Anda di halaman 1dari 17

Laporan Keuangan Daerah Buruk

01/02/2012 13:31
Dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah[i] di Jawa Barat.
Sejak tahun buku 2008 belum ada satu pemerintah daerah pun yang mendapat opini[ii] Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP)[iii]. Bahkan jumlah daerah yang tidak diberikan pendapat oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) atau disclsimer[iv] justru bertambah. Demikian diungkapkan Ketua Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Tahria Syfrudin pada acara Sawala Pemerintahan Karut-marut
Penyusunan Keuangan Daerah di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat Jalan Soekarno Hatta, Bandung. Selain
Kepala BPKP Jabar, tampil sebagai pembicara Beni Ruslandi, Kepala Sub Auditorat Jabar III BPK Perwakilan
Jawa Barat dan Walikota Banjar Dr. Herman Sutrisno. Terakhir, yang mendapat opini WTP adalah Laporan
keuangan Kota Banjar pada Tahun 2007. Predikat disclaimer pada 2008 adalah Pemkab Bandung Barat,
Pemkab Cianjur dan Pemkab Karawang. Pada Tahun 2009 laporan Keuangan Pemkab Bandung Barat dan
Pemkab Cianjur masih disclaimer, ditambah Pemkot Bandung dan Pemkot Bekasi.
Opini disclaimer diberikan terhadap laporan keuangan karena BPK mengalami kesulitan dalam menerapkan
prosedur audit pada beberapa pos yang disajikan. Rendahnya kulitas laporan keuangan, secara umum
disebabkan penyusunan laporan keuangan yang belum memenuhi standar akuntansi pemerintah.
Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern (SPI)[v] yang belum memadai dan kurang ditaatinya
ketentuan perundangan. Dari pemeriksaan BPK, banyak temuan berulang dari tahun ke tahun, tanpa ada
keterangan bahwa temuan itu sudah ditindak lanjuti oleh pemda. Temuan BPK juga menunjukkan sebagian
besar laporan keuangan pemda mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP)[vi] bermasalah pada
pencatatan aset/barang milik daerah, umumnya hal itu terjadi karena pencatatan, keberadaan fisik dan
pengungkapannya dalam laporan belum memadai.
Sementara itu Beni Ruslandi mengungkapkan adanya sejumlah peraturan yang bertabrakan menjadi salah
satu penyebab buruknya kualitas laporan pemda, sehingga pemda menjadi bingung harus berkiblat kemana,
apakah ke Kementerian Dalam Negeri atau ke Kementerian Keuangan. Menurut Beni sebenarnya masalah
tersebut bisa diatasi jika pemda memiliki komitmen kuat dan konsisten melakukan pembenahan. Sistem
harus dibangun sedemikian rupa disertai reward dan punishment yang jelas, untuk mendorong ketertiban
pengelolaan laporan. Sementara itu Walikota Banjar Dr. Herman Sutrisno menekankan pentingnya kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM)[vii] dalam mengelola laporan keuangan, peningkatan kualitas SDM
khususnya lulusan akuntansi sangat diperlukan agar dapat mengahasilkan laporan keuangan pemda yang
ideal dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.

Sumber Berita :
Pikiran Rakyat, 28 Juni 2011




[i] Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) adalah laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah
atas pelaksaan APBD yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan.
[ii] Opini adalah kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan, Pernyataan atau pendapat profesional yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat
kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria 1) Kesesuaian
dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP); 2) Kecukupan pengungkapan (Adequate Disclosures); 3)
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ; dan 4) efektifitas Sistem Pengendalian Intern.
[iii] Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa
menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas
tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
[iv] Discalimer adalah pemeriksa tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan, karena bukti
pemeriksaan tidak cukup untuk membuat kesimpulan.
[v] Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah suatu proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai
atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien kendalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
[vi] Wajar Dengan Pengecualian (WDP) adalah menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa
menyajikan secara wajar dalam semua hal yang meterial, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas
tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk hal-hal yang
dikecualikan.
[vii] Sumber daya manusia (SDM) adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk
mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola
dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan
dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih
dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi
Sumber: (akses 19 mei 2014) http://bandung.bpk.go.id/?p=4439

Bisnis Laporan Keuangan PEMDA
Posting By : Dedi Haryadi - 2010-12-11 WIB
Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menyatakan disclaimer opinion atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Kota Bandung tahun fiskal 2009. Artinya BPK tidak memberikan pendapat atau menolak memberikan pendapat.
Auditor tidak sampai meyakini bahwa laporan keuangan yang diauditnya benar atau salah. Informasi dan bukti-
bukti audit yang dikumpulkan tidak memungkinkan auditor menyimpulkan dan menyatakana laporan keuangan
benar atau salah.
Selain masuk dalam kategroi disclaimer opinion, bisa saja sebuah LKPD masuk dalam kategori penilaian yang lain:
yaitu : 1) Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion). Ini adalah opini paling baik. Di sini auditor meyakini,
berdasarkan bukti audit yang dikumpulkan, laporan keuangan telah bebas dari kesalahan material. 2). Wajar
dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Auditor yakin meskipun ada kekeliruan, akan tetapi kekeliruan tersebut
tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan. 3) Tidak Wajar (Adverse Opinion). Ini opini paling buruk,
auditor meyakini laporan keuangan banyak kesalahan material. Artinya laporan keuangan tidak mengambarkan
keadaan keuangan yang sebenarnya.
LKPD Kota Bandung masuk ke dalam kategori disclaimer sebab menurt BPK ada enam jenis informasi yang
pengungkapan dan penyajiannya dinilai tidak cukup yaitu : 1) penyertaan modal pemerintah kepada perusahaan
daerah, 2) dana bergulir kepada masyarakat, 3) penggunaan langsung atas pendapatan yang tidak melalui
mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), 4) penyajian utang dan piutang, 5) persediaan, dan
6) daftar asset.
Mengapa Kota Bandung sampai mendapat predikat disclaimer ? Apakah predikat disclaimer yang diraih betul-betul
mencerminkan ketidakmampuan (teknis) Pemerintah Kota Bandung menyusun laporan keuangan yang baik ? Saya
percaya ini bukan melulu soal teknis. Membuat laporan keuangan adalah pekerjaan rutin pemerintah Kota Bandung
yang sudah berlangsung puluhan tahun. Masa sih tidak punya kemampunan membuat laporan keuangan yang baik.
Kalau pun ada persoalan teknis, sebenrany ini bisa diatasi dengan mudah. Pemkota Bandung bisa menyewa tenaga
ahli (konslutan), baik lembaga atau perorangan, yang bisa memberikan bantuan teknis untuk membuat laporan
keuangan yang baik. Di Bandung banyak tenaga ahli atau lembaga yang mumpuni dalam memberikan layanan
konsultasi/bantuan teknis seperti itu.
Kalau kita merujuk pada kasus suap Pemerintah Kota Bekasi, kelihatannya pengelolaan keuangan oleh pemerintah
daerah dan pelaporannya bukan semata-mata masalah teknis tapi juga terkait erat dengan fenomena bisnis
pelaporan keuangan. Diwartakan melalui berbagai media masa bahwa Komisi Pemberantan Korupsi (KPK)
menangkap basah aparat Pemerintah Kota Bekasi yang menyuap audiotr BPK Provinsi Jawa Barat . Penangkapan
terjadi pada senin, 21/6/2010 di Bandung.
Menurut Johan Budi, juru bicara KPK, penyuapan itu ditengarai terkait dengan upaya Pemerintah Kota Bekasi yang
ingin mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian terkait dengan hasil audit LKPD Pemerintah Kota Bekasi
tahun 2009. KPK masih terus menyidik kasus tersebut. Beberapa aparat Pemkot Bekasi dan auditor BPK yang diduga
terlibat sudah dinyatakan sebagai tersangka.
Kasus suap ini memberikan pentunjuk pada kita tentang praktek transkasional dalam mengaudit laporan keuangan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah ternyata bisa dan mungkin biasa membeli predikat penilaian hasil audit
laporan keuangan. Pada saat yang sama opini auditor juga bisa dan mungkin biasa dibeli. Boleh jadi ini sudah
dipraktekan sejak lama secara meluas. Itulah mengapa kita harus tetap kritis dan skeptis membaca hasil audit dari
BPK sekalipun. Auditor juga tidak imun (kebal) terhadap suap.
Kasus penangkapan dugaan penyuapan itu memberi pesan politik yang kuat pada pemerintah daerah dan juga para
auditor yang nakal untuk lebih hati-hati dan waspada dalam melakukan transaksi/bisnis pelaporan keuangan.
Dalam suasana batin (atmosfir) seperti inilah Pemerina Kota Bandung mendapatkan hasil audit dengan predikat
disclaimer opinion. Apakah selama ini Pemerintah Kota Bandung juga terlibat dalam praktek bisnis pelaporan
keuangan: menyuap auditor untuk mendapat predikat hasil auditor yang diinginkan.? Saya tidak tahu.Tahun lalu
predikat hasil audit laporan keuangan Pemkot Bandung adalah Wajar dengan Pengecualian.
Sebuah ironi dan mungkin juga kesialan menimpa warga Bandung. Diulang tahunnya yang ke-200, pemerintah Kota
Bandung bukannya prestatif, memberiakn sesuatu yang bernilai bagi warganya, tetapi malah mempersembahkan
kado pahit diclaime opinion. Ini indikasi yang cukup jelas pemerintah Kota Bandung kurang terampil mengelola
amanah dan mandat dari warganya.***
Sumber: (akses 19 mei 2014) http://www.taxag.org/artikel-bisnis_laporan_keuangan_pemda-5.html

Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

Sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), BPKP membantu mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan
keuangan negara dan daerah. Akuntabilitas pelaporan keuangan negara masih memerlukan perbaikan sebagaimana
ditandai dengan masih belum diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011, demikian juga atas 20 kementerian/lembaga (K/L) atau 23% dari
total K/L, serta pada hampir semua pemerintah daerah (pemda), yaitu 431 pemda atau 87% dari 498 pemda yang
diaudit BPK.
Kegiatan yang dilakukan BPKP untuk mendukung terwujudnya akuntabilitas pelaporan keuangan meliputi antara
lain :
Kegiatan pendampingan penyusunan laporan keuangan K/L/pemda,
Reviu laporan keuangan K/L/pemda sebelum diaudit oleh BPK,
Menindaklanjuti hasil temuan BPK,
Pendampingan perbaikan sistem pelaporan,
Implementasi Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),
Sosialisasi, pembentukan satgas, dan workshop SPIP, dan
peningkatan kapasitas SDM pengelolaan keuangan daerah dan APIP

Secara umum, beberapa faktor yang menyebabkan laporan keuangan K/L dan pemda tersebut belum memperoleh
opini WTP adalah karena penyajian yang belum sepenuhnya sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
lemahnya sistem pengendalian intern, belum tertatanya barang milik negara/daerah dengan tertib, pengadaan barang
yang belum mengikuti ketentuan yang berlaku, dan kurang memadainya kapasitas SDM pengelola keuangan.

Sebagaimana tahun sebelumnya, pada tahun 2012 BPKP secara prokatif telah bekerjasama, baik dengan K/L
maupun pemda, dalam upaya peningkatan kualitas laporan keuangan K/L/pemda menuju opini WTP dan
mempertahankan kualitas laporan keuangan bagi K/L/pemda yang telah memperoleh opini WTP.
Upaya tersebut merupakan tindak lanjut dari direktif Presiden, yang pada intinya mendorong ditingkatkannya
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara melalui kerjasama antara K/L/Pemda dengan BPKP.
Kerjasama tersebut ditujukan terutama untuk mengatasi berbagai faktor penyebab tidak diperolehnya opini WTP,
antara lain mencakup penguatan SPIP pada K/L/Pemda, reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP),
pendampingan penyusunan laporan keuangan dan pendampingan reviu laporan keuangan instansi bagi APIP
K/L/pemda untuk meningkatkan kualitas penyajian laporan keuangan agar sesuai dengan SAP, penerapan aplikasi
Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang dibangun oleh BPKP, pendampingan penataan barang milik
negara/daerah, peningkatan kapasitas SDM pengelola keuangan, sosialisasi peraturan dan pedoman bidang
keuangan, bimbingan teknis pengelolaan keuangan negara/daerah, serta penugasan pegawai BPKP ke berbagai K/L
dan Pemda.
Upaya perbaikan tersebut menunjukkan komitmen yang tinggi dan langkah nyata dari pimpinan K/L/pemda yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangannya.
Sumber: (akses 19 mei 2014) http://www.bpkp.go.id/konten/419/Akuntabilitas-Pelaporan-
Keuangan.bpkp

Berita Seputar Sistem Pengendalian I ntern Pemerintah

Arsip Berita
Sambutan


Penerapan SPIP di lingkungan instansi pemerintah akan mendorong terciptanya reformasi birokrasi dan tata kelola
pemerintah yang baik sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010 - 2014. Hal ini dikarenakan SPIP mempunyai 4 tujuan yang ingin dicapai yaitu (1) Kegiatan yang efektif dan
efisien, (2) Laporan keuangan yang dapat diandalkan, (3) Pengamanan aset negara, dan (4) Ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 59 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP dinyatakan sebagai pembina penyelenggaraan SPIP yang mempunyai
kewajiban menyusun pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, mensosialisasikan SPIP, melakukan pendidikan dan
pelatihan SPIP, melakukan pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta melakukan peningkatan kompetensi auditor
aparat pengawasan intern pemerintah.




Kepala BPKP,


Mardiasmo
Sumber: (akses 19 mei 2014) http://www.bpkp.go.id/spip










BAB I
PENDAHULUAN

Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 menjadi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Instructie en
Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898
Nomor 9 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 1933 Nomor 320)
menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam perkembangannnya, era reformasi ini telah turut mempengaruhi
paradigma pengelolaan maupun pelaporan keuangan daerah secara signifikan.
Perubahan paradigma tersebut diawali dengan bergulirnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan aturan pelaksananya,
khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Dengan diberlakukannya otonomi ini, Pemerintah Daerah
menerima limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam mengurus rumah
tangga daerahnya sendiri yang disertai dengan penyerahan dan pengalihan
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
2

pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam
kerangka desentralisasi fiskal. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu
seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
masih diatur Pemerintah Pusat.
Disamping undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan keuangan daerah
saat ini tidak saja harus mengalokasikan dana publik dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya, tetapi juga harus mengelola dana publik sesuai
dengan undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah demi
terwujudnya tata pemerintahan yang baik atau good governance.
Good governance khususnya di bidang keuangan negara/daerah adalah
pilar utama menuju clean government. Demi terwujudnya good governance maka
dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan transparansi dan akuntabilitas
publik. Pemerintahan yang transparan dapat dilihat dari adanya kebebasan dan
kemudahan dalam memperoleh informasi secara akurat dan memadai bagi mereka
yang membutuhkan. Sedangkan akuntabel berhubungan dengan
pertanggungjawaban pemerintah kepada stakeholder atas setiap aktivitas yang
dilakukannya (Mardiasmo, 2009:18).
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
3

Menurut hasil penelitian Bozz-Allen dan Hamilton (dalam Sadeli,
2008:102) serta Huther dan Shah (2000), tahun 1999 Indonesia menduduki
peringkat paling rendah dalam hal indeks good governance dan kualitas
governance dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya.
Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar 2,88 dibawah
Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89) dan Filipina (3,47). Kualitas
governance Indonesia tergolong dalam kategori poor governance (pemerintahan
yang buruk), sementara Malaysia dan Singapura tergolong dalam kategori good
governance (pemerintahan yang baik) serta Thailand dan Filipina tergolong dalam
kategori fair governance (pemerintahan yang cukup baik). Indeks good
governance dan kualitas governance ini menunjukkan bahwa semakin rendah
tingkat good governance menunjukkan pula bahwa akuntabilitas belum berjalan
sepenuhnya.
Tabel 1.1
Good Governance di Asia Tenggara 1999
NEGARA
Indeks
Efisiensi
Korupsi
Indeks
Peradilan
Indeks
Good
Governance
Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 9,00 7,38 7,72 Good Governance
Singapura 10,00 8,22 8,93 Good Governance
Thailand 3,25 5,18 4,89 Fair Governance
Filipina 4,75 7,92 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,50 2,15 2,88 Poor Governance
Sumber: ihyaul.staff.umm.ac.id
berikut:

Adapun kriteria penentuan kategori kualitas governance adalah sebagai
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
4

Tabel 1.2
Kriteria Kualitas Good Governance
Governance Quality I ndex Kategori
61-80 Good Governance
41-60 Fair Governance
21-40 Poor Governance
Sumber: Huther and Shah
Sementara indeks good governance Provinsi Jawa Barat dapat terlihat
dalam tabel berikut:
Tabel 1.3
Indeks GovernanceProvinsi Jawa Barat
Prinsip Indeks
Partisipasi 5.07
Kewajaran 2.41
Akuntabilitas 5.73
Transparansi 5.68
Efisiensi 8.68
Efektivitas 5.70
Sumber: kemitraan.co.id
Berikut kriteria kategori governance:
Gambar 1.1
I ndex Scale Governance

Very Nearly Nearly Very
Poor Poor Poor So-So Good Good Good


1 2,29 3,57 4,86 6,14 7,43 8,71 10
Sumber: kemitraan.co.id
Berdasarkan tabel dan kriteria tersebut maka partisipasi (5.07) maka
tergolong dalam kategori so-so governance, kewajaran (2.41) maka tergolong
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
5

dalam kategori poor governance, akuntabilitas (5.73) maka tergolong dalam
kategori so-so governance, transparansi (5.68) maka tergolong dalam kategori so-
so governance, efisiensi (8.68) maka tergolong dalam kategori good governance,
dan efektivitas (5.70) maka tergolong dalam kategori so-so governance. Hal ini
menunjukkan bahwa akuntabilitas pemerintah Provinsi Jawa Barat belum berjalan
sepenuhnya. Berikut rincian akuntabilitas per indikator pemerintah Provinsi Jawa
Barat:
Tabel 1.4
Akuntabilitas Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Kode Indikator Indeks
G1A1 Koherensi antara Target Pencapaian Pembangunan
Tahunan dalam LKPJ dengan tiga target utama dalam
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah)
G1A2 Rasio ditetapkan oleh Peraturan Daerah dan program
pemerintah daerah (dalam %)
G1A3 Rasio dalam rancangan APBD menjadi APBD tanpa
perubahan asumsi dasar, situasi darurat dan
perubahan kebijakan nasional.
G2A1 Ketepatan waktu dalam pemberlakuan Peraturan
Daerah tentang APBD
G3A1 Rasio Hibah/subsidi dan bantuan sosial untuk belanja
barang dan jasa
G4A1 Komitmen DPRD dalam mempertimbangkan aspirasi
publik
Sumber: kemitraan.co.id
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

4.00
Dari tabel tersebut terlihat bahwa indeks indikator rasio hibah/subsidi dan
bantuan sosial untuk belanja barang dan jasa (3.66) yang merupakan indeks
terendah, kemudian koherensi antara Target Pencapaian Pembangunan Tahunan
dalam LKPJ dengan tiga target utama dalam RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah) (4.00), komitmen DPRD dalam mempertimbangkan
7.47
9.82
7.00
3.66
4.60
6

aspirasi publik (4.60), ketepatan waktu dalam pemberlakuan Peraturan Daerah
tentang APBD (7.00), rasio ditetapkan oleh Peraturan Daerah dan program
pemerintah daerah (dalam%) (7.47), dan rasio dalam rancangan APBD menjadi
APBD tanpa perubahan asumsi dasar, situasi darurat dan perubahan kebijakan
nasional (9.82).
Fenomena di masyarakat yang menggambarkan akuntabilitas keuangan
belum berjalan sepenuhnya antara lain, tingkat korupsi yang masih tinggi, adanya
kebocoran anggaran yang timbul akibat praktek pencairan dana yang tidak sesuai
dengan anggaran dana yang tersedia, dibuktikan dengan masih banyaknya
kebocoran anggaran yang timbul akibat praktek pencairan dana yang tidak sesuai
dengan anggaran dana yang tersedia, sementara penerima dana harus
mempertanggungjawabkan sesuai dengan anggaran dana yang ditetapkan.
Akibatnya penerima dana akan berusaha untuk memperoleh bukti transaksi guna
mendukung pertanggungjawaban tersebut sehingga pertanggungjawaban realisasi
anggaran sebagai wujud akuntabilitas keuangan instansi pemerintah daerah berisi
pertanggungjawaban yang diragukan kebenarannya (Widyaningsih, 2009:9).
Pertanggungjawaban pemerintah kepada stakeholder dalam memberikan
informasi dan mengungkapkan aktivitas serta kinerja finansialnya dilakukan
melalui penyajian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah.
Governmental Accounting Standards Board (GASB) dalam Concepts Statement
No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting (dalam Mardiasmo, 2009:162)
menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan tujuan tertinggi pelaporan keuangan
pemerintah.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
7

Fakta mengenai rendahnya kualitas laporan keuangan tercermin dalam
opini yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan
pemerintah daerah. Pada Semester II Tahun 2012, BPK telah melakukan
pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2011
pada 94 pemerintah provinsi/ kabupaten/kota. Dengan demikian, selama tahun
2011 BPK telah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas 520 LKPD
Tahun 2011 dari 524 pemerintah daerah di seluruh Indonesia. BPK telah
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 67 LKPD, opini Wajar
Dengan Pengecualian (WDP) atas 349 LKPD, opini Tidak Wajar (TW) atas 8
LKPD dan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atas 96 LKPD.
100%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Perkembangan opini LKPD tahun 2007 s.d. 2011 sebagai berikut:
1%
Gambar 1.2
Grafik Perkembangan Opini LKPD Tahun 2007 - 2011
2%
2%
4%
9%
57%
65%
63%
64%
68%
13%
7%
10%
6%
1%
WTP WDP TW TMP
29%
26%
25%
26%
22%

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2012
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
2007-469 LHP
2008-485 LHP
2009-504 LHP
2010-522 LHP
2011-520 LHP
8

Sedangkan opini BPK yang diberikan atas laporan keuangan pemerintah
daerah (LKPD) di Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai beikut:
Tabel 1.5
Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat
No.
Entitas Pemerintah
Daerah
2007 2008 2009 2010 2011
1. Kabupaten Bandung WDP WDP WDP WDP WDP
2. Kabupaten Bandung Barat - TMP TMP TMP WDP
3. Kabupaten Bekasi WDP WDP WDP WDP WDP
4. Kabupaten Bogor WDP WDP WDP WDP WDP
5. Kabupaten Ciamis WDP WDP WDP WDP WDP
6. Kabupaten Cianjur TMP WDP TMP WDP WDP
7. Kabupaten Cirebon WDP WDP WDP WDP WDP
8. Kabupaten Garut TMP WDP WDP WDP WDP
9. Kabupaten Indramayu TMP WDP WDP WDP WDP
10. Kabupaten Karawang TMP WDP WDP WDP WDP
11. Kabupaten Kuningan WDP WDP WDP WDP WDP
12. Kabupaten Majalengka WDP WDP WDP WDP WDP
13. Kabupaten Purwakarta WDP WDP WDP WDP WDP
14. Kabupaten Subang TMP WDP WDP WDP WDP
15. Kabupaten Sukabumi WDP WDP WDP WDP WDP
16. Kabupaten Sumedang WDP WDP WDP WDP WDP
17. Kabupaten Tasikmalaya WDP WDP WDP WDP WDP
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2012
Anggota BPK Ali Masykur Musa menyatakan bahwa hasil audit BPK
menggambarkan tingkat kualitas pengelolaan keuangan negara sejak 2007-2011
buruk. Bahkan, sejumlah laporan keuangan pemerintah hingga akhir 2009 banyak
ditemukan disclaimer (menolak memberikan opini) karena terjadi pelanggaran
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
9

penggunaan anggaran. Lantas pada 2010 sejumlah audit lembaga negara wajar
dengan pengecualian. (www.tempo.co dikutip tanggal 18 Februari 2013)
Salah satu kriteria pemberian opini terhadap laporan keuangan menurut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah penilaian kepatuhan terhadap
perundang-undangan. Hasil pemeriksaan atas laporan keuangan mengungkapkan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah, kekurangan penerimaan, administrasi,
ketidakekonomisan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2012,
terdapat 5.776 kasus senilai 3,78 triliun sebagai akibat adanya ketidakpatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang ditemukan pada 426 entitas.
Rincian jenis temuan pada tiap-tiap kelompok adalah sebagai berikut:
Tabel 1.6
Kelompok Temuan Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan
Peundang-undangan dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah Tahun 2011
No. Kelompok Temuan Jumlah
Kasus
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-Undangan
yang Mengakibatkan:
Nilai (juta Rp)
1. Kerugian Daerah 1.609 865.376,78
2. Potensi Kerugian Daerah 354 1.603.922,08
3. Kekurangan Penerimaan 945 411.985,75
4. Administrasi 2.318 -
5. Ketidakhematan/Pemborosan 231 183.959,04
6. Ketidakefisienan 2 537,50
7. Ketidakefektifan 317 718.080,27
Jumlah 5.776 3.783.861,42
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2012
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
10

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2012,
nilai ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan atas LKPD
Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:
Tabel 1.7
Daftar Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Peundang-undangan dalam
Pemeriksaan LKPD Kabupaten Provinsi Jawa Barat Tahun 2011
Daerah
Potensi
No. Entitas
Kerugian
Kerugian
Daerah
Kekurangan
Peneri-
maan
Admi-
nistrasi
Ketidakhematan

1.
Kab. Bandung 6.006,40 2.063,43 671,08 6 - -
-
2.
Kab. Bandung
Barat
206,05 - 68,36 5 - -
3.
Kab. Bekasi 380,44 4.829,96 9.031,65 1 94,00 -
-
4.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
Ketidakefisienan

Kab. Bogor 1.365,72 - 1.664,40 3 34,16 -
-
5.
Kab. Ciamis 295,54 3.653,10 55,30 6 219,70 -
3,89
6.
Kab. Cianjur 748,31 182,46 455,91 2 - -
102,74
7.
Kab. Cirebon 2.913,20 - 577,36 6 - -
40,00
8.
Kab. Garut 300,48 11,03 44,26 3 - -
-
9.
Kab. Indramayu 657,59 72.869,54 599,97 1 - -
-
10.
Kab. Karawang 817,56 - 3.202,19 7 - -
-
11.
Kab. Kuningan 343,26 1.609,75 751,46 6 - -
20.373,41
12.
Kab. Majalengka 121,99 - 97,07 1 - -
-
13.
Kab. Purwakarta 4.211,07 - 250,53 5 16,38 -
-
14.
Kab. Subang 202,55 - - 2 - -
-
15.
Kab. Sukabumi 1.357,59 178,40 163,04 4 - -
-
16.
Kab. Sumedang 386,97 - 1,23 9 766,49 -
2.812,00
17.
Kab. Tasikmalaya 596,72 - - 4 - -
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2012
Selain penilaian atas kepatuhan terhadap perundang-undangan, hasil
pemeriksaan juga mengungkapkan efektivitas sistem pengendalian intern. Sistem
pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang
dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan
Ketidakefektifan

875,00
-
11

keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan dipatuhinya kebijakan
pimpinan (Bastian, 2011:450).
Menurut hasil evaluasi yang dilakukan BPK atas sistem akuntansi dan
prosedur pengamanan kekayaan/keuangan pemerintah daerah, atau yang biasa
dikenal dengan sistem pengendalian intern (SPI), laporan keuangan pemerintah
daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dan wajar
dengan pengecualian (WDP) pada umumnya memiliki sistem pengendalian intern
yang lebih baik dibanding yang memperoleh opini tidak wajar (TW) dan tidak
memberikan pendapat (TMP).
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Nur yasin
menjelaskan bahwa akar permasalahan rendahnya akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan keuangan negara di Indonesia adalah kegagalan Kementerian,
Lembaga Negara, BUMN/BUMD, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara
lainnya dalam mengimplementasikan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
(SPIP). (www.jurnalparlemen.com dikutip tanggal 22 Juli 2013)
Atas berbagai kelemahan tersebut, maka untuk mencapai pengelolaan
keuangan yang negara/daerah yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel,
gubernur dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas
penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Pengendalian Intern pada pemerintah pusat
dan daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Sistem pengendalian
intern pemerintah memiliki fungsi untuk memberi keyakinan yang memadai bagi
tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
12

pemerintahan negara, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara dan
ketaatan terhadap undang-undang.
Melalui penguatan sistem pengendalian intern pemerintah (SPI)
diharapkan upaya perbaikan kualitas penyusunan laporan keuangan dapat lebih
dipacu sehingga ke depan dapat memperoleh opini yang semakin baik. Sebab
laporan keuangan yang memperoleh opini WTP berarti laporan tersebut dapat
dipercaya sebagai alat pengambilan keputusan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders). Selain itu, sistem pengendalian intern (SPI) yang baik dapat
mencegah pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sehingga dapat memperoleh efisiensi, efektivitas, dan mencegah terjadinya
kerugian keuangan negara (BPK, 2012:5).
Akuntabilitas keuangan pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tergolong
dalam kategori so-so governance sehingga pertanggungjawaban pemerintah
kepada stakeholders merupakan pertanggungjawaban yang masih diragukan
kebenarannya. Selain itu, LKPD yang memperoleh opini Wajar WTP masih
rendah, sementara LKPD yang memperoleh opini WDP, TW bahkan TMP masih
sangat tinggi. Akuntabilitas keuangan dan kualitas laporan keuangan yang masih
rendah salah satunya disebabkan oleh kelemahan sistem pengendalian intern,
yaitu penerapan sistem pengendalian intern pemerintah yang belum dilakukan
secara menyeluruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengkajinya kembali melalui
suatu penelitian dengan judul: Pengaruh Sistem Pengendalian Intern
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
13

Pemerintah (SPIP) terhadap Kualitas Laporan Keuangan dan Implikasinya
terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian pada Laporan Realisasi
Anggaran di Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
2. Bagaimana gambaran Kualitas Laporan Keuangan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
3. Bagaimana gambaran Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah Daerah
Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
4. Bagaimana pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap
Kualitas Laporan Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah
Provinsi Jawa Barat.
5. Bagaimana pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap
Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah
Provinsi Jawa Barat.
6. Bagaimana pengaruh Kualitas Laporan Keuangan terhadap Akuntabilitas
Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa
Barat.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
14

7. Bagaimana pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Kualitas
Laporan Keuangan terhadap Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi
mengenai gambaran Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Kualitas Laporan
Keuangan dan Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Wilayah Provinsi Jawa Barat, untuk mengetahui pengaruh Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah terhadap Kualitas Laporan Keuangan, Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah terhadap Akuntabilitas Keuangan, Kualitas Laporan Keuangan
terhadap Akuntabilitas Keuangan serta Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
dan Kualitas Laporan Keuangan terhadap Akuntabilitas Keuangan.

1.3.2. Tujuan Penelitian
adalah:
Dalam kaitannya dengan masalah ini, tujuan penelitian yang ingin dicapai
1. Untuk mengetahui gambaran Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui gambaran Kualitas Laporan Keuangan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
15

3. Untuk mengetahui gambaran Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.
4. Untuk mengetahui pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
terhadap Kualitas Laporan Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Wilayah Provinsi Jawa Barat.
5. Untuk mengetahui pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
terhadap Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Wilayah Provinsi Jawa Barat.
6. Untuk mengetahui pengaruh Kualitas Laporan Keuangan terhadap
Akuntabilitas Keuangan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah
Provinsi Jawa Barat.
7. Untuk mengetahui pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan
Kualitas Laporan Keuangan terhadap Akuntabilitas Keuangan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian
Dari penulisan penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak. Adapun kegunaan dari penelitian dapat ditinjau dari dua aspek,
yaitu:
1.4.1 Aspek Teoritis
Bagi penulis dapat bertambah pengetahuan mengenai bagaimana Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah dalam pengaruhnya menentukan Kualitas
Laporan Keuangan sehingga Akuntabilitas Keuangan dapat terwujud.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
16

Sedangkan bagi dunia akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur Akuntansi Sektor Publik
terutama dalam pengembangan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) dan
dapat dijadikan dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.2 Aspek Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten. Bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten sebagai user utama dari Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dalam penerapan
sistem pengendalian intern pemerintah yang mana dalam pelaksanaannya dapat
menentukan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah. Kualitas laporan
keuangan menjadi hal yang sangat penting karena laporan keuangan merupakan
salah satu bentuk akuntabilitas keuangan.
Indriya Kartika, 2013
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Dan
Implikasinya Terhadap Akuntabilitas Keuangan (Penelitian Pada Laporan Realisasi Anggaran di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wilayah Provinsi Jawa Barat)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Anda mungkin juga menyukai