebabkan banyak keluarga raja terbunuh. Namun Sultan Muning
Alamsyah selamat dan melarikan diri ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada
Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan
Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian
penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu
berperang melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili
pemerintah pusat.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha
menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial
Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka
dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan
Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh
Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi,
dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
1. ^ Djamaris, Edwar. 1991. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
2. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian
Branch of the Royal Asiatic Society.
3. ^ Haan, F. de, 1896. Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-s Hage, Albrecht & Co.-M.
Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.

Anda mungkin juga menyukai