Anda di halaman 1dari 5

Hasbunallah wanimal wakil...

Suasana hening seketika ketika seorang guru dengan PSH abu-abu berpadu jilbab hitam bunga-
bunga memasuki kelas kami.
Maaf mengganggu sebentar, Pak. Kata bu Lina pada Pak Doni yang sedang duduk dikursi
guru.
iya, silahkan bu.. jawab Pak Doni ramah
Bu Lina mengangkat selembar kertas putih dari tangan kirinya, sambil memegang bolpoin
ditangan kanan.
Anak-anak, ini menyangkut tes psikologi kemarin. Akan diselenggarakan tanggal 16
Desember, setelah terima rapor. Bayarnya tetap 250 ribu. Ini saya panggil satu-satu yang
kemarin ndaftar, jadi ikut apa tidak, gitu ya?
ya, bu.. jawab kami serempak.
Jantungku berdegup kencang. Gawat! Lagi lagi sifat pelupaku kumat! Aku lupa, belum
meminta izin pada ayah. Pikiranku mulai kacau. Bagaimana jadinya jika aku tidak mendapat
izin? Aku harus membayar dengan uang apa? Dua ratus lima puluh ribu uang yang cukup
besar bagiku. Tentu saja uang jajanku tak cukup untuk itu.
Rafael Ananta? bu Lina mulai memanggil satu persatu
jadi, bu jawab Rafael yakin.
Saskia Tina?
jadi
Aku semakin resah. Awalnya aku sempat berfikir untuk menjawab tidak, namun, sejauh ini
tidak ada satupun temanku yang membatalkan.
............
Kara Az-zahra?
jadi jawabku akhirnya, meski setengah yakin.
Sudahlah, mungkin jika aku minta baik-baik sambil sedikit memelas pada ayah, pasti
dikasih, gumamku dalam hati mencoba meyakinkan diriku sendiri.
* * *
Apa?? Dua ratus lima puluh ribu? suara ayah langsung meninggi. Matanya melotot.
Emosinya meledak bak sebuah bom atom di hiroshima dan nagasaki yang menggelegar
dunia.
iya, tapi, itu tesnya bagus dan akurat banget kok. Tesnya aja sampai 7 jam. Dan hasilnya
buat cari tau kemampuan kita, jadi, besok bisa jadi acuan buat pilih jurusan kuliah, paparku
berharap agar ayah mengizinkan.
Tidak! Tidak! Ayah nggak mau! Mahal banget? Batalin aja! Itu juga nggak penting. Toh
yang tau kemampuan kita juga kita sendiri, nggak usah pakai tes-tes begituan.
Tapi, katanya kalau udah ndaftar nggak boleh mbatalin, yah, jawabku memelas.
Lha kamu itu, bikin keputusan kok sendiri. Ya, besok bilang mau mbatalin! Mesti, temen-
temenmu juga ada yang bapaknya nggak setuju.
Nggak.. semuanya setuju kok.
Ya, terserah. Pokonya ayah nggak mau mbayarin!, tukas ayah.
* * *
Gimana caranya dapet 250 ribu dalam waktu 2 minggu ya?, gumamku sambil mengaduk-
aduk makan siang yang baru saja aku ambil.
Pikiranku mulai melayang-layang. Mencari cara bagaimana mendapatkan uang itu.
Haruskah aku meminjam uang pada seseorang? Ah, tidak! Aku paling anti berhutang dan
meminta-minta seperti itu. Atau, aku mengirim artikel lagi di koran? Ah, itu terlalu lama..
honornya saja baru bisa diambil 2 minggu setelah dimuat. Sama saja aku butuh waktu 3
minggu. Hmm, atau aku buat desain ya? Lumayan, kata mbak Lena, satu desain buat tugas
kuliah 30 ribu. Kalau aku buat 2, nanti udah 60 ribu?!. Tapi... Siapa yang butuh desainku?
Aku cuman tinggal dikota kecil ini. Universitasnya aja bisa dihitung jari. Hmmm, lalu apa?
Apa, les privat bocah aja, ya? Tapi siapa yang mau aku privat? Lagian, seminggu lagi aku
UAS, nanti bakal mengganggu belajarku. Hmm, apa ya? Ya Allah, bantulah hamba.... aku
terus mencari-cari ide, hingga akhirnya..
Ahaa! Aku jualan flanel lagi aja! Bahan-bahannya kan juga masih banyak dikamar!
Aku segera mengembalikan piringku, dan bergegas menuju kamar.
Aku membuka kardus besar yang berisi sisa-sisa kain flanelku. Ada beberapa bahan yang
habis. Dengan semangat 45, aku langsung bergegas menuju toko aksesoris, membeli bahan
yang kurang.
* * *
Setelah memilih bahan-bahan yang aku butuhkan, aku segera menuju kasir. Aku membuka
dompet. Ada lembar-lembar kertas yang tertata horisontal rapi. Aku mencoba menghitung
total semua. Ternyata, ada sekitar 100 ribu..
Kalau ini untuk bayar, berarti kurang 150 ribu! Gumamku dalam hati.
Tapi, ternyata aku harus merelakan 25 ribu melayang untuk membayar. Ya, berarti sekarang
kurang 175 ribu untuk mencapai 250 ribu!
* * *
Aku mulai mengerjakan project baruku. Ya, satu persatu flanel, aku gunting sesuai pola
yang telah ku gambar. Lalu, aku jahit tangan. Aku masukkan dakron ke dalamnya. Lalu, aku
tambahkan peniti. Yap, jadilah satu buah pin keropi!
Perlahan aku mengubah satu per satu kain flanel itu menjadi lebih bermakna. Hingga jadilah
beberapa pin dan gantungan kunci dengan bentuk yang berbeda. Memang, butuh waktu
cukup lama untuk menyelesaikan satu buah saja. Tapi, demi 175 ribu aku bertekad untuk
mengerjakan ini sampai titik darah penghabisan!
Saat mengerjakan itu semua, sejak awal menggunting kain hingga memasang peniti ataupun
gantungan kunci, aku tak henti-hentinya membaca dalam hati Hasbunallah wa nimal
wakil, nimal maula wa nimannasiir (Cukuplah Allah menjadi pelindung bagi kita.
Dan (Dialah) sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong). Aku ingat kata-kata
ibuku dulu :
Setiap pagi, ibu pasti selalu baca Hasbunallah wa nimal wakil, nimal maula wa
nimannasiir. kalau ibu lagi nggak punya uang, eh, Alhamdulillah Allah selalu mencukupi..
Aku yakin, rezeki datang dari Allah. jika, aku berusaha hingga berpeluh keringat, bersimbah
darah sekalipun, jika Allah tidak meridhai, maka, tak akan ada rezeki untukku.
* * *
Hai, teman-teman yang cantik! Aku jualan lhoo.. Ayo, sini-sini pada beli!, seruku pada
teman-teman sekelas mulai berpromosi.
oya, bisa pesen sesuai bentuk dan warna yang kalian pengen juga kok, kataku
bersemangat.
oh, kalau gitu aku pesen gantungan huruf ya. Hurufnya H. Hiasannya apa ya? Hmm, nanti
aku gambarin dulu aja ya, Kar. Bisa kan?, tanya Ratna
oke, bisa-bisa.
hmmm, aku mau yang ini sama ini, Kar. Berapa?, tanya Ara sambil mengambil pin pita dan
lolipop.
itu.. 4 ribu Ar.
Hari hari berlalu, aku terus berjualan dari kelas ke kelas. Namun, hasilnya tidak seperti yang
ku harapkan. Nominal yang ku raup dari hasil penjualan flanel masih jauh untuk menutup
kekurangan uang. Hingga hari ini aku baru mendapatkan 62 ribu. Tapi, jangan salah. 50ribu
aku dapatkan dari ibu. Ya, ibuku berbaik hati membantuku dengan memberi tambahan uang.
Dan itu artinya sejauh ini, uang penjualan baru 12ribu.
Namun, aku akan terus berusaha semampu yang aku bisa. Dan lafadz Hasbunallah wa nimal
wakiil, nimal maula wa nimannasiir pun tak henti-hentinya ku dzikirkan.
* * *
Kamu ikut tes psikologi nggak, May?, tanyaku pada Maya sepulang sekolah.
Nggak tau i.. aku pengen, tapi, belum daftar.. lha kamu?
Aku ikut.. lhoh bukannya kemarin udah didata siapa aja yang mau ikut ya?
Iya, tapi, aku kemarin belum sempet daftar padahal pengen.
Aku malah lagi bingung, aku kemarin izin bapakku, tapi, malah nggak boleh. Dan nggak
dikasih uang. Makanya, aku sekarang lagi nabung dan cari uang.
Lhoh, lha emang kenapa nggak boleh?
Nggak tau, katanya yang tau kemampuan kita ya kita sendiri. Menurutku bener juga.
Belum tentu. Buktinya aku belum tau,makanya pengen ikut. Eh, tempatmu tak ganti aja?!
Hah, emang boleh?
Ya bolehlah. Mesti kan yang penting ada orangnya. Jadi kalau dibatalin, ada gantinya.
wah, iya juga ya! yang bener May? Kamu mau ngganti?
iya, nggak papa. Tapi, aku ngomong bapak-ibuku dulu ya, boleh nggak?!
Alhamdulillah.. oke siap, nanti sms ya, boleh nggak.
* * *
May, gimana boleh nggak? Jadi ikut tes psikologikah? tanyaku lewat sms.
Selang beberapa menit, HP ku berdering. Maya membalas.
Boleh boleh aja sih Kar. Tapi, masalahnya ortu lagi nggak ada duit. Tapi, nggak papa, besok
aku bisa ambil tabungan kok.
* * *
Akhirnya tanggal 10 desember 2013, usai UAS,Maya mendaftarkan diri ke bu Azizah, selaku
panitia tes psikologi. Dan aku memberitahu bu Azizah bahwasanya aku digantikan Maya
(Diangkat dari kisah nyata saya sendiri )
Nama : Fauzi Ristikasari
TTL : Klaten, 20 September 1995
Alamat rumah : Pr.Griya Prima Timur, no.136, Belangwetan, Klaten
Alamat di Jogja : Jl. C Simanjutak no.78 C, Jogjakarta
Jurusan / Fakultas : Kimia / MIPA
No. HP : 085740105794

Anda mungkin juga menyukai